Senin, 28 April 2014

Manfaat Paprika.


                         
1. mampu mengobati luka memar dan keseleo (dengan cara oral)
2. menumbuhkan jaringan rambut yang baru (bila memiliki masalah dengan kebotakan)
3. menurunkan kolesterol
4. membangun regenerasi sel tubuh
5. mengobati infeksi tenggorokan dan hidung
6. bersifat antioksidan
7. menurunkan kadar gula darah
8. mencegah penyakit sinusitis dan penyakit telinga serta penyakit kulit
9. melancarkan saluran pencernaan
10. menyetop keluarnya darah dengan cara : iris sepotong paprika dan balurkan getahnya pada luka tersebut

Kandungan yang bermanfaat dari paprika :

1. Vitamin A
2. Vitamin C
3. Vitamin B 1
4. Vitamin B 2
5. Fosfor
6. Kalsium
7. Beta Karoten
8. Zat Besi
9. Niacin
10. Karbohidrat
11. Antioksidan Beta Cryptoxanthin

Tips memilih paprika :

1. pilih warna buah paprika yang sehat sesuai dengan jenisnya, jangan pilih buah paprika yang busuk / bonyok atau terasa lembek buahnya
2. banyak jenis paprika, dan semuanya memiliki khasiat yang 99 % hampir sama

MANFAAT PAPRIKA :

Manfaat paprika untuk kesehatan dan kandungan gizi pada paprika – Kegunaan paprika dikenal memiliki banyak manfaat untuk kesehatan, antara lain:

  • Kandungan paprika mengandung vitamin C yang sangat tinggi, hampir sembilan kali kandungan vitamin C pada buah tomat
  • Buah paprika juga mengandung vitamin A, vitamin E, dan vitamin K yang mempunyai banyak manfaat bagi tubuh khususnya menjaga kesehatan pembuluh darah vena dan pembuluh darah kapiler
  • Mengandung banyak antioksidan dan fotokimia yang bermanfaat bagi sistem imunitas (kekebalan) tubuh
  • Buah paprika terkenal sebagai bahan anti bakteri (antibacterial agent) dan stimulan yang dapat menormalkan tekanan darah, meningkatkan sirkulasi, dan meningkatkan produksi air liur dan asam lambung untuk membantu pencernaan
  • Buah ini merupakan stimulan (perangsang) dan pemberi energi yang telah digunakan secara luas untuk mengobati masalah sirkulasi, kelelahan, dan depresi
  • Buah paprika banyak mengandung mineral esensial diantaranya kalium, fosfor, magnesium, kalsium, dan zat besi. Mineral esensial tersebut sangat penting untuk kesehatan antara lain untuk membersihkan darah, menjaga kesehatan jantung, dsb
  • Rasa pedas buah paprika berasal dari zat yang disebut capsaicin, kristal bahan obat yang memiliki banyak khasiat pengobatan karena memiliki efek anti-inflamasi dan antioksidan, serta dikenal dapat menurunkan resiko kanker
  • Paprika kaya akan zat carotenid, pigmen merah dan kuning yang dikenal sangat bermanfaat bagi kesehatan

MANFAAT PAPRIKA :

Tanaman Paprika berasal dari Amerika Selatan banyak dikembangkan di Hungaria. Di Indonesia, paprika cukup dikenal. Paprika banyak dikembangkan secara hidroponik di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. Buahnya berwarna hijau, kuning, merah, atau ungu sering digunakan sebagai campuran salad. Paprika mempunyai rasa tidak pedas karena tidak ada kandungan Capsicin yaitu zat yang menimbulkan rasa pedas cabe. Yang mana paprika banyak manfaat yang terkandung didalamnya antara lain :

1. Meningkatkan daya imunitas tubuh
Dibandingkan dengan cabai lain, paprika termasuk istimewa karena mengandung gizi yang sangat tinggi, terutama vitamin C. Kandungan vitamin C pada paprika jauh lebih tinggi daripada jeruk yang selama ini dikenal sebagai sumber vitamin C. Setiap 100 gram paprika merah mengandung 190 mg vitamin C, tertinggi di antara jenis paprika lainnya. Sebaliknya, 100 gram jeruk hanya mengandung 30-50 mg vitamin C. Vitamin C dikenal sebagai senyawa yang dibutuhkan tubuh dalam berbagai proses penting, mulai dari pembuatan kolagen (protein berserat yang membentuk jaringan ikat pada tulang), pengangkut lemak, pengangkut elekton dari berbagai reaksi enzimatik, pemacu gusi yang sehat, pengatur tingkat kolesterol, pemacu imunitas, untuk penyembuhan luka dan meningkatkan fungsi otak agar dapat bekerja maksimal.

2. Mencegah penyakit mata
Paprika juga kaya akan vitamin A dan betakaroten. Pada paprika merah mengandung 3.131 IU vitamin A, tertinggi dibandingakan jenis paprika lainnya. Vitamin A sangat diperlukan tubuh untuk mencegah penyakit mata, pertumbuhan sel, sistem kekebalan tubuh, reproduksi, serta menjaga kesehatan kulit.
3. Mencegah kanker
Kanker kulit dan paru : kerena mengandung betakaroten yang memberikan perlindungan lebih optimal terhadap munculnya kanker. Dimana kempampuan betakaroten bekerja sebagai antioksidan berasal dari kesanggupannya menstabilkan radikal berinti karbon. Sebagian besar kandungan betakaroten paprika terkonsentrasi pada bagian di dekat kulit. Sama seperti sayuran lainnya, semakin tua warna paprika, betakaroten di dalamnya semakin banyak.
Kanker prostat : Paprika yang mengandung likopen dalam sebuah penelitian yang dilakukan di Universitas Yale pada 473 orang pria menemukan fakta bahwa pria yang bebas kanker prostat memiliki lebih banyak likopen dalam darahnya dibanding mereka yang sakit. Penelitian yang sama juga pernah dilakukan oleh Universitas Harvard pada tahun 2002, membuktikan bahwa laki-laki yang mengonsumsi likopen dalam jumlah banyak memiliki risiko penyakit kanker lebih rendah, khususnya kanker prostat.

4. Meningkatkan jumlah sperma
Konsumsi likopen pada paprika merah diyakini dapat meningkatkan kualitas seksual. Likopen diyakini dapat meningkatkan jumlah sperma, memperbaiki struktur sperma, dan meningkatkan agresivitasnya.
Menurut All India Institute of Science New Delhi (2002), likopen merupakan salah satu dari 650 jenis karotenoid yang secara normal terdapat dalam konsentrasi tinggi pada testis. Jika konsentrasi likopen rendah, pria akan mudah mengalami ketidaksuburan.
Dan masih banyak manfaat yang terdapat pada paprika yakni mampu mengobati luka memar dan keseleo, menumbuhkan jaringan rambut yang baru, menurunkan kolesterol, membangun regenerasi sel tubuh, mengobati infeksi tenggorokan dan hidung, menurunkan kadar gula darah, mencegah penyakit sinusitis, penyakit telinga, melancarkan saluran pencernaan
Kandungan gizi yang paling utama pada paprika adalah kaya akan karoten, vitamin B serta vitamin C.
Sedangkan kandungan gizi yang terdapat didalam paprika tiap 100 gram buah hijau segar adalah : protein 0,9 g, lemak 0,3 g, Karbohidrat 4,4 g, Ca 7,0 mg, Fe 0,4 mg, P 22 mg, Vit A 540 IU, Vit B1 22,0 mg, Vit B2 0,002 mg, Niacin 0,4 mg dan Vit C 160 mg. Paprika juga mengandung asam askorbat yang nilai gizinya setiap 100 gram : kalori 29 mg, Kalium 11 mg, Vitamin 870 IU, riboflafin 0,03 mg, Niasin 0,05 mg.

Minggu, 27 April 2014

MANFAAT LOBAK


Khasiat Lobak
Lobak (raphanus sativus) merupakan tanaman perdu semusim yang berumbi. Tanaman lobak memiliki akar tunggang dengan akar samping yang tumbuh pada akar tunggang. Akar tunggang ini nantinya berubah fungsi dan bentuk menjadi umbi yang besar. Bunganya mirip bunga petsai tetapi berwarna putih sedangkan bijinya berbentuk bulat, berukuran besar, dan berwarna kekuningan. Untuk batangnya, ukurannya pendek dan daunnya lonjong berbulu.

Lobak masuk ke dalam famili Cruciferae dan memiliki tiga varietas, yaitu: Raphanus sativus L. Var. Hortensis Backer, Rahpanus sativus L. Var. Radicula Pres. A. DC atau lebih dikenal dengan nama radish, dan yang terakhir, Raphanus sativus L. Var. Niger Mirat atau lebih dikenal dengan nama lobak hitam karena memiliki umbi yang berwarna hitam.
Lobak diketahui banyak mengandung enzim diatase yang bertugas membantu mencerna pati, vitamin A, vitamin B1, vitamin B2, vitamin C, vitamin E, niasin, minyak asiri, kolin, serat kasar, sulfur, kalsium, fosfor, zat zat besi, asam oksalat, kalium, silikon, dan raphain. Dengan kandungannya tersebut, Lobak berkhasiat untuk mengurangi pengerasan dan timbunan lemak dalam tubuh, membersihkan liver, mencegah sembelit, mencegah kanker, mengatasi batuk dan bronkitis, menyembuhkan demam dan wasir, mengatasi sulit tidur atau insomnia, rematik, mengurangi nafsu makan, membantu mengatasi penyakit sinus, mengobati radang tenggorokan, membersihkan lendir dan dahak (mucus), serta mencegah infeksi virus seperti batuk dan flu.

MANFAAT LOBAK.
Lobak termasuk perdu semusim dengan tinggi mencapai 1 meter. Lobak kini telah dibudidayakan di seluruh dunia sebagai tanaman sayur dan tanaman obat. Tumbuhan ini memiliki akar tunggang yang berubah bentuk dan fungsi menjadi umbi yang besar.

Lobak termasuk perdu semusim dengan tinggi mencapai 1 meter. Lobak kini telah dibudidayakan di seluruh dunia sebagai tanaman sayur dan tanaman obat. Tumbuhan ini memiliki akar tunggang yang berubah bentuk dan fungsi menjadi umbi yang besar. Umbi tersebut tumbuh memanjang ke bawah seperti wortel, bentuknya lebih bulat dan berwarna putih bersih. Ada lobak dengan varietas lain yang berwarna merah dan hitam. Bagian umbi yang dekat dengan permukaan tanah dan terkena sinar matahari biasanya akan berubah warna menjadi agak kehijauan. Tumbuhan ini berasal dari Asia Selatan.
Kandungan kimia dari umbinya antara lain vitamin A, B1, B2, niasin, minyak atsiri, kolin, serat kasar, kalsium, fosfor, zat besi dan asam oksalat. Sedangkan daunnya mengandung minyak atsiri, vitamin A dan C dan bijinya mengandung 30-40 persen minyak lemak dan minyak atsiri. Zat-zat tersebut mengandung antibiotik terhadap beberapa jenis bakteri dan antioksidan.

Manfaat dari lobak adalah perut kembung, disentri, sembelit, sering sendawa, radang saluran nafas, gondokan, batuk. Selain untuk mengatasi influenza, tekanan darah tinggi, penyakit jantung, TBC paru-paru dan asma, keracunan gas arang, singkong, dan jamur makanan, lobak bisa mencegah kanker, batu ginjal, pengerasan hati, luka bakar, bisul, eksim, haluskan kulit, dan kurangi nafsu makan berlebihan. Pada pemakaian luar, lobak digunakan untuk mengobati bisul. Caranya, blender atau parut umbi lobak secukupnya, tambahkan cuka beras putih, lalu oleskan pada bisul. Untuk mengobati eksim dapat menggunakan lobak yang telah diparut, tambahkan air jahe secukupnya, diaduk lalu balurkan pada bagian yang sakit. Sedangkan untuk luka bakar akibat air panas dapat diobati dengan 100 gram umbi lobak yang diparut, oleskan pada luka.

Pada pemakaian dalam, lobak digunakan untuk mengobati asma, caranya dengan ambil 200 gram umbi lobak, di jus, tambahkan 50 cc jus jahe rebus hingga mendidih tambahkan madu diminum airnya selagi hangat.

Untuk mengobati batuk dengan 100 gram umbi lonak dan 9 gram kulit jeruk mandarin direbus dengan 500 cc air hingga tersisa 200 cc, lalu disaring dan diminum airnya selagi hangat.

Mengobati batuk rejan dengan 25 gram biji lonak yang telah dikeringkan, ditumbuk halus ditambah gula dan air hangat secukupnya, lalu diminum 3 kali sehari. Atau gunakan 100 gram umbi lobak, 5 butir lada putih dan madu secukupnya ditim lalu dimakan.

Untuk mengobati disentri gunakan 100 gram daun lobak kering, direbus dengan air hingga mendidih dan menjadi kental lalu diminum seperti minum teh. Lakukan selama 3-5 hari. Jika disentra sudah berlangsung lama, gunakan dun lobak ditambah daging ayam secukupnya kemudian dimasak menjadi sop, setelah matang dimakan. Mengobati gangguan paru-paru disertai batuk darah atau pendarahan hidung, gunakan 100 gram umbi lobak putih, dijus lalu diminum. Lakukan setiap hari. Sedangkan gangguan pencernaan dapat diatasi dengan 200 gram umbi lobak dan buah angco dimasak menjadi kuah lalu diminum 1-2 kali sehari.

Influenza diatasi dengan 250 gram umbi lobak diiris tipis dan gula pasir secukupnya, direbus dengan 600 cc air hingga tersisa 300 cc. Disaring dan diminum airnya hangat-hangat.

Untuk mengurangi nafsu makan berlebihan dengan 200 gram umbi lobak dan 200 gram umbi wortel, di jus lalu diminum.

Mengobati penyakit jantung dengan 250 gram umbi lobak dipotong kecil dan 30 gram daun dewa segar direbus dengan 800 cc air hingga tersisa 400 cc. Lalu disaring dan minum airnya 2 kali sehari. Setiap kali minum sebanyak 200 cc.

Untuk mengatasi perut kembung, gunakan 150 gram umbi lobak, 5 gram kulit jeruk mandarin kering, 3 butir cenkeh, 1 jari kayu manis, 5 gram biji pala dan 3 butir kapulaga direbus dengan 500 cc air hingga tersisa 200 cc, disaring dan diminum airnya.

Menurunkan tekanan darah tinggi dengan 100 gram umbi lobak segar dijus, diminum 2 kali sehari setiap kali minum 150 gram. Atau 100 gram umbi lobak dan 1 buah apel diparut lalu diambil airnya. Gunakan air tersebut untuk memblender 75 gram seledri, tambahkan air perasan jeruk mandarin dan gula pasir secukupnya, lalu diminum secara teratur.

oleh Prof HM Hembing Wijayakusuma


MANFAAT LOBAK

 Tanaman yang memiliki nama Raphanus sativus L ini merupakan tumbuhan semusim. Memiliki ketinggian sekitar 1 meter dengan batang yang lunak membentuk umbi bewarna putih pucat. Daun dari lobak berbentuk tunggal dengan buah lonjong berwarna cokelat.

Rasanya yang sedikit pedas dengan bau khas yang agak menyengat, membuat banyak orang kurang menyukai lobak. Padahal, menurut ilmu kedokteran tiongkok, lobak putih atau lobak Cina sangat baik untuk kesehatan dan organ vital manusia.

Komposisi
Lobak mengandung karbohidrat, energi, vitamin, mineral, kalori, protein, lemak, kalsium, fosfor, serat, zat besi, vitamin B1, vitamin B2, Vitamin C, niacin, rafarin, rafanol dan minyak atsiri.

Di balik kelezatan lobak (Raphanus sativus Linn), umbi ini ternyata punya banyak khasiat dalam pengobatan tradisional. Lobak bersama beberapa herba lain.
Diantaranya adalah :

Mengatasi insomnia atau menenangkan saraf.
Lobak adalah tanaman sayur berkhasiat obat. Pada umumnya, tanaman sayur dapat digunakan untuk mengatasi insomnia atau sulit tidur. Begitu pula lobak, dapat digunakan untuk mengatasi sulit tidur. Selain anti-insomnia juga bersifat hipnotis dan saporifis.

 Seperti dikatakann Ir WP Winarto dan Tim Lentera-nya dalam bukunya yang membahas tentang tanaman sayur, insomnia merupakan ketidakmampuan seseorang untuk tidur karena ketegangan saraf atau asiditas yang berlebihan di dalam sistem tubuh.

 “Insomnia atau sulit tidur dapat diatasi dengan mengonsumsi tanaman sayur yang bersifat anti-insomnia, hipnotis dan saporifis. Tanaman sayur memiliki alkaloid yang membuat saraf tegang menjadi lebih rileks,” katanya.

 Dengan demikian, lanjutnya, kegelisahan penderita insomnia akan berkurang, menjadi lebih tenang dan dapat tidur nyenyak. Selain itu dapat digunakan pula kol dan bawang-bawangan.

Menurut Ir WP Winarto, tanaman sayur merupakan asupan yang memiliki nilai lebih dalam mengontrol berat badan. Obesitas terjadi karena berat badan melebihi kebutuhan rangka dan fisik seseorang. Hal itu disebabkan akumulasi lemak di dalam tubuh yang berlebihan.

Caranya cukup di jus dan diminum airnya.

Serak dan Gangguan Hidung Tenggorokan
Pada sisi lain Ir WP Winarto mengetengahkan beberapa manfaat lobak untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit dan gangguan kesehatan. Beberapa resep disampaikannya untuk mengatasi gangguan pada hidung dan tenggorokan.

Untuk cegukan dan tersedak, misalnya, disarankan untuk mempergunakan rimpang jahe dan umbi lobak secukupnya. Rimpang jahe dilumat dan dijus bersama lobak. Tambah madu secukupnya dan dituangkan ke dalam air panas secukupnya. Hasilnya diminum sekaligus. Lakukan cara ini sehari satu kali.

Sementara bila mengalami ingusan atau ingus keluar terus-menerus, ambil saja 1 lobah besar, dibersihkan, dipotong-potong dan dijus dengan air secukupnya. Diminum sekaligus satu jam sebelum makan pagi.

Bagi para penyanyi, bila tenggorokan terasa serak, dapat dihilangkan dengan lobak. Khusus untuk menghilangkan rasa serak, ada tiga cara disampaikan Ir WP Winarto dan Tim Lentera-nya.


Cara yang pertama adalah dengan menggunakan 150 gram umbi lobak dan 20 gram gula putih. Kedua bahan itu diblender dengan air secukupnya. Hasilnya diminum sekaligus, maka serak akan berkurang dan hilang.

Batuk, Demam dan Susah Buang Air Kecil 

Batuk:
Akar Lobak 5 buah
Gula secukupnya

Cara pembuatan:
Lobak diparut kemudian diperas dan disaring. Beningannya ditambah gula secukupnya. Diamkan semalam dan enaptuangkan.
Cara pemakaian:
Diminum 1 kali sehari 1 ramuan.
Lama pengobatan:
Diulang selama 7 hari.

Demam

Orang yang sering menderita demam dianjurkan makan sayuran lobak. Lobak dapat melancarkan air seni.

Ginjal


Penyakit penurunan fungsi ginjal merupakan penyakit yang sangat berbahaya. gejala-gejala yang timbul biasanya adalah penurunan kadar HB darah, badan lemas, buang air kecil sedikit, tidak mau makan, mual, pusing dan lainnya. jika hal ini dibiarkan maka penyakit ini akan berubah menjadi Gagal Ginjal Kronik. gagal ginjal kronik tidak ada obatnya, selain transplantasi ginjal baru dari orang yang sehat.
jika sudah terkena gagal ginjal kronik maka pasien terpaksa harus menjalani sisa hidupnya dengan melakukan cuci darah 2-3 kali seminggu dengan durasi 3-5 jam...

 jika gejala seperti diatas sudah tampak maka langkah baiknya langsung diantisipasi, salah satunya dengan mengonsumsi lobak china. adapun resepnya adalah :

Lobak (1/2 Kg) dengan Gula batu (1/4 Kg) diblender dengan 8 gelas air. kemudian didiamkan selama 8 jam dan airnya diminum pada pagi hari dan sore hari. Jika masih gejala ringan dan untuk pencegahan cukup dilakukan sekali seminggu. Namun jika sudah parah harus dilakukan setiap hari.

Dari berbagai sumber.

Jumat, 25 April 2014

4.Hukum Musa Dalam Sorotan Kristus.

"KRISTUS DAN HUKUM DALAM KHOTBAH DI ATAS BUKIT"

PENDAHULUAN

Advokasi dan antitesis. Bagi umat Kristen, khotbah Yesus di atas bukit yang tercatat dalam Matius pasal 5 merupakan salah satu bagian favorit dari Injil, khususnya bagian pertama (ay. 3-12). Karena ayat-ayat ini diawali dengan "Berbahagialah" (Grika: makarios), maka bagian ini populer dengan sebutan "Kata-kata Bahagia" (The Beautitudes). Menurut Wikipedia, istilah "beautitudes" adalah terjemahan Inggris Anglikan dari kata Latin beātitūdō yang artinya "bahagia" atau "beruntung." Sebagian peneliti berkeyakinan bahwa bukit yang dimaksud adalah bukit Eremos, terletak antara Kapernaum dan Tabgha, lokasi yang luas dengan pemandangan indah ke arah danau Galilea. Tetapi di atas bukit itu Yesus tidak hanya berkhotbah tentang hal-hal yang membahagiakan, tapi juga tentang cara hidup sebagai orang Kristen serta advokasi (pembelaan) maupun antitesis-Nya terhadap hukum Musa.

Dalam pengertian tatabahasa, antitesis ialah "pengungkapan gagasan yang bertentangan dalam susunan kata yang sejajar" (KBBI). Misalnya dalam kalimat singkat "Hidup-matinya manusia ada di tangan Tuhan." Atau, dalam kalimat yang lebih panjang, misalnya kata-kata terkenal yang diucapkan oleh Neil Armstrong, astronot AS ketika menjadi manusia pertama yang berhasil mendarat di bulan pada tahun 1969 silam: "Menjejakkan kaki di bulan mungkin sebuah langkah kecil bagi seorang manusia, tetapi sebuah langkah raksasa bagi kemanusiaan." Dalam sosiologi, kita mengenal antitesis dalam teori dialektika sosial dari apa yang disebut Dialektika Hegel--dinamakan berdasarkan pencetusnya, Wilhelm Friedrich Hegel, seorang filsuf berkebangsaan Jerman--yang terdiri atas tesis, antitesis, dan sintesis. Menurutnya, mula-mula ada tesis (dalil), kemudian muncul antitesis (kontra dalil), lalu terjadi sintesis (rekonsiliasi antara dalil dan kontra dalil untuk menemukan kesamaan).

Dalam teologi, antitesis juga mengandung makna "berlawanan kata" yang menerangkan suatu keadaan dari obyek yang sama. Misalnya orang benar dan orang jahat, orang percaya dan tidak percaya, orang yang selamat dan orang yang hilang, dan sebagainya. "Pekan ini kita akan menyelidiki bagian ketiga, Matius 5:17-48 (yang oleh para teolog disebut antitesis, kasus-kasus di mana perbedaan-perbedaan yang tajam disajikan), untuk melihat apa yang diajarkannya kepada kita mengenai hukum" [alinea kedua].

1. HUKUM YANG DIGENAPI ("Satu Iota atau Satu Titik")

Yesus menggenapi hukum. Pentingnya hukum Taurat tercermin dari perkataan Yesus, "Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi" (Mat. 5:18). Iota adalah transliterasi dari kata Grika ἰῶτα, yaitu sebuah tanda baca berbentuk koma kecil di bagian atas kata (`) untuk memberi penekanan dalam cara membacanya; seperti juga tanda titik di atas huruf i kecil ("i") dalam aksara Latin yang dalam bahasa Grika disebut keraia (κεραία). Tanda baca layaknya sebuah "aksesoris" saja pada sebuah kata dalam huruf Ibrani (juga huruf Arab) yang meskipun penting tapi terkadang bisa diabaikan dalam penulisannya tanpa menghilangkan makna dari kata tersebut, namun Yesus menyatakan bahwa hal itupun "tidak akan ditiadakan." Ini merupakan gaya bahasa yang Yesus gunakan untuk menegaskan tentang kesempurnaan dan keutuhan seluruh bagiannya, yang dalam langgam bahasa kita sering disebut dengan ungkapan "sampai titik-komanya."

Tentu saja pernyataan Yesus ini sangat sedap dalam pendengaran kaum Farisi dan ahli Taurat, seolah-olah Yesus membela apa yang mereka ajarkan. Memang begitu. Tetapi hal yang mungkin tidak menyenangkan bagi kelompok elit agama Yahudi itu ialah pernyataan Yesus sebelumnya, "Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya" (ay. 17; huruf miring ditambahkan). Kata asli (Grika) yang diterjemahkan dengan "menggenapi" di sini adalah plērōsai, yang juga dapat berarti "menyelesaikan" atau "menuntaskan" (Strong; G4137).

"Yesus memulai bagian ini dengan kepastian bahwa Ia telah datang bukan untuk 'meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi' (Mat. 5:17)...Tidak peduli apapun yang dikatakan oleh para penentang-Nya, Yesus tidak menyerang kitab yang menyatakan kehendak Bapa-Nya. Gantinya, tujuan-Nya adalah untuk 'menggenapi' hukum dan kitab para nabi, bukan melakukan yang berlawanan dengan itu" [alinea pertama: kalimat pertama dan dua kalimat terakhir].

Hukum yang mana? Pertanyaannya, ketika Yesus berkata bahwa tidak satu iota atau satu titik pun dari "hukum" itu akan ditiadakan, apakah Ia sedang berbicara tentang "hukum Taurat" itu secara keseluruhan? Kalau itu yang dimaksudkan--yaitu keseluruhan Torah yang terdiri atas tiga komponen itu, termasuk hukum upacara keagamaan dan hukum sipil--itu berarti para pengikut Kristus sekarang pun harus menjalankan seluruh hukum Taurat, tidak terkecuali hukum perihal sunat, agar dapat dibenarkan. Tentu saja ini akan bertentangan dengan Injil yang Yesus beserta rasul-rasul-Nya sendiri ajarkan, "Sebab Kristus adalah kegenapan hukum Taurat, sehingga kebenaran diperoleh tiap-tiap orang yang percaya" (Rm. 10:4; huruf miring ditambahkan).

Matius 5:17-18 harus dibaca sebagai satu bagian yang utuh. Versi BIMK menerjemahkan kedua ayat ini begini: "Janganlah menganggap bahwa Aku datang untuk menghapuskan hukum Musa dan ajaran nabi-nabi. Aku datang bukan untuk menghapuskannya, tetapi untuk menunjukkan arti yang sesungguhnya. Ingatlah! Selama langit dan bumi masih ada, satu huruf atau titik yang terkecil pun di dalam hukum itu tidak akan dihapuskan, kalau semuanya belum terjadi!" (huruf miring ditambahkan). Kata Grika yang diterjemahkan dengan "terjadi" pada ayat 18 ini adalah ginomai, sebuah kata kerja yang juga berarti "muncul dalam sejarah" (menyangkut peristiwa) atau "terlaksana" (menyangkut mujizat dan rencana).

Jadi, kedatangan Yesus yang pertama adalah untuk "menunjukkan arti yang sesungguhnya" dari hukum itu, yang setitik pun dari bunyi hukum itu tidak akan dihapuskan "kalau semuanya belum terjadi." Artinya, kedatangan Yesus itu untuk membuka mata semua orang Yahudi mengenai arti sesungguhnya dari upacara persembahan kurban yang mereka jalankan setiap hari, yang hanya akan dihapuskan apabila semua yang dilambangkannya itu sudah terjadi. Mungkinkah yang Yesus maksudkan di sini adalah hukum upacara agama, yang oleh kematian-Nya di kayu salib Dia telah menggenapi esensi hukum tersebut dan seluruh isi kitab para nabi? Sehingga menjelang kematian-Nya di atas salib itu, "...berkatalah Ia: 'Sudah selesai.' Lalu Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya" (Yoh. 19:30).

"Setelah menegaskan keseluruhan maksud-Nya, Yesus mengalihkan penekanan dari Perjanjian Lama secara umum kepada hukum pada khususnya. Hampir seolah-olah Ia sudah tahu bahwa manusia sekali kelak akan menuduh Dia menghapus hukum, Ia peringatkan bahwa selama langit dan bumi ada hukum itu akan terus ada sampai semuanya 'terjadi' (Mat. 5:18). Dengan pernyataan ini, Yesus memastikan keabadian dari hukum itu" [alinea ketiga].

Apa yang kita pelajari tentang Yesus yang menggenapi hukum Taurat?
1. Pernyataan Yesus bahwa hukum Taurat itu tidak akan dihapuskan (atau ditiadakan) sampai seluruhnya digenapi menunjukkan kesempurnaan hukum itu. Langit dan bumi bisa lenyap, tapi hukum Taurat tidak akan pernah ditiadakan, sampai semuanya sudah terjadi.
2. Yesus Kristus adalah kegenapan hukum Taurat (Rm. 10:4), bukan berada di bawah hukum Taurat. Sebagai orang Yahudi ("Anak Manusia") maka Yesus tunduk kepada hukum Taurat, tetapi sebagai Mesias (Anak Allah) Ia menggenapi isi hukum Taurat itu.
3. Hanya hukum moral--Sepuluh Perintah--yang abadi dan universil, sedangkan dua komponen hukum Taurat lainnya--hukum upacara agama dan hukum sipil--bersifat sementara dan terbatas. Kematian Yesus menggenapi kedua hukum itu, "Sebab sekiranya ada kebenaran oleh hukum Taurat, maka sia-sialah kematian Kristus" (Gal. 2:21).

2. PEMAKNAAN BARU HUKUM KEENAM (Pembunuhan)

Siapa berniat membunuh. Pekan lalu kita sudah membahas apa yang Kristus tuntut dari para pengikut-Nya, yaitu kebenaran yang melampaui kebenaran orang Farisi (lihat Pelajaran hari Kamis, 17 April). "Jadi, ingatlah," kata Yesus, "Kalian tidak mungkin menjadi umat Allah, kalau tidak melebihi guru-guru agama dan orang-orang Farisi dalam hal melakukan kehendak Allah!" (Mat 5:20, BIMK). Memang, dalam hal pengetahuan dan penguasaan tentang Torah, siapa yang bisa menandingi kaum Farisi dan para ahli Taurat? Namun demikian, menjadi umat Allah itu bukan diukur dengan seberapa luasnya pengetahuan seseorang tentang hukum Allah, melainkan seberapa banyak dia melakukan kehendak Allah. Pengetahuan tentang kebenaran Allah adalah satu hal, pengamalan kebenaran Allah adalah hal yang lain.

Sesudah menyampaikan pernyataan tersebut di atas, menurut catatan Matius, Yesus langsung mengemukakan pandangan-Nya perihal penurutan hukum yang sesuai dengan kehendak Allah. "Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum," kata-Nya (ay. 21). Jangan lupa bahwa "khotbah di atas bukit" itu ditujukan kepada hadirin yang kebanyakan terdiri atas rakyat biasa yang telah datang berkumpul dari berbagai tempat. Yesus tahu bahwa orang banyak itu belajar tentang hukum Allah dari guru-guru agama, itu sebabnya Dia katakan mereka telah mendengar. "Tetapi Aku berkata kepadamu," lanjut Yesus, "Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum..." (ay. 22; huruf miring ditambahkan). Kata Grika yang diterjemahkan dengan "marah" di sini adalah orgizō, sebuah kata kerja yang mengandung arti ganda, yaitu "terprovokasi sehingga marah" dan juga "memprovokasi atau membangkitkan amarah" (Strong; G3710).

"Dalam penjelasan-Nya, Yesus tidak fokuskan pada tindakan itu sendiri melainkan pada motif dan niat dari orang yang melakukan tindakan itu. Seseorang bisa saja merenggut nyawa secara tidak sengaja, tetapi orang yang bermaksud hendak membunuh itu sudah melewati suatu masa pertimbangan. Dosa terjadi bahkan sebelum orang itu melaksanakan perbuatan yang mengerikan. Banyak orang yang berpotensi untuk membunuh hanya saja terhenti karena kurangnya kesempatan" [alinea kedua: empat kalimat terakhir].

Tentang amarah dan benci. Hukum positif menetapkan bahwa tindak pidana pembunuhan merupakan kejahatan yang berat. Dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) ketentuan-ketentuan tentang tindak pidana menyangkut pencabutan nyawa orang lain ini diatur dalam Bab XIX, pasal 338 sampai 350, di mana pembunuhan secara sengaja dituntut dengan hukuman yang lebih berat kalau disertai dengan unsur pemberatan dan terencana (moord). Tetapi hukum juga membedakan antara tindakan pembunuhan dengan sengaja (dolus) dan tidak sengaja (alpa). KUHP mengatur tindak pidana pembunuhan secara tidak sengaja dalam pasal 359. Dalam Torah juga diatur tentang tindakan pembunuhan secara tidak sengaja, yaitu ketika Allah memerintahkan melalui Musa agar setelah bermukim di Tanah Perjanjian Kanaan bangsa Israel harus membangun enam "kota perlindungan" sebagai tempat pelarian bagi pelaku pembunuhan dengan tidak sengaja, karena itu kota-kota tersebut lokasinya harus terpencar serta bisa dijangkau dari arah mana saja sebelum matahari terbenam (baca Bilangan 35 dan Yosua 20-21).

Namun, berdasarkan perkataan Yesus yang menyamakan amarah dengan pembunuhan, enam kota perlindungan itu tidak cukup untuk menampung semua pelaku tindak pidana pembunuhan. Ketika mengatakan "Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah kepada saudaranya harus dihukum" (Mat. 5:22), Yesus bukan sekadar mengemukakan sebuah "pendapat hukum" perihal membunuh, tetapi Ia sedang menunjukkan otoritas-Nya sebagai Pembuat hukum itu sendiri. Belakangan Yohanes, salah seorang murid-Nya yang terdekat, menegaskan kembali hal yang sama dengan berkata, "Setiap orang yang membenci saudaranya, adalah seorang pembunuh manusia. Dan kamu tahu, bahwa tidak ada seorang pembunuh yang tetap memiliki hidup yang kekal di dalam dirinya" (1Yoh. 3:15). Artinya, membenci orang lain itu sama dengan membunuh, dan seorang pembunuh tidak akan selamat atau beroleh hidup yang kekal! "Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu," Yesus menasihati (Mat. 5:23-24; huruf miring ditambahkan).

"Walaupun Alkitab sering berbicara tentang dahsyatnya kata-kata, di sini Yesus membawanya ke tingkat yang lebih mendalam. Seringkali satu-satunya maksud dari kata-kata kasar atau makian adalah untuk menimbulkan perasaan negatif pada korban. Maksud Yesus sangat jelas. Bukan saja mereka yang melaksanakan tindak kejahatan itu yang bersalah melakukan pembunuhan, tetapi juga orang-orang yang mengucapkan kata-kata kasar kepada orang lain atau bahkan mereka yang memikirkan pembunuhan" [alinea terakhir: tiga kalimat pertama].

Apa yang kita pelajari tentang perluasan makna soal "pembunuhan" menurut Yesus?
1. Mungkin hanya segelintir dari antara kita--kalau pun ada--yang pernah membunuh orang lain secara fisik dan langsung; sebaliknya, hanya segelintir pula dari antara kita--kalau pun ada--yang tidak pernah "membunuh" dalam pemaknaan baru yang dikemukakan Yesus tentang hukum keenam, "Jangan membunuh." Kita semua pernah marah dan benci.
2. Pernahkah anda begitu marah kepada seseorang sehingga begitu membencinya? Di dalam hati, apa yang anda inginkan terjadi pada orang itu? Dalam hal tindak kriminal membunuh orang, secara teoretis itu dapat terjadi dengan sengaja maupun tidak sengaja atau kecelakaan. Tetapi tidak ada orang waras yang memaki dan membenci orang lain secara tidak sengaja!
3. Marah dan benci adalah lawan dari kasih, padahal dasar dari Hukum Allah adalah kasih. Mereka yang mengaku pemelihara Hukum Allah haruslah orang-orang yang memiliki dan mempraktikkan kasih kepada Allah dan kepada sesama manusia. Jangankan mencabut nyawa orang lain, mereka yang mengasihi sesamanya tidak akan pernah membenci orang lain.

3. PEMAKNAAN BARU HUKUM KETUJUH (Perzinaan)

Apa kata Yesus tentang berzina. Mungkin kalau ada satu hukum dalam Sepuluh Perintah (hukum moral) yang paling banyak dan sering menjerat umat Tuhan, itu adalah hukum ketujuh tentang berzina. Lebih-lebih lagi kalau kita menyadari apa yang Yesus katakan soal berzina, "Kamu telah mendengar firman: Jangan berzina. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzina dengan dia di dalam hatinya" (Mat. 5:27-28; huruf miring ditambahkan). Kata Grika blepō yang diterjemahkan dengan "memandang" dalam ayat ini selain berarti melihat dengan mata, juga memandang "dengan perasaan" dan "dengan pikiran" (Strong; G991). Dalam khazanah Bahasa Indonesia kita bisa menemukan kata-kata lain dengan tingkat intensitas pikiran tertentu seperti melirik, menatap, dan menyimak. Kita juga mengenal ungkapan "memandang dengan penuh arti" yang menerangkan adanya keterlibatan perasaan atau batin. Kata Grika lainnya dalam ayat ini adalah epithymeō yang diterjemahkan di sini dengan "menginginkan" atau "menaruh hasrat."

Perhatikan bahwa di sini Yesus tidak mengatakan bahwa "berzina dalam hati" dengan "berzina dalam tindakan" itu sama, tetapi yang Yesus maksudkan ialah bahwa keduanya adalah dosa. Sebab ada sebagian orang yang tidak pernah berzina dalam perbuatan bukan karena mereka tidak punya keinginan atau hasrat, tetapi karena tidak ada kesempatan atau kurang keberanian. Soal apakah hanya kaum pria saja yang bisa berzina di dalam hati atau pikiran, sebagaimana tercermin dari bunyi ayat ini, hal itu tentu terpulang kepada pribadi dari kaum wanita itu sendiri. Mungkin di zaman Yesus kecenderungan untuk berzina melalui lirikan dan tatapan mata lebih banyak terjadi di kalangan laki-laki, tetapi pada zaman ini dengan peradaban dan moralitas yang sudah jauh berbeda tentu lain keadaannya.

"Perzinaan sering dimulai jauh sebelum tindakan-tindakan itu dilakukan. Sebagaimana pembunuhan dimulai dengan niat untuk menimbulkan kemalangan permanen terhadap satu orang, perzinaan berawal tepat pada saat ketika seseorang menaruh perasaan birahi pada orang lain, menikah ataupun bujangan, terhadap siapa dia tidak terikat perkawinan" [alinea kedua].

Solusi untuk tidak berdosa. Sebagaimana halnya dengan hukum keenam tentang membunuh, Yesus juga memperluas makna hukum ketujuh tentang berzina. "Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu...Dan jika tanganmu yang kanan menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu..." (Mat. 5:29-30). Logika yang sama dengan ungkapan berbeda digunakan Yesus ketika Ia berkata, "Dan jika tanganmu menyesatkan engkau, penggallah, karena lebih baik engkau masuk ke dalam hidup dengan tangan kudung dari pada dengan utuh kedua tanganmu dibuang ke dalam neraka...Dan jika kakimu menyesatkan engkau, penggallah, karena lebih baik engkau masuk ke dalam hidup dengan timpang, dari pada dengan utuh kedua kakimu dicampakkan ke dalam neraka...Dan jika matamu menyesatkan engkau, cungkillah, karena lebih baik engkau masuk ke dalam Kerajaan Allah dengan bermata satu dari pada dengan bermata dua dicampakkan ke dalam neraka" (Mrk. 9:43, 45, 47).

Tentu saja memutilasi anggota-anggota tubuh tidak menjamin akan mencegah seseorang dari berbuat dosa, sebab meskipun dalam keadaan tubuh yang cacad (misalnya: bertangan satu dan bermata satu) seseorang masih dapat melanggar hukum keenam dan hukum ketujuh sehingga berdosa. Namun di sini Yesus sedang mengutarakan bahwa untuk tidak berbuat dosa memang harganya sangat mahal, memerlukan pengorbanan yang tidak kecil. Manusia tidak pernah bisa lepas dari kuasa dosa oleh kekuatannya sendiri, sehingga rasul Paulus mengeluh, "Aku manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?" (Rm. 7:24).

"Di sini juga Yesus menyediakan obat instan untuk dosa-dosa yang telah dinyatakan. Solusinya bukanlah menuruti keinginan dosa melainkan mendapatkan pertobatan hati. Dengan kiasan-kiasan yang tajam Yesus menasihati orang yang mengalami masalah itu agar melakukan apa yang perlu jika dia ingin masuk kerajaan surga. Ini bisa berarti mengambil rute berbeda ke tempat kerja atau memutuskan suatu persahabatan yang disukai, tetapi keuntungan yang kekal jauh lebih berharga daripada kegairahan sesaat" [alinea ketiga].

Apa yang kita pelajari tentang perluasan makna soal "berzina" menurut Yesus?
1. Dosa selalu bertumbuh di dalam hati, bersemi di dalam pikiran, lalu berbuah dalam perbuatan. Mata adalah indera penting yang Allah ciptakan untuk kebaikan manusia, tetapi mata yang disalahgunakan telah turut berperan terjadinya dosa di Taman Eden (Kej. 3:6). Hingga sekarang ini mata menjadi indera yang paling sering menimbulkan dosa.
2. Berhenti berbuat dosa membutuhkan tidak saja penyerahan dan doa, tapi juga tekad dan pengorbanan. Membuang anggota-anggota tubuh dengan apa kita berdosa sama sekali tidak menjamin dapat menghindarkan dosa, tetapi Yesus hendak menekankan bahwa pengorbanan adalah harga yang pantas untuk dibayar seseorang yang ingin berhenti berbuat dosa.
3. Nasihat rasul Paulus berikut ini sangat relevan bagi kita: "Karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi, yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala, semuanya itu mendatangkan murka Allah (atas orang-orang durhaka)" (Kol. 3:5-6).
 
4. PENISTAAN NAMA ALLAH (Janji-janji)

Perceraian dan sumpah perkawinan. Adalah menarik bahwa dalam khotbah di atas bukit itu Yesus mengaitkan hukum ketujuh tentang berzina dengan hukum kesembilan tentang berdusta dalam konteks perkawinan. Yesus berkata, "Ada juga ajaran seperti ini: setiap orang yang menceraikan istrinya, harus memberikan surat cerai kepadanya. Tetapi sekarang Aku berkata kepadamu: barangsiapa menceraikan istrinya padahal wanita itu tidak menyeleweng, menyebabkan istrinya itu berzina kalau istrinya itu kawin lagi. Dan barangsiapa yang kawin dengan wanita yang diceraikan itu, berzina juga. Kalian tahu bahwa pada nenek moyang kita terdapat ajaran seperti ini: jangan mungkir janji. Apa yang sudah kau janjikan dengan sumpah di hadapan Allah, harus engkau melakukannya" (Mat. 5:31-33, BIMK).

Sebenarnya soal perceraian tidak terdapat dalam Sepuluh Perintah, tetapi Yesus mengutipnya dari hukum Musa yang tertulis dalam Ulangan 24:1-4 di mana diatur tentang perceraian. Mengenai kenapa perceraian seakan dibolehkan dalam hukum Musa, Yesus pernah berkata, "Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan istrimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian. Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan istrinya, kecuali karena zina, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zina" (Mat. 19:8-9).

Ketika seorang lelaki dan seorang wanita memasuki mahligai rumahtangga, dan di hadapan pendeta sebagai hamba Tuhan mengucapkan sumpah perkawinan di hadapan Allah untuk tetap setia dan saling menyayangi sampai mati, pasangan suami-istri itu telah berjanji di hadapan Allah serta di hadapan hadirin sebagai saksi-saksi. Pengingkaran atas janji itu--terkecuali atas alasan pelanggaran moral yang dapat dibuktikan--adalah "bersumpah dusta" di atas nama Tuhan dan dengan demikian menistakan "kekudusan nama Allah" (Im. 19:12). "Kembali di sini terbukti bahwa kepedulian Yesus adalah soal niat. Siapa pun yang membuat janji tanpa niat untuk memenuhinya itu berarti telah mengambil suatu keputusan secara sadar untuk berdosa...Meskipun perintah tentang bersumpah palsu menyangkut janji-janji kepada sesama manusia, perintah yang kedua berkaitan dengan janji-janji kepada Allah" [alinea kedua: dua kalimat terakhir; alinea ketiga].

Soal bernazar. Yesus kemudian berkata, "Kamu telah mendengar pula yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan bersumpah palsu, melainkan peganglah sumpahmu di depan Tuhan. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah sekali-kali bersumpah..." (Mat. 5:33-34). Kata Grika yang diterjemahkan dengan "bersumpah palsu" pada ayat 33 adalah epiorkeō (Strong; G1964), sedangkan "bersumpah" pada ayat 34 adalah omnyō, sebuah kata kerja yang juga dapat berarti "berjanji dengan sumpah" (Strong; G3660). Dalam masa PL soal bersumpah tampaknya adalah hal yang lumrah (baca Kej. 28:20; Bil. 30:2-3; Hak. 11:30; 1Sam. 1:11), bahkan oleh Allah sendiri (Kej. 26:3; Kel. 6:8; Ul. 2:14). Kata Ibrani yang diterjemahkan dengan "sumpah" dalam ayat-ayat ini adalah nadar (Strong; H5087) sebuah kata kerja yang merupakan akar kata dari neder (Strong; H5088), sebuah kata benda maskulin yang dalam PL diterjemahkan dengan "nazar" (Im. 7:16; 27:2; Mzm. 65:1). Pada Alkitab versi TB tampaknya kata "sumpah" (nadar) dan "nazar" (neder) digunakan secara bergantian.

Dalam bahasa Indonesia, definisi dari kata "sumpah" ialah (1) "pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Tuhan..." atau (2) "pernyataan disertai tekad melakukan sesuatu untuk menguatkan kebenarannya atau berani menderita sesuatu kalau pernyataan itu tidak benar" dan juga (3) "janji atau ikrar yang teguh (akan menunaikan sesuatu)." Selain itu dalam kosakata bahasa Indonesia terdapat pula kata "kaul" sebagai sinonim dari kata nazar, yang artinya "niat yang diucapkan sebagai janji untuk melakukan sesuatu jika permintaannya dikabulkan" (KBBI).

Dalam soal nazar hukum Musa menegaskan, "Apabila engkau bernazar kepada TUHAN, Allahmu, janganlah engkau menunda-nunda memenuhinya, sebab tentulah TUHAN, Allahmu, akan menuntutnya dari padamu, sehingga hal itu menjadi dosa bagimu. Tetapi apabila engkau tidak bernazar, maka hal itu bukan menjadi dosa bagimu. Apa yang keluar dari bibirmu haruslah kau lakukan dengan setia, sebab dengan sukarela kau nazarkan kepada TUHAN, Allahmu, sesuatu yang kau katakan dengan mulutmu sendiri" (Ul. 23:21-23). Kata Ibrani yang diterjemahkan dengan "nazar" dalam ayat-ayat ini adalah nadar. Maksud Yesus dengan mengatakan "jangan sekali-kali bersumpah" (Mat. 5:34) ialah untuk mengingatkan bahwa daripada berdosa lebih baik tidak mengucapkan sumpah tapi tanpa kebenaran ataupun janji tapi tanpa kenyataan. "Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya; jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak," tandas-Nya (ay. 37).

"Tidak seperti orang yang bersalah karena bersumpah palsu, seorang yang mengadakan janji soal keuangan kepada Allah belum tentu bermaksud untuk menipu. Akan tetapi, Yesus mengetahui sifat alamiah manusia dan mengingatkan tentang berjanji yang belakangan disesalinya. Ketimbang menjanjikan yang mungkin di luar kemampuan seseorang untuk memenuhinya, orang Kristen haruslah menjadi seorang yang berintegritas di mana ya berarti 'ya' dan tidak berarti 'tidak'" [alinea terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang janji yang tidak dipenuhi berarti dosa?
1. Perkawinan adalah hal yang serius dan harus dijalani dengan sikap yang serius pula. Sejak awal Allah tidak menghendaki adanya perceraian dalam suatu perkawinan, sebab perceraian bukanlah solusi satu-satunya dari pernikahan yang kandas di tengah jalan. Dalam hukum Musa, perceraian bukan sekadar mengeluarkan surat cerai, tetapi mengandung implikasi perzinaan.
2. Sumpah perkawinan adalah hal yang sakral di mata Tuhan, dan siapa yang melanggar sumpah itu dianggap berdosa. Dalam hal ini Allah menilai niat seseorang ketika mengucapkan sumpah itu, apakah dia memang bertekad akan terus memelihara janji itu dengan terus berusaha mempertahankan kehidupan rumahtangganya.
3. Bersumpah maupun berjanji atas nama Tuhan tanpa disertai niat yang sungguh untuk memenuhinya adalah penistaan terhadap nama Tuhan. Ketidakmampuan untuk menggenapi janji berbeda dengan ketiadaan niat untuk memenuhi janji. Itu sebabnya, daripada menyesal dan berdosa, lebih baik tidak mengangkat sumpah atau mengadakan janji yang tidak bisa ditepati.

5. MENYOAL HUKUM BALAS DENDAM (Lex Talionis)

Prinsip balas-membalas. Bagi banyak orang "keadilan" itu berarti "pembalasan yang setimpal." Seperti yang saya saksikan pada siaran berita televisi lokal beberapa waktu lalu yang menayangkan proses peradilan atas seorang pelaku pembunuhan, termasuk wawancara dengan keluarga korban yang hadir di persidangan itu. Saat ditanya apa yang mereka harapkan dari keputusan hakim, secara serentak mereka menyebutkan "dihukum seberat-beratnya." Harapan yang tipikal, sebab semua masyarakat Amerika jika ditanya soal hukuman terhadap pelaku kejahatan, jawabannya selalu hukuman yang setimpal. Tampaknya prinsip balas-membalas membuat rakyat negeri ini bebas memiliki dan membawa senjata api untuk membela diri. Bahkan pekan ini gubernur salah satu negara bagian sudah menandatangani sebuah RUU menjadi undang-undang yang membolehkan senjata api dibawa masuk ke gereja karena sekarang penjahat juga beraksi di lingkungan gereja. Alangkah berbeda dengan sikap jemaat sebuah gereja di pesisir Jakarta saat berkumpul di lahan bekas bangunan gereja mereka yang dibakar massa lalu berdoa dengan nyaring, "Tuhan ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat."

Di atas bukit itu Yesus berkata kepada orang banyak yang dengan takzim menyimak khotbah-Nya, "Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu" (Mat. 5:38-39). Hukum Musa yang Yesus kutip di sini terdapat dalam Keluaran 21:24, sebuah prinsip balas-membalas yang dijalankan sampai sekarang oleh pemerintah negara Israel moderen khususnya terhadap musuh mereka. Tetapi masyarakat kita bisa lebih galak lagi, sekiranya kita juga menjalankan prinsip yang terkandung dalam peribahasa "pembalasan lebih kejam dari perbuatan" yang populer itu. Tentu perkataan Yesus bahwa "kalau pipi kanan kita ditampar orang berikan juga pipi kiri" itu tidak harus diartikan secara harfiah, tetapi prinsipnya di sini ialah bahwa bila kita disakiti atau dijahati orang janganlah membalas melainkan menerimanya dengan sabar.

"Adalah penting untuk menyadari bahwa prinsip ini ada untuk membatasi pembalasan, yakni untuk menjaga orang-orang dari mengupayakan secara berlebih dari suatu perbuatan salah yang dilakukan terhadap mereka lebih dari apa yang layak mereka dapatkan. Jadi, dalam banyak hal, hukum ini adalah untuk memastikan bahwa keadilan tidak diselewengkan" [alinea kedua].

Membalas jahat dengan kasih. Dalam falsafah duniawi, nasihat Yesus untuk memberi pipi kiri juga apabila pipi kanan anda ditampar adalah suatu hal yang tidak masuk akal. Namun Yesus tidak berhenti sampai di situ, malahan menambahkan, "Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu" (Mat. 5:43-44). Ajaran asli dalam hukum Musa yang dikutip Yesus ini terdapat dalam Imamat 19:18, yang isinya melarang balas dendam "terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri..." Tapi tampaknya guru-guru agama telah memanipulasi hukum ini dengan menambahkan kata-kata yang jahat, "bencilah musuhmu" yang sebenarnya tidak ada dalam hukum Musa itu. Sebab menurut Yesus, "Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian?" (ay. 46-47). Dengan kata lain, anda tidak perlu menjadi orang Kristen untuk bisa membalas kebaikan dengan kebaikan dan keramahtamahan dengan keramahtamahan.

"Antitesis terakhir menyangkut sikap yang mendorong kasih kepada sahabat-sahabat dan kebencian terhadap musuh-musuh...Dalam konteks dunia di zaman Yesus, orang Yahudi sedang berada di bawah pendudukan asing oleh kekuasaan Romawi yang bersifat menekan dan orang Yahudi dianggap sebagai warga nomor dua di negeri mereka sendiri. Karena tekanan itu mereka mungkin merasa adil membenci musuh mereka itu yang sering menekan mereka dengan kejam. Yesus menunjukkan kepada mereka suatu cara hidup yang lebih baik, sekalipun berada di bawah keadaan yang kurang ideal" [alinea keempat: kalimat pertama, dan alinea terakhir].

Pena inspirasi menulis: "Perwujudan kebencian tidak pernah meluluhkan kedengkian musuh-musuh kita, tetapi kasih dan kebaikan melahirkan kasih dan kebaikan kembali...Yesus mengajarkan para pengikut-Nya bahwa mereka harus menjalankan keramahtamahan seorang Kristen terhadap semua yang berada dalam pengaruh mereka, bahwa mereka tidak boleh melupakan perbuatan-perbuatan pengasihan, dan bilamana diminta untuk berbuat kebaikan mereka harus menunjukkan suatu kebajikan yang lebih tinggi dari orang dunia. Anak-anak Allah harus mewakili semangat yang menguasai Surga. Prinsip-prinsip perbuatan mereka tidak boleh sama sifatnya dengan semangat dunia yang sempit dan cinta diri" (Ellen G. White, "Risalah: Redemption, or the Teachings of Christ, the Annointed One," hlm. 77).

Apa yang kita pelajari tentang ajaran Yesus perihal balas-membalas?
1. "Hak-Kulah dendam dan pembalasan," kata Tuhan (Ul. 32:35). Jadi, setiap umat Tuhan yang berusaha melakukan pembalasan terhadap orang yang berbuat jahat kepadanya, tanpa disadari dia sedang merampas hak Allah! Satu-satunya pembalasan yang diizinkan bagi pengikut Kristus ialah membalas kejahatan dengan kebaikan.
2. Prinsip Kristiani yang membalas kejahatan dengan kebaikan menjadikan orang Kristen berbeda dari dunia. Rasul Petrus mengingatkan, "Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib" (1Ptr. 2:9).
3. Ketika Yesus mengatakan, "Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di surga" (Mat. 5:44-45), Yesus sedang mengajarkan kepada kita prinsip-prinsip surgawi oleh sebab kita kelak akan menjadi warganegara Surga.

PENUTUP

Prinsip kasih. Kekristenan dibangun atas prinsip kasih; kasih kepada Allah secara vertikal, dan kasih kepada sesama manusia secara horisontal. Kalau anda dan saya tidak mampu hidup dan berdiri di atas prinsip kasih, percuma saja kita menjadi orang Kristen. Prinsip Kekristenan yang kedua adalah pengorbanan, sebab Yesus Kristus mengajarkan tentang berkorban dan Dia sendiri sudah mengorbankan diri-Nya bagi manusia. Kalau untuk berkorban perasaan saja anda tidak bisa, lalu apa yang anda harapkan dengan menjadi orang Kristen?

"Kasih adalah prinsip yang mengikat dalam hukum Allah. Dalam setiap antitesis, Yesus meninggikan prinsip kasih: kasih menjaga seseorang dari menaruh kebencian terhadap saudarinya; kasih menjaga seorang suami dan istri tetap bersama-sama; kasih menantang orang Kristen untuk selalu jujur dalam berurusan dengan orang lain dan dengan Allah; kasih membiarkan seseorang untuk bereaksi dalam kebaikan ketika dia diperlakukan secara tidak baik; dan kasih memberdayakan seseorang untuk memperlakukan musuhnya sebagaimana dirinya ingin diperlakukan" [alinea kedua].

Sesungguhnya doktrin Alkitab, jika dijalankan secara konsisten dan diamalkan dengan sungguh-sungguh, akan melahirkan orang-orang Kristen yang tangguh kerohaniannya dan luhur tabiatnya. Masalahnya, kita sering hanya sanggup menjadi pendengar yang baik tetapi tidak mampu menjadi pelaku yang baik. Prinsip itu cuma slogan kalau kita tidak mewujudkannya dalam kehidupan nyata.

"Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri. Sebab jika seorang hanya mendengar firman saja dan tidak melakukannya, ia adalah seumpama seorang yang sedang mengamat-amati mukanya yang sebenarnya di depan cermin. Baru saja ia memandang dirinya, ia sudah pergi atau ia segera lupa bagaimana rupanya" (Yak. 1:22-24).

DAFTAR PUSTAKA:

 1.   Keith Augustus Burton, Kristus dan Hukum-Nya -Pedoman Pendalaman Alkitab SSD,  Indonesia Publishing House, April - Juni 2014.

2.   Loddy Lintong, California, U.S.A-Face Book.

 

 

Kamis, 24 April 2014

3. TRADISI AGAMA DAN AGAMA TRADISI.

"KRISTUS DAN TRADISI KEAGAMAAN"

PENDAHULUAN

Definisi. Apakah tradisi? Apakah agama? Kamus Merriam-Webster Online menerangkan, tradisi ialah "suatu cara berpikir, berperilaku, atau melakukan sesuatu yang telah digunakan oleh orang-orang dalam satu kelompok, keluarga, masyarakat tertentu untuk waktu yang lama." Tradisi, menurut Wikipedia, berasal dari kata kerja bahasa Latin, tradere, yang berarti "mewariskan" atau "menyerahkan untuk dipelihara." Sedangkan agama, menurut kamus Merriam-Webster, ialah "sebuah sistem yang tertata menyangkut keyakinan, upacara, dan aturan-aturan yang digunakan untuk beribadah kepada Tuhan." Wikipedia menyebutkan bahwa agama berasal dari kata Latin religio yang artinya "rasa hormat terhadap apa yang sakral" atau "kewajiban yang mengikat antara manusia dan Tuhan."

Tentu apa yang dicantumkan di sini adalah salah satu dari beberapa definisi yang disebutkan oleh sumber-sumber di atas, tetapi karena alasan tertentu definisi inilah yang dipilih oleh penulis. Berdasarkan definisi pilihan tersebut--sejauh menyangkut hubungan--maka secara sederhana dapat kita simpulkan bahwa "tradisi" adalah sebuah sistem yang berkaitan dengan hubungan antar-manusia, sedangkan "agama" adalah sistem yang menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan. Ketika kata "agama" dan kata "tradisi" dipersandingkan, kita menemukan kata majemuk "agama tradisi" yang memberi pemahaman baru tentang arti dari dua kata tersebut, yaitu: agama turun-temurun. Namun, apabila bentukan kata ini dibalik menjadi "tradisi agama" maka kita mendapatkan pengertian berbeda dari yang pertama tentang makna dua kata ini, yaitu: tradisi yang diagamakan. Secara tatabahasa ini hanya soal penempatan subyek-predikat, tetapi secara keimanan ini menyangkut keabsahan doktrin.

"Pelajaran pekan ini menelusuri tradisi-tradisi keagamaan di atas mana para ahli Taurat dan kaum Farisi mendasari banyak dari ajaran-ajaran mereka. Para rabi [=guru agama Yahudi] yang pada mulanya menuliskan tradisi-tradisi ini sangat menghormati Kitab Suci dan tidak bermaksud agar tradisi-tradisi ini diangkat statusnya setara dengan Firman Allah. Akan tetapi, sebagian dari murid-murid mereka yang sangat setia mengacaukan metode dengan pekabaran, dan dengan demikian mengalihkan fokus dari wahyu Allah yang tertulis kepada tradisi manusia" [alinea kedua].

Sebagaimana telah dibahas dalam pelajaran terdahulu, Yesus sering menghadapi serangan yang dilontarkan oleh kaum elit agama Yahudi, khususnya kaum Farisi dan para ahli Taurat, yang menuduh Yesus mengabaikan hukum agama. Di pihak lain Yesus pun kerap mengkritik mereka karena kemunafikan, hanya pintar mengajar tetapi tidak melaksanakan apa yang mereka ajarkan. "Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa. Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya," kata Yesus pada suatu kali (Mat. 23:2-3).

1. TERHORMAT TAPI MUNAFIK (Kursi Musa)

Posisi kaum Farisi. Versi BIMK menerjemahkan Matius 23:2, "Guru-guru agama dan orang-orang Farisi mendapat kekuasaan untuk menafsirkan hukum Musa" (huruf miring ditambahkan). Tampaknya frase "mendapat kekuasaan" lebih memperjelas tentang apa yang dimaksudkan dengan kata "kursi" dalam terjemahan versi TB, artinya bahwa para guru agama Yahudi dan kaum Farisi memang mendapat mandat untuk "menafsirkan" hukum Musa (Torah) menjadi petunjuk-petunjuk praktis yang bisa dijalankan oleh masyarakat awam bangsa Yahudi. Perkataan Yesus tentang hak para guru agama dan kaum Farisi menyangkut penafsiran hukum Musa itu merupakan pengakuan yang sesuai dengan apa yang diatur oleh Torah itu sendiri (baca Ul. 17:8-11).

Namun frase "kursi Musa" pada ayat di atas telah menimbulkan perdebatan dan interpretasi berbeda dari para pelajar Alkitab. Pada dasarnya perbedaan itu dapat dibagi ke dalam dua kelompok, sebagian menganggap itu adalah kata kiasan dan sebagian melihatnya dalam arti kata yang sebenarnya. Kelompok pertama menyebut bahwa "kursi Musa" adalah kiasan yang melambangkan status orang Farisi dan ahli Taurat sebagai ahli tafsir Hukum Musa, misalnya Craig S. Keener (A Commentary on the Gospel of Matthew) dan Mark Powell (Do and Keep What Moses Says). Sedangkan kelompok kedua memahami "kursi Musa" dalam arti kata sebenarnya, merujuk kepada sebuah tempat duduk di dalam sinagog di mana rabi-rabi dan ahli Taurat duduk menghadap kepada jemaat, misalnya Eleazar L. Sukenik (The Seat of Moses in Ancient Synagogues) dan G.C. Newport (A Note on the 'Seat of Moses') yang mengklaim bahwa dari hasil penggalian bekas sinagog-sinagog seperti di Chorazin, En Gedi, dan Hammat Tiberias telah ditemukan perabot berupa kursi khusus yang diduga disediakan untuk para ahli tafsir itu.

"Pada zaman ketika banyak orang Yahudi telah menjadi sangat dipengaruhi oleh budaya-budaya kafir, kaum Farisi melihat bahwa adalah tugas mereka untuk memastikan bahwa setiap laki-laki Yahudi telah diajar tentang hukum. Untuk melaksanakan tugas ini mereka membentuk jabatan rabi, yang secara harfiah artinya 'orangku yang agung' atau 'guruku'" [alinea kedua: dua kalimat terakhir].

Guru-guru yang munafik. Jadi, kedudukan kaum Farisi, dan juga ahli Taurat, sesungguhnya adalah jabatan yang penting dan diperlukan demi ditegakkannya Torah dan hukum Musa lainnya. Masalahnya, mereka hanya pintar mengajar dan menerangkan tentang Kitab Suci (Torah dan tulisan nabi-nabi) tetapi mereka sendiri tidak mengamalkan ajaran-ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari.

Yesus mengakui status orang Farisi dan ahli Taurat seperti itu, tetapi Ia mengecam mereka karena hanya bisa mengajar tetapi tidak tahu menjalankan apa yang diajarkan. Yesus menghargai kedudukan mereka, bukan perilaku mereka. "Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya. Mereka mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya" (ay. 3-4; huruf miring ditambahkan).

"Sementara kita menyimak ayat ini, kita dapati bahwa masalah besar yang Yesus miliki terhadap orang Farisi sebenarnya bukan karena mereka ingin orang lain memelihara hukum Musa, tetapi mereka sendiri tidak memeliharanya. Mereka itu orang munafik--mereka bicara satu hal, tapi melakukan hal lain--dan sekalipun mereka berbuat hal yang benar, mereka melakukannya dengan alasan yang salah" [alinea terakhir: dua kalimat terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang kedudukan orang Farisi dan ahli Taurat?
1. Pengetahuan agama dan pengamalan agama adalah dua hal yang berbeda. Kaum Farisi dan para ahli Taurat dihormati karena pengetahuan keagamaan mereka, tetapi hal itu tidak membebaskan mereka dari mengamalkan ajaran-ajaran agama yang mereka kuasai itu.
2. Seperti kaum Farisi dan ahli Taurat, penguasaan doktrin agama bisa membuat seseorang jadi fanatik dan legalistik, tetapi belum tentu membuat dia seorang yang saleh. Kesalehan diukur dari perbuatan dan perilaku keberagamaan, bukan dari sikap dan pandangan-pandangannya tentang agama.
3. Kalau dulu Yesus bermasalah dengan orang Farisi dan ahli Taurat karena perilaku mereka yang tidak sesuai dengan doktrin agama yang mereka ajarkan, Yesus juga mempunyai masalah dengan para pemuka gereja zaman ini yang pintar berkhotbah atau mengajar hanya sebagai "hiasan bibir" (lips service).

2. TIRANI KEAGAMAAN (Perintah Manusia)

Otoritas yang disalahgunakan. Kaum Farisi dan ahli Taurat adalah dua kelompok berbeda yang pada abad pertama dianggap sebagai kaum elit agama Yahudi. Kelompok Farisi umumnya berprofesi sebagai guru-guru agama, sementara kelompok ahli Taurat merupakan kaum cendekiawan yang menguasai detil-detil hukum Musa. Tidak diketahui secara pasti kapan kelompok Farisi itu berdiri, tetapi sejarahwan Flavius Josephus menyebut bahwa keberadaan mereka mulai muncul sekitar tahun 145 SM dan turut ambil bagian dalam Pemberontakan Maccabee melawan pendudukan Yunani purba atas wilayah Galilea. Kaum Farisi dikenal sebagai kelompok separatis (sesuai dengan nama mereka), dan sering juga disebut kaum Khasidim (artinya "setia kepada Allah" atau "yang mengasihi Allah") yang berjuang menentang pengaruh kebudayaan Grika yang mengajarkan penyembahan dewa-dewa.

Mungkin reputasi kaum Farisi dan ahli-ahli Taurat sebagai cendekiawan tidak terlalu buruk kalau saja mereka sendiri mengamalkan semua yang mereka ajarkan (yang memberatkan bagi kaum awam), dan tidak terlalu berlebihan dalam memaksakan ajaran-ajaran mereka (yang terkesan mengada-ada). Sebagaimana yang sering terjadi pada setiap zaman--termasuk zaman ini--kaum cerdik-pandai seringkali memanfaatkan ketidaktahuan kaum awam untuk "menguasai" mereka dengan menanamkan pengaruh-pengaruh. Tidak jarang orang-orang yang berpikiran sederhana dan bersahaja menjadi korban pendapat kaum terpelajar yang menjerumuskan.

"Sekalipun para ahli Taurat dan kaum Farisi 'duduk di kursi Musa,' sumber otoritas pengajaran agama mereka melampaui Perjanjian Lama. Hukum yang orang Farisi gunakan terdiri atas tafsir-tafsir alkitabiah dari para rabi terkemuka. Tafsir-tafsir ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan Kitabsuci tapi untuk melengkapinya" [alinea pertama: tiga kalimat pertama].

Adat-istiadat sebagai doktrin. Setiap masyarakat beradab di dunia ini mempunyai adat-istiadat yang bersifat mengikat sebagai nilai-nilai budaya dan kaidah-kaidah sosial yang terpelihara secara turun-temurun. Adat-istiadat itu sering dihormati sebagai hal yang sakral karena hal itu menjadi bagian dari jatidiri masyarakat tersebut. Meskipun banyak adat-istiadat masyarakat yang melambangkan keluhuran budi pekerti, ada sebagian adat-istiadat manusia yang terlalu diagungkan sehingga disejajarkan dengan dogma agama. Dalam kebudayaan Israel purba adat-istiadat yang diciptakan oleh orang Farisi sering dipaksakan untuk diperlakukan setara dengan hukum Musa, padahal semata-mata itu adalah hasil pemikiran manusia dan bukan ilham ilahi. Sejauh adat-istiadat dan aturan-aturan tambahan tersebut tidak menjadi hambatan dalam pengamalan hukum Allah, dan kedudukannya di bawah perintah Tuhan, Yesus tidak mempermasalahkannya.

Sebagai orang Kristen, kita menjadikan Alkitab sebagai landasan doktrinal dari setiap ajaran dan pendapat, sekalipun ajaran dan pendapat itu mungkin tidak diilhami oleh Roh Allah asalkan tidak bertentangan dengan doktrin alkitabiah. Meskipun begitu adalah berbahaya kalau kita memberi ruang yang terlampau luas bagi ajaran dan pendapat manusia sehingga tanpa disadari itu sudah menduduki tempat yang seharusnya ditempati oleh Alkitab sebagai otoritas tertinggi dalam hal doktrin Kekristenan.

"Tidaklah tampak bahwa Yesus mempunyai masalah dengan orang Farisi yang mempunyai aturan-aturan mereka sendiri. Namun, Dia ada masalah dengan pengangkatan aturan-aturan ini kepada status 'doktrin.' Tidak ada manusia yang memiliki otoritas untuk menciptakan larangan-larangan agama dan meninggikannya kepada tingkatan mandat ilahi...Petunjuk praktis bisa sangat membantu orang banyak memelihara hukum. Akan tetapi, petunjuk jangan pernah dibiarkan menggantikan tempat dari hukum itu sendiri" [alinea terakhir: tiga kalimat pertama dan dua kalimat terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang ajaran manusia dibandingkan dengan perintah ilahi?
1. Kaum Farisi dan ahli-ahli Taurat telah menjadi "tirani keagamaan" bagi bangsa Yahudi purba yang menuntut ketaatan masyarakat awam terhadap ajaran mereka. Di zaman moderen ini gereja juga tidak luput dari "tirani rohani" segelintir orang yang memaksakan pendapat mereka agar diterima sebagai doktrin.
2. Para pemimpin gereja, rohaniwan dan teolog, berpeluang menjadi "guru rohani" ataupun "tirani rohani" bagi kaum awam, bergantung pada bagaimana mereka menjalankan peran. Apakah mereka berperilaku selaras dengan perkataan mereka, atau meniru gaya orang Farisi dan ahli Taurat yang munafik.
3. Kekristenan hanya mengenal "satu Rabi, satu Bapa, dan satu Pemimpin" (Mat. 23:8-10), dengan Alkitab sebagai satu-satunya ajaran iman karena di luar itu adalah "ajaran atau perintah manusia" (Mat. 15:9). Memelihara adat-istiadat itu hanya menghargai nenek moyang, tapi menaati Firman Tuhan itu menghormati Allah.

3. MENGUTAMAKAN DOKTRIN, BUKAN KEBIASAAN (Tradisi Nenek Moyang*)
(*Judul asli: Traditions of the Elders)

Doktrin dan tradisi agama. Pada zaman Yesus hidup di dunia ini pengaruh ajaran-ajaran kaum Farisi dan para ahli Taurat sangat kuat di tengah masyarakat Yahudi. Sulit untuk membedakan antara hukum Musa yang asli dengan tafsir atas hukum Musa yang sudah mentradisi. Waktu itu tradisi agama adalah doktrin, dan doktrin adalah tradisi agama. Jangan lupa bahwa Torah terdiri atas tiga komponen pokok (hukum moral, hukum upacara agama, hukum sipil) di mana hukum upacara agama dan hukum sipil telah menjadi bagian yang melekat dalam kehidupan sehari-hari orang Israel, mulai dari masa pengembaraan di padang gurun sampai mereka bermukim di tanah Kanaan, dari generasi ke generasi selama berabad-abad. Kehadiran kaum Farisi (guru-guru agama) dan para ahli Taurat pada pertengahan abad kedua sebelum Kristus, yang memunculkan tafsir-tafsir mereka tentang Torah, semakin meramaikan khazanah tradisi keagamaan yang memberatkan masyarakat.

Salah satu teori tentang mengapa ajaran-ajaran kaum Farisi dan para ahli Taurat begitu berpengaruh dalam kehidupan bangsa Yahudi pada masa itu ialah karena murid-murid (=pengikut-pengikut) mereka terlalu bersemangat untuk menyebarkan dan sangat gigih membela ajaran-ajaran para guru mereka, seolah-olah itu adalah bagian yang tak terpisahkan dari Torah dan penurutan terhadap ajaran tersebut adalah wajib. Bukankah sekarang ini kita juga bisa menemukan gejala yang sama, ketika sebagian orang bukan lagi mengutip langsung dari Kitabsuci tetapi lebih suka mengutip "kata si anu" sebagai dasar keyakinan mereka?

"Seperti telah kita lihat, sebagian dari rabi-rabi itu menaruh perhatian begitu besar pada aturan-aturan dan tradisi-tradisi yang diciptakan untuk membantu dalam memelihara hukum Musa sehingga mereka gagal untuk membedakan antara keduanya. Tidak berapa lama kemudian kata-kata dari para rabi itu mendapatkan status resmi; umat mengira semua itu sama mengikatnya dengan Kitabsuci. Kemungkinan pada waktu rabi-rabi itu mula-mula menulis komentar-komentar mereka, mereka tidak bermaksud menambahkannya pada halaman-halaman Kitabsuci. Namun, murid-murid mereka yang setia mungkin beranggapan adalah tugas mereka untuk membagikan tafsir-tafsir yang unik ini kepada khalayak umum" [alinea pertama].

Kebiasaan nenek moyang. Doktrin ialah kodifikasi (susunan sistematis) dari keyakinan-keyakinan, sedangkan tradisi doktrinal adalah kerangka bagi keyakinan-keyakinan tersebut. Dalam situasi bangsa Yahudi abad pertama "doktrin" dan "tradisi doktrinal" memiliki keserupaan bentuk meskipun tidak sama dan sebangun. Doktrin agama Yahudi bersumber pada Torah atau Hukum Musa, tetapi tradisi agama berakar pada ajaran-ajaran tokoh agama yang dipelihara sebagai kebiasaan nenek moyang. Sebagai bangsa primordial, kebiasaan nenek moyang bagi orang Yahudi adalah norma-norma kehidupan yang dianggap sakral untuk terus dituruti dan dihidupkan.

Tatkala sekelompok orang Farisi dan ahli Taurat mengkritik murid-murid Yesus yang tidak cuci tangan sebelum makan, dengan tegas mereka menyebut hal itu sebagai pelanggaran terhadap tradisi nenek moyang, bukan hukum. "Mengapa murid-murid-Mu melanggar adat istiadat nenek moyang kita? Mereka tidak membasuh tangan sebelum makan," kata mereka kepada Yesus (Mat. 15:2). Kritikan ini dilontarkan karena dua alasan: pertama, murid-murid adalah orang Yahudi; kedua, tradisi cuci tangan sebelum makan adalah kebiasaan nenek moyang bangsa Yahudi. Sebagai orang Yahudi murid-murid itu seharusnya mengikuti tradisi para leluhur. Yesus pun tidak menyangkal hal itu, tetapi Dia balik mengkritik mereka. "Mengapa kamu pun melanggar perintah Allah demi adat istiadat nenek moyangmu? Sebab Allah berfirman: Hormatilah ayahmu dan ibumu; dan lagi: Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya pasti dihukum mati," kata-Nya (ay. 3-4). Lalu Yesus menyimpulkan, "Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadatmu sendiri" (ay. 6).

"Intensitas dari cara mereka bertanya itu menunjukkan bahwa bagi orang Farisi hal ini merupakan sebuah pelanggaran agama yang serius...Berdasarkan fakta bahwa mereka mengarahkan tuduhan mereka terhadap murid-murid Yesus maka kita bisa menyimpulkan bahwa Yesus sendiri tidak melanggar tradisi yang terkenal itu (Mrk. 7:3). Meskipun begitu Dia menyadari bahwa orang-orang Farisi itu membesar-besarkan hal-hal yang sepele" [alinea kedua: kalimat terakhir; dan alinea terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang sikap Yesus terhadap kebiasaan memelihara tradisi?
1. Banyak tradisi budaya dan adat-istiadat masyarakat kita yang baik dan patut dipertahankan, tetapi sebagus-bagusnya tradisi dan kebiasaan para leluhur tersebut itu tidak boleh menyebabkan kita mengabaikan perintah Tuhan. Ketaatan pada Hukum Allah harus berada di atas segala ketaatan pada tradisi manusia.
2. Orang-orang Kristen terdiri atas berbagai suku-bangsa yang berbeda-beda, dan Kekristenan tidak menghapus identitas etnis seseorang. Kemajemukan umat Kristen merupakan hakikat penginjilan (Mat. 28:19; Why. 14:6), di mana semuanya terpanggil ke dalam "satu tubuh, satu Roh,...satu pengharapan" (Ef. 4:4).
3. Kesetiaan kepada tradisi-budaya berhenti ketika kesetiaan kepada doktrin agama dimulai. Orang-orang Kristen yang mengedepankan fanatisme etnis sehingga mengorbankan keutuhan gereja adalah orang-orang dengan "mentalitas Farisi" yang akan menghambat pengembangan nilai-nilai Kristiani.

4. BERDIRI DI ATAS PRINSIP ILAHI (Aturan-aturan Manusia)

Gereja dan prinsip ilahi. Kekristenan telah didirikan di atas prinsip-prinsip ilahi yang teguh dan tidak berubah, bukan di atas prinsip atau aturan manusiawi yang berubah-ubah, dan Yesus Kristus adalah sebagai Batu Penjuru. Tatkala Yesus berkata kepada Petrus, "Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya" (Mat. 16:18), sebenarnya Dia bukan mengatakan bahwa Petrus adalah fondasi dari Gereja yang hendak didirikan-Nya. Dalam ayat ini terdapat dua kata tentang batu, yaitu petros (=batu kecil) dan petra (=batu karang besar). Maka, menurut beberapa komentator Alkitab, anak kalimat "engkau adalah petros" seharusnya dibaca "engkau adalah batu kecil," kemudian Yesus melanjutkan, "di atas petra ini [kemungkinan sambil menunjuk kepada Diri-Nya sendiri] Aku akan mendirikan jemaat-Ku..."

Pada kesempatan lain Yesus pernah menerangkan bahwa Diri-Nya adalah bagaikan batu yang dibuang tetapi kemudian menjadi Batu Penjuru (Mat. 21:42; Mrk. 12:10; Luk. 20:17). Petrus juga tidak pernah mengklaim dirinya adalah "batu" di atas mana gereja itu berdiri, malah dengan mengutip Yesaya 28:16 dia menegaskan bahwa Yesus itulah Batu Penjuru (1Ptr. 2:4-7). Hal yang sama diucapkannya juga ketika bersama Yohanes berbicara di hadapan imam besar Hanas dan Kayafas serta para pemimpin agama Yahudi (Kis. 4:11). Paulus pun menyebutkan Yesus adalah Batu Penjuru atau Batu Karang itu (Ef. 2:20; 1Kor. 10:4), dan bahwa Yesus--bukan Petrus--adalah Kepala dari jemaat-Nya (Ef. 1:22; Ef. 5:23; Kol. 1:18). Jadi, gereja Kristen di dunia ini memang didirikan berdasarkan otoritas ilahi di mana Yesus sendiri adalah Fondasi dan Kepala, maka prinsip-prinsip gereja pun adalah prinsip ilahi yang kokoh dan abadi. Namun manusia sejak dulu selalu berusaha untuk menggantikannya dengan prinsip dan perintah manusia.

"Penggantian Hukum Allah dengan perintah-perintah manusia belum berhenti. Di kalangan umat Kristen sekalipun terdapat kebiasaan dan adat-istiadat yang dasarnya tidak lebih baik daripada tradisi nenek moyang. Kebiasaan-kebiasaan itu, yang semata-mata didasarkan pada kewenangan manusia, telah menggantikan ketetapan ilahi" [alinea pertama: tiga kalimat pertama].

Standar ilahi lebih penting. Dalam konteks "perdebatan" antara Yesus dengan kaum Farisi dan ahli Taurat sebagaimana tercatat dalam Matius 15:1-6, fokusnya bukan pada perintah kelima dari hukum moral tentang kewajiban menghormati orangtua ataupun soal hukum kesehatan tentang kebersihan, melainkan terfokus pada prinsip hukum manakah yang lebih penting, perintah Allah atau tradisi manusia. Berdasarkan adat-istiadat nenek moyang kebiasaan membasuh tangan sebelum makan itu adalah hal yang baik, tetapi berdasarkan hukum moral perintah agar menghormati orangtua itu lebih penting. Tradisi mencuci tangan sebelum makan adalah normatif (hal yang baku), tetapi kewajiban menghormati orangtua adalah dogmatis (ajaran agama).

"Ketika orang-orang Farisi berhadapan dengan Yesus mengenai peristiwa membasuh tangan itu mereka berharap Dia menanggapi langsung terhadap tuduhan mereka. Akan tetapi, dengan gaya-Nya yang khas, Yesus menghadapkan mereka dengan sebuah pertanyaan yang langsung menyentuh inti permasalahan. Yesus ingin agar mereka mengetahui bahwa masalahnya bukanlah tentang membasuh tangan atau membayar persepuluhan, tetapi soal diangkatnya standar manusia melampaui standar ilahi" [alinea kedua: tiga kalimat pertama].

Pena inspirasi menulis: "Dia yang sudah berbicara melalui Yesaya sekarang berbicara kepada umat-Nya muka dengan muka. Dia sedang berusaha untuk membuang tradisi dan ajaran palsu yang telah menyatu dengan prinsip Firman Allah yang murni. Para ahli Taurat dan kaum Farisi sudah menuduh Dia dan murid-murid-Nya melanggar sebab mereka tidak memelihara tradisi nenek moyang. Sekarang Kristus tunjukkan kepada mereka bahwa bukan apa yang masuk ke dalam mulut yang mencemarkan jiwa, melainkan yang keluar dari hati, dan dengan meninggikan tradisi manusia di atas hukum mereka telah mencemari jiwa mereka sendiri dan jiwa orang-orang lain" (Ellen G. White, Signs of the Times, 3 Januari 1900).

Apa yang kita pelajari tentang prinsip ilahi dan aturan manusia?
1. Agama yang benar adalah agama yang didirikan di atas prinsip-prinsip ilahi, bukan atas ajaran dan standar manusia. Kekristenan didirikan berdasarkan otoritas ilahi dengan Yesus Kristus adalah fondasi dan sekaligus kepala.
2. Banyak agama di dunia sekarang ini yang menghadapi tantangan yang sama, yaitu tantangan sekularisme dan sekularisasi, tidak terkecuali agama Kristen. Seperti pada zaman Yesus di mana ajaran-ajaran manusia telah menyusupi umat, sekarang pun gereja bisa disusupi oleh prinsip manusia dan dunia.
3. Sebagai Gereja kita harus selalu menjunjung tinggi standar ilahi di atas standar manusia; sebagai umat Tuhan anda dan saya harus senantiasa waspada untuk membentengi hati dan pikiran terhadap unsur-unsur keduniawian dalam segala bentuk dan manifestasinya.

5. KEBENARAN MENURUT STANDAR ILAHI (Kebenaran yang Melampaui Batas*)
(*Judul asli: Excessive Righteousness)

Lebih benar dari orang Farisi. Menilai kehidupan beragama kaum Farisi dan para ahli Taurat, dalam khotbah-Nya di atas bukit itu Yesus berkata: "Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga" (Mat. 5:20). Kata-kata ini ditujukan kepada banyak orang yang dengan tekun menyimak khotbah Yesus, dan sangat mungkin di antara mereka terdapat orang-orang Farisi atau keluarga mereka. Kaum Farisi dan ahli Taurat, sebagaimana yang kita sudah pelajari, adalah orang-orang yang begitu teliti terhadap tuntutan Torah, hukum Tuhan yang diturunkan melalui Musa itu. Kalau penurutan hukum Allah yang cermat tidak cukup untuk menyelamatkan kita, lalu apa yang Yesus inginkan dari umat-Nya?

Perhatikan bahwa apa yang Yesus tekankan dalam ayat ini ialah "hidup keagamaan" dari para ahli Taurat dan kaum Farisi, bukan ajaran-ajaran mereka. Dalam perkataan lain, kehidupan keagamaan kaum Farisi dan ahli Taurat bukan standar ilahi untuk ditiru oleh umat-Nya, tetapi harus lebih tinggi dari itu. Jadi, bukan apa yang seseorang khotbahkan, tapi bagaimana dia menghidupkan apa yang dikhotbahkannya itulah yang penting. "Kalau dibaca secara terpisah, Matius 5:20 dapat dilihat sebagai sebuah ajakan untuk melampaui orang Farisi; maksudnya, lakukanlah seperti apa yang mereka perbuat, hanya saja lakukanlah itu lebih dari mereka" [alinea pertama].

Kaum Farisi (Ibrani: perushim) adalah semacam kelompok partai dalam masyarakat Yahudi yang terdiri atas orang-orang terpelajar yang muncul sekitar dua abad terakhir zaman Bait Suci Kedua. Dengan latar belakang cendekiawan itu maka kaum Farisi merasa memiliki kompetensi untuk menafsirkan Torah agar lebih dimengerti oleh masyarakat umum, dan dalam melakukan hal itu mereka sering menambahkan pendapat-pendapat pribadi.
Dalam hal ini kaum Farisi bertentangan dengan kaum Saduki (Ibrani: saddiqim), sebuah kelompok lain yang terdiri atas para imam, yang berpandangan konservatif bahwa Torah harus dibaca dan dipahami secara harfiah menurut apa yang tersurat dan bukan apa yang tersirat.

Dua jenis kebenaran. Sebelum bertobat dan menjadi pengikut Kristus, rasul Paulus adalah seorang anggota kelompok Farisi yang fanatik dan gigih. Mengenang masa lalunya, Paulus bersaksi bahwa "tentang kebenaran dalam menaati hukum Taurat aku tidak bercacat" (Flp. 3:6). Tetapi setelah mengenal Kristus dan kebenaran-Nya, dia menyadari bahwa kebenaran yang diperoleh melalui penurutan hukum itu adalah "sampah" (ay. 8). Maka Paulus menyebutkan tentang dua jenis kebenaran, yaitu "kebenaran karena menaati hukum" dan "kebenaran karena iman kepada Kristus" (ay. 9). Kebenaran melalui penurutan hukum ialah legalisme, dan kebenaran melalui percaya adalah kasih karunia. Paulus sangat mengerti dengan paham legalistik orang Farisi, sesuatu yang dulu sangat dibanggakannya, sampai dia menyadari bahwa kebenaran menurut pandangan manusia itu di hadapan Tuhan adalah seperti "kain kotor" (Yes. 64:6).

"Yesus menyerukan suatu kebenaran yang melampaui apa yang orang Farisi itu sendiri anggap mereka miliki. Kebenaran yang penting tidak dicapai dengan menjalankan setiap butir dalam daftar tugas; hal itu bisa didapatkan hanya oleh iman dalam Yesus Kristus dan dengan menuntut kebenaran-Nya bagi diri kita sendiri. Itulah kebenaran yang dihasilkan dari penyerahan diri sepenuhnya dan kesadaran yang meluap bahwa kita memerlukan Yesus sebagai Pengganti dan Teladan kita" [alinea terakhir].

Tujuan beragama adalah untuk menjalin kembali hubungan dengan Allah yang terputus karena dosa, dan dalam hal ini manusia tidak punya pilihan selain mengikuti jalan yang disediakan Allah. Keberagamaan yang berlandaskan kebenaran bukan soal penurutan hukum, tetapi kepada siapa kita beriman. Berbicara tentang keberagamaan bangsa Israel pada zamannya, rasul Paulus menulis: "Mereka tidak mengetahui caranya Allah membuat hubungan manusia dengan Dia menjadi baik kembali. Dan karena mereka mau mengikuti cara mereka sendiri, maka mereka tidak tunduk kepada cara yang ditunjuk Alllah" (Rm. 10:3, BIMK).

Apa yang kita pelajari tentang kebenaran yang melampaui kebenaran orang Farisi?
1. Banyak orang yang tekun beragama dan secara fanatik membela agamanya, tanpa menyadari bahwa keberagamaan mereka itu tidak didasarkan pada kebenaran ilahi melainkan hanya pada kebenaran menurut pandangan manusia.
2. Kaum Farisi merasa memiliki kebenaran dalam beragama, namun bukan kebenaran ilahi melainkan kebenaran menurut pandangan mereka sendiri. Kebenaran orang Farisi ialah kebenaran yang didasarkan pada penurutan hukum (legalisme), bukan pada iman (kasih karunia).
3. Keberagamaan adalah keberimanan, dan keberimanan ialah keberserahan pada Allah. Percuma kita beragama kalau tidak berserah kepada Allah, dan berserah artinya patuh kepada cara yang ditentukan-Nya untuk kita turuti. Keselamatan tidak diperoleh melalui penurutan hukum tetapi oleh percaya.

PENUTUP

Supaya ibadah tidak sia-sia. Sebenarnya, apa gunanya beribadah kalau tidak ada yang diharapkan dari peribadatan itu? Ibadah tidak sekadar upacara kebaktian di gereja dengan segala tata cara liturginya, tetapi ibadah meliputi perilaku dan gaya hidup sehari-hari. Sebagai orang Kristen Advent, kita berbakti pada hari ketujuh dalam pekan dan kita beribadah selama tujuh hari dalam pekan.

Namun tidak semua ibadah berkenan kepada Tuhan, dan kalau sesuatu ibadah tidak diterima oleh Tuhan maka peribadatan itu sia-sia. Supaya ibadah kita tidak sia-sia tapi berterima di hadapan Tuhan, maka ibadah itu harus sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya. Peribadatan adalah untuk kepentingan manusia, bagi anda dan saya, dan peribadatan yang benar serta berguna ialah yang didasarkan pada ajaran dan perintah Tuhan.

"Biarlah semua orang yang menerima otoritas manusia, tata cara gereja, atau tradisi nenek moyang, memperhatikan amaran yang disampaikan dalam perkataan Kristus, 'percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia'."

"Hendaklah kalian berhati-hati, jangan sampai ada yang memikat kalian dengan falsafah-falsafah manusia yang tidak berguna, melainkan hanya menyesatkan. Falsafah-falsafah itu bukan dari Kristus, melainkan dari pendapat manusia saja dan dari roh-roh penguasa dunia" (Kol. 2:8, BIMK).

DAFTAR PUSTAKA:

1.   Keith Augustus Burton, Kristus dan Hukum-Nya -Pedoman Pendalaman Alkitab SSD,  Indonesia Publishing House, April - Juni 2014.

2.   Loddy Lintong, California, U.S.A-Face Book.