Jumat, 01 Februari 2013

Manusia, Ciptaan Bermoral Dan Setara.(5)




"PENCIPTAAN DAN MORALITAS"
 
 PENDAHULUAN
 Hak azasi. Tanggal 10 Desember diperingati sebagai "Hari Hak Azasi Manusia" untuk mengenang proklamasi PBB tentang Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia yang dilakukan pada 10 Desember 1948, meskipun baru pada 4 Desember 1950 majelis umum badan dunia itu mengeluarkan sebuah resolusi tentang hak azasi manusia (HAM). Hak azasi manusia adalah sesuatu yang bersifat universal (berlaku bagi semua) dan egaliter (semua orang sederajat). Namun, meskipun HAM sudah mentradisi sejak lebih dari 60 tahun lalu, hingga sekarang ini masalah hak azasi manusia masih menjadi isu perjuangan di banyak negara.
 Hakikat HAM adalah keadilan; keadilan dalam perlakuan dan kesempatan. Salah satu rumusan tentang HAM ialah "hak-hak mendasar yang tidak dapat dicabut dan menjadi bagian yang melekat pada diri seseorang semata-mata karena dia adalah seorang manusia." Persoalannya adalah, apakah semua orang merasakan kewajiban mereka untuk menghormati hak-hak mendasar dari orang lain itu secara konsisten dan konsekuen. Sebenarnya, Allah telah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan dalam kesetaraan jender dan dalam kesederajatan. Akibat dosa maka sekarang manusia harus berjuang lagi untuk memperoleh kembali hak-hak mendasar itu.
 "Pertanyaan-pertanyaan yang tetap ada ialah: Apakah hak-hak tersebut? Bagaimana kita menentukan hak-hak itu? Dapatkah hak-hak tersebut berubah, dan jika ya, bagaimana itu berubah? Mengapa kita sebagai manusia tetap memiliki hak-hak tersebut?" [alinea kedua].
 Dosa juga telah menumbuhkan rasa "persaingan dan iri hati" dalam diri manusia, sehingga Kain tega membunuh Habel, adik kandungnya sendiri. Meskipun Allah menghukum Kain atas kejahatannya itu, hak-hak azasinya tetap terpelihara. Ketika dia harus meninggalkan tanah itu dan mengembara sebagai seorang pelarian, Kain ketakutan bahwa dirinya dapat menjadi sasaran pembalasan atas perbuatannya membunuh Habel. Tetapi Allah berkenan memberi tanda pada dirinya agar dia tidak diperlakukan secara semena-mena oleh manusia lain. (Baca Kej. 4:11-15.)
 Masalahnya, satu dosa selalu melahirkan dosa yang lain. Belakangan, dosa manusia kian bertambah, secara kuantitatif maupun kualitatif. "Kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata" (Kej. 6:5). Kejahatan, sebagaimana Firman Tuhan katakan, selalu berbanding terbalik dengan kasih. Sebab di mana kejahatan kian bertambah, di situ kasih semakin merosot. "Kejahatan akan menjalar sebegitu hebat sampai banyak orang tidak dapat lagi mengasihi" (Mat. 24:12, BIMK). Manusia yang semula diciptakan bermoral dan sederajat kini harus menghadapi kenyataan menjadi sebagai makhluk yang saling merendahkan.
 Dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden AS untuk masa jabatan yang kedua, Senin pekan lalu, 21 Januari 2013, Barack Obama antara lain berkata: "Kalau kita benar-benar diciptakan sederajat, maka tentunya kasih yang kita tunjukkan kepada satu sama lain juga harus setara."
1.   HAK AZASI DARI ALLAH (Ketergantungan Kita Pada Sang Pencipta).
 Interaksi Sang Pencipta. Allah menciptakan manusia dengan cara yang khusus. Tidak seperti makhluk-makhluk hidup lainnya yang eksis hanya melalui firman Allah, Adam dan Hawa dibentuk oleh jari Allah sendiri, dan beroleh nyawa melalui hembusan nafas Allah sendiri (Kej. 2:7). Tentu saja Sang Pencipta tidak perlu harus berbuat itu, karena cukup dengan bersabda pun manusia akan tiba-tiba hadir di hadapan-Nya dalam keadaan hidup. Tetapi bahwa Allah mau menggunakan tangan-Nya sendiri itu merupakan sebuah "pesan" kepada alam semesta maupun kepada penghuni surga betapa manusia itu memiliki kedudukan yang penting dan terhormat di mata-Nya.
 Dari sejak penciptaan Allah telah "turun tangan" langsung dalam menjadikan manusia, dan di kemudian hari Allah juga akan campur tangan langsung untuk menyelamatkan manusia ciptaan-Nya. "Orang mungkin berpikir bahwa Penguasa agung alam semesta itu tidak akan menurunkan martabat dengan mengotori tangan-Nya dalam menciptakan manusia, tetapi Alkitab menyatakan Sang Pencipta sebagai Oknum yang erat terlibat dengan Penciptaan. Kitabsuci mencatat banyak peristiwa bilamana Allah rela berinteraksi dengan benda ciptaan" [alinea pertama: kalimat ketiga dan keempat].
 Keterbatasan atau kebebasan memilih? Alkitab juga mencatat berbagai hak yang Allah berikan kepada Adam dan Hawa ketika mereka diciptakan. Antara lain, mereka boleh memakan semua buah-buah yang ada di Taman Eden. Tetapi, kebebasan itu bukannya tanpa batas. "Semua pohon dalam taman ini boleh kau makan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kau makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati" (ay. 16, 17).
 Mengapa Allah membuat pembatasan dalam bentuk larangan kepada Adam dan Hawa? Simaklah bagian akhir dari ayat 17, "...janganlah kau makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati." Di satu sisi kita bisa menganggapnya sebagai larangan atau pembatasan, tetapi di sisi lain kita dapat melihat hal itu sebagai kebebasan memilih yang diberikan kepada manusia. Allah bisa saja meniadakan larangan itu, atau bahkan menghilangkan pohon pengetahuan tentang yang baik dan jahat tersebut dari Taman Eden, tetapi hal itu berarti Allah tidak memberi mereka kesempatan untuk mempraktikkan hak kebebasan memilih. Tanpa aturan yang menyangkut buah pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, Adam dan Hawa tidak akan pernah tahu kalau mereka memiliki hak bebas memilih.
 Sebagai orangtua, kita sering mengingatkan anak-anak kita yang masih kecil untuk tidak melakukan ini dan itu. Mengapa? Karena kita tahu kalau mereka melakukan hal-hal tersebut akan berakibat tidak baik bagi mereka, dan kita hendak mencegah anak-anak yang belum mengerti itu dari perbuatan yang akan berdampak buruk bagi mereka, baik yang berakibat langsung maupun nanti di belakang hari. Apa motivasi kita sebagai orangtua melarang anak-anak yang belum mengerti itu melakukan hal-hal yang akan berakibat buruk pada diri mereka? Karena kita mengasihi mereka! Demikianlah, Allah juga melarang Adam dan Hawa memakan buah dari "pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat" itu karena dua alasan: 1) Sebagai tanda hak kebebasan memilih; dan 2) sebagai ungkapan kasih. 
 Ketergantungan pada Allah. Ketika Adam dan Hawa hadir di planet ini pada hari keenam minggu penciptaan, bumi ini sudah siap sebagai sebuah lingkungan hidup yang sempurna bagi mereka. Taman Eden penuh dengan beragam jenis pohon buah-buahan dan tumbuhan berbiji yang sarat dan siap dinikmati. Bahkan, sebelum jatuh ke dalam dosa, mereka tidak perlu bekerja untuk mengolah tanah supaya ada makanan bagi mereka. Hidup mereka sudah terjamin di tangan Allah, apa yang mereka harus lakukan hanyalah menurut kepada petunjuk-petunjuk-Nya. Sebagai orangtua, kita juga menyediakan segala kebutuhan hidup bagi anak-anak kita yang masih kecil. Apa yang kita tuntut dari mereka hanyalah menuruti perkataan kita, oleh sebab hidup mereka bergantung pada kita sebagai orangtua yang menyediakan segala keperluan mereka.
 "Demikian pula, karena kita selalu menggantungkan hidup dan kebutuhan-kebutuhan kita pada Bapa surgawi, adalah sepantasnya bagi kita untuk menerima bimbingan Allah. Karena Dia adalah Allah kasih, kita dapat mempercayai-Nya untuk selalu menyediakan apa yang kita butuhkan untuk kebaikan kita sendiri" [alinea kedua: dua kalimat terakhir].
 Apa yang kita pelajari tentang ketergantungan kita pada Sang Pencipta?
1. Dalam menciptakan manusia, Allah rela menggunakan tangan-Nya sendiri untuk menunjukkan betapa pentingnya kedudukan manusia. Setelah manusia berdosa, Allah juga bersedia "turun tangan" untuk menebus dan menyelamatkan manusia itu kembali.
2. Larangan memakan buah pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat harus dilihat sebagai tanda bahwa Allah mengaruniakan Adam dan Hawa dengan hak kebebasan memilih. Larangan itu juga menunjukkan kasih Allah kepada mereka dengan memberitahukan akibat dari memakan buah pohon tersebut.
3. Seperti Adam dan Hawa, kita manusia memiliki ketergantungan hidup pada Allah, Sang Pencipta kita. Ketergantungan itu meliputi kebutuhan akan hidup dan kebutuhan akan bimbingan hidup. Hanya dengan mengandalkan Allah maka kita dapat hidup dengan tenteram dan aman (Mzm. 95: 6, 7 & Mzm. 100).
2. KESERUPAAN DENGAN ALLAH (Menurut Gambar Allah)
 Dalam citra Allah. Sebelum menciptakan manusia, Allah berfirman: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita..." (Kej. 1:26; huruf miring ditambahkan). Kata asli untuk gambar dalam ayat ini adalah צֶלֶםtselem, sebuah kata-benda yang padanannya dalam kosakata bahasa Indonesia moderen adalah citra (Inggris: image); kata asli untuk rupa adalah דְּמוּתdĕmuwth, kata keterangan yang juga dapat berarti menyerupai (Ingg: similitude) seperti yang digunakan dalam Dan. 10:16, atau bagan (Ingg: pattern) seperti dalam 2Raj. 16:10).
 Di samping itu, hal lain yang terungkap dalam ayat di atas adalah ciri pluralitas. Kata "Allah" pada ayat ini dalam bahasa aslinya (Ibrani) adalah אֱלֹהִים'elohiym, sebuah kata-benda maskulin majemuk. Ungkapan "Baiklah Kita" juga mempertegas kemajemukan ("kita" adalah kata-ganti orang pertama jamak). Kata asli untuk frase "gambar Kita" adalah בְּצַלְמֵ֖נוּbəṣalmênū, dan "rupa Kita" adalah כִּדְמוּתֵ֑נוּkiênū, yang kedua-duanya mengandung makna jamak. 
 "Citra Allah tidak sepenuhnya dinyatakan dalam satu individu tetapi dalam hubungan. Sebagaimana Keallahan terwujud dalam tiga Pribadi dalam hubungan, demikianlah citra Allah dalam manusia dinyatakan dalam hubungan antara pria dan wanita. Kemampuan untuk menjalin hubungan merupakan bagian dari citra Allah itu" [alinea kedua: kalimat ketiga hingga kelima].
 Konsep moralitas. Banyak komentator Alkitab yang berpendapat bahwa "gambar" dan "rupa" dalam hal ini tidak harus diartikan secara fisik oleh sebab Allah itu Roh (Yoh. 4:24), melainkan lebih kepada fungsi atau peran. Namun, citra juga dapat dipahami dalam perspektif moralitas dan spiritualitas, bahwa sebagaimana Allah itu kasih dan suci maka selayaknya manusia yang diciptakan dalam citra-Nya itu memiliki kesucian dan sikap mengasihi yang serupa dengan Dia.
 Setelah Allah membinasakan penduduk bumi dengan air bah dan hanya menyisakan keluarga Nuh yang terdiri atas delapan orang, Allah kemudian berkata kepada Nuh: "Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri" (Kej. 9:6). Kata-kata ini menegaskan tingginya nilai jiwa manusia oleh sebab manusia sudah diciptakan menurut gambar atau citra Allah sendiri. Jadi, prinsip dari Sang Pencipta adalah bahwa manusia tidak boleh menumpahkan darah sesamanya, oleh sebab perbuatan seperti itu berarti melecehkan jiwa manusia yang membawa citra Allah sendiri. Demikian juga, sesama manusia jangan saling mengutuki karena dalam diri kita masing-masing mengandung citra Allah (Yak. 3:9).
 Pena inspirasi menulis: "Allah berfirman, 'Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita.' Dia memberikan kepada pekerjaan tangan-Nya bukan saja suatu bentuk yang serupa dengan Dia sendiri, tetapi sebuah pikiran yang sanggup memahami perkara-perkara ilahi. Pengertiannya, ingatannya, imajinasinya--setiap kemampuan pikiran manusia--memantulkan citra Allah. Dalam fitrah dan hati dia sanggup menerima petunjuk surgawi. Dia memiliki suatu pemahaman yang tepat, suatu pengetahuan yang benar tentang Penciptanya, tentang dirinya sendiri, tugasnya dan kewajibannya berkenaan dengan hukum Allah" (Ellen G. White, The Youth's Instructor, 10 Agustus 1899).
 Apa yang kita pelajari tentang makna citra Allah dalam diri kita?
1. Allah sudah menciptakan manusia--anda dan saya--dalam citra-Nya sendiri, yang berarti bahwa kita memiliki dalam diri kita ciri-ciri kepribadian dari Allah sendiri. Kenyataan ini membuktikan betapa tingginya nilai manusia dalam pemandangan Sang Pencipta itu sendiri.
2. Sebagai makhluk yang memiliki citra Allah dalam dirinya, manusia diperlengkapi dengan moralitas dan spiritualitas yang berasal dari Allah. Moralitas dan spiritualitas ilahi itu diperlukan dalam kita menjalin hubungan dengan sesama manusia, suatu hubungan yang bermoral dan sederajat.
3. Manusia bukan saja diciptakan sebagai makhluk cerdas dengan kemampuan kognitif yang tinggi, tetapi juga sebagai makhluk dengan pengertian yang luhur perihal nilai-nilai surgawi. Setiap orang dibekali dengan kemampuan untuk menerima dan melaksanakan petunjuk-petunjuk ilahi.
3. KEKERABATAN MANUSIA (Berasal Dari Satu Darah)
 Hawa. "Manusia itu [=Adam] memberi nama Hawa kepada isterinya, sebab dialah yang menjadi ibu semua yang hidup" (Kej. 3:20). Hawa dalam bahasa Ibrani adalah חַוָּהChavvah, yang sebagai kata-benda berarti hidup, dan sebagai kata-kerja artinya bernafas. Berdasarkan bunyi ayat ini, Adam menamai istrinya "Hawa" oleh sebab wanita inilah yang "menjadi ibu semua yang hidup." Jadi, Hawa juga mengandung arti nenek moyang pertama yang melahirkan keturunan manusia berikutnya. Dalam PB, nama Hawa disebutkan sebanyak dua kali (1Tim. 2:13 dan 2Kor. 11:3), yang dalam bahasa Grika adalah Εα, Heua, juga berarti hidup.
 Tatkala Adam memberi nama "Hawa" kepada istrinya, atas dasar bahwa wanita itu bakal menjadi ibu dari semua manusia, Hawa belum melahirkan seorang anak pun. Namun kita melihat di sini betapa Adam percaya pada maksud penciptaan dirinya beserta istrinya itu, bahwa bumi ini akan dipenuhi oleh manusia yang berasal dari keturunannya. Adam juga percaya pada perkataan Allah sebelumnya, bahwa keturunan Hawa akan "meremukkan kepala" Iblis (Kej. 3:15).
 Sesungguhnya, tidak ada seorang manusia pun yang pernah hidup di atas muka bumi ini yang bukan keturunan Hawa. Sebab, sebagaimana kata rasul Paulus, "Dari satu orang saja Ia telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi..." (Kis. 17:26). Dengan demikian, pada dasarnya seluruh manusia di dunia ini berasal dari satu keturunan atau sedarah. 
 "Fakta ini merupakan dasar dari kesetaraan manusia. Pikirkanlah betapa berbedanya hubungan manusia jika semua orang mengakui kebenaran penting ini. Kalau kita pernah memerlukan bukti tentang seberapa jauhnya kita telah jatuh, dan betapa buruknya dosa telah merusak kita, bukti itu kita peroleh dalam kenyataan yang menyedihkan bahwa manusia sering memperlakukan satu sama lain lebih buruk dari sebagian orang memperlakukan hewan" [alinea kedua: tiga kalimat terakhir].
 Kemerosotan moral. Dosa memang telah merusak seluruh ciptaan Tuhan, termasuk moral manusia. Meskipun Kitabsuci mengatakan "Siapa menindas orang yang lemah, menghina Penciptanya" (Ams. 14:31), penindasan antar manusia terus terjadi dari zaman ke zaman. Plautus (254-184 SM), dramawan besar Romawi, dalam lakon bertajuk Asinaria (195 SM) yang tersohor itu, berucap, "Lupus est homo homini, non homo, quom qualis sit non novit"  (Seseorang terhadap orang yang lain adalah serigala, bukan manusia, apabila dia tidak tahu jenis seperti apa dia). Dari kalimat ini muncullah istilah homo homini lupus, manusia adalah serigala terhadap sesamanya, untuk menggambarkan hilangnya rasa peri kemanusiaan akibat kemerosotan moral manusia.
 Di tengah berkecamuknya materialisme dalam peradaban manusia moderen, tampaknya ukuran paling dominan dalam penentuan harkat manusia adalah faktor ekonomi. Meski umumnya manusia sepakat dengan dogma bahwa uang tidak dapat membeli segalanya, namun uang nyaris dapat mengendalikan segalanya. Prasangka selalu ada di antara orang kaya dan orang miskin, karena orang kaya suka memaksakan aturannya sendiri atas orang lain. Dan walaupun orang kaya maupun orang miskin "yang membuat mereka semua ialah Tuhan" (Ams. 22:2), namun kenyataannya orang miskin lebih sering mengalami ketidakadilan perlakuan oleh orang kaya. Atau, dalam kata-kata Karl Marx (1818-1883), exploitation de l'homme par l'homme [baca: eksplotasyong de lom par lom], yaitu penindasan manusia atas manusia.
 "Dewasa ini, seperti biasa, orang miskin dan orang kaya sering memandang satu sama lain dengan kecurigaan dan penghinaan. Betapa sering perasaan-perasaan ini telah menyebabkan kekerasan, bahkan perang. Penyebab kemiskinan dan jalan keluar untuk itu masih terus membingungkan kita (baca Mat. 26:11), tetapi satu hal yang pasti dari Firman Allah: kaya atau miskin, kita semua layak akan martabat yang adalah milik kita berdasarkan asal-usul kita" [alinea ketiga: kalimat ketiga hingga kelima].
 Pena inspirasi menulis: "Allah telah menjadikan semua bangsa dari satu darah, dan ini menceritakan kebenaran agung tentang kekerabatan manusia. Setiap orang terkait dengan orang-orang lain baik oleh penciptaan maupun penebusan. Inilah kebenaran yang Kristus terus upayakan agar terpelihara di hadapan murid-murid-Nya dan di hadapan manusia. Pesta di rumah orang Farisi itu telah dijadikan kesempatan untuk menyajikan pelajaran tentang tanggungjawab pribadi kita terhadap umat manusia, dan untuk menunjukkan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan kepada manusia terhadap sesamanya" (Ellen G. White, Review and Herald, 12 November 1895).
 Apa yang kita pelajari tentang manusia yang semuanya berasal dari satu darah?
1. Setiap manusia adalah keturunan dari Adam dan Hawa, dengan demikian semua orang pada prinsipnya adalah kerabat dari satu keluarga besar, yaitu keluarga umat manusia. Kita semua bersaudara berdasarkan penciptaan dan juga melalui penebusan.
2. Sebagai satu keturunan yang sama, dan sebagai sesama makhluk ciptaan dengan asal-usul yang sama, setiap orang adalah sederajat di hadapan orang lain. Di hadapan Allah, semua manusia adalah sama. 
3. Dosa telah merusak moralitas manusia sehingga muncullah penindasan di antara manusia. Tetapi firman Tuhan berkata, "Baiklah saudara yang berada dalam keadaan yang rendah bermegah karena kedudukannya yang tinggi, dan orang kaya karena kedudukannya yang rendah sebab ia akan lenyap seperti bunga rumput" (Yak. 1:9-10).
4. KESERUPAAN DENGAN PENCIPTA (Karakter Pencipta Kita)
 Warisan tabiat. Seperti telah kita pelajari, Allah menciptakan manusia "menurut citra-Nya" (lihat pelajaran hari Senin). Kita menerima pernyataan ini dalam perspektif moralitas dan spiritualitas, yang artinya kita percaya bahwa kita diciptakan dalam keserupaan dengan Sang Pencipta dari segi karakter atau tabiat. Meskipun Adam dan Hawa tentu lebih rendah kedudukannya dari Sang Pencipta (seperti halnya tanah liat tidak mungkin sama derajatnya dengan pembuat tembikar; Yes. 29:16, Rm. 9:21), namun Allah dalam hikmat dan kasih-Nya telah mewariskan kepada manusia sebagian dari karakter-Nya yang mulia. 
 "Allah menciptakan kita dalam citra-Nya, yang antara lain berarti bahwa Ia bermaksud agar kita menyerupai Dia dalam karakter. Artinya, kita harus menjadi seperti Dia, sedapat mungkin sebagai manusia (perhatikan, untuk menjadi seperti Allah tidak sama dengan berambisi menjadi Allah, ini suatu perbedaan penting). Agar kita menjadi seperti Allah, dalam arti bahwa kita memantulkan tabiat-Nya, kita harus memiliki pemahaman yang tepat tentang apa tabiat itu" [alinea pertama].
 Kata Yesus, "Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di surga" (Mat. 5:44-45; huruf miring ditambahkan). Mengasihi kawan adalah lumrah, "Bukankah orang yang tidak mengenal Allah pun berbuat demikian?" (ay. 47). Tetapi mengasihi musuh dan berdoa bagi mereka merupakan ciri-ciri tabiat Bapa surgawi itu, dan dengan berbuat demikian kita menjadi sebagai anak-anak-Nya yang memiliki ciri tabiat yang sama. "Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna" (ay. 48). Tabiat Allah adalah sempurna, dan setiap orang yang tabiatnya sempurna sama seperti Allah harus dapat mengasihi musuh-musuhnya.
 Orang Samaria yang baik hati. Yesus Kristus senang mengajar dan melontarkan gagasan-gagasan moral dengan menggunakan perumpamaan, dan salah satu cerita ilustrasi yang paling luas gaungnya adalah tentang orang Samaria yang menolong seorang Yahudi, musuh bebuyutan, yang menjadi korban perampokan di jalan antara Yerusalem ke Yerikho. Di Los Angeles, AS, nama "Orang Samaria yang baik hati" (Good Samaritan) diabadikan sebagai nama sebuah rumahsakit terkenal, dan masyarakat Amerika menggunakan istilah "good Samaritan" untuk seorang yang berbaik hati menolong korban kecelakaan lalulintas di jalan raya sebelum polisi dan petugas medis tiba. Pendeknya, sebutan "orang Samaria yang baik hati" sangat populer sebagai ungkapan perbuatan kebajikan yang tanpa pamrih.
 Di zaman Yesus, jalan sejauh kira-kira 20 Km dari Yerusalem ke Yerikho memang tersohor sebagai "Jalur Berdarah" akibat seringnya terjadi tindak kejahatan perampokan berdarah. Dalam pidato terakhirnya yang diberi judul I've Been to the Mountaintop [disampaikan di kota Memphis, Tennessee, sehari sebelum ditembak mati pada awal April 1968], Dr. Martin Luther King, Jr. (1929-1968), mantan pendeta gereja Baptis dan tokoh pejuang hak azasi manusia di AS, sempat mengisahkan pengalamannya mengendarai mobil bersama istrinya di jalan menurun dan berkelok-kelok ini sembari mendiskusikan perihal cerita perumpamaan Yesus dalam Lukas pasal 10 itu. Sambil membayangkan suasana tempat itu dua ribu tahun silam, Dr. King mencoba mengolah alasan mengapa orang Lewi dan imam itu terus saja berlalu tanpa mau menolong saudaranya sesama orang Yahudi yang sedang sekarat di tengah jalan itu. Mungkin orang Lewi dan imam itu berkata dalam hati, "Kalau saya berhenti untuk menolong orang ini, apa yang akan terjadi pada saya?" Namun, Dr. King melanjutkan, "Tetapi datanglah orang Samaria yang baik hati itu, dan dia membalikkan pertanyaan tersebut: Kalau saya tidak berhenti untuk menolong orang ini, apa yang akan terjadi padanya?"
 Sifat mementingkan diri bukan saja telah sering menjadi penghalang seseorang untuk berbuat kebajikan pada orang lain, tetapi sifat itu juga menjadi penghalang bagi seseorang untuk melakukan kewajiban kemanusiaan terhadap sesamanya. Sifat keduniawian acapkali merintangi niat baik kita untuk menolong orang lain, karena kita selalu dijebak oleh pertanyaan: Apa untung-ruginya bagi saya untuk berbuat kebaikan itu? Rasa peri kemanusiaan kita kerapkali dikalahkan oleh kalkulasi-kalkulasi yang bersifat cinta diri.
 "Betapa suatu perbedaan terlihat antara prinsip-prinsip kerajaan Allah dengan prinsip-prinsip pemerintahan Setan. Allah menyerukan yang kuat untuk peduli pada yang lemah, sedangkan prinsip Setan menyerukan penyingkiran yang lemah oleh yang kuat. Allah menciptakan satu dunia dengan hubungan-hubungan yang damai, tetapi Setan telah menyimpangkannya secara menyeluruh sehingga banyak yang menganggap kelangsungan hidup dari yang paling tangguh sebagai standar perilaku yang normal" [alinea terakhir: tiga kalimat pertama].
 Apa yang kita pelajari tentang karakter Pencipta kita?
1. Allah menciptakan manusia menurut citra-Nya, dalam arti bahwa manusia mewarisi ciri-ciri tabiat Allah yang agung. Allah ingin agar manusia mengamalkan karakter-Nya dalam hubungan di antara sesama manusia sebagai anak-anak Allah.
2. Salah satu ciri tabiat yang Allah wariskan kepada manusia ciptaan-Nya itu adalah kasih. Bukan sekadar kasih yang lazim ditunjukkan oleh dunia di antara saudara dan teman-teman, tetapi kasih yang juga menjangkau orang-orang yang berseberangan dengan kita, mereka yang memusuhi kita.
3. Perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati merupakan contoh kasih surgawi yang Allah ingin dipraktikkan oleh anak-anak-Nya di dunia ini, yaitu kasih agape yang tulus dan tidak mementingkan diri.
5. KEHIDUPAN YANG BERTANGGUNGJAWAB (Moralitas dan Akuntabilitas)
 Tanggungjawab moral. Seseorang pernah berkata: Kehidupan adalah pemberian Allah kepada kita, bagaimana kita mengamalkan hidup kita itu merupakan pemberian kita kepada Allah. Artinya, setiap orang mengemban tanggungjawab moral terhadap Allah tentang bagaimana dia hidup. "Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada..." kata Paulus kepada warga Atena (Kis. 17:28), "Karena Ia telah menetapkan suatu hari, pada waktu mana Ia dengan adil akan menghakimi dunia oleh seorang yang telah ditentukan-Nya" (ay. 31). Dalam pidatonya Paulus mengamarkan kepada masyarakat penyembah berhala di situ bahwa akan ada satu hari penghakiman bilamana Allah, Pemberi Hidup itu, akan menghakimi seluruh manusia menurut perbuatan mereka.
 "Khotbah Paulus kepada orang-orang Atena dimulai dengan Penciptaan dan berakhir dengan penghakiman. Menurut Paulus, Allah yang menciptakan dunia dan segala isinya telah menentukan satu hari di mana Dia akan menghakimi dunia. Dikaruniai dengan moralitas itu berarti keadaan untuk dipertanggungjawabkan, dan kita masing-masing harus bertanggungjawab atas perbuatan kita dan perkataan kita (baca Pkh. 12:14 dan Mat. 12:36, 37)" [alinea pertama].
 Hari penghakiman. Ada dua pekabaran utama yang selalu diulang-ulangi dalam Alkitab, yaitu seruan pertobatan dan amaran penghakiman. Manusia diamarkan untuk bertobat dari kecemaran (pemikiran, perkataan, dan perbuatan) oleh sebab setiap orang akan menghadapi penghakiman. Alkitab juga mengajarkan bahwa Allah telah mendelegasikan penghakiman itu kepada Yesus Kristus, Putra-Nya. "Bapa tidak menghakimi siapa pun, melainkan telah menyerahkan penghakiman itu seluruhnya kepada Anak" (Yoh. 5:22), "dan penghakiman-Ku adil, sebab Aku tidak menuruti kehendak-Ku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus Aku" (ay. 30), "dan jikalau Aku menghakimi, maka penghakiman-Ku itu benar, sebab Aku tidak seorang diri, tetapi Aku bersama dengan Dia yang mengutus Aku" (8:16).
 Yohanes Pewahyu menggambarkan suasana penghakiman itu berlangsung di hadapan sebuah takhta putih (Why. 20:11), dan Hakim itu menghakimi "menurut perbuatan mereka, berdasarkan apa yang ada tertulis di dalam kitab-kitab itu" (ay. 12). Hasil akhir dari penghakiman itu akanmembuat seluruh manusia terbagi ke dalam dua kelompok berbeda. "Lalu semua bangsa akan dikumpulkan di hadapan-Nya dan Ia akan memisahkan mereka seorang dari pada seorang, sama seperti gembala memisahkan domba dari kambing, dan Ia akan menempatkan domba-domba di sebelah kanan-Nya dan kambing-kambing di sebelah kiri-Nya" (Mat. 25:32, 33). Kelompok "domba" yang di sebelah kanan itu akan beroleh keselamatan (ay. 34), sedangkan "kelompok kambing" di sebelah kiri akan masuk ke dalam api yang kekal (ay. 41).
 "Setiap orang yang pernah hidup akan bertemu bersama-sama di hadapan Allah untuk menghadapi penghakiman. Perbedaan antara kedua kelompok dalam perumpamaan Yesus itu adalah bagaimana tiap-tiap orang memperlakukan orang-orang yang berkekurangan. Sang Pencipta menaruh perhatian pada bagaimana makhluk-makhluk ciptaan-Nya memperlakukan satu sama lain, teristimewa mereka yang membutuhkan. Tidak ada tempat di surga bagi prinsip seleksi alam; hal itu bertentangan dengan karakter Allah damai sejahtera itu" [alinea kedua].
 Pena inspirasi menulis: "Perbuatan baik adalah buah-buah yang Kristus tuntut untuk kita hasilkan: tutur kata yang ramah, perbuatan-perbuatan kebajikan, perhatian yang lembut terhadap orang miskin, mereka yang membutuhkan dan menderita. Apabila hati bersimpati kepada hati yang dibebani dengan kekecewaan dan kesedihan, bilamana tangan terulur kepada yang membutuhkan, manakala orang yang tidak mempunyai pakaian diberi pakaian, orang asing disambut duduk di ruang tamu dan diberi tempat di hatimu, malaikat-malaikat datang mendekat dan suatu jawaban yang nyaring terdengar di surga. Setiap tindakan keadilan, kemurahan hati, dan kebajikan menimbulkan nada-nada lagu di surga. Dari takhta-Nya Bapa memandang orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan kemurahan hati ini, dan menghitung mereka dengan perbendaharaan-Nya yang paling berharga" (Ellen G. White, Testimonies for the Church, jld. 2, hlm. 25).
 Apa yang kita pelajari tentang tuntutan tanggungjawab moral atas manusia?
1. Khotbah Paulus di hadapan warga Atena mengandung pekabaran yang berkumandang sepanjang zaman, yaitu seruan untuk bertobat oleh karena setiap manusia akan menghadapi hari penghakiman. Allah akan menghakimi setiap orang menurut perbuatan dan perkataannya.
2. Penghakiman akan dilaksanakan oleh Yesus Kristus, Putra-Nya, yang telah menerima mandat itu dari Allah. Penghakiman oleh Yesus itu terjamin keadilannya, dan penghakiman itu akan didasarkan pada catatan otentik dari setiap perbuatan manusia.
3. Berbuat kebaikan adalah kewajiban yang dituntut dari setiap orang. "Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa" (Yak. 4:17). Allah Bapa mengasihi orang yang suka berbuat baik, tetapi membenci orang yang hanya mementingkan dirinya sendiri.
PENUTUP
 Asal-usul manusia dan moralitas. Apa hubungannya antara asal-usul manusia dengan moralitas kemanusiaan? Jawabnya sederhana: karena manusia telah diciptakan dalam keagungan "gambar dan rupa Allah" (Kej. 1:26, 27), maka manusia dituntut untuk memantulkan citra Allah yang agung itu. Penciptaan manusia adalah penciptaan yang berkarakter, oleh sebab Allah adalah Sang Pencipta yang berkarakter--menjunjung tinggi moralitas. "Pemahaman kita tentang asal-usul moralitas ditemukan pada asal-usul Adam. Maka, konsep Alkitab tentang moralitas tidak dapat dipisahkan dari konsep alkitabiah tentang asal-usul" [alinea pertama: dua kalimat terakhir].
 Evolusi biologis, oleh mana penafsiran tentang asal-usul manusia diuraikan berdasarkan konsep ilmu pengetahuan, sudah mengaburkan fokus banyak orang dari doktrin alkitabiah tentang penciptaan manusia. Dengan penemuan fosil-fosil para ilmuwan mengaku telah berhasil melakukan "rekonstruksi" tentang perkembangan manusia dalam kurun waktu ratusan juta tahun. Salah satu tulisan ilmiah terbaru yang dianggap penting dalam teori evolusi biologis adalah buku karangan Donald Prothero, Evolution: What the Fossils Say and Why It Matters (2007: Columbia University Press, 408 hlm.). Sementara perkembangan ilmu pengetahuan di satu sisi dapat semakin meyakinkan orang akan kebenaran Alkitab, di sisi lain ilmu pengetahuan juga dapat merongrong iman seseorang.
 "Pemahaman kita tentang sejarah bumi, yang sangat bervariasi di antara para ilmuwan, menyediakan suatu kerangka acuan di mana kita menafsirkan fosil, tetapi kita tidak memiliki bukti akan penafsiran kita. Semua itu pada akhirnya hanyalah interpretasi, tidak lebih" [alinea ketiga: dua kalimat terakhir].
 "Seluruh alam menunggu dengan sangat rindu akan saatnya Allah menyatakan anak-anak-Nya. Sebab alam sudah dibiarkan untuk menjadi rapuh, bukan karena kemauannya sendiri, tetapi karena Allah membiarkannya demikian. Meskipun begitu ada juga harapan ini: bahwa pada suatu waktu alam akan dibebaskan dari kuasa yang menghancurkannya dan akan turut dimerdekakan dan diagungkan bersama-sama dengan anak-anak Allah" (Rm. 8:19-21, BIMK).
 SUMBER :

1.   James L. Gibson, Dir.Geoscience Research Institute, Lomalinda: “Asal “Usul, Penuntun Guru Pelajaran Sekolah Sabat Dewasa, Trw.I, 2013. Bandung: Indonesia Publishing House.
2.   Loddy Lintong, California U.S.A.