Minggu, 25 Agustus 2013

Mewaspadai Kebangunan Rohani Palsu.

"KETAJAMAN: PENGAMANAN KEBANGUNAN ROHANI"

PENDAHULUAN

 Membedakan keaslian dari kepalsuan.

   Palsu artinya bukan asli, tapi mirip dengan yang asli. Karena kemiripan itulah banyak orang yang tertipu ketika membeli barang tertentu yang disangkanya asli, apalagi dengan kemajuan teknologi sekarang yang mampu menyontek barang "bermerek" sehingga tampak seperti asli. Para pembelanja di pasar grosir Mangga Dua Jakarta tahu persis bagaimana menyiasati keinginan memakai barang bermerek yang terkenal mahal itu dengan biaya yang jauh lebih murah. Di kompleks pertokoan yang tersohor di seluruh Indonesia bahkan negara-negara tetangga itu anda bisa memilih barang-barang bermerek tiruan dalam berbagai mutu, dengan kode "KW1" (kualitas nomor 1), "KW2" dan "KW3" sesuai kemampuan.

    Kita hidup dalam dunia yang penuh dengan kepalsuan, akibatnya kita menjadi semakin terbiasa dengan kepalsuan itu dan toleransi terhadap hal-hal yang palsu pun kian meningkat. Kurang-lebih setengah abad silam kita mulai mengenal perabotan rumahtangga yang terbuat dari plastik, dengan harga lebih murah daripada barang-barang yang terbuat dari logam. Bersamaan dengan itu dunia kedokteran mulai memperkenalkan teknik "operasi plastik" untuk kaum wanita yang ingin parasnya tampak lebih cantik. Maka kaum budayawan memunculkan istilah "budaya plastik" untuk menyebut orang-orang yang menyukai perilaku palsu dan suka menyembunyikan dirinya yang asli. Sekarang ini barang-barang plastik dan bedah plastik bukan saja menjadi hal yang lumrah tapi juga dibutuhkan, dan dalam konteks tertentu kian meluas pula kebudayaan plastis itu. Kepura-puraan menjadi kelaziman, bahkan lebih gawat lagi, terkadang hal itu dianggap sebagai bagian dari kearifan atau kecakapan hidup.

    Kepalsuan dalam hal-hal yang bersifat rohani sangat dibenci oleh Tuhan, itulah sebabnya Yesus mengingatkan para pengikut-Nya agar mewaspadai "nabi-nabi palsu" dan "mesias-mesia palsu" (Mat. 7:15; 24:24; Mrk. 13:22). Rasul Paulus mengamarkan kita terhadap "ajaran palsu" (Kis. 20:30), "rasul-rasul palsu" (2Kor. 11:13), "saudara-saudara palsu" (Gal. 2:4), "permainan palsu manusia" (Ef. 4:14), "filsafat palsu" (Kol. 2:8), "mujizat-mujizat palsu" (2Tes. 2:9), bahkan "maksud palsu" dalam penginjilan (Flp. 1:18). Rasul Petrus juga menyadarkan kita perihal "guru-guru palsu" yang hanya mencari keuntungan pribadi (2Ptr. 2:1-3, 17). Bahkan Yesus Kristus sendiri pernah menjadi korban dari "kesaksian palsu" yang menyudutkan diri-Nya (Mrk. 14:56-57), begitu juga rasul Paulus menghadapi bahaya dari "saudara-saudara palsu" (2Kor. 11:26). Segala kepalsuan rohani bersumber dari Iblis yang adalah "pendusta dan bapa segala dusta" (Yoh. 8:44).
    Menyadari situasi dunia yang mengancam kehidupan rohani umat Allah ini, dan bahwa kepalsuan ada di mana-mana sehingga kita manusia berdosa mudah sekali tertipu oleh kepalsuan, pelajaran  saat  ini mengamarkan kita akan kemungkinan adanya kepalsuan khususnya dalam gerakan-gerakan kebangunan rohani dewasa ini. Hanya dengan bantuan Roh Kudus maka anda dan saya bisa memperoleh ketajaman dan kearifan untuk dapat membedakan antara kebangunan rohani yang asli dengan yang palsu.

    "Dalam konteks kebangunan rohani, kita perlu bertanya, Mungkinkah si jahat itu dapat menciptakan suatu semangat rohani yang palsu dan meninggalkan kesan bahwa kebangunan rohani yang asli telah terjadi?...Saat ini kita akan mempelajari petunjuk-petunjuk rohani dari kebangunan rohani yang asli dan membandingkannya dengan tanda-tanda nyata dari yang palsu. Mengetahui perbedaan antara kedua hal itu akan membantu mengamankan kita dari angan-angan musuh itu" [dua alinea terakhir].

1. PERAN FIRMAN TUHAN DALAM KEBANGUNAN ROHANI (Kehendak Allah dan Firman-Nya)

    Firman Tuhan, dasar kebangunan rohani.

   Kata revival dalam Bahasa Inggris, yang diterjemahkan sebagai kebangkitan atau kebangunan baru (Echols & Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, hlm. 484; Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, cetakan ke-XXIX, 2007), berasal dari kata Latin "revivere" yang artinya "hidup kembali." Istilah ini mulai populer di lingkungan gereja setelah digunakan dalam konteks rohani untuk pertama kalinya pada tahun 1702 oleh Cotton Mather (1663-1728), seorang penulis dan pendeta beraliran New England Puritan asal Boston, AS, yang juga tersohor sebagai seorang revivalist atau penganjur spiritual revival (kebangunan rohani) abad ke-17 di Amerika Utara. Istilah "kebangunan baru" menyiratkan adanya suatu kehidupan yang sedang sekarat sehingga perlu dibangunkan kembali. Jadi, kebangunan rohani adalah suatu ikhtiar atau usaha untuk membangunkan kembali kerohanian yang ada tapi sedang dalam keadaan mati suri.

     Dalam Mazmur 119 secara berulang-ulang pemazmur berseru kepada Tuhan agar menghidupkan kerohaniannya kembali "sesuai dengan firman-Mu" (ay. 25), meneguhkan jiwanya "sesuai dengan firman-Mu" (ay. 28), oleh sebab janji dalam firman-Nya itulah yang "menghidupkan" (ay. 49-50). Dalam versi TB, terdapat enam ayat yang mengulang-ulangi anak kalimat "sesuai dengan firman-Mu" dalam pasal ini yang menegaskan betapa pemazmur mendasarkan pengharapannya pada firman Tuhan. Kebangunan rohani sejati bagi orang Kristen harus bertumpu pada firman Tuhan dalam Alkitab, bukan pada falsafah manusia ataupun "pencerahan" yang bersifat sugestif. Kalau kita tergerak untuk bangun kembali dari kelesuan rohani karena didorong oleh apa yang kita baca dalam Kitabsuci, maka kita akan merasakan pengalaman kebangunan rohani yang sesungguhnya.

    "Semua kerohanian sejati terpusat pada mengenal Allah dan melakukan kehendak-Nya (Yoh. 17:3; Ibr. 10:7). Sesuatu yang disebut 'kebangunan' yang berpusat pada pengalaman gantinya komitmen untuk menaati Firman Allah sama sekali meleset dari sasaran. Roh Kudus tidak akan pernah menuntun kita ke mana Firman Allah tidak membawa kita. Roh Kudus menuntun kita ke dalam Firman (2Tim. 3:15-16). Firman Allah adalah dasar dan jantung dari semua kebangunan sejati" [alinea pertama].

    Roh Kudus, pencetus kebangunan rohani.

   Gereja Kristen menggunakan istilah revival (kebangunan kembali) untuk dua pengertian, ke dalam dan ke luar: 1. kebangunan rohani sebagai revitalisasi (penguatan kembali) serta restorasi (pemulihan rohani) jemaat, dan 2. kebangunan rohani sebagai usaha penginjilan yang biasa kita sebut KKR (kebaktian kebangunan rohani). Kebangunan rohani yang sedang kita bahas dalam pelajaran  ini adalah yang pertama dan bersifat ke dalam, yaitu untuk penguatan dan pemulihan kerohanian. Istilah lain yang pernah digunakan dunia Kristen berkenaan dengan kebangunan rohani jemaat ialah awakening  (membangunkan).

     Berdasarkan catatan sejarah gereja-gereja Kristen di Amerika, setidaknya sudah empat kali terjadi periode kebangunan rohani melalui apa yang disebut Great Awakening (Penyadaran Massal) sebagai sebuah gerakan revitalisasi Kristen: 1]. pada abad ke-18 (1730-1740); 2]. paruh pertama abad ke-19 (1800-1840); 3]. paruh kedua abad ke-19 (1850-1900); dan 4]. dalam abad ke-20 (akhir 1960-an hingga awal 1970-an). Sekarang mulai terdengar suara-suara untuk melaksanakan "great awakening" yang kelima pada abad ini, terutama karena keprihatinan gereja atas munculnya fenomena penguatan sekularisme yang dimanifestasikan dalam bentuk larangan berdoa di sekolah-sekolah umum, larangan pemasangan atribut-atribut Kristen di tempat-tempat umum, disahkannya perkawinan sejenis (gay marriage), dan kebebasan mengonsumsi ganja yang semakin merebak di berbagai negara bagian AS.

     Namun sebagian orang bersikap skeptis terhadap dampak jangka panjang dari berbagai bentuk kebangunan rohani yang bersifat massal seperti itu, terutama setelah melihat pengalaman di masa lalu. Kebangunan rohani sejati tidak diprakarsai oleh manusia secara massal, melainkan dicetuskan oleh Roh Kudus di dalam hati manusia secara perorangan. Kebangunan rohani bukan sekadar emosi yang menggebu-gebu karena terpengaruh oleh khotbah-khotbah maupun tulisan-tulisan yang menyerukan untuk hidup lebih rohani, tetapi kebangunan rohani sejati adalah kesadaran yang dipengaruhi oleh Roh Kudus untuk hidup lebih taat dan suci. Sehingga seperti pemazmur kita dapat berdoa: "Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!" (Mzm. 139:23-24).

     "Dalam khotbah Yesus tentang Roti Hidup, Ia menjelaskan intisari dari semua kebangunan dan dasar dari seluruh kehidupan rohani. 'Yang membuat manusia hidup ialah Roh Allah. Kekuatan manusia tidak ada gunanya. Kata-kata yang Kukatakan kepadamu ini adalah kata-kata Roh Allah dan kata-kata yang memberi hidup' (Yoh. 6:63, BIMK). Pernyataan Yesus ini sangat penting. Roh Kudus yang adalah sumber dari segala kebangunan rohani berbicara melalui Firman Allah demi untuk memberikan kepada orang-orang yang menyambutnya oleh iman suatu kehidupan rohani yang mendalam. Kebangunan baru terjadi bilamana Roh Kudus mencamkan perkataan Yesus pada pikiran kita" [alinea kedua: tujuh kalimat pertama].

 Apa yang kita pelajari tentang peran Firman Allah dan Roh Suci dalam kebangunan rohani?

1. Kebangunan rohani sejati harus didasarkan pada Firman Tuhan melalui pembacaan dan perenungan. Peribadatan, khotbah, kesaksian, maupun tulisan-tulisan rohani dapat mempengaruhi perasaan kita untuk mengalami pembaruan rohani, tetapi hanya Firman Tuhan yang berkuasa mengubahkan.

2. Kebangunan rohani sejati hanya terjadi atas kehendak Allah melalui bisikan Roh Kudus secara perorangan. Ketika kalbu seseorang menyambut bisikan Roh itu hatinya akan tersentuh, dan kebangunan baru yang dipicu oleh Roh Kudus akan membuat kita mengakui dosa-dosa dan bertobat.

3. Kebangunan rohani yang dialami secara pribadi akan menuntun seseorang kepada pembaruan hidup (renewal), secara berkelompok akan membuat orang-orang terbangun dari tidur rohani (revival), dan secara umum itu akan menggerakkan orang banyak untuk disadarkan (awakening).

2. MENURUT KARENA KASIH (Kasih Allah dan Hukum-Nya)

     Dasar penurutan rohani.

   Penurutan yang alkitabiah juga dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Dalam PL kita menemukan adanya faktor "ancaman" terhadap keamanan dan kenyamanan yang mendorong penurutan. Musa berkata kepada bangsa Israel, "Lihatlah, aku memperhadapkan kepadamu pada hari ini berkat dan kutuk: berkat, apabila kamu mendengarkan perintah TUHAN, Allahmu, yang kusampaikan kepadamu pada hari ini; dan kutuk, jika kamu tidak mendengarkan perintah TUHAN, Allahmu, dan menyimpang dari jalan yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini, dengan mengikuti allah lain yang tidak kamu kenal" (Ul. 11:26-28; huruf miring ditambahkan). Tetapi dalam PB kita menemukan faktor "kasih" sebagai pendorong penurutan. Yesus berkata: "Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku" (Yoh. 14:15; huruf miring ditambahkan).

    "Mengenal Allah selalu menuntun kepada penurutan. Hukum Allah menyingkapkan kasih-Nya. Suatu hubungan yang lebih mendalam dengan Kristus menuntun kepada kerinduan yang lebih besar untuk menyenangkan Kristus. Penurutan merupakan buah-buah kasih. Semakin kita mengasihi Dia, semakin kita akan ingin menaati Dia. Kebangunan apapun yang tidak menekankan pertobatan untuk waktu-waktu ketika kita dengan sengaja melanggar hukum-Nya adalah mencurigakan. Kegairahan rohani bisa merangsang tingkat kerohanian yang tinggi untuk sementara, tetapi perubahan rohani yang langgeng akan kurang" [alinea ketiga].

    Mengenal, mengasihi, dan menurut.

    Seorang ayah tampak sedang bermain-main dengan putranya berumur sekitar 4 tahun di teras rumah mereka. "Lompat!" terdengar ayahnya memberi aba-aba, lalu dari puncak anak tangga pada ketinggian sekitar tiga meter anak itu melompat ke pelukan ayahnya yang berdiri di bawah sambil menadahkan tangan. Bocah itu tampak gembira. Dia melepaskan diri dari pelukannya ayahnya, naik lagi ke atas tangga rumah, menunggu aba-aba, lalu melompat ke dalam tangkapan ayahnya diiringi tawa ria. Terus seperti itu sampai berkali-kali. Tetangga yang sejak tadi memperhatikan datang menghampiri lalu bertanya kepada bocah itu, "Apa kamu tidak takut waktu hendak melompat?" Anak kecil itu menoleh sejenak lalu menjawab dengan nada yang mantap, "Tidak. Sebab saya kenal ayah saya!"

    Pengenalan menimbulkan rasa percaya, dan rasa percaya melahirkan penurutan. Ketika sang ayah menyuruhnya untuk melompat tidak ada keraguan sedikit pada anak itu untuk menuruti aba-aba ayahnya. Penurutan berhubungan erat dengan pengenalan. Dalam perilaku rohani hal yang sama juga berlaku, bahkan pengenalan dapat menumbuhkan kasih yang menuntun kepada penurutan. Berkata rasul Yohanes: "Dan inilah tandanya bahwa kita mengenal Allah, yaitu jikalau kita menuruti perintah-perintah-Nya. Barangsiapa berkata: Aku mengenal Dia, tetapi ia tidak menuruti perintah-Nya, ia adalah seorang pendusta dan di dalamnya tidak ada kebenaran. Tetapi barangsiapa menuruti firman-Nya, di dalam orang itu sungguh sudah sempurna kasih Allah; dengan itulah kita ketahui, bahwa kita ada di dalam Dia" (1Yoh. 2:3-5).

     "Dalam ayat-ayat ini Yohanes mengadakan dua hal penting. Pertama, mengenal Allah menuntun kepada pemeliharaan perintah-perintah-Nya. Kedua, mengasihi Allah menuntun kepada mengasihi satu sama lain. Maksud Yohanes adalah jelas. Kerohanian yang sejati menghasilkan suatu kehidupan yang berubah. Hati yang dibangunkan kembali bukanlah suatu sensasi perasaan kedekatan kepada Yesus yang hangat. Itu adalah sebuah kehidupan yang diubahkan dan dipenuhi dengan sukacita melayani Yesus. Tujuan Allah yang besar dalam semua kebangunan ialah untuk menarik kita lebih dekat kepada-Nya, untuk memperdalam penyerahan kita kepada maksud-Nya bagi hidup kita, dan untuk melepas kita bagi kesaksian dan pelayanan dalam pekerjaan-Nya" [alinea terakhir].

 Apa yang kita pelajari tentang mengasihi Tuhan dan menuruti perintah-Nya?

1. Dasar penurutan secara manusiawi berbeda dengan dasar penurutan ilahi. Sebagai manusia seringkali kita menurut karena dipaksa oleh keadaan, khususnya oleh kekuasaan di atas kita. Tetapi sebagai umat Tuhan penurutan kita adalah karena dipaksa oleh rasa kasih kepada Tuhan.

2. Penurutan erat kaitannya dengan rasa percaya yang ditimbulkan oleh hubungan pribadi yang terjalin melalui pengenalan terus-menerus. Semakin kita mengenal Allah semakin terpupuk rasa percaya kita kepada-Nya, dan pada gilirannya kita tidak memiliki keraguan untuk menurut kepada-Nya.

3. Kasih dan penurutan kepada Allah merupakan dua hal yang jalin-menjalin dan saling mempengaruhi. "Dan inilah kasih itu, yaitu bahwa kita harus hidup menurut perintah-Nya. Dan inilah perintah itu, yaitu bahwa kamu harus hidup di dalam kasih..." (2Yoh. 1:6).

3. KEBANGUNAN ROHANI SEBAGAI KOMITMEN (Formalisme, Fanatisme, dan Iman)

 Formalisme dan fanatisme yang kaku.

    Seorang yang menurut belum tentu taat, tetapi seorang yang taat pasti menurut. Penurutan dapat terjadi sebagai hasil dari pertimbangan, tetapi ketaatan adalah hasil dari komitmen. Penurutan merupakan bukti lahiriah dari hubungan dengan Kristus (1Yoh. 2:3-4; 3:24); penurutan ialah hasil dari kasih kepada Kristus (Yoh. 14:21, 23-24); dan penurutan adalah sambutan yang tulus terhadap perintah Kristus (Luk. 6:46; Why. 3:3).
   Kebangunan rohani yang sesungguhnya menghasilkan perubahan dari dalam--perubahan hati--yang terpantul melalui ciri-ciri penurutan secara lahiriah, tetapi tanda-tanda penurutan lahiriah belum tentu membuktikan telah terjadinya perubahan hati. Karena itu kita tidak dapat menilai suatu kebangunan rohani berdasarkan penurutan semata, betapa pun penurutan itu kelihatannya keras dan kaku. Terkadang malah penurutan yang kaku hanya menandakan adanya fanatisme dan formalisme yang ekstrem, bukan bukti dari sambutan yang didasarkan pada hubungan kasih dengan Yesus Kristus.

    "Salah satu tantangan dari kebangunan rohani sejati ialah menerobos permukaan beku dari formalisme yang dingin, sementara pada waktu yang sama menghindari api fanatisme yang berkobar-kobar. Formalisme ialah terkunci mati dalam status quo (=tetap pada keadaan sekarang). Itu adalah rasa puas dengan kulit luar keberagamaan sambil menolak realitas iman yang hidup. Fanatisme cenderung mengarah kepada yang ekstrem. Itu keluar dari garis singgung rohani. Hal itu cenderung tidak seimbang, memusatkan pada satu aspek iman tetapi mengabaikan semua yang lainnya. Fanatisme sering bersifat membenarkan diri dan menghakimi" [alinea pertama: tujuh kalimat pertama].

    Yesus tidak terpukau dengan formalisme dan fanatisme lahiriah yang dipamerkan oleh para ahli Taurat dan kaum Farisi, bahkan Ia mengecamnya sebagai kemunafikan. Mereka diibaratkan seperti kuburan yang dari luar tampak bersih dengan warna putih, tetapi di dalamnya penuh dengan tulang-belulang dan kotoran (Mat. 23:27). "Demikian jugalah kamu, di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan," kata-Nya (ay. 28). Yesus juga menyamakan mereka dengan gelas dan pinggan yang bagian luarnya kelihatan bersih tapi dalamnya "penuh rampasan dan kejahatan" (Luk. 11:39). Orang Farisi dan ahli Taurat taat kepada tradisi, namun "perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia" (Mrk. 7:8).

 Mujizat bukan bukti.

    Manusia sangat mudah terpesona oleh penampilan luar, dan kelemahan ini sering dimanfaatkan oleh Setan untuk mengelabui manusia. Menubuatkan perihal "Manusia Jahat" (versi TB: "si pendurhaka") yang akan muncul pada zaman akhir, rasul Paulus menulis: "Manusia Jahat itu akan muncul dengan suatu kuasa yang besar dari Iblis. Ia akan mengadakan segala macam keajaiban dan hal-hal luar biasa yang penuh dengan tipuan. Ia akan memakai segala tipu muslihat yang jahat untuk menyesatkan orang-orang yang akan binasa" (2Tes. 2:9-10, BIMK; huruf miring ditambahkan). Jadi, mujizat dan tanda ajaib tidak membuktikan adanya kuasa Tuhan, tapi bisa juga itu dari kuasa iblis.

     Begitu pula, menyerukan nama Tuhan tidak menjamin keselamatan. Sebab Yesus berkata, "Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Surga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di surga" (Mat. 7:21; huruf miring ditambahkan). Bahkan sekalipun orang-orang itu bernubuat, mengusir setan dan mengadakan banyak mujizat dengan mengatasnamakan Tuhan (ay. 22). Kalau perbuatan ajaib seperti mujizat tidak membuat seseorang selamat, bagaimana kita bisa menerima bahwa tanda ajaib dan mujizat itu menandakan adanya kebangunan rohani sejati dalam diri orang yang tidak selamat?

    "Tanda-tanda dan keajaiban-keajaiban tidak pernah dapat menggantikan tempat iman alkitabiah yang otentik. Tanda dan keajaiban itu bukan pengganti penyerahan diri kepada kehendak dan Firman Allah. Inti dari kebangunan rohani sejati adalah iman yang mendalam sehingga menuntun kepada suatu kehidupan yang taat pada komitmen terhadap kehendak Allah" [alinea kedua: kalimat kedua hingga keempat].

 Apa yang kita pelajari tentang formalisme dan fanatisme?

1. Ketaatan kepada Tuhan ditunjukkan dengan penurutan, bukan dengan formalisme dan fanatisme agama. Ketaatan pada perintah Tuhan adalah komitmen yang dihasilkan dari kebangunan rohani sejati yang membuahkan perubahan hati.

2. Formalisme dan fanatisme agama yang hanya tampak dari luar tetapi tidak mengubah hati adalah sebuah kemunafikan. Formalisme dan fanatisme agama yang bersifat pamer dan menghakimi orang lain merupakan cerminan mentalitas kaum Farisi dan ahli Taurat pada zaman Yesus.

3. Iman adalah dasar dari penurutan kepada kehendak Allah, dan iman juga menjadi pangkal kuasa ilahi dalam mengadakan hal-hal besar dan ajaib (Mat. 17:20). Tanda ajaib dan mujizat yang tidak berlandaskan iman adalah berasal dari kuasa Setan.

4. JANGAN TERTIPU OLEH MUJIZAT (Pelayanan dan Mujizat)

    Maksud dari mujizat ilahi.

    Alkitab PB mempunyai tiga istilah berbeda untuk menyebut kuasa ilahi yang diperagakan Yesus selama melayani di atas bumi ini. Berkata rasul Petrus kepada khalayak ramai di kota Yerusalem pada hari itu: "Hai orang-orang Israel, dengarlah perkataan ini: Yang aku maksudkan, ialah Yesus dari Nazaret, seorang yang telah ditentukan Allah dan yang dinyatakan kepadamu dengan kekuatan-kekuatan dan mujizat-mujizat dan tanda-tanda yang dilakukan oleh Allah dengan perantaraan Dia di tengah-tengah kamu, seperti yang kamu tahu" (Kis. 2:22; huruf miring ditambahkan).

 Versi King James menerjemahkan ketiga istilah dalam huruf miring pada ayat tersebut di atas masing-masing dengan kata miracles, wonders, dan signs. Kata Grika untuk ketiganya adalah δύναμις, dynamis (=daya kekuatan, kemampuan); τέρας, teras (=keajaiban, mujizat); dan σημεῖον, sēmeion (=tanda ajaib). Kita tidak tahu apakah ketiga kata berbeda itu memang "bunyi" dalam pidato rasul Petrus, atau itu semua dicantumkan oleh Dr. Lukas sebagai penulis kitab Kisah Para Rasul (KPR) yang menggambarkan kekayaan kosakata bahasa Grika yang dikuasainya. Namun kita percaya bahwa sebagai tulisan yang diilhamkan Allah, Roh Kudus berperan aktif dalam mengarahkan pikiran dan tangan penulis kitab KPR itu ketika menyebutkan ketiga istilah tersebut, yaitu untuk menerangkan secara lengkap perbuatan-perbuatan supra alami Yesus Kristus sebagai manifestasi kuasa ilahi "yang dilakukan oleh Allah dengan perantaraan Dia." Akan tetapi semua mujizat dan tanda-tanda ajaib yang diadakan Yesus itu bukan yang terpenting, namun itu adalah pelengkap yang menyempurnakan pelayanan-Nya yang seutuhnya.

    "Kebangunan rohani yang palsu sering menempatkan penekanan utamanya pada mujizat-mujizat. Kebangunan rohani sejati berfokus pada pelayanan. Kebangunan rohani palsu menekankan tanda-tanda yang menakjubkan dan keajaiban-keajaiban; kebangunan rohani sejati mengakui bahwa mujizat terbesar adalah hidup yang diubahkan...Mujizat-mujizat Yesus yang menyembuhkan itu menyaksikan fakta bahwa Dia adalah Mesias. Sebagai Penebus kita yang berkasihan, Juruselamat itu peduli dengan meredanya penderitaan manusia. Tetapi Ia bahkan lebih peduli lagi dengan keselamatan dari setiap orang yang Ia jamah dengan kasih karunia penyembuhan-Nya" [alinea pertama; alinea kedua: tiga kalimat pertama].

 Mujizat pada zaman akhir.

    Sebenarnya, apa itu mujizat? Menurut Kamus Bahasa Inggris Oxford edisi kedua, sebagaimana dikutip oleh Wikipedia, "mujizat adalah suatu peristiwa yang tidak dapat dihubungkan dengan kekuatan manusia atau hukum alam dan karena itu dikaitkan dengan sebuah agensi supra alami, khususnya ilahi." Kamus Merriam-Webster online, mendefinisikan mujizat sebagai "sebuah peristiwa luar biasa yang mewujudkan campur tangan ilahi dalam urusan manusiawi." Secara filosofis seseorang pernah mengatakan bahwa "mujizat bukan tidak berlakunya hukum alam, melainkan berlakunya suatu hukum yang lebih tinggi dari hukum alam." Jadi, pada prinsipnya mujizat adalah sebuah peristiwa supra alami yang tidak tunduk pada hukum alam. Mujizat adalah suatu pekerjaan ilahi yang melampaui apa yang normalnya diartikan sebagai hukum alam; sesuatu yang tidak dapat dijelaskan atas dasar hukum alam. Pokoknya, ajaib.

     Alkitab menyatakan bahwa pada hari-hari terakhir juga Tuhan akan mencurahkan Roh-Nya kepada hamba-hamba-Nya sehingga mereka mendapat mimpi serta bisa bernubuat (Kis. 2:17-18), dan selain itu "Aku akan mengadakan mujizat-mujizat di atas, di langit dan tanda-tanda di bawah, di bumi: darah dan api dan gumpalan-gumpalan asap" (ay. 19). Tetapi pada zaman akhir juga akan muncul mesias-mesias dan nabi-nabi palsu lalu "mereka akan mengadakan tanda-tanda yang dahsyat dan mujizat-mujizat, sehingga sekiranya mungkin, mereka menyesatkan orang-orang pilihan juga" (Mat. 24:24). Sesuai dengan informasi ini, bahwa pada zaman akhir akan terjadi mujizat-mujizat dari dua sumber yang berlawanan, yaitu kuasa Allah dan kuasa Setan, maka kita semua perlu melengkapi diri dengan ketajaman serta kearifan pengamatan supaya dapat membedakannya dan tidak gampang tertipu. Namun penyesatan akan terjadi khususnya atas mereka yang tidak menyukai kebenaran dan akan dibinasakan (2Tes. 2:9-12; Why. 19:20).

 "Bilamana hasrat akan hal yang menakjubkan jauh lebih penting daripada keinginan akan hidup baru di dalam Kristus, pikiran terbuka bagi penipuan...Dengan kata lain, tanda-tanda yang menakjubkan dan keajaiban-keajaiban yang mencengangkan tidak pernah dapat menggantikan pemahaman dan kemudian mengikuti Firman Allah. Penurutan kepada Allah adalah yang terutama; tanda-tanda dan keajaiban, kalau dan apabila itu datang, selalu hanya soal sekunder" [alinea terakhir: kalimat kedua dan keempat].

 Apa yang kita pelajari tentang bahayanya mengutamakan mujizat?

1. Manusia sangat rentan terhadap ketakjuban dan keajaiban. Celakanya, banyak manusia yang terlanjur percaya bahwa setiap keajaiban berasal dari Tuhan. Setan tahu keadaan ini, karena itu dia akan terus memanfaatkan peluang ini untuk mengelabui manusia. Allah itu ajaib, tapi tidak semua yang dianggap ajaib berasal dari Allah.

2. Yesus dalam pelayanan-Nya di dunia ini berkali-kali melakukan tanda-tanda ajaib, termasuk menyembuhkan orang sakit dan membangkitkan orang mati. Namun Yesus tidak menjadikan mujizat sebagai daya pikat utama untuk menarik orang banyak, melainkan sebagai pelengkap pelayanan-Nya berdasarkan kebutuhan.

3. Setan dengan kuasa yang masih melekat pada dirinya mampu mengadakan berbagai tanda ajaib dan mujizat, tetapi dia tidak memiliki kuasa untuk menghidupkan orang yang sudah mati. Kuasa kebangkitan adalah milik Yesus yang sudah mengalahkan maut.

 Kamis, 22 Agustus

MAKSUD PEMBERIAN KARUNIA (Buah-buah dan Karunia-karunia)

 Memahami karunia rohani.

   Pertama-tama kita harus bedakan antara istilah "kasih karunia" (Grika: χάρις, charis; Inggris: grace) dengan "karunia Roh" (Grika: πνευματικός, pneumatikos; Inggris: spiritual gifts) yang digunakan dalam PB. Sementara "kasih karunia" adalah anugerah keselamatan Allah melalui iman kepada Yesus Kristus (Yoh. 3:16; Rm. 3:24; 5:2, 15, 21; Kis. 15:11), "karunia Roh" atau "karunia rohani" secara spesifik merujuk kepada kuasa Roh yang Allah berikan kepada umat-Nya dengan maksud untuk memperlengkapi kita bagi pelayanan pekerjaan-Nya (Ef. 4:11-16; 1Kor. 12:7-11; 14:1).

    Perbedaan pokok lainnya di antara keduanya ialah bahwa "kasih karunia" diberikan kepada semua manusia secara merata serta sama dan serupa, sedangkan "karunia rohani" diberikan hanya kepada umat percaya saja secara tidak merata dan berlain-lainan. Kembali, ketidaksamaan ini disebabkan oleh perbedaan dari maksud pemberiannya. Namun, meskipun kita dapat melihat di sini perbedaan maksud dan tujuan dari penganugerahan "kasih karunia" dengan "karunia rohani" itu, kita menemukan persamaan dalam hal bagaimana kedua hal itu diberikan: yakni sama-sama berasal dari Allah dan diberikan kepada manusia secara cuma-cuma.

     "Karunia-karunia Roh Kudus bisa dibagi ke dalam dua kategori: sebagian karunia-karunia itu merupakan ciri kemampuan, karunia-karunia yang lainnya bersifat panggilan tugas. Misalnya karunia-karunia pertolongan, keramahtamahan, menasihati dan mengajar adalah ciri-ciri kemampuan yang Allah tanamkan pada umat percaya secara perorangan (Rm. 12:6-8). Karunia-karunia dari para rasul, para nabi, para penginjil, dan para pendeta/guru merupakan panggilan tugas yang diberikan kepada umat percaya secara perorangan (Ef. 4:11-12). Kedua kategori ini melayani pengabdian kepada satu maksud yang sama. Semua itu sudah ditanamkan oleh Roh Kudus untuk memperkuat kehidupan rohani jemaat dan memperlengkapinya bagi missi. Karunia-karunia rohani bukan demi karunia-karunia itu sendiri. Semua itu telah diberikan oleh Allah untuk manfaat dari gereja-Nya" [alinea pertama].

 Buah-buah Roh.

   Hal lainnya yang berhubungan dengan Roh seperti diajarkan dalam PB ialah "buah-buah Roh" sebagai hasil dari "hidup oleh Roh" (Gal. 5:16). Alkitab versi King James menerjemahkan frase ini dengan "Walk in the Spirit" sama seperti yang digunakan oleh PB versi TL (Terjemahan Lama), "Berjalanlah kamu dengan Roh." Kata Grika (bahasa asli PB) yang diterjemahkan dengan "berjalan" dalam ayat ini adalah περιπατέω, peripateō,  sebuah kata kerja yang arti harfiahnya adalah berjalan dan digunakan sebanyak 97 kali dalam 90 ayat di seluruh PB dalam konkordansi Grika versi King James. (James Strong, Strong's Exhaustive Concordance of the Bible, G4043; Nashville, Tenn: Thomas Nelson Publishers, 1984.) Dalam surat-surat rasul Paulus kata peripateō  ini sering digunakan dalam arti kiasan (figuratif) yang dapat diterjemahkan sebagai "hidup." Padanannya dalam PL (bahasa Ibrani) adalah יָלַךְ, yalak, atau kata bentukannya הָלַךְ, halakh, sebuah kata kerja yang secara harfiah artinya "berjalan" tapi juga digunakan secara figuratif dalam pengertian perilaku hidup seperti antara lain dalam 2Raj. 20:3; 2Taw. 34:2, 31; Ams. 1:15; Ay. 34:8; Mzm. 25:5, 56:14, 81:13.
    "Buah-buah Roh" adalah hasil dari berjalan di dalam Roh atau "hidup oleh Roh." Orang yang hidupnya tidak dituntun oleh Roh Kudus tidak mungkin menghasilkan buah-buah Roh, yaitu ciri-ciri tabiat sebagaimana dimaksud dalam Gal. 5:22-23. Selanjutnya, kata Paulus menasihati, "Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh, dan janganlah kita gila hormat, janganlah kita saling menantang dan saling mendengki" (ay. 25-26). Seseorang bisa saja memperlihatkan ciri-ciri yang mirip dengan buah-buah Roh itu--kasih, kesabaran, kebaikan, kelemahlembutan, dan sebagainya--tanpa sungguh-sungguh hidup dalam Roh dan memiliki Roh Kudus yang menuntun hidupnya, tetapi itu hanyalah buah-buah palsu yang semu sebagai "topeng" yang dipakai untuk sementara saja. Anda bisa membuat es sirup rasa duren atau rasa buah apa saja tanpa benar-benar menambahkan buah yang sesungguhnya, tetapi minuman itu hanya dapat memuaskan rasa dahaga belaka tanpa memberi tubuh anda sesuatu vitamin dan zat gizi yang bisa diperoleh dari buah-buahan yang asli. Hanya sekadar rasa, bukan manfaat.

     "Sesuatu yang disebut kebangunan rohani yang memiliki sedikit perhatian dalam buah-buah Roh tetapi terobsesi dengan pemilikan karunia-karunia Roh adalah berbahaya. Jika Allah memberi karunia-karunia Roh dengan limpah kepada orang-orang percaya yang tidak mewujudkan buah-buah Roh itu, gereja akan menjadi pusat pameran yang mementingkan diri. Sebab kalau Allah membuka kuasa surga ketika saluran-saluran kuasa rohani cekcok itu hanya akan menimbulkan akibat-akibat yang berbahaya. Waspadalah terhadap pergerakan-pergerakan yang berkonsentrasi pada karunia dan kuasa Roh Kudus ketimbang pada penurutan kepada kehendak Allah dan perubahan tabiat yang menyatakan buah-buah Roh" [alinea pertama].

 Apa yang kita pelajari tentang maksud karunia Roh dan buah-buahnya?

1. Karunia Roh (terkadang disebut "karunia rohani") diberikan oleh Tuhan kepada umat-Nya untuk suatu maksud yang istimewa, yakni demi memperlengkapi jemaat bagi pelayanan pekerjaan-Nya. Karunia Roh itu ada yang berupa ciri-ciri tabiat, ada pula yang bersifat kemampuan untuk tugas-tugas tertentu.

2. Karunia rohani itu berbeda-beda dalam ujudnya sebagai talenta-talenta yang berlainan, tetapi semuanya bermanfaat dan saling mendukung untuk tujuan yang sama. Gereja adalah "tubuh Kristus" yang terdiri atas berbagai bagian dengan fungsi-fungsi yang berbeda tetapi "adalah satu tubuh di dalam Kristus" (Rm. 12:4-5).

3. Untuk memperoleh karunia rohani itu kita harus "hidup oleh Roh" atau "berjalan di dalam Roh." Kehidupan yang dituntun oleh Roh Kudus juga akan membuat kita mampu menghasilkan "buah-buah Roh," yaitu ciri-ciri tabiat dan talenta-talenta yang menunjang pelayanan Gereja. Inilah hakikat dari kebangunan rohani sejati.

PENUTUP

 Demi pemberdayaan gereja.

Kebangunan rohani tidak saja bermanfaat bagi kualitas kerohanian umat Tuhan secara perorangan, tetapi lebih penting lagi ialah berguna untuk pelayanan pekerjaan Tuhan secara jemaat. Sebagai pribadi, kebangunan rohani lebih menyiapkan anda dan saya bagi tugas di dalam maupun di luar gereja; sebagai jemaat, kebangunan rohani semakin memberdayakan tubuh Kristus secara keseluruhan untuk menunaikan perintah penginjilan semesta. Tetapi sebelum sampai kepada sasaran itu perlu dipupuk kesadaran kita, perorangan maupun sebagai jemaat, akan nilai yang sangat tinggi dari karunia-karunia rohani yang disediakan Allah itu.

 "Janji akan Roh itu tidak dihargai sebagaimana mestinya. Kegenapannya tidak direalisasikan seperti seharusnya. Adalah ketiadaan Roh itu yang membuat pelayanan injil begitu tak berdaya. Pembelajaran, talenta-talenta, kefasihan lidah, setiap bakat alam ataupun yang dipelajari itu bisa dimiliki; tetapi tanpa kehadiran Roh Allah tidak ada hati yang akan terjamah, tidak ada orang berdosa dimenangkan bagi Kristus" [alinea pertama: empat kalimat pertama].



Dalam perkataan lain, karunia-karunia rohani itu bukanlah pemberian Allah yang berdiri sendiri, tetapi karunia-karunia itu merupakan satu paket dengan Roh itu sendiri. Roh Kudus yang menyiapkan hati kita untuk menerima karunia-karunia rohani, Roh Kudus itu juga yang menyanggupkan kita untuk menggunakan karunia-karunia rohani tersebut sesuai dengan tujuannya. Tanpa Roh Kudus mustahil kita dapat memperoleh karunia-karunia rohani itu, apalagi untuk menggunakannya.

 Mungkin kita bisa menggunakan ponsel cerdas dan komputer tablet sebagai analogi: Setiap ponsel cerdas dan komputer tablet dengan sistem operasi Android, apapun vendor dan mereknya, dapat mengunduh aplikasi-aplikasi dari Google melalui akses "Play Store" sehingga aplikasi-aplikasi itu dapat digunakan sesuai fungsi dan peruntukkannya. Ponsel dan komputer tablet yang tidak memiliki sistem operasi Android tidak mungkin mengunduh apalagi menggunakan ribuan aplikasi yang kebanyakan ditawarkan secara gratis itu. Roh Kudus adalah "sistem operasi" yang compatible (cocok dan sepadan) bagi karunia-karunia rohani, sehingga memungkinkan anda dan saya untuk memperolehnya sebagai "aplikasi-aplikasi rohani" yang sangat bermanfaat demi membantu kita melaksanakan tugas-tugas ilahi.

 "Karena itu marilah kita, yang sempurna, berpikir demikian. Dan jikalau lain pikiranmu tentang salah satu hal, hal itu akan dinyatakan Allah juga kepadamu. Tetapi baiklah tingkat pengertian yang telah kita capai kita lanjutkan menurut jalan yang telah kita tempuh" (Flp. 3:15-16).

DAFTAR PUSTAKA:

1. Mark Finley, Kebangunan dan Pembaruan-Pedoman Pendalaman Alkitab, Indonesia Publishing House, Juli-September 2013.
2. Loddy Lintong, California, U.S.A-Face Book.

Menciptakan Pernikahan Bahagia.

Banyak hal yang dapat menimbulkan dan memicu persoalan atau masalah dalam pernikahan dan rumah tangga. Secara jelas dan detail M.S Hadisubrata memaparkan masalah-masalah yang timbul dalam pernikahan. Menurutnya masalah-masalah dalam pernikahan timbul karena pengaruh dari luar dan dari dalam hubungan pernikahan itu sendiri.

MASALAH YANG TIMBUL DARI LUAR PERNIKAHAN:

   Masalah yang timbul karena pengaruh dari luar misalnya adalah dampak modernisasi sebagai era peradaban teknologi modern yang membawa banyak perubahan bagi kehidupan keluarga. Salah satu perubahan karena modernisasi adalah pergeseran dari masyarakat agraris ke masyarakat industri. Pergeseran ini berdampak terhadap hubungan kekerabatan dalam keluarga. Misalnya, dalam masyarakat agraris keluarga dipahami sebagai keluarga besar (extended family) yang tinggal dalam satu rumah, mencari makan bersama dan menikmati makanan itu bersama-sama pula. Sedangkan dalam masyarakat industri keluarga hanya berarti ayah, ibu dan anak yang belum menikah (nuclear family), mereka harus bertanggung jawab atas keluarganya sendiri-sendiri. Perubahan pola hidup keluarga ini juga berdampak terhadap peranan masing-masing anggota keluarga (Hadi Subrata, 2008: 22-23). Jika perubahan ini tidak diantisipasi dan ditangani, maka akan menimbulkan masalah-masalah serius dalam rumah tangga.

MASALAH YANG TIMBUL DARI DALAM PERNIKAHAN
         Masalah-masalah yang timbul dari dalam pernikahan biasanya disebabkan oleh ketidakmampuan dalam penyelesaian kepribadian dan dalam mengatasi masalah-masalah yang berhubungan dengan pernikahan itu sendiri.

Masalah-masalah yang dimaksud adalah sebagai berikut (Hadi Subrata:2008, 30-35):

1. Harapan-harapan yang tidak realistis:

Biasanya harapan-harapan ini muncul pada masa romantik, yakni selama pacaran dan tahun-tahun pertama pernikahan. Harapan-harapan yang tidak realistis ini misalnya, mereka merasa bahwa pernikahan mereka akan membuat mereka bahagia selamanya, hubungan seksual mereka akan selalu menyenangkan, mereka tidak akan pernah kesepian lagi, dengan perkawinan ini pasangan mereka akan berubah menjadi lebih baik, dan sebagainya.Ketika harapan-harapan ini tidak terpenuhi, maka dapat menimbulkan kekecewaan bagi kedua belah pihak.

2.Sumber konflik dalam pernikahan:

Sumber konflik ini dapat mencakup dua hal. Pertama: Konflik yang bersumber pada kepribadian pasangan yang biasanya disebabkan ketidakmatangan kepribadian, adanya sifat-sifat kepribadian yang tidak cocok untuk menjalin hubungan pernikahan misalnya pemabuk, penjudi, egois, tertutup, keras kepala dan lain-lain, dan adanya kelainan mental misalnya homoseks atau lesbian, schizophrenia, sadisme dan lain-lain. Kedua, konflik yang bersumber pada hal-hal yang erat kaitannya dengan perkawinan, misalnya masalah keuangan, kehidupan dan temperamen sosial, pendidikan anak, agama, hubungan dengan mertua dan ipar, penyelewengan dalam hubungan seksual dan lain-lain.

3.Ketidakpuasan seksual:

Hal ini dapat disebabkan sebagai akibat dari kekecewaan terhadap pasangan yang dapat mengakibatkan mengendornya hubungan pribadi suami-isteri. Ketidakpuasan dalam hubungan seksual ini dapat juga disebabkan oleh anggapan yang salah (tabu) mengenai aktivitas seksual. Hambatan-hambatan yang menyebabkan ketidakpuasan seksual dapat meliputi hambatan psikologis, misalnya rasa takut dan cemas akan kehamilan, dan hambatan fisik, misalnya dalam bentuk kelainan seksual.

4.Masalah penyesuaian diri terhadap keluarga:

Latar belakang keluarga yang berbeda, cara bergaul, cita-citanya tentang rumah tangga, disiplin dalam rumah tangga, sikap mereka terhadap keluarga kedua belah pihak, tentang hubungan saudara ipar, dan lain-lain.

5. Masalah pengendalian keuangan:

Hasil survey para ahli menyatakan lebih 50 % perceraian disebabkan karena masalah keuangan dalam keluarga (Vivian: 2001, 118).

6.Masalah harapan-harapan:

Harapan-harapan mengenai soal keuangan, anak, cita-cita, masa depan, masalah seksual dan lain-lain dalam rumah(keluarga) yang dibina.

7.Kehidupan rohani (spritual life):

Keanggotaan gereja, doa dan kebaktian bersama, peran serta atau partisipasi dalam gereja, dan lain-lain.

   Kerinduan menciptakan pernikahan bahagia haruslah memerlukan upaya “merajut bersama”:
1. Cinta kasih.
2. Kesetiaan dan
3. Relasi yang baik di antara suami-isteri, terlebih kepada Tuhan, Sang Maha Kasih yang ilahi.

 1. Cinta Kasih dalam Pernikahan

   Kasih digunakan sebagai gambaran sifat Allah dan sebagai paradigma untuk hubungan yang ideal. Kasih adalah sebagai kekuatan yang menyatukan. Panggilan Allah terhadap manusia tidak mungkin dapat dilaksanakan dengan baik kalau manusia tidak merasakan kasih Allah dalam hidup mereka, atau mereka akan melaksanakan tanggung jawab itu dengan terpaksa. Pernikahan adalah salah satu anugerah Allah yang besar untuk dapat menghayati kasih itu. Kasih memegang peranan yang begitu penting dalam kehidupan seorang Kristen, baik secara umum maupun secara khusus dalam hubungan suami-isteri (Campell: 1990, 666).

       Berbicara tentang cinta-kasih, kita mengenal kasih agape. Agape berarti cinta yang tidak mementingkan diri sendiri, cinta rohani, cinta persaudaraan, kemurahan hati dan keharuan. Agape merupakan kasih yang berdasarkan pada hormat dan pengetahuan yang dalam akan ketuhanan-Nya termasuk pada perintah-perintah-Nya untuk manusia (Rottschafer: 1999, 706). Abineno menegaskan bahwa cinta agape adalah cinta yang murni. Allah adalah cinta murni, cinta yang dicurahkan (Rm. 5:5). Agape artinya berada untuk orang lain. Penulis kitab-kitab Perjanjian Baru menggunakan kata “agapan” untuk menyatakan bahwa Allah bukanlah Allah yang egois dalam cinta-Nya kepada orang-orang yang hidup bermusuhan dengan Dia. Cinta Allah tidak mencari apa yang menyenangkan, tetapi Ia membuat menjadi menyenangkan. Ia mencurahkan dan membagi-bagikan karunia-Nya tanpa syarat kepada orang-orang berdosa. Agape ialah cinta kepada seseorang yang tidak layak untuk dicintai. Agape ialah kemurahan, belas kasih yang sedalam-dalamnya (Abineno: 1983, 67-68).

          Dalam pernikahan suami-isteri hanya dapat menemukan kebahagiaan dalam pasangannnya kalau ia mau hidup untuk dia. Disinilah letak cinta-kasih (agape) dalam pernikahan. Agape juga berperan dalam hubungan seksual. Agape tidak dapat berfungsi sepenuhnya dalam hubungan suami-isteri kalau dalam hubungan itu sedikitpun tidak terdapat unsur erotic. Kekecewaan, konflik dan kesulitan lain yang merongrong banyak pernikahan sering disebabkan oleh eros yang tidak dipimpin, diatur dan dikekang oleh agape. Hanya cinta agape Allah yang dapat membebaskan kita dari cinta kita yang hanya berpusat pada diri dan kepentingan sendiri, serta mengajar kita untuk mencintai sesama manusia, juga kepada yang tidak mencintai atau memusuhi kita. Dalam hubungan suami-isteri kita dapat saling mengampuni dan mengandalkan cinta Allah. Dengan pengampunan (mengampuni seorang akan yang lain) pernikahan akan bisa rukun dan bahagia (Abineno: 1983, 71-73).

 2. Kesetiaan dalam Pernikahan

Richard Foster menuliskan bahwa pernikahan Kristen merupakan perjanjian. Sebuah perjanjian adalah ikrar, sebuah janji kasih dan kesetiaan. Sebuah perjanjian melibatkan kesinambungan dalam pengertian melihat ke masa depan dan menoleh ke belakang kepada sejarah bersama-sama. Sebuah perjanjian berarti keterlibatan, sebuah pengabdian kepada sebuah hubungan kasih dan perhatian yang kaya semakin bertumbuh (Foster, 155-156).

Gagasan pernikahan sebagai suatu covenant relationship (ikatan janji) juga didukung oleh pendapat Kartini Kartono yang mengatakan bahwa ikatan laki-laki dan perempuan dalam bentuk relasi suami-isteri itu sebenarnya merupakan ikatan janji kesetiaan cinta-kasih yang diikrarkan dalam janji nikah. Nikah merupakan manisfetasi ikatan janji setia di antara laki-laki dan perempuan yang memberikan batasan-batasan dan pertanggungjawaban tertentu, baik kepada sang suami maupun pada si isteri (Kartini: 1986, 18).

Prinsip fidelitas atau kesetiaan dalam pernikahan berarti tetap berusaha menjaga kesetiaan dan kekudusan pernikahan.

   Arti kesetiaan dalam pernikahan yang dimaksud sebagaimana ditulis lebih rinci oleh Richard Foster, adalah :
(a) Monogami.
(b) Sebuah janji seumur hidup untuk mengasihi dan setia.
(c) Saling merendahkan diri dalam dan takut akan Kristus.
(d) Pengendalian seksual di luar perjanjian pernikahan; dan
(e) Kebebasan seksual di dalam janji pernikahan (Foster, 156-162).

         Kesetiaan dalam pernikahan sangat menentukan untuk kebahagiaan dalam rumah tangga. Demikianlah Budyapranata menyimpulkan, bahwa maksud Allah dalam memberikan Hukum Taurat, khususnya hukum ketujuh (jangan engkau berzinah, Ulangan 20:14) adalah untuk melindungi kebahagiaan dan keutuhan keluarga dari hanya pelampiasan hawa nafsu (Budyaprana: 1987, 38). Orang Kristen dewasa ini harus melihat perintah tersebut sebagai suatu “penjaga” atas keberlangsungan ikatan pernikahan (Shelton: 1993, 39).

          Dasar dan teladan kesetiaan kita dalam pernikahan adalah Allah sendiri. Allah sebagaimana yang dinyatakan dalam Alkitab adalah Allah yang setia (I Kor. 1:9; Mzm.145:13). Paulus juga menyebutkan bahwa kesetiaan merupakan salah satu dari buah Roh (Gal.5:22). Oleh sebab itu kesetiaan harus dipertahankan, sebab kita memiliki Allah yang setia dan kita ingin hidup sesuai dengan keteladanan-Nya.

 3. Membangun Relasi yang Baik

Hidup adalah sebuah relasi. Hubungan yang baik menghasilkan suasana yang baik. Oleh sebab itu, sangat penting dibangun suatu relasi. Dalam pernikahan, masing-masing orang (suami atau isteri) berupaya supaya terbangun relasi yang baik dengan menjalin komunikasi yang baik setiap hari. Dasar dan pusat dari relasi ini adalah Yesus Kristus. Relasi yang baik antara suami-isteri selalu dapat diukur dengan bagaimana suami-isteri terhadap Tuhannya.

   Bila kita membuat suatu diagram “Segitiga Cinta” maka itu akan memperlihatkan bahwa suami dan isteri yang berupaya mendekat kepada Tuhan maka dengan sendirinya relasi merekap pun semakin dekat terhadap satu sama lain.
   Menambahkan dimensi rohani akan mengubah hubungan pernikahan menjadi ikatan rumah tangga yang kuat. Tanpa kesatuan rohani tidak akan pernah ada keutuhan pemahaman, komunikasi, ataupun seks (Nancy: 2006, 162). Tanpa campur tangan Tuhan dalam “membangun rumah tangga”, maka sia-sialah kita membangunnya (Mzm. 127:1).

   Pernikahan yang direncanakan Allah adalah pernikahan yang dilandasi cinta-kasih. Persekutuan cinta kasih ini harus selalu diperjuangkan supaya tetap menjadi suatu pernikahan yang ideal (sesuai dengan rancangan Allah) dan bahagia. Kebahagiaan pernikahan dapat terjadi apabila Kristus hadir sebagai pusat dari relasi pernikahan tersebut. Cinta-kasih, kesetiaan dan relasi yang baik antara suami-isteri terus dibangun dan dipertahankan dalam dan bersama Kristus
   Kiranya dengan pelajaran ini, kita akan senantiasa dapat memelihara pernikahan itu supaya tetap lestari, kokoh dan harmonis.

  Daftar Pustaka

- Abineno, JL.Ch. Pernikahan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983.
- Brister, C.W. Pastoral Care in The Church. New York: Harper Collins
  Publishers, 1992.
- Hadisubrata, M.S. Keluarga dalam Dunia Modern. Jakarta: BPK 
  Gunung Mulia, 2008.
- Patton, John. Pastoral Counseling: A Ministry of The Church . 
  Nashville, Abingdon Press, 1983.
- Pelt van Nancy, The Compleat Marriage (terj.) Bandung: Indonesia 
  Publishing House, 2006.
















Sabtu, 24 Agustus 2013

Hanya Oleh Darah Yesus.

Nats: Rom.3:23-26

Eksposisi Surat Roma.
   Bagaimana memahami arti dan makna Perjamuan Kudus merupakan hal yang sangat penting di dalam Gereja Protestan. Ini merupakan perdebatan sengit di dalam Gereja yang akhirnya menimbulkan salah satu alasan mengapa Gerakan Reformasi dari Luther, Calvin dan Zwingli melakukan perlawanan terhadap konsep yang ada di dalam gereja Katolik bicara mengenai perjamuan kudus. Gereja Katolik memegang konsep perjamuan kudus sebagai transubstansiasi, maksudnya adalah roti dan anggur yang kita makan dan minum di dalam perjamuan kudus berubah menjadi tubuh dan darah Yesus. Itu adalah ajaran di dalam gereja Katolik yang muncul di dalam perjalanan Gereja. Gerakan Reformasi oleh Luther, Calvin dan Zwingli menentang akan hal ini, walaupun konsep mereka sendiri masing-masing agak sedikit berbeda, nanti selanjutnya gereja Protestan lebih mengikuti konsep Zwingli bicara mengenai perjamuan kudus. Bagi gereja Protestan, Perjamuan Kudus adalah satu sakramen yang kita adakan sebagai peringatan akan kematian Kristus yang sudah terjadi 2000 tahun yang lalu. Roti yang kita makan dan anggur yang kita minum hanya menjadi lambang dari tubuh dan darah Kristus yang sudah dikorbankan sebagai penebusan yang sudah terjadi satu kali dan tidak perlu diulang-ulang karena khasiatnya berlaku kepada orang-orang sebelum Dia dan khasiatnya berlaku kepada kita yang ada sesudahnya. Reformasi mengatakan konsep transubstansiasi dari perjamuan kudus Katolik mengandung satu kebahayaan karena pada waktu setiap minggu perjamuan kudus diadakan mereka percaya betul-betul tubuh Kristus yang dipecahkan dan betul-betul itu darahNya kembali dicurahkan. Berarti setiap hari Minggu Kristus disalib dan dikorbankan lagi. Ini bertentangan dengan satu ayat yang penting di dalam Ibr.7:26-27 ”...hal itu sudah dilakukan satu kali untuk selama-lamanya ketika Dia mempersembahkan diriNya sebagai korban di atas kayu salib.” Penulis Ibrani mengatakan Yesus Kristus mati di kayu salib sebagai korban yang terjadi satu kali saja dan efek dari penebusan Kristus itu bersifat selama-lamanya.
Dengan demikian sdr bisa memahami Rom.3:25b dimana Paulus katakan ‘Allah menunjukkan keadilannya sekarang dengan cara Yesus mati di kayu salib dan bukan dahulu. Tetapi dulu Allah sabar membiarkan dosa-dosa itu berjalan terus, dan sekarang barulah keadilan Allah menghukum dosa itu nyata.’ Maksudnya adalah bukan Allah tidak menghukum dosa sebelumnya. Kita melihat di PL bangsa-bangsa yang melakukan dosa telah dihukum Allah. Tetapi maksud Paulus mengatakan’ Allah membiarkan dosa yang terjadi dahulu itu’ berarti sebenarnya korban di dalam PL sama sekali tidak bisa menghapuskan dan memuaskan keadilan Tuhan. Itu sebab nanti sampai di surat Ibrani terjadi argumentasi, kalau betul darah kambing yang disembelih itu bisa mengampuni dosa mengapa harus dilakukan berulang-ulang, tahun demi tahun? Itu membuktikan darah binatang yang dicurahkan sebagai penebusan dosa di atas mezbah itu tidak bisa menebus. Tetapi apakah dosa dari orang-orang di PL yang datang membawa kambing yang disembelih itu diampuni? Jawabnya: Ya. Sebagai apa? Penulis Ibrani mengatakan pengorbanan itu sebagai bayang-bayang. Di dalam PL darah binatang tidak bisa mengganti dosa manusia, karena prinsipnya orang berdosa satu-satunya cara untuk membereskan dosanya berlaku kalimat ini: upah dosa adalah maut. Jadi satu-satunya cara manusia beres dari dosanya, Alkitab bilang, adalah dengan kematian. Tuhan konsisten dengan prinsip ini pada waktu Dia melakukan perjanjian dengan Adam. Tuhan melarang Adam makan buah pengetahuan baik dan jahat karena pada waktu dia memakannya dia akan mati. Jadi maksud Paulus mengatakan di masa lalu Allah dengan sabar membiarkan dosa-dosa berlaku dalam pengertian bukan Dia tidak menghukum dosa tetapi pengampunan dosa dengan darah binatang di dalam PL sebenarnya tidak bisa memuaskan sifat keadilan Tuhan yang harus menghukum dosa. Waktu seseorang mempersembahkan seekor binatang, menyembelih dan mencurahkan darahnya di atas mezbah sebagai korban penghapus dosa dan memohon Tuhan mengampuni dosanya, Tuhan pada saat itu mengampuni dosanya dengan melihat “ke depan” (looking forward) kepada salib Kristus. Darah binatang yang dicurahkan di dalam PL menjadi perlambangan kepada darah Kristus, karena hanya darah Kristus satu-satunya yang sanggup membereskan relasi keberdosaan manusia kepada Allah yang mengasihi dia. Tindakan pengorbanan binatang ini dilakukan berulang-ulang untuk menjadi bayang-bayang kegenapannya nanti di dalam pengorbanan Kristus, sama seperti kita sekarang memohon ampun kepada Tuhan tidak perlu lagi datang membawa kambing ke atas mezbah. Di dalam Perjamuan Kudus ketika kita menerima roti dan anggur, ini adalah satu pengakuan kita bahwa Tuhan sudah mati dan menebus dosa kita. Maka kita diselamatkan oleh Tuhan bersifat “looking back” kepada salib Kristus. Di dalam PL orang belum kenal Tuhan Yesus, apakah mereka diselamatkan dengan cara lain? Jawabannya, tidak. Mereka diselamatkan dengan cara yang sama seperti kita yaitu hanya melalui penebusan di dalam Yesus Kristus. Mereka dengan taat melakukan cara yang diperintahkan Tuhan, menyembelih binatang dan membawanya ke atas mezbah dengan mengerti bahwa someday Tuhan akan menebus dosa mereka. Dalam Ibr.11:13 dikatakan orang-orang di PL dari jauh melihat melambai-lambai kepada salib Kristus. Jadi Abraham beriman kepada siapa? Kepada janji Yesus Kristus. Musa beriman kepada siapa? Kepada Yesus Kristus. Bagaimana mungkin mereka beriman kepada Yesus Kristus padahal Yesus belum datang? Pada waktu mereka menyembelih binatang, itu seperti mereka melihat ke depan, kepada janji Tuhan yang melambai dari jauh dan mereka mengakuinya. Maka Paulus bilang ‘Tuhan sabar’ maksudnya adalah semua cara di dalam PL hanyalah bayang-bayang, tunggu sampai kematian Kristus tergenapi barulah penebusan itu final.
Mengapa penebusan dengan darah Kristus merupakan satu-satunya cara yang menjadi jalan perdamaian antara Allah dan manusia? Sdr dan saya sekarang memiliki kebenaran Tuhan: hanya melalui iman kita datang kepada Kristus, tanpa melakukan apa-apa lagi dari pihak manusia. Keselamatan itu kita terima dengan cuma-cuma karena penebusan Kristus sudah menyelesaikan semua persyaratan itu melalui pencurahan darah Kristus di atas kayu salib.
    Waktu Yesus mati di kayu salib ada dua kebenaran keselamatan yang penting terjadi. Yang pertama, Yesus mati di atas kayu salib membayar hutang dosa kita yang adalah kematian. Maka di sini Rom.3:25 Paulus mengatakan, “Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian oleh darahNya…” Yesus membayar hutang dosa kita dengan kematianNya sehingga engkau dan saya tidak perlu mati dan tidak membayar hutang dosa dengan kematian kita. Kristus sudah mati di kayu salib mengganti engkau dan saya. Ini yang Alkitab sebut sebagai “ransom.” Yesus berkata, “Aku datang untuk menjadi tebusan bagi banyak orang.” Yang kedua, kita bukan saja berhutang hidup kepada Tuhan, tetapi kita berdosa berarti kita melanggar kesucian dan keadilan Tuhan. Bagaimana kita bisa meredakan murka Allah dan memuaskan sifat keadilan Allah? Siapa yang bisa menggantikan saya menghadapi murka Allah? Itu sebab mengapa bukan manusia biasa yang boleh menggantikan kita di atas kayu salib. Dia harus sekaligus manusia, sekaligus Allah.
Penulis Ibrani mengatakan di dalam Ibr.7:16 bahwa hidup Yesus Kristus adalah ”...hidup yang tidak dapat binasa” atau dalam bahasa matematis itu adalah “hidup yang tidak terhingga.” Angka “tak terhingga” dikurang dengan 100 milyar tetap hasilnya “tak terhingga,” bukan? Maka mengapa Yesus Kristus bisa menebus engkau dan saya? Sebab Dia datang menjadi manusia, Dia berhak menggantikan engkau dan saya melalui kematianNya. Tetapi bagaimana bisa kematian satu orang bisa menjadikan penebusan itu mampu mengganti sebanyak-banyaknya manusia? Karena Dia memiliki hidup yang tak terhingga. Kematian Yesus Kristus membereskan dua hal yang penting. Pertama, mengampuni dosamu dan dosaku. Yang kedua, murka Allah yang suci dan adil tidak mungkin bisa diganti dengan sesuatu yang bersifat terbatas sebab Allah itu adalah Allah yang tidak terbatas, yang di dalam keadilan dan murkaNya tidak ada manusia yang bisa mengganti pas. Yang tidak terbatas hanya bisa diselesaikan oleh yang tidak terbatas juga.
Hari ini saya memberikan beberapa point yang penting di dalam keselamatan Yesus Kristus. Pertama, di dalam bahasa teologi ada dua hal yang Dia lakukan yaitu “Propitiation” dan “Redemption.” Propitiation berarti kematian Kristus telah memuaskan sifat keadilan dan murka Allah. Redemption berarti Yesus Kristus mengganti kita dengan harga yang lunas menebus kita. Ini dua hal yang penting yang kemudian menghasilkan “Justification” dan “Reconciliation.”
Di dalam Justification, orang yang datang menerima keselamatan di dalam Kristus dibenarkan di hadapan Allah. Gambarannya seperti seseorang yang berada di pengadilan dan dituduh telah melakukan kesalahan dan hutang yang tidak bisa kita bayar. Karena itu kita harus menerima hukuman atas kesalahan dan hutang itu. Tetapi kemudian Kristus maju dan mengganti semua hutang dan kesalahan kita dengan lunas. Maka kita kemudian dibenarkan dan tidak lagi harus dihukum. Status kita menjadi ‘benar.’ Tetapi ini tidak berarti hidup kita menjadi benar. Sdr lihat perbedaannya? Secara status di hadapan Allah kita sekarang adalah orang benar, tetapi hidup kita di dalam dunia ini masih penuh dengan cacat cela. Setelah menerima “Justification” melalui Kristus, engkau dan saya hidup di dalam dunia mengalami “Sanctification” yaitu hidup kita dikuduskan. Proses kita melawan dosa hari demi hari itulah proses pengudusan. Sehingga kepada jemaat di Korintus yang hidup begitu brengsek dan amoral, Paulus tetap menyebut mereka “orang-orang kudus di Korintus” mengacu kepada status mereka yang telah dibenarkan di hadapan Allah sebagai orang percaya kepada Kristus.
Reconciliation yaitu hubungan kita dengan Allah adalah hubungan yang telah diperdamaikan. Pada waktu Yesus di atas kayu salib berteriak “Sudah selesai,” maka pada saat yang sama tirai di Bait Allah yang memisahkan ruang suci dan maha suci terbelah dua, tidak ada lagi penghalang antara Allah dan manusia. Maka engkau dan saya bisa memanggil Allah Pencipta dengan sebutan “Bapa.” Engkau dan saya kapan saja bisa datang berdoa dengan keberanian sebab Allah yang suci itu bisa menerima kita melalui Kristus yang sudah membereskan hubungan kita dengan Allah.
Itu semua menjadi keindahan dari penebusan Kristus.
Kata “Kristus Yesus telah ditentukan Allah…” berarti dua belah pihak berinisiatif dan sama-sama ingin melakukan penebusan bagi manusia. Maka jangan berpikir bahwa tindakan penebusan itu hanya keinginan Kristus dan bukan keinginan Allah Bapa juga. Tidak ada indikasi Allah Bapa tidak ingin kita tidak selamat. Di dalam surat Ibrani dikatakan Yesus berinisiatif menjadikan diriNya sebagai korban penebusan bagi engkau dan saya. Tetapi di bagian Alkitab yang lain sdr bisa melihat Allah Bapa juga berinisiatif menjadikan Kristus sebagai korban bagi engkau dan saya.
Paulus dalam Rom.3:24-25 memakai dua kata yang penting yang kemudian menjadi lambang dari Reformasi yaitu “sola fide” dan “sola gratia.” Paulus ingin menekankan terutama bagi orang Yahudi yang mengira dengan berbuat baik dia bisa masuk ke surga. Tidak ada satu orangpun yang bisa selamat dengan melakukan perbuatan baik, kecuali hanya melalui penebusan Yesus Kristus yang kita terima dengan cuma-cuma, dengan gratis. Kita hanya datang kepada Dia dengan beriman, dengan percaya, dengan rendah hati terima. Orang Yahudi mengalami kesulitan menerima konsep keselamatan itu dengan cuma-cuma, hanya melalui iman. Buat orang non Yahudi, orang kafir, yang hidupnya begitu jahat dan tidak bermoral, ketika ditawarkan keselamatan yang cuma-cuma dari Tuhan, dia akan dengan rendah hati menerimanya. Tetapi bagi orang Yahudi yang merasa diri orang baik lalu semua kebaikannya tidak dianggap layak mungkin hati mereka lebih sulit menerima hal ini. Maka di pasal 4 nanti Paulus akan secara spesifik menegur kesulitan orang Yahudi menerima konsep keselamatan ini.
Dietrich Bonhoeffer menulis buku “The Cost of Discipleship” menulis satu kalimat di awal bukunya “A cheap grace is a grace without cross.” Anugerah yang murah adalah anugerah yang dimengerti tanpa salib. Anugerah penebusan Kristus adalah kita peroleh dengan cuma-cuma tetapi tidak boleh dimengerti sebagai barang murahan.
Heran sekali, ada orang punya anjing herder ras murni melahirkan 5 anak, lalu taruh iklan di depan rumahnya “Silakan ambil, anak anjing herder, gratis.” Tidak ada yang mau ambil. Tetapi kalau masukkan iklan di koran “Anak anjing herder $100/each” langsung orang berebutan untuk beli. Ada orang di dunia ini kalau ditawarin barang gratis langsung ambil padahal belum tentu dipakai atau tidak. Ada orang kalau ditawarin barang gratis malah curiga.
Itu sebab tidak gampang bagi manusia menerima konsep keselamatan yang Tuhan berikan secara cuma-cuma karena manusia bertendensi mau melakukan sesuatu sebagai jasa di hadapan Tuhan ketimbang mereka menerima dengan rendah hati apa yang Tuhan lakukan kepada mereka. Yesus pernah memberikan ilustrasi tentang seorang yang mencari orang untuk bekerja di ladang anggurnya. Orang-orang ini sedang menanti pekerjaan untuk memberi makan anak isterinya. Ketika pada jam 6 pagi pemilik ladang memilih beberapa orang dari mereka untuk bekerja di ladangnya dengan upah satu dinar, sdr bisa bayangkan betapa senangnya mereka karena berarti sudah secure mereka bisa pulang memberi makan keluarga. Kemudian jam 9, jam 12, jam 3 satu demi satu pemilik ladang memanggil orang-orang yang menganggur untuk bekerja di ladangnya. Saya percaya orang-orang itu sangat bersyukur mendapat kesempatan untuk bekerja. Ketika jam 5 sore pemilik ladang melihat masih ada yang belum bekerja, pasti orang itu sudah lemas tidak ada harapan ada orang mau sewa tenaga mereka. Bayangkan betapa senangnya mereka waktu dipanggil pemilik ladang untuk bekerja di ladang anggurnya. Jam 6 sore, pemilik ladang membayar upah orang yang bekerja dari jam 5, satu dinar. Kemudian yang bekerja jam 3, jam 12 dan jam 9, semua mendapat upah satu dinar. Tetapi waktu yang bekerja sejak jam 6 menerima upah yang sama, mereka bersungut-sungut. Kenapa? Karena merasa mereka diperlakukan tidak adil oleh pemilik ladang ini.
Sekarang mari saya ajak sdr melihat dari sisi lain. Ada 2 hal yang diperlihatkan dari cerita ini. Yang pertama, semua orang-orang itu bisa bekerja di ladang anggur karena ada pemilik ladang yang berbelas kasihan kepada mereka. Tetapi yang menjadi persoalan, yang bekerja sejak jam 6 merasa telah bekerja lebih berat, membawa bakul lebih banyak, lebih berkeringat dibanding dengan orang-orang lain yang datang belakangan. Mungkin mereka bersungut-sungut, ‘Kalau tahu begitu, lebih enak kerja jam lima.’ Tunggu dulu, belum tentu dia mendapat pekerjaan itu. Yang kedua, mari kita bayangkan yang bekerja mulai jam 6 pagi dibanding dengan yang mulai kerja jam 5 sore, siapa dapat hasil lebih banyak? Yang bekerja sejak pagi, bukan? Kalau dia bisa melihat hal itu bukan sebagai pahalanya tetapi sebagai kesempatan dia bisa bekerja lebih banyak buat Tuhan, bukankah dia lebih bahagia daripada mereka yang dipanggil lebih belakangan? Tetapi dia akhirnya bersungut-sungut karena melihat apa yang dia kerjakan sebagai jasanya.
Tuhan memberi keselamatan itu dengan cuma-cuma. Waktu kita menerimanya dan ambil bagian melayani Tuhan, lihatlah itu sebagai anugerah dan kesempatan yang Tuhan beri, kita tidak akan kehilangan sukacita pelayanan setiap kali kita ingat segala sesuatu di dalam hidup kita semata-mata karena anugerah Tuhan.
Hari ini mari kita menerima perjamuan kudus, mengingat apa yang sudah Tuhan Yesus kerjakan di atas kayu salib, terima dengan sukacita, terima dengan iman. Tidak ada kebaikan yang bisa kita bawa di hadapan Tuhan, kecuali kita menerima Dia mengampuni segala dosa kita melalui kayu salib dan di situ kita boleh dibenarkan dan hidup bagi Dia. Semua hutang dosa kita telah dibayar dengan lunas dan selesai oleh Tuhan Yesus Kristus. Dia menebus dosa kita sehingga kita tidak lagi binasa. Dengan roti dan anggur yang kita terima, kita mengingat dengan gentar ini sebagai lambang kematian Tuhan yang menggantikan kita. Biar sampai akhir hidup kita jalani dengan sukacita, sebagai orang yang sudah ditebus dan dibenarkan oleh Tuhan. Jangan sampai ada dosa menyelinap di dalam hidup kita, yang menimbulkan rasa bersalah kepada Tuhan. Kita akui segala kelemahan dan dosa kita kepadaNya sehingga dengan sukacita kita tidak lagi terhalang untuk datang kepada Tuhan karena kita menerima segala pengampunan yang Tuhan beri dengan murah hati kepada setiap orang yang memintanya.(hms)

Persiapan Untuk Perjamuan Kudus.

   ”Tuhan semesta alam akan menyediakan di gunung Sion ini bagi segala bangsa-bangsa suatu perjamuan dengan masakan yang bergemuk, suatu perjamuan dengan anggur yang tua benar, masakan yang bergemuk dan bersumsum, anggur yang tua yang disaring endapannya. Dan di atas gunung ini Tuhan akan mengoyakkan kain perkabungan yang diselubungkan kepada segala suku bangsa dan tudung yang ditudungkan kepada segala bangsa-bangsa. Ia akan meniadakan maut untuk seterusnya; dan Tuhan ALLAH akan menghapuskan air mata dari pada segala muka; dan aib umat-Nya akan dijauhkan-Nya dari seluruh bumi, sebab Tuhan telah mengatakannya.” (Yesaya 25:6-8)

Mari kita simak dengan cermat beberapa kata kerja yang dipakai di sini!

Pertama: menyediakan. Allah adalah Pribadi yang menyediakan. Dan ini selaras dengan kenyataan bahwa Allah adalah Tuhan semesta Allah. Artinya, Dialah yang menjadi penguasa semesta alam. Janganlah kita lupa bahwa Allah adalah Pencipta langit dan Bumi.
Penulis Kitab Kejadian pada awal kitabnya memperkenalkan Allah sebagai Pribadi yang menciptakan langit dan bumi. Votum dalam ibadah di gereja pun pun menyatakan hal yang sama: ”Pertolongan kita adalah dalam nama Tuhan, yang menciptakan langit dan bumi.” Dan karena Dia adalah pencipta langit dan bumi, maka semesta alam adalah milik-Nya. Dan karena alam semesta adalah milik-Nya, maka tak sukar baginya menyediakan segala sesuatu.
Hanya pemiliklah yang sanggup, dan mungkin, menyediakan. Kalau bukan pemilik tetapi berani menyediakan, itu namanya penyerobotan Tegasnya, hanya pencuri dan perampoklah yang berani, atau mampu, menyediakan yang bukan miliknya. Dan ini sekali lagi merupakan suatu hal yang aneh.
Bicara soal perjamuan, memang tak beda dengan pesta. Semua serba terbaik. Perhatikan: suatu perjamuan dengan masakan yang bergemuk, suatu perjamuan dengan anggur yang tua benar, masakan yang bergemuk dan bersumsum, anggur yang tua yang disaring endapannya. Pokok yang hendak dikemukakan di sini ialah kemewahan dan kelimpahan. Arti dari kelimpahan di sini ialah setiap orang yang mengikuti perjamuan itu puas. Tidak ada yang kekurangan. Semua serbakebagian. Kebagian karena Allah sendirilah yang menyediakannya.

Kedua: bagi segala bangsa. Perjamuan tersebut dialamatkan untuk semua orang. Tak ada diskriminasi. Semua bangsa akan mendapatkan bagian yang sama. Allah menyiapkan perjamuan itu untuk segala bangsa karena semua orang, apa pun sukunya, adalah umat-Nya. Dalam pengertian bahwa semua orang adalah ciptaan Tuhan. Agak aneh rasanya, jika ciptaan Tuhan tidak mengakui diri sebagai umat Allah. Tetapi, sekali lagi, memang di sini masalahnya: maukah segala bangsa itu mengaku diri sebagai umat Allah?
Di sini kita menyaksikan sebuah paradoksal. Di satu sisi kasih Allah bersifat universal—untuk semua orang. Namun, di sisi lain, kasih itu ternyata bukan kasih buta. Kasih Allah adalah kasih yang menuntut respons dari manusia. Sekali lagi, semua orang diundang mengikuti perjamuan Tuhan. Tetapi tentunya, para undangan tersebut harus menanggapi undangan itu dengan sebaik-baiknya! Kalau tidak, ya aneh!

Ketiga: mengoyakkan. Tuhan adalah Pribadi yang mengoyakkan selubung perkabungan manusia. Di sini Allah diperkenalkan sebagai Allah yang menghapuskan penderitaan manusia. Kata koyak di sini mengingatkan saya pada peristiwa koyaknya tirai Bait Allah menjadi dua pada waktu Yesus mati disalib. Dan Allahlah yang mengoyakkannya. Allahlah yang menghapuskan penderitaan itu.
Mengapa saya menyinggung peristiwa penyaliban Kristus di sini? Pada awalnya penderitaan manusia memang terjadi tatkala manusia dengan kehendaknya sendiri merasa perlu menjauhi Allah. Penderitaan manusia pertama kali terjadi ketika manusia dengan kesadaran sendiri memutuskan persekutuannya dengan Tuhan. Dan itulah yang dikemukakan dengan jelas pada Kitab Kejadian.
Pada mulanya Allah menciptakan segala sesuatu dengan sungguh amat baik. Semua serbaharmonis. Penulis kitab Kejadian dengan jelas menjelaskan bagaimana manusia bekerja di Taman Eden itu dengan sungguh amat baik. Tetapi, tatkala manusia dengan sengaja memutuskan hubungan dengan Allah—dengan makan buah pengetahuan yang baik dan yang jahat—pada saat itu jugalah hubungan yang harmonis itu jadi berantakan.
Bukti-bukti ketakharmonisan itu dapat disebut di sini. Pertama, manusia takut bertemu dengan Allah. Perasaan takut manusia berawal di sini. Pertemuan dengan Allah tidak dipandang sebagai peristiwa yang menyenangkan, tetapi malah menakutkan. Manusia takut dihukum. Sekali lagi, manusia merasa salah.
Kedua, manusia tak lagi mampu bersikap harmonis terhadap sesamanya. Ingat: Adam menyalahkan Hawa, Hawa menyalahkan ular. Saling menyalahkan. Saling mencari kambing hitam. Pencarian kambing hitam menjadi bukti bahwa hubungan manusia tak lagi baik dengan sesamanya. Tak lagi harmonis. Yang ada: saya benar, kamu salah; saya nomor satu, kamu nomor sekian; saya di atas, kamu di bawah.

   Ketiga, manusia tak lagi mampu bersikap harmonis dengan dirinya sendiri. Baiklah kembali kita mengingat kisah manusia sebelum kejatuhan: manusia telanjang tetapi tidak merasa malu. Artinya di sini ialah bahwa manusia mampu bersikap telanjang, terbuka, dan mampu menerima diri apa adanya. Tetapi, sewaktu manusia jatuh ke dalam dosa, manusia menjadi malu. Dia tidak lagi mampu menerima baik kelemahan dan kekuatan dirinya dengan wajar. Manusia tidak mampu menerima kelemahan dirinya, dan merasa takut kalau kelemahannya itu diketahui oleh pihak lain. Sehingga dia merasa malu ketika menyadari keadaan dirinya yang telanjang.
 
   Keempat, manusia dan bumi tak lagi bersahabat. Manusia harus berpeluh untuk mendapatkan makanannya. Dan bumi hanya mengeluarkan onak duri. Manusia tak lagi mengelola bumi, tetapi mengeksploitasi bumi. Sampai kini manusia dan bumi tak lagi bersahabat. Kalau kita masih buah sampah sembarangan, pada titik itulah kita masih belum bersahabat dengan bumi. Sebab, kita memandang bumi sebagai tempat sampah!
Dan Allah, melalui peristiwa penyaliban, telah menjadikan manusia sebagai sahabat. Allah telah memulihkan hubungan antara diri-Nya dan manusia. Dan karena itulah manusia yang hidup dalam penyelamatan Allah itu dapat kembali hidup harmonis dengan dirinya sendiri, manusia lain, alam. Hanya dengan beginilah penderitaan manusia akan hilang. Allah telah mengoyakkan kain perkabungan.

Keempat: meniadakan maut. Peristiwa salib menyatakan dengan jelas bahwa Allah telah meniadakan maut untuk selamanya; dan dengan itulah Allah menghapuskan air mata dari mata manusia. Itu jugalah kesaksian iman Paulus: "Maut telah ditelan dalam kemenangan. Hai maut di manakah kemenanganmu? Hai maut, di manakah sengatmu?" (I Kor. 15:54-55). Dan itu hanya mungkin terjadi dalam diri Yesus Kristus, yang menanggung dosa umat manusia.
Hari ini kita mengadakan persiapan Perjamuan Kudus. Perjamuan Kudus merupakan sarana pemeliharaan iman. Dalam Perjamuan Kudus kita mengingat dan diingatkan kembali bahwa penyelamatan Allah telah berlangsung dalam diri Yesus Kristus. Dan itulah yang diwartakan dalam pekabaran Injil. Inti Pekabaran Injil ialah mewartakan kembali kepada dunia bahwa penyelamatan telah telah terjadi dalam diri Yesus Kristus: Allah yang menjadi manusia.
Dalam diri Yesus Kristus kata salam, selamat, syalom, damai, sancti, sancai, bukan lagi utopia. Bukan lagi mimpi. Saya dan saudara dipanggil pula untuk hidup dalam penyelamatan Allah itu dan menyatakan penyelamatan Allah itu kepada orang lain. Sehingga semakin banyak orang yang merasakan damai sejahtera yang dari Allah itu.
Sehingga tergenapilah nubuat Yesaya: ”Di Bukit Sion, Tuhan Yang Mahakuasa akan menyiapkan perjamuan untuk semua bangsa di dunia. Ia menghidangkan makanan yang paling lezat dan anggur yang terpilih. Di atas bukit itu Ia akan menyingkapkan awan kesedihan yang menyelubungi bangsa-bangsa. Tuhan Yang Mahakuasa akan membinasakan maut untuk selama-lamanya! Ia akan menghapus air mata dari setiap wajah, dan menjauhkan kehinaan yang ditanggung umat-Nya di seluruh bumi. Tuhan sudah berbicara, dan hal itu pasti terjadi.” (BIMK).
Amin.

Senin, 19 Agustus 2013

Bersekutu Didalam Kristus.

"PERSATUAN: PENGIKAT KEBANGUNAN ROHANI"

PENDAHULUAN

   Persatuan, isu bangsa dan gereja.

   Setiap tanggal 17 Agustus tiap tahun , kita rakyat Indonesia merayakan hari peringatan terpenting dalam sejarah bangsa dan negara kita,  yakni sebagai  Hari Kemerdekaan Republik Indonesia . Perjuangan para pemimpin bangsa dan pendiri negara menjelang dan di awal kemerdekaan bukan saja melawan penjajah tapi juga menghadapi tantangan persatuan di antara sesama bangsa Indonesia. Sebagai satu bangsa yang majemuk dengan jumlah penduduk lebih dari 242 juta orang, terdiri atas lebih dari 300 kelompok etnik dan beratus-ratus suku bangsa (suku Papua: 466; suku Dayak: 268; suku Batak: 8; suku Minahasa: 8), hidup di wilayah luas yang memiliki 17.508 pulau, terbagi atas 34 propinsi, dengan sedikitnya 6 aliran agama, hingga sekarang pun persatuan tetap menjadi isu sangat penting dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Itulah sebabnya kita masih melihat Pancasila sebagai dasar negara yang tetap relevan, khususnya dalam hal ini adalah sila ketiga: Persatuan Indonesia.

    Sebagai gereja, persatuan bahkan menjadi isu yang lebih pokok lagi, terutama ketika Gereja menjadi pergerakan global yang menghimpun berbagai bangsa dan negara di dunia untuk bergabung dalam persekutuan dengan darah dan tubuh Kristus (1Kor. 10:16), oleh karena kita "semua adalah tubuh Kristus" (1Kor. 12:27). Itulah sebabnya ketika berdoa untuk murid-murid-Nya sepanjang zaman, Yesus memohon kepada Bapa surgawi: "Aku berdoa untuk mereka. Bukan untuk dunia Aku berdoa, tetapi untuk mereka, yang telah Engkau berikan kepada-Ku, sebab mereka adalah milik-Mu...Ya Bapa yang kudus, peliharalah mereka dalam nama-Mu, yaitu nama-Mu yang telah Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita" (Yoh. 17:9, 11; huruf miring ditambahkan).

    "Persatuan adalah unsur penting dari kebangunan rohani. Pertentangan, perpecahan, dan pertikaian tidak menciptakan suatu lingkungan untuk memelihara kebangunan rohani...Pendeknya, di mana tidak ada persatuan, tidak mungkin ada kebangunan rohani. Di mana kecemburuan, iri hati, dan dorongan untuk supremasi kekuasaan, kuasa Roh Kudus tertahan. Karena itu alangkah pentingnya kita untuk belajar bagaimana meruntuhkan tembok-tembok pemisah yang terkadang memisahkan kita untuk dapat masuk ke dalam persatuan yang Kristus usahakan bagi jemaat-Nya" [alinea pertama: dua kalimat pertama; alinea kedua].

   Kita telah membahas yang lalu tentang makna Gereja di dalam PB. Sebagai satu umat, "Gereja" adalah ἐκκλησία, ekklēsia, yaitu "dipanggil keluar" dari dunia ini (Rm. 9:24-26; 1Kor. 1:2). Sebagai satu tubuh, yaitu tubuh Kristus, "Gereja" ialah κοινωνία, koinōnia, yakni "dipanggil untuk bersekutu" dalam peribadatan (1Kor. 12:13, 27; Kol. 3:15; Kis. 2:42-47). Jadi, pada hakikatnya "Gereja" ialah "orang-orang yang dipanggil dari dunia ini ke dalam persekutuan sebagai tubuh Kristus."

   Pena inspirasi menulis: "Camkanlah, semua harus bersatu sebagai bagian dari sebuah mesin yang besar. Gereja Tuhan terdiri atas wakil-wakil-Nya yang hidup dan bekerja yang memperoleh kuasa untuk tindakan mereka dari Pencipta dan Penyempurna iman mereka. Pekerjaan besar yang dibebankan kepada para pekerja Allah secara perorangan itu harus dijalankan dalam keselarasan yang simetris...Umat Allah tidak boleh berada dalam kekacauan, kekurangan ketertiban, keselarasan, konsistensi, dan keelokan. Tuhan sangat dipermalukan apabila persatuan tidak terdapat di antara umat-Nya" (Ellen G. White, Manuscript Releases, jld. 2, hlm. 341-342).

1. JEMAAT YANG SEHATI DAN SEJIWA (Menjawab Doa Kristus Bagi Persatuan)

    Doa pengantaraan Kristus. Yohanes pasal 17 adalah doa pengantaraan atau doa syafaat (Grika: ἔντευξις, enteuxis; Inggris: intercessory prayer) paling penting yang Yesus pernah doakan, dilayangkan pada minggu terakhir hidup-Nya di atas bumi ini yang oleh dunia Kristen lazim disebut "Doa Agung Kristus." Yesus memulai doa ini dengan berseru, "Bapa, telah tiba saatnya..." (ay. 1). "Saat" yang Ia maksudkan di sini adalah kematian-Nya di atas salib yang akan memuncaki missi-Nya di dunia ini sebelum kembali ke surga, sebagaimana yang Yesus sering sebutkan sebelumnya (Yoh. 7:30; 8:20; 13:1). Doa syafaat biasanya merupakan doa yang dilayangkan oleh seorang imam besar ketika dia mewakili satu umat untuk berdoa kepada Allah. Tatkala Yesus Kristus berdiri menengadah ke langit lalu berdoa bagi murid-murid dan para pengikut-Nya sepanjang zaman, Dia menempatkan Diri-Nya di antara Jemaat-Nya dengan Bapa-Nya, sebuah posisi yang terus dijalankan-Nya sekarang ini di surga hingga menjelang hari kedatangan-Nya kembali ke dunia untuk menjemput umat-Nya.

    Setidaknya ada lima hal yang didoakan Yesus dalam doa syafaat-Nya sebagaimana tercatat dalam pasal ke-17 dari kitab Yohanes ini. Berturut-turut Yesus memohon kepada Bapa agar dikaruniai hal-hal berikut: Kemuliaan bagi Diri-Nya (ay. 1, 5); Pemeliharaan umat-Nya (ay. 11, 15); Pengudusan umat-Nya (ay. 17); Persatuan umat-Nya (ay. 11, 21, 22, 23); dan Keselamatan umat-Nya dalam kerajaan surga (ay. 24). Dalam pembahasan kita saat ini, penulis pelajaran menekankan hal yang keempat dari doa syafaat Yesus ini, yakni persatuan. Allah menjawab doa ini dengan menumbuhkan rasa persatuan di antara jemaat sepeninggal Yesus, di mana mereka itu menjadi "sehati dan sejiwa" sehingga "mereka semua hidup dalam kasih karunia yang melimpah-limpah" (Kis. 4:32-33).

    Persatuan (unity) tidak sama dengan keseragaman (uniformity). Dalam persatuan, keanekaragaman itu adalah suatu keindahan; dalam keseragaman, keanekaragaman itu justeru merusak keindahan. Persatuan sejati justeru ditentukan oleh adanya perbedaan-perbedaan, bahkan keanekaragaman menjadi ciri utama dari sebuah persatuan sejati. "'Kesatuan,' atau persatuan, murid-murid itu menyiapkan hati mereka untuk menerima kepenuhan kuasa Roh Kudus. Doa Kristus bagi jemaat-Nya digenapi. Mereka melepaskan perbedaan-perbedaan mereka. Kasih yang menang. Perselisihan dihalaukan" [alinea kedua].

 Dahsyatnya persatuan.

   Sebagai satu Gereja, keanekaragaman atau perbedaan bukan saja tak dapat dihindari tetapi malah dibutuhkan. Ketika menggambarkan tentang Gereja, dalam 1Korintus pasal 12, rasul Paulus menyebut perbedaan-perbedaan itu sebagai "'rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh" (ay. 4), dan "rupa-rupa pelayanan, tetapi satu Tuhan" (ay. 5). Gereja sebagai "tubuh Kristus" harus terdiri atas berbagai anggota tubuh dengan berupa-rupa fungsi yang berbeda. Dapatkah anda bayangkan kalau tubuh manusia itu semua bagiannya adalah kaki, atau tangan, atau mata, atau hidung, atau telinga, dan seterusnya? Sebagai gereja atau jemaat, keanekaragaman itu tidak berlawanan dengan kesatuan tetapi justeru memperkaya persatuan.

     Dalam pelayanan murid-murid dan para pengikut Yesus di tahun-tahun permulaan berdirinya "gereja" di Yerusalem, persatuan di antara mereka bukan saja menumbuhkan kekuatan hubungan di antara mereka tapi juga melahirkan kuasa dalam usaha penginjilan sebagaimana tercatat dalam Kisah Para Rasul pasal 4. Petrus dan kawan-kawan, dengan dukungan jemaat yang bersatu, menjadi semakin berani untuk menghadapi otoritas agama Yahudi yang hendak membungkam mereka. Terhadap larangan untuk menginjil, Petrus dan Yohanes menanggapinya dengan ketus: "Silakan kamu putuskan sendiri manakah yang benar di hadapan Allah: taat kepada kamu atau taat kepada Allah. Sebab tidak mungkin bagi kami untuk tidak berkata-kata tentang apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar" (ay. 19-20).

    "Dalam situasi abad pertama Yerusalem yang penuh tantangan ketika Kekristenan tidak populer, orang-orang Kristen yang berkomitmen ini saling berbagi sumberdaya mereka. Mereka mendukung satu sama lain. Mereka menyisihkan ambisi-ambisi pribadi mereka. Sikap tidak mementingkan diri dan roh kedermawanan mereka menyiapkan mereka untuk menerima kepenuhan kuasa Roh Kudus untuk bersaksi" [alinea keempat: empat kalimat terakhir].

 Apa yang kita pelajari tentang hasil dari doa syafaat Yesus bagi persatuan jemaat?

1. Dalam Yohanes 17, Yesus menyejajarkan "kemuliaan" diri-Nya dengan "persatuan" jemaat-Nya ketika Ia menyebutkan kedua hal itu dalam doa syafaat. Allah memenuhi kedua permohonan itu ketika Yesus dimuliakan di atas bukit (Mat. 17:1-5) dan murid-murid bersatu padu (Kis. 4:31-33).

2. Kesatuan gereja (secara global) atau jemaat (secara lokal) adalah sebuah "harga mati" untuk mendapatkan kuasa dan karunia Roh. Persatuan di antara para pengikut Kristus melambangkan kesatuan Yesus dengan Bapa, dan menjadi sebagai legitimasi "agar dunia tahu" bahwa mereka dikasihi Allah (Yoh. 17:21-23).

3. Persatuan gereja maupun jemaat adalah kerinduan Yesus sejak permulaan bahkan hingga sekarang ini. Musuh utama bagi persatuan di jemaat bukan perbedaan kebangsaan, ras, suku, status sosial, ataupun perbedaan pendapat dan gagasan. Musuh terbesar dari persatuan jemaat adalah egoisme dan egosentris.

2. MEMAKNAI PERSATUAN (Pelbagai Ilustrasi tentang Persatuan dalam Perjanjian Baru)

   Revolusi sosial.

   Lahirnya "Gereja" yang mengajarkan tentang persamaan dan kesetaraan, di tengah masyarakat abad permulaan yang terkotak-kotak menurut latar belakang sosial-ekonomi dan derajat kebangsaan, pada tingkatan tertentu merupakan ancaman terhadap tatanan sosial yang sarat dengan prasangka politik dan ras. Yesus memang datang ke dunia yang terpolarisasi, bahkan di antara orang Yahudi sendiri yang berada di bawah penjajahan bangsa Romawi terdapat kubu-kubu yang bertikai. Doktrin Yesus yang dipaparkan-Nya sendiri dalam Khotbah Di Atas Bukit (Matius 5), termasuk ajaran "Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu" (ay. 39), di mata para pemuka dan golongan militan Yahudi itu adalah sesuatu yang kontra-revolusioner dan membahayakan semangat patriotik untuk meraih kemerdekaan. Mesias yang sedang mereka tunggu-tunggu itu tidak mungkin Yesus Kristus, sosok-Nya yang lemah lembut tidak sesuai dengan konsep dan harapan mereka tentang Mesias.

    "Lalu Kekristenan tiba-tiba tampil di panggung. Ini menciptakan suatu revolusi sosial. Ajaran-ajaran Yesus tentang kesetaraan, keadilan, kepedulian pada orang miskin dan menghargai kaum yang terpinggirkan itu tampak radikal. Pada waktu yang sama, umat percaya Perjanjian Baru bersatu di seputar nilai-nilai pokok dari Penciptaan dan Penebusan. Mereka mengajarkan bahwa semua umat manusia diciptakan oleh Allah dan bahwa Penebusan telah tersedia bagi semua orang melalui salib Kristus. Salib menunjukkan bahwa setiap orang, tidak peduli status duniawinya, sangat besar nilainya dalam pemandangan Allah" [alinea kedua].

    Isu tentang persatuan sudah lebih dulu dituntaskan di kalangan murid-murid Yesus yang pertama. Sebab di antara kedua belas orang itu terdapat, misalnya, "Matius pemungut cukai" (Mat. 10:3) dan "Simon orang Zelot" (ay. 4). Simon ini sebenarnya orang Kanaan, sedangkan "Zelot" adalah nama sebuah kelompok klandestin Yahudi nasionalis yang sangat fanatik di mana dia tadinya tergabung. Anggota-anggota dari gerakan bawah tanah ini biasanya telah disumpah untuk membunuh pada kesempatan pertama setiap orang Romawi maupun orang Yahudi yang menjadi kaki-tangan bangsa Romawi. Sedangkan Matius seorang pemungut cukai yang paling dibenci oleh orang Yahudi sebab dianggap turut menindas bangsa sendiri melalui pajak yang dikutipnya untuk penjajah. Namun Yesus dengan doktrin Kekristenan-Nya dapat mempersatukan murid-murid itu di bawah panji Injil.

 Gereja, sebagai tubuh dan bangunan.

    Kesatuan tampaknya jauh lebih mudah dibangun atas dasar fungsi-fungsi yang berbeda, dan dalam hal ini penggambaran Paulus tentang gereja yang terdiri atas "banyak anggota, tetapi hanya satu tubuh" (1Kor. 12:20) adalah gambaran yang paling pas. Kesulitan untuk menjalin persatuan terjadi jika semua ingin menjalankan fungsi yang sama. Gereja ataupun jemaat lebih gampang untuk bersatu apabila setiap anggotanya memahami dan menjalankan fungsi masing-masing secara bersinergi dalam peran yang berbeda-beda sesuai dengan talenta dan sumberdaya setiap orang yang spesifik. Kepala harus diberi kesempatan untuk berpikir, mata perlu dimanfaatkan untuk melihat, telinga mesti digunakan untuk mendengar, mulut untuk berbicara, tangan untuk bekerja, kaki untuk berjalan, dan sebagainya. Anggota-anggota yang bermentalitas akrobatik (kaki mau jadi kepala, dan kepala mau jadi tangan) biasanya menjadi penghalang terciptanya persatuan dan kesatuan di dalam gereja.

    Rasul Petrus melihat gereja sebagai sebuah bangunan seperti rumah yang pada zaman dulu terbuat dari susunan batu-batu. Gereja sebagai "suatu rumah rohani" (1Ptr. 2:5) didirikan di atas "batu yang hidup" (ay. 4) di mana anda dan saya "dipergunakan sebagai batu hidup" (ay. 5). Jadi, dalam ilustrasi rasul Petrus, gereja sebagai bangunan didirikan di atas Kristus sebagai "batu penjuru" (ay. 7). Ini agak berbeda dari ilustrasi rasul Paulus di mana gereja sebagai "tubuh Kristus" (1Kor. 12:27) berada di bawah Kristus sebagai "kepala jemaat" (Ef. 5:23). Namun perbedaan antara kedua ilustrasi itu bukan sesuatu yang prinsipil, oleh sebab esensi yang dikemukakan dalam penggambaran keduanya adalah sama, yakni persatuan dan kesatuan. Dalam kedua ilustrasi itu sama-sama menonjolkan baik kesatuan horisontal di antara sesama umat maupun kesatuan vertikal antara Yesus Kristus dengan para pengikut-Nya.

    "Dalam ilustrasi-ilustrasi ini setiap anggota terjalin erat. Adalah ikatan persatuan yang mengasihi ini di dalam satu dunia dengan hubungan-hubungan yang retak, pergulatan kekuasaan, dan keretakan memecah-belah yang seharusnya menjadi sebuah argumentasi kuat bagi Kekristenan. Yesus menyatakan kebenaran persatuan ini dengan jelas: 'Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi' (Yoh. 13:35)" [alinea terakhir: tiga kalimat terakhir].

 Apa yang kita pelajari tentang ilustrasi yang menggambarkan persatuan dalam PB?

1. Biasanya, persatuan lebih mudah digalang bila semua merasa sedang menghadapi musuh bersama di satu "front" yang sama. Para politikus umumnya piawai memainkan "kartu" ini untuk mendapatkan dukungan yang kompak. Yesus dan Gereja sejak awalnya sudah dijadikan "musuh bersama" oleh penguasa Yahudi.

2. Umat Tuhan juga mempunyai "musuh bersama" yang harus diwaspadai dan dihadapi, yaitu Setan dan kaki-tangannya (Mat. 13:24-25, 37-39). Sebagai sesama umat percaya, kalaupun kita sulit bersatu karena hambatan purbasangka maupun ambisi, setidaknya kita dapat bersatu karena menghadapi musuh bersama itu.

3. Sebagai gereja, kita seumpama "tubuh Kristus" maupun batu-batu pada "rumah rohani" yang terjalin dalam kebersamaan. Salah satu bagian tubuh cedera maka seluruh tubuh merasakan sakitnya, dan salah satu batu terlepas seluruh bangunan terancam bahaya keruntuhan.

3. DIPERSATUKAN OLEH MISSI DAN KEBENARAN (Unsur-unsur Persatuan: Missi dan Pekabaran Kita)

     Semangat yang mempersatukan.

   Seseorang pernah berkata bahwa jemaat yang giat menginjil adalah jemaat yang bersatu, sebaliknya jemaat yang tidak menginjil biasanya cekcok terus. Seandainya asumsi ini benar, mestinya dengan mudah saja kita dapat membalikkan situasi dengan menggiatkan penginjilan berkesinambungan demi menghindari percekcokan dan menciptakan persatuan. Tetapi seringkali keadaan tidak segampang itu, selain karena penginjilan tanpa perencanaan serta persiapan yang matang kerap membuat jemaat kedodoran dan para anggotanya kehabisan nafas. Mengaktifkan penginjilan semata-mata untuk tujuan mempersatukan jemaat kerap hanya melahirkan persatuan yang semu. Menginjil seharusnya didorong oleh kuasa Roh Kudus yang meluap-luap dalam diri setiap orang sehingga membuat sebuah jemaat terus aktif, persatuan dan kesatuan hanyalah produk samping dari aktivitas penginjilan. Semangat penginjilan adalah semangat yang mempersatukan.

    "Missi merupakan sebuah faktor pemersatu yang hebat. Umat percaya yang mula-mula bersatu di seputar missi ini. Kehidupan, kematian, kebangkitan, pelayanan keimamatan, dan kedatangan Tuhan kita mengikat mereka bersama-sama. Jiwa-jiwa yang baru bertobat berjangkar pada 'pengajaran rasul-rasul' (Kis. 2:41-42). Pengajaran Yesus menyediakan dasar bagi persatuan mereka" [alinea ketiga].

      Pada zaman rasul-rasul kebenaran tentang Yesus Kristus telah menjadi sumber inspirasi dan faktor penggerak kegiatan penginjilan sehingga Gereja yang mula-mula itu bersatu padu dalam missi mereka. Di abad pertengahan, ketika "Gereja" yang murtad memasukkan praktik-praktik kekafiran ke dalam peribadatan, kebenaran yang sama ini juga menjadi faktor pendorong bagi Martin Luther dkk untuk mendesak gereja agar kembali kepada kebenaran yang murni. Belakangan, sekitar 150 tahun lalu, tatkala gerakan Protestanisme gagal melepaskan diri dari tradisi-tradisi lama, kebenaran yang sama itu juga telah mendorong sekelompok orang untuk bersatu dalam sebuah perkumpulan baru dan terus memelihara dan menjunjung kebenaran Tuhan yang mula-mula. Meskipun kita melihat di sini bahwa kepedulian pada kebenaran Alkitab seakan telah menyebabkan "perpecahan" di dalam gereja, Roh Allah akan terus bekerja untuk memurnikan kebenaran-Nya serta memurnikan umat-Nya sehingga persatuan yang hakiki akan tercapai oleh mengemban missi yang sama dan berlandaskan pada kebenaran yang murni.
   "Sekarang, pada hari-hari terakhir sejarah bumi ini, Allah juga telah memberikan kepada umat-Nya sebuah pekabaran penting yang sudah kita terima itu (Why. 14:6-12). Itulah pekabaran 'Injil yang kekal' dalam konteks penghakiman, penurutan, dan kedatangan Tuhan. Inilah yang mempersatukan umat Masehi Advent Hari Ketujuh sebagai satu keluarga di seluruh dunia. Jika pekabaran ini tidak dipupuk, dinomor duakan, atau diperlakukan sebagai barang pusaka, persatuan gereja sedunia akan menjadi retak dan missinya akan kehilangan keadaannya yang mendesak" [alinea terakhir: empat kalimat pertama].

 Apa yang kita pelajari tentang kesatuan missi sebagai faktor pemersatu?

1. Missi yang sama dapat menjadi faktor pemersatu di antara orang-orang yang mengemban missi tersebut. Hal itu sudah terbukti di zaman rasul-rasul ketika gereja yang mula-mula bersatu melaksanakan penginjilan. Dalam satu missi bersama terhimpun berbagai potensi yang berbeda-beda.

2. Sebagai gereja missi kita tidak pernah berubah, yaitu pekabaran injil dan memelihara kebenaran yang telah kita terima. Dalam melaksanakan missi yang sama bisa saja melalui strategi dan metode yang berbeda-beda, tetapi dalam kebenaran yang sama tidak ada pemahaman dan penafsiran yang berbeda-beda. Kebenaran itu mutlak dan kaku.

3. Gereja yang mula-mula telah memberi contoh bahwa persatuan sejati dapat digalang melalui kesamaan missi dan kebenaran. Missi adalah untuk dijalankan dan dituntaskan, kebenaran adalah untuk dipelihara dan dipertahankan. Persatuan tidak mungkin menafikan kebenaran, sebab kebenaran itu jauh lebih berharga daripada persatuan.

4. ORGANISASI SEBAGAI ALAT (Organisasi Gereja: Struktur Bagi Persatuan)

), dynamic organization (organisasi dengan praktik-praktik yang tetap namun ukurannya bervariasi), dan adaptive organization (organisasi dengan praktik maupun ukuran yang bervariasi).

 Organisasi di gereja mula-mula.

   PB mencatat pembentukkan organisasi yang pertama akibat terjadinya masalah dalam pendistribusian bantuan kepada para anggota jemaat yang membutuhkan, terutama janda-janda miskin. Pembagian bantuan yang tidak merata telah memicu protes dari pihak kaum Helenistik (orang Kristen Yahudi yang berbahasa dan berbudaya Yunani) karena merasa terabaikan, protes mana khususnya dilontarkan kepada kaum Ibrani (orang Kristen Yahudi yang berbahasa dan berbudaya Ibrani). [Kisah Para Rasul 6:1.] Waktu itu para rasul terlampau sibuk dengan kegiatan-kegiatan penginjilan sehingga kurang memperhatikan pengaturan pembagian "sembako" untuk sebagian anggota jemaat yang berkekurangan. Pengangkatan tujuh orang diakon untuk mewakili para rasul dalam urusan jemaat lokal, melalui sebuah proses pemilihan dan prosedur pengukuhan, pada dasarnya adalah sebuah pembentukan organisasi sebagai perangkat gereja yang menerima pendelegasian tugas dan wewenang dari para rasul (ay. 5-6).

   "Perjanjian Baru menyingkapkan bahwa gereja yang mula-mula sudah memiliki sebuah struktur organisasi yang jelas. Struktur ini membantu memelihara kemurnian doktrin gereja dan membuat jemaat tetap fokus pada missi" [alinea pertama].

    Beberapa contoh lainnya tentang adanya sistem organisasi pada gereja yang mula-mula adalah: Pertama, ketika Paulus (waktu itu masih bernama Saulus) menerima pertobatan di Damaskus di mana Ananias, yang dalam hal ini sebagai wakil gereja, diutus menemuinya dan kemudian membaptiskannya (Kis. 9:10-17). Kedua, tatkala Paulus sesudah pertobatannya diarahkan oleh Roh Kudus untuk menghadap para pemimpin gereja di Yerusalem untuk melaporkan tentang pelayanan penginjilannya sebagai seorang Kristen (Kis. 9:26-30). Ketiga, saat Paulus memanggil para pimpinan dan pengurus jemaat Efesus untuk menasihati dan memberi pengarahan (Kis. 20:17, 27-32). Keempat, waktu para pemimpin gereja di Yerusalem mengutus Petrus dan Yohanes untuk melihat kegiatan penginjilan di kota Samaria (Kis. 8:14).

    Kelima, bilamana sebuah delegasi dari jemaat Antiokhia yang dipimpin langsung oleh Paulus dan Barnabas menghadap para pemimpin gereja di Yerusalem untuk menjernihkan masalah kewajiban sunat atas orang-orang Kristen non-Yahudi sebagaimana dituntut oleh orang-orang Kristen Yahudi yang datang dari Yudea. Pertemuan tersebut, yang juga telah digunakan oleh Paulus untuk melaporkan kemajuan pekerjaan penginjilan di luar Yerusalem, oleh sebagian orang disebut sebagai konsili pertama--atau dalam konteks Gereja MAHK adalah "Rapat General Conference" pertama--yang tercatat dalam Alkitab (Kis. 15:1-22). Keputusan rapat penting itu, yang antara lain membebaskan kewajiban sunat bagi orang-orang Kristen bukan Yahudi, kemudian disebarluaskan dalam bentuk surat keputusan yang dikirim ke jemaat-jemaat terkait yang menghadapi perbedaan pendapat soal sunat (ay. 23), dan kemudian juga dilaporkan secara langsung oleh Paulus dan Silas kepada berbagai jemaat di kota-kota yang disinggahi mereka (Kis. 16:4).

     "Konsili Yerusalem menyelamatkan gereja abad pertama dari perpecahan serius. Organisasi gereja dengan kewenangan administratif adalah penting dalam memelihara integritas doktrin dari gereja Perjanjian Baru. Dalam contoh ini, wakil-wakil dari jemaat setempat diutus ke Yerusalem untuk berpartisipasi dalam diskusi-diskusi tentang doktrin yang mempunyai dampak serius bagi masa depan gereja" [alinea keenam: tiga kalimat pertama].

     Apa yang kita pelajari tentang praktik organisasi di gereja yang mula-mula?

1. Organisasi bukan hanya sekadar "wadah" yang menghimpun orang-orang dengan pandangan yang sama, tapi juga merupakan "alat" untuk mencapai tujuan-tujuan bersama. Gereja pada zaman rasul-rasul telah menerapkan prinsip-prinsip berorganisasi, meski dalam pengertian dan penerapan yang masih terbatas.

2. Gereja yang aktif dan tertata membutuhkan sebuah organisasi, selain untuk memelihara kemurnian doktrin juga untuk melaksanakan berbagai program terutama usaha penginjilan. Allah adalah Tuhan yang teratur, Ia menghendaki gereja-Nya juga memiliki keteraturan dalam penatalaksanaannya.

3. Dalam pengertian tertentu "organisasi" dapat disebut sebagai "sistem," dan mereka yang tidak bekerja dalam organisasi sering dianggap sebagai berada "di luar sistem." Namun satu pesan perlu disampaikan: Organisasi gereja adalah alat Tuhan demi kepentingan penginjilan, bukan untuk diperalat manusia demi kepentingan diri sendiri!

5. PERSATUAN ATAU PERPECAHAN? (Menggapai Persatuan)

 Kristus sebagai faktor pemersatu.

   Sebelum kita bersatu di dalam gereja sebagai kelompok, lebih dulu kita harus bersatu dengan Kristus sebagai pribadi (Yoh. 6:56; 15:4-6). Penyatuan diri dengan Kristus membawa kita ke dalam persatuan dengan orang-orang lain di dalam gereja sebagai sebuah keluarga Allah (Ef. 2:19; 1Tim. 3:15). Layaknya sebuah keluarga, meskipun ada perbedaan-perbedaan tetapi semuanya adalah satu. Dalam satu keluarga biologis saja terdapat perbedaan di antara anggota-anggota keluarga itu, baik dalam hal sikap, pendapat maupun perasaan. Dalam sebuah keluarga gerejawi yang jauh lebih besar dan lebih kompleks dari keluarga kita di rumah, persatuan menjadi hal yang sungguh penting. Bersyukurlah bahwa Yesus sudah mendoakan "supaya mereka semua menjadi satu" (Yoh. 17:20-23). Di mana Yesus disambut, di situ persatuan dianugerahkan.

     "Semakin dekat kita datang kepada Yesus, bertambah dekat kita kepada satu sama lain. Kita melihat dengan penglihatan rohani yang baru. Roh Kristus menyanggupkan kita untuk saling memandang secara berbeda. Hal-hal kecil yang pernah mengganggu kita dibingkai oleh kasih karunia Kristus. Permusuhan yang tersimpan di hati ditanggalkan dalam terang kasih karunia-Nya yang cemerlang. Dendam dan perselisihan lama sebanyak mungkin dikesampingkan. Penghalang-penghalang diruntuhkan. Injil menyembuhkan hubungan-hubungan yang rusak" [alinea pertama].

    Jemaat Korintus di abad pertama terancam perpecahan antara lain karena masalah sektarianisme, yaitu klik-klikan, siapa adalah pengikut siapa. Menanggapi isu ini secara terang-terangan Paulus mengungkapkan apa yang didengarnya tentang mereka melalui "orang-orang dari keluarga Kloë" (1Kor. 1:11). Kloë adalah wanita pebisnis, kemungkinan seorang Kristen, yang juga mengenal Paulus sebagai pengusaha tenda. Untuk kepentingan perusahaannya wanita ini atau keluarganya sering mengadakan perjalanan bisnis bolak-balik antara Korintus dan Efesus (kota tempat tinggal Paulus dari mana dia menulis surat yang pertama kepada jemaat Korintus). Dalam suratnya itu sang rasul menulis: "Yang aku maksudkan ialah, bahwa kamu masing-masing berkata: Aku dari golongan Paulus. Atau aku dari golongan Apolos. Atau aku dari golongan Kefas. Atau aku dari golongan Kristus. Adakah Kristus terbagi-bagi? Adakah Paulus disalibkan karena kamu? Atau adakah kamu dibaptis dalam nama Paulus?" (ay. 12-13; huruf miring ditambahkan). Yesus Kristus tak bisa dipecah-pecah, tapi jemaat-Nya bisa.

Faktor-faktor pemersatu lainnya.

    Ada faktor-faktor yang menyebabkan perpecahan, tapi ada juga faktor-faktor yang berkontribusi untuk persatuan. Antara lain adalah cara penanganan yang bijaksana tapi tegas terhadap pelanggaran (Mat. 18:15-20); berhimpun untuk doa bersama-sama (Kis. 1:14; 12:5, 12); dan giat melakukan perintah Yesus untuk menginjil (Mat. 28:16-20). Tetapi faktor yang paling penting untuk memelihara persatuan gereja adalah kesungguh-sungguhan para pemimpin yang ditunjukkan dalam sikap rendah hati yang tidak memihak terutama ketika menangani perselisihan di jemaat. Kepemimpinan rohani adalah kepemimpinan yang bersifat melayani seperti hamba (servitude leadership), sebagaimana dicontohkan oleh Yesus Kristus sendiri, bukan kepemimpinan yang minta dilayani (to-be-served leadership) seperti lagaknya pejabat publik.

    "Mengharapkan atau mengimpikan persatuan tidak menggapai hal itu. Gereja Perjanjian Baru berdoa bersama dan bercengkerama bersama. Mereka belajar Firman Allah bersama-sama, dan dengan bersama-sama mereka membagikan iman mereka. Berdoa, belajar Alkitab, dan bersaksi adalah unsur-unsur berkuasa yang menciptakan, memelihara, dan menopang persatuan gereja...Sebuah jemaat yang hidup, dinamis, bersatu dan dibangunkan kembali adalah yang anggota-anggotanya berdoa bersama-sama, mempelajari Firman Allah, dan menjangkau keluar kepada masyarakat di tempat mereka" [alinea terakhir: empat kalimat pertama dan kalimat terakhir].

    Pena inspirasi menulis: "Rahasia persatuan terdapat dalam kesetaraan umat percaya di dalam Kristus. Alasan dari semua perpecahan, perselisihan, dan perbedaan terdapat dalam keterpisahan dari Kristus. Kristus adalah pusat terhadap mana semua harus ditarik; sebab kian dekat kita menghampiri pusat itu, kian rapat kita akan datang bersama-sama dalam perasaan, dalam simpati, dalam kasih, bertumbuh kepada tabiat dan citra Yesus. Bersama Allah tidak ada orang-orang terhormat" (Ellen G. White, Selected Messages, buku 1, hlm. 259).

 Apa yang kita pelajari tentang faktor-faktor untuk menggapai persatuan?

1. Yesus Kristus adalah faktor terpenting untuk persatuan gereja ataupun jemaat, segala yang lainnya hanyalah suplemen. Lebih dari itu, Yesus sendiri menghendaki dan mendoakan persatuan bagi para pengikut-Nya.

2. Klik-klikan (sektarianisme) di jemaat merupakan sumber perpecahan paling potensial, sejak zaman rasul-rasul hingga sekarang. Banyak kasus perpecahan di jemaat yang dipicu oleh pertikaian pribadi antara orang-orang berpengaruh yang kemudian melibatkan massa (anggota-anggota jemaat). Kesetaraan yang Kristiani adalah jawabnya.

3. Hubungan gereja dengan Kristus adalah hubungan tiga dimensi: a. Ia adalah Kepala bagi Gereja sebagai "tubuh Kristus"; b. Ia adalah Batu Penjuru bagi Gereja sebagai "rumah rohani"; c. Ia adalah Pusat bagi Gereja sebagai "keluarga Allah." Yesus Kristus berada di atas, di bawah, dan di tengah jemaat-Nya.

PENUTUP

    Pekerjaan Tuhan menuntut persatuan.

   Tuhan telah mempercayakan pekerjaan-Nya kepada manusia, yaitu pria dan wanita yang "dipanggil dari dunia dan diutus kembali ke dunia" sebagai wakil-wakil Kristus. Gereja adalah semacam "pusdiklat" (pusat pendidikan dan pelatihan) bagi para pengikut Kristus untuk diperlengkapi dan disiapkan bagi pekerjaan-Nya. Gereja akan secara sempurna mewakili kemuliaan Tuhan di hadapan dunia apabila ada persatuan di dalamnya. Rasul Paulus berkata, "Dan kita semua mencerminkan kemuliaan Tuhan dengan muka yang tidak berselubung. Dan karena kemuliaan itu datangnya dari Tuhan yang adalah Roh, maka kita diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar" (2Kor. 3:18).

    Sebagaimana murid-murid Yesus yang pertama itu terdiri atas orang-orang dengan latar belakang dan kepribadian yang berbeda-beda, demikianlah keadaan Jemaat Tuhan dewasa ini. Anda dan saya adalah orang-orang yang berbeda namun telah dipanggil untuk melaksanakan satu missi yang sama. "Dalam rangka melanjutkan dengan sukses pekerjaan untuk mana mereka telah dipanggil, orang-orang yang berbeda dalam karakteristik alami dan dalam kebiasaan hidup ini perlu datang ke dalam kesatuan perasaan, pemikiran, dan tindakan. Persatuan ini merupakan tujuan Kristus untuk dicapai" [kalimat ketiga dan keempat].

    "Hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga" (Flp. 2:2-4).

DAFTAR PUSTAKA:
1. Mark Finley, Kebangunan dan Pembaruan—Pedoman Pendalaman Alkitab , Indonesia Publishing House: Juli-September 2013.
2. Loddy Lintong, Face Book.