Jumat, 02 Mei 2014

5. Hari SABAT, Hari Untuk Dinikmati.


"KRISTUS DAN HARI SABAT"

PENDAHULUAN

Sabat bukan sekadar bagian dari akhir pekan. Siapa yang tidak suka berakhir pekan? Hampir semua negara di dunia memberlakukan libur akhir pekan, dan boleh dikata semua orang suka menikmati akhir pekan selama dua hari, yaitu Sabtu dan Minggu. Tentu tidak semua orang bisa menikmati libur akhir pekan setiap minggu, ada sebagian orang yang karena sifat pekerjaannya mengharuskan mereka berada di tempat kerja pada akhir pekan. Libur akhir pekan berkaitan dengan hari kerja dalam satu minggu yang lazimnya terdiri atas lima hari kerja, Senin sampai Jumat. Beberapa negara berpenduduk mayoritas muslim menerapkan hari kerja mulai Minggu hingga Kamis, sehingga "akhir pekan" bagi mereka jatuh pada hari Jumat dan Sabtu. Di Amerika, libur akhir pekan selama dua hari, Sabtu dan Minggu, konon dimulai sejak awal abad ke-20 oleh perusahaan-perusahaan kapas untuk memberi kesempatan kepada warga keturunan Yahudi dan umat Kristen untuk menjalani hari ibadah mereka.

Secara alkitabiah "akhir pekan" telah dilembagakan oleh Allah sendiri pada akhir minggu penciptaan, "Ketika Allah pada hari ketujuh telah menyelesaikan pekerjaan yang dibuat-Nya itu, berhentilah Ia pada hari ketujuh dari segala pekerjaan yang telah dibuat-Nya itu" (Kej. 2:2). Karena Allah tidak pernah merasa lelah, bahkan tidak pernah tidur (Mzm. 121:3-4), maka perhentian pada hari yang ketujuh dalam pekan itu bukan untuk Diri-Nya. Melalui perkataan Yesus kita mendapat informasi resmi bahwa "Hari Sabat diadakan untuk manusia..." (Mrk. 2:27; ayat inti pelajaran pekan ini). Pelembagaan hari ketujuh dalam pekan sebagai hari Sabat, yaitu hari perhentian, kemudian dipertegas lagi sebagai hukum keempat dalam Sepuluh Perintah (Kel. 20:8-11). Jadi, perhentian Sabat hari hari ketujuh dalam pekan bukan sekadar bagian dari libur akhir pekan, melainkan sebuah Sabat yang diwajibkan untuk berhenti dari segala kegiatan pekerjaan dan aktivitas sehari-hari.

"Mayoritas luas dari denominasi-denominasi Kristen memelihara hari Minggu sebagai hari 'perhentian' dan perbaktian (sekalipun mayoritas yang luas dari pemelihara hari Minggu tidak sungguh-sungguh berhenti pada hari Minggu). 'Pemeliharaan' hari Minggu begitu merata di kalangan umat Kristen moderen sehingga banyak yang percaya bahwa hari itu adalah 'Hari Sabat Kristen'" [alinea pertama].

Menurut sejarah, "pemeliharaan hari Minggu" telah dimulai ketika kaisar Konstantin dari Romawi mengeluarkan dekrit tentang hari Minggu sebagai Dies Soli ("Hari Matahari") pada tanggal 7 Maret 321 dan menjadikannya sebagai hari libur mingguan di mana masyarakat diwajibkan untuk berhenti dari segala kegiatan pekerjaan sehari-hari, terkecuali para petani. Belakangan, pada penyelenggaraan Konsili Nikea tahun 325, Gereja Katolik Roma mengadopsi hari Minggu dari sekadar hari libur mingguan menjadi "hari perbaktian" bagi umat Kristen. Tetapi, terlepas dari soal kekeliruan dalam pemeliharaan hari Minggu sebagai Sabat hari ketujuh, kita bisa menarik pelajaran dari tekad seorang atlet yang rela kehilangan medali emas Olimpiade daripada melanggar kekudusan "hari Sabat" yang diyakininya.

Eric Liddell adalah atlet pelari cepat (sprinter) terkemuka dari Skotlandia di tahun 1920-an yang tidak pernah mau bertanding pada hari Minggu yang diyakininya sebagai hari Sabat sesuai dengan ajaran agama Protestan yang dianutnya. Dia menjadi andalan negaranya dan sangat berpotensi untuk meraih medali emas untuk nomor 100 meter pada Olimpiade musim panas tahun 1924 di Paris, di mana dia lolos ke babak final dan paling berpeluang untuk menggondol medali emas, tetapi karena babak final dijadwalkan pada hari Minggu dia menolak untuk turut berlomba. Eric memenangkan medali emas untuk nomor 400 meter yang dipertandingkan pada hari-hari lain, tetapi kehilangan peluang di nomor 100 meter yang paling bergengsi itu dan juga di nomor 4x400 meter, demi menghormati "hari perhentian" yang diyakininya. Eric Liddell adalah seorang Kristen yang tidak kenal kompromi atas imannya, dan memilih untuk kehilangan kemasyuran dunia demi memuliakan Allah. Riwayat hidupnya telah diangkat ke layar perak dengan judul "Chariots of Fire" yang berhasil meraih piala Oscar tahun 1981.

1. HARI SABAT UNTUK MANUSIA (Sabat Orang Yahudi?)

Sabat hari ketujuh. Berbicara tentang "Sabat hari ketujuh" (untuk membedakannya dari hari-hari Sabat tahunan dalam Hukum Musa) tentu tidak terlepas dari asal usul siklus waktu mingguan. Penghitungan siklus waktu selalu berhubungan dengan astronomi, kecuali siklus waktu mingguan. Misalnya, siklus waktu harian berdasarkan tempo yang diperlukan oleh Bumi untuk berputar pada sumbunya, yaitu rata-rata 24 jam; siklus waktu bulanan adalah tempo yang diperlukan oleh Bulan sebagai satelit planet Bumi untuk mengitari Bumi, yaitu kurang-lebih 30 hari; siklus waktu tahunan adalah tempo yang diperlukan oleh Bumi untuk mengitari Matahari, yaitu kurang-lebih 365 hari. Sedangkan siklus waktu mingguan--yaitu periode waktu selama 7 hari--tidak didasarkan atas perhitungan astronomis apapun melainkan berpangkal pada minggu penciptaan seperti yang diutarakan dalam Alkitab.

"Kejadian 2:1-3 menyatakan bahwa sesudah Allah menyelesaikan pekerjaan penciptaan dalam enam hari, Ia beristirahat pada hari ketujuh lalu 'memberkati hari ketujuh itu dan menguduskannya' (TB). Dengan jelas ini menunjukkan kedudukan yang tinggi dari hari Sabat dalam penciptaan Allah. Sebagai tambahan kepada berkat, hari Sabat itu juga 'dijadikan kudus.' Dengan kata lain, Allah mengenakan sebagian dari sifat-Nya sendiri pada monumen waktu ini" [alinea kedua].

Kita tahu bahwa salah satu sifat Allah adalah kudus, dan dengan menjadikan Sabat hari ketujuh itu kudus maka Allah telah "mengasingkan" hari Sabat itu untuk hal-hal yang berkaitan dengan kekudusan-Nya. Oleh karena Sabat hari ketujuh berkaitan dengan minggu penciptaan, maka pemeliharaannya tidak terlepas dari konsep berpikir bahwa Allah adalah Pencipta, di mana pemeliharaan Sabat hari ketujuh sebagai "hari perhentian" merupakan pengakuan bahwa sesungguhnya Allah itu Pencipta. Jadi, pernyataan Yesus bahwa "Hari Sabat diadakan untuk manusia" harus dipahami sebagai kesempatan istimewa bagi manusia untuk menunjukkan keimanan kita pada kuasa penciptaan Allah, bukan sebagai kesempatan untuk "mengurus kepentinganmu sendiri pada hari itu...atau bicara yang sia-sia" (Yes. 58:13, BIMK).

Sabat hari perhentian. Esensi dari perintah Allah dalam hukum keempat dari Sepuluh Perintah (hukum moral) tentang Sabat hari ketujuh adalah berhenti dan "jangan melakukan sesuatu pekerjaan" (Kel. 20:10). Dalam hukum keempat itu Allah memberikan "alasan" atas perintah tersebut yang berkaitan dengan Diri-Nya, yaitu karena selama enam hari Allah telah "menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh" (ay. 11; huruf miring ditambahkan). Karena Allah berhenti dari pekerjaan penciptaan pada hari ketujuh, maka umat-Nya pun harus berhenti bekerja pada hari itu. Seringkali kita terlalu menekankan ide tentang Sabat hari ketujuh sebagai "hari perbaktian" yang tidak disebutkan dalam perintah itu. Kalau Sabat adalah hari perbaktian maka logikanya kita tidak boleh mengadakan perbaktian dalam bentuk apapun pada hari lain manapun, termasuk pada hari Rabu petang. Sesungguhnya, kita harus beribadah kepada Tuhan tiap-tiap hari, tetapi kita berhenti hanya pada hari Sabat!

Tatkala perintah ini diulangi kembali oleh Musa, sebagai pesan terakhir menjelang bangsa itu memasuki tanah perjanjian Kanaan, atas ilham Allah pemimpin besar pertama bangsa Israel purba itu menyebutkan "alasan tambahan" mengapa bangsa itu harus berhenti bekerja pada hari ketujuh dalam pekan: "Enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat Tuhan, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan...atau orang asing yang di tempat kediamanmu, supaya hambamu laki-laki dan hambamu perempuan berhenti seperti engkau juga. Sebab haruslah kau ingat, bahwa engkau pun dahulu budak di tanah Mesir..." (Ul. 5:13-15; huruf miring ditambahkan). Perintah ini mempertegas lagi bahwa Allah menghendaki Sabat hari ketujuh menjadi hari perhentian, untuk orang Yahudidan orang-orang bukan Yahudi.

"Perbedaan paling penting di antara kedua perintah itu adalah alasan untuk pemeliharaan Sabat. Kitab Keluaran memberi rujukan langsung kepada Kejadian 2:3 dengan mengangkat fakta bahwa Allah 'memberkati' dan 'menguduskan' hari Sabat. Sebaliknya, Ulangan 5:15 menunjuk pada kelepasan ilahi atas Israel dari perbudakan di Mesir sebagai alasan bagi pemeliharaan Sabat. Berdasarkan ayat dalam kitab Ulangan, banyak orang yakin hari Sabat itu hanya untuk orang Yahudi. Namun, argumentasi ini sama sekali mengabaikan fakta bahwa ayat kitab Keluaran menunjuk kepada Penciptaan, ketika Allah mengukuhkan hari Sabat bagi semua manusia" [alinea ketiga].

Apa yang kita pelajari tentang hari Sabat untuk semua manusia?
1. Sabat hari ketujuh adalah hari perhentian yang Allah berlakukan sejak penciptaan; hukum tentang perhentian hari Sabat yang diturunkan kepada orang Yahudi adalah penegasan kembali dari pentingnya hari perhentian itu. Siklus pekan tidak didasarkan pada perhitungan astronomi, tetapi berpatokan pada hari Sabat mingguan.
2. Esensi dari Sabat hari ketujuh adalah sebagai "hari perhentian" yang diciptakan untuk manusia, sebab Allah sendiri telah berhenti setelah menyelesaikan penciptaan. Perhentian hari Sabat yang tidak saja untuk dinikmati oleh orang Yahudi tetapi juga orang-orang lain itu menunjukkan bahwa hari Sabat adalah untuk semua manusia.
3. Perintah untuk berhenti dan menguduskan Sabat hari ketujuh setiap pekan dikaitkan dengan penciptaan, maka ketika kita berhenti dan menguduskan hari itu kita mengakui bahwa Allah adalah Pencipta alam semesta. Sabat hari ketujuh adalah lambang kekuasaan dan kekudusan Allah, keabadiannya juga melambangkan kekekalan Allah.

2. BERHENTI TAPI BUKAN BERSANTAI (Waktu untuk Beristirahat dan Beribadah)

Kebiasaan Yesus pada hari Sabat. Alkitab memuat banyak bukti perihal keterlibatan Yesus dalam penciptaan, dan tentu saja termasuk "penciptaan" Sabat hari ketujuh sebagai hari perhentian setiap minggu. Dia sendiri sudah menegaskannya ketika berkata, "...Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat" (Mrk. 2:28, ayat inti). Namun, meskipun Yesus adalah "penguasa" atas hari Sabat, ketika Ia datang ke dunia ini dan menjelma menjadi manusia biasa (=Anak Manusia), Yesus yang lahir sebagai orang Yahudi taat pada kebiasaan untuk beribadah di sinagog pada setiap hari Sabat.

Sebagai "orang Nazaret" tentu Yesus sangat kenal dan juga dikenal di sinagog setempat di mana Dia "menurut kebiasaan-Nya" (Luk. 4:16) sering datang beribadah. Tatacara beribadah di sinagog lazimnya diawali dengan doa dan pujian, kemudian dilanjutkan dengan pembacaan Torah serta tulisan dari kitab nabi-nabi oleh pimpinan sinagog atau tamu yang ditokohkan. Yesus yang sudah tersohor dan kebetulan "pulang kampung" pada hari itu didaulat untuk tampil membaca dari Perjanjian Lama sebagai "Alkitab" orang Yahudi, di mana Ia membaca dari tulisan nabi Yesaya yang bernubuat tentang Diri-Nya (ay. 17-19) dan dilanjutkan dengan mengajar (ay. 20-21). Pada kesempatan itu pula Yesus, sebagaimana biasa dilakukan-Nya, meluruskan ajaran-ajaran Kitabsuci dan mengecam cara berpikir yang salah. Ketika Yesus menyinggung sejarah kelam bangsa Israel di zaman nabi Elia hidup, di mana Allah menunjukkan pengasihan kepada orang kafir, jemaah menjadi marah dan hendak melemparkan Dia ke jurang tetapi Yesus secara ajaib berlalu dari situ (ay. 28-30). Sejak dulu orang Yahudi menganggap diri mereka eksklusif dan lebih tinggi dari bangsa-bangsa lain.

"Sekalipun Kristus adalah pusat dalam proses penciptaan, ketika Ia diubahkan dalam ujud daging manusia Ia menundukkan diri pada perintah-perintah Bapa-Nya (Yoh. 15:10). Seperti ditunjukkan dalam pelajaran-pelajaran terdahulu, Yesus menentang tradisi-tradisi tertentu dan menggunakan setiap kesempatan untuk memperbaiki perilaku keagamaan yang tidak berpangkal pada kehendak Allah. Kalau Yesus berniat untuk meniadakan hukum hari Sabat, Ia punya banyak kesempatan untuk melakukan hal itu" [alinea pertama: tiga kalimat terakhir].

Mengisi hari istirahat. Hari Sabat mengandung arti istimewa bagi orang Israel, khususnya Sabat hari ketujuh dalam pekan, sebagai suatu tanda hubungan yang abadi. Allah berfirman melalui Musa: "Maka haruslah orang Israel memelihara hari Sabat, dengan merayakan sabat, turun-temurun, menjadi perjanjian kekal. Antara Aku dan orang Israel maka inilah suatu peringatan untuk selama-lamanya, sebab enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, dan pada hari yang ketujuh Ia berhenti bekerja untuk beristirahat" (Kel. 31:16-17; huruf miring ditambahkan). Kata Ibrani yang diterjemahkan dengan "berhenti" pada ayat ini adalah shävath' atau shabath, yaitu sebuah kata kerja yang sama seperti digunakan juga dalam Kejadian 2:2-3 ketika Allah berhenti dari pekerjaan penciptaan-Nya (Strong; H7673). Sedangkan dalam Keluaran 20 di mana tercantum Sepuluh Perintah Allah secara lengkap, kata yang digunakan untuk hukum keempat adalah nü'akh atau nuwach, sebuah kata kerja yang berarti "berhenti" atau juga "beristirahat" (Strong; H5117).

"Kebanyakan ayat-ayat tentang Sabat dalam Perjanjian Lama berbicara tentang Sabat sebagai satu hari beristirahat. Pemahaman tentang 'istirahat' dalam banyak bahasa moderen bisa menuntun sebagian orang untuk percaya bahwa hari Sabat harus digunakan untuk tidur dan pada umumnya bersantai. Meskipun kita tentu dapat menikmati aktivitas-aktivitas ini pada hari Sabat, arti sesungguhnya dari istirahat ialah 'penghentian,' 'berhenti,' atau 'jedah.' Hari Sabat adalah waktu di mana kita dapat mengaso dari pekerjaan rutin selama enam hari dan menggunakan waktu khusus dengan Pencipta" [alinea kedua].

Pena inspirasi menulis: "Hari Sabat tidak dimaksudkan untuk waktu kemalasan yang sia-sia. Hukum melarang pekerjaan sekuler pada hari perhentian Tuhan; kerja keras untuk mencari nafkah harus berhenti; tidak boleh ada pekerjaan demi kepelesiran atau keuntungan duniawi dibenarkan pada hari itu; tetapi sementara Allah berhenti dari pekerjaan penciptaan-Nya dan berhenti pada hari Sabat serta memberkatinya, demikianlah manusia harus meninggalkan pekerjaannya sehari-hari dan membaktikan jam-jam yang suci itu untuk perhentian yang sehat, beribadah, dan melakukan perbuatan-perbuatan yang kudus. Pekerjaan Kristus menyembuhkan orang sakit sangat sesuai dengan hukum. Hal itu menghormati hari Sabat. Pekerjaan untuk meringankan penderitaan telah dinyatakan oleh Juruselamat kita sebagai suatu pekerjaan belas kasihan dan bukan pelanggaran hari Sabat" (Ellen G. White, My Life Today, hlm. 231).

Apa yang kita pelajari tentang hari Sabat sebagai waktu beristirahat dan beribadah?
1. Sewaktu hidup di dunia ini Yesus Kristus telah memberi teladan bagaimana Dia menghabiskan waktu pada hari Sabat mingguan, termasuk beribadah di sinagog (rumah ibadah orang Yahudi). Tentu tidak sepanjang hari Sabat Dia berada di sinagog untuk beribadah atau mengajar, tetapi juga mengadakan perjalanan untuk pelayanan.
2. Hari Sabat adalah hari perhentian dari segala kesibukan pekerjaan sehari-hari yang bersifat mementingkan diri, tetapi bukan berhenti dari melayani demi kepentingan orang lain. Banyak umat Tuhan yang setiap hari Sabat justeru menjadi "hari paling sibuk" ketika mereka menggunakan waktu untuk melayani Tuhan dan sesamanya.
3. Melayani orang sakit atau lanjut usia yang mengalami kendala fisik (disable), karena sifat pekerjaannya dapat digolongkan sebagai pelayanan. Namun, pelayanan yang termotivasi oleh imbalan uang itu tidak ada bedanya dengan "bekerja," kecuali gaji yang diperoleh pada hari itu digunakan untuk menolong orang atau membantu pekerjaan Tuhan.

3. MENIKMATI HARI SABAT (Satu Waktu Untuk Kenikmatan)

Hari kenikmatan, bukan hari keramat. Banyak di antara anggota jemaat kita, yang dibesarkan dalam keluarga Advent, pernah mengalami keterbatasan yang cenderung bersifat mengekang dalam melakukan kegiatan-kegiatan tertentu pada hari Sabat. Ada larangan-larangan yang masuk akal (seperti tidak boleh bermain sepakbola dan bulutangkis, atau memutar lagu-lagu pop), tapi ada juga larangan yang terlalu mengada-ada (misalnya tidak boleh memasak dan memanaskan makanan). Tentu dengan larangan soal masak-memasak ini anda tidak dapat menjadi tuan rumah yang baik untuk menjamu makan siang bagi tamu-tamu pada hari Sabat sesudah acara kebaktian. Kalau Yesus saja yang adalah "Tuhan atas hari Sabat" membiarkan murid-murid-Nya yang lapar memetik bulir-bulir gandum pada hari Sabat, kenapa kita harus menahan lapar di rumah sendiri pada hari Sabat?

"Banyak orang yang memnghaku memelihara hari Sabat tidak selalu mengerti apa artinya memelihara hari Sabat. Sama seperti orang-orang Farisi di zaman Yesus, orang-orang pada zaman sekarang pun telah memenjarakan hari Sabat di balik tembok-tembok peraturan dan ketentuan yang kaku (sementara yang lain nyaris membuatnya satu hari yang tidak berbeda dari hari-hari yang lain). Hari Sabat harus menjadi suatu sukacita, bukan beban, tapi tetap satu hari yang harus dikuduskan" [alinea pertama].

Hari Sabat adalah hari perhentian yang Tuhan kuduskan dan berkati, tetapi bukan hari keramat atau dikeramatkan. Allah sendiri berkata, "Apabila engkau tidak menginjak-injak hukum Sabat dan tidak melakukan urusanmu pada hari kudus-Ku; apabila engkau menyebutkan hari Sabat 'hari kenikmatan,' dan hari kudus Tuhan 'hari yang mulia,' apabila engkau menghormatinya dengan tidak menjalankan segala acaramu dan dengan tidak mengurus urusanmu atau berkata omong kosong, maka engkau akan bersenang-senang karena TUHAN, dan Aku akan membuat engkau melintasi puncak bukit-bukit di bumi dengan kendaraan kemenangan..." (Yes. 58:13-14).

Diciptakan untuk dinikmati. Kisah tentang murid-murid Yesus yang mengadakan perjalanan pada suatu hari Sabat, melewati ladang gandum sambil memetik bulir-bulir gandum dan memakannya karena lapar, adalah bukti bahwa memelihara kekudusan hari Sabat yang sempurna tidak berarti harus menahan lapar. Penerapan hukum Sabat yang merugikan manusia berlawanan dengan tujuan hukum Sabat itu sendiri sebagai satu hari yang "diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat" (Mrk. 2:27). Hari Sabat diciptakan Allah untuk dinikmati oleh manusia, bukan untuk menjadi beban bagi manusia.

"Dalam Markus 2:27-28, Yesus berkata bahwa hari Sabat dijadikan demi keuntungan manusia, bukan sebaliknya. Dengan kata lain, hari Sabat tidak dijadikan untuk disembah, tetapi memberi kesempatan untuk penyembahan. Sebagai pemberian Allah kepada semua manusia, hari Sabat tidak dimaksudkan untuk membebani melainkan untuk memberi kelegaan dan kebebasan. Sesungguhnya itu adalah suatu cara untuk merasakan istirahat dan kebebasan kita di dalam Kristus" [alinea terakhir].

Hari Sabat menyediakan kesempatan bagi kita untuk melakukan kebajikan-kebajikan kepada sesama manusia, dan kesempatan yang luas untuk kita beribadah kepada Tuhan dan mendekatkan diri kepada-Nya. Hari Sabat adalah juga kesempatan istimewa bagi kita sendiri secara pribadi maupun sebagai satu keluarga untuk terbebas dari segala hiruk-pikuk pekerjaan dan masalah kehidupan sehari-hari, menjadi satu waktu untuk menenangkan pikiran dan menyegarkan perasaan.

Apa yang kita pelajari tentang hari Sabat sebagai hari kenikmatan?
1. Seorang teman yang adalah pengusaha super sibuk pernah berkata kepada saya, "Untung ada hari Sabat, supaya saya yang tidak pernah lepas dari kesibukan dipaksa untuk berhenti dan beristirahat." Sebuah pengakuan yang mengesankan dan sangat baik kalau dijalani secara konsisten, karena memang untuk itulah hari Sabat diciptakan.
2. Hukum keempat dalam Sepuluh Perintah itu tidak hanya mengharuskan berhenti bekerja pada hari Sabat, tetapi juga mewajibkan untuk bekerja selama enam hari yang lain. "Enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat Tuhan, Allahmu" (Kel. 20:9-10).
3. Adalah kenyataan bahwa sebagian dari kita lebih menikmati hari Minggu sebagai hari libur daripada menikmati hari Sabat. Hari Sabat harus dinikmati sebab Allah sudah menciptakannya untuk kebaikan manusia, siapa yang tidak merasakan kenikmatan hari Sabat berarti mengingkari maksud Allah dan menyepelekan berkat hari Sabat.

4. HARI UNTUK PEMULIHAN (Satu Waktu untuk Penyembuhan)

Hari Sabat dijadikan sebelum ada dosa. Sering kita mendengar tentang perlunya waktu jeda bagi tubuh dan pikiran untuk mempertahankan kesehatan dan kebugaran. Banyak penelitian medis yang membuktikan bahwa tubuh perlu istirahat yang teratur dan tidak bisa dipacu terus-menerus tanpa membawa akibat merugikan bagi kesehatan. Rasa lelah adalah "bahasa tubuh" atau mekanisme yang memberi tanda bahwa seseorang perlu beristirahat, tetapi keletihan adalah isyarat terakhir ketika badan sudah dalam keadaan kehabisan tenaga. Kita tidak bisa selalu bekerja sampai sudah lelah baru berhenti, seperti juga kita tidak harus menunggu sampai kehausan baru mau minum air bersih. Itu sebabnya Allah menciptakan siang dan malam secara berselang-seling supaya ada masa jeda harian untuk aktivitas manusia. Tidur bukan saja menyediakan istirahat, tapi juga memberi kesempatan pada tubuh untuk memperbaiki sistem kekebalannya, memproduksi hormon-hormon tertentu yang penting, dan juga mengeluarkan sampah-sampah melalui sistem getah bening. Bahkan otak memiliki sistem tersendiri untuk mengeluarkan "sampah-sampah" melalui cairan serebrospinal. Pokoknya, istirahat adalah masa pemulihan bagi tubuh dan pikiran.

Namun, sementara alasan kesehatan itu masuk akal dan sangat mendukung maksud hari Sabat sebagai hari perhentian, kita perlu menyimak penciptaan Sabat hari ketujuh dalam perspektif ilahi. Ketika Allah menciptakan tatasurya kita, termasuk Bumi dan segala isinya, segala sesuatu sempurna dan "sungguh amat baik" (Kej. 1:31). Penilaian ini meliputi "langit dan bumi dan segala isinya" (Kej. 2:1), termasuk manusia, sesudah itu "berhentilah Ia pada hari ketujuh dari segala pekerjaan yang telah dibuat-Nya itu" (ay. 2). Karena manusia diciptakan sempurna, bahkan "menurut gambar dan rupa" Allah sendiri (Kej. 1:26), tentu kondisi manusia saat baru diciptakan itu juga tidak akan merasa lelah sebagaimana Allah "tidak menjadi lelah dan tidak menjadi lesu" (Yes. 40:28). Allah berhenti pada hari ketujuh dalam minggu penciptaan itu bukan karena Dia lelah bekerja, dan manusia yang baru diciptakan-Nya itu juga tidak akan merasa lelah secara fisik, tetapi Dia tetap menjadikan hari Sabat. Jadi, sebenarnya penciptaan Sabat hari ketujuh tidak ada hubungannya dengan perlunya istirahat. Allah berhenti pada hari Sabat untuk merayakan penciptaan yang baru diselesaikan-Nya, karena itu "Allah memberkati hari ketujuh itu dan menguduskannya, karena pada hari itulah Ia berhenti dari segala pekerjaan penciptaan yang telah dibuat-Nya itu" (Kej. 2:3; huruf miring ditambahkan).

"Akan tetapi, dengan datangnya dosa penciptaan telah dirusak dengan kejahatan yang dampaknya terlihat di mana-mana. Umat manusia, meskipun diciptakan dalam rupa Allah, menjkadi sasaran penyakit, kemunduran, dan kematian. Kita sering berkata bahwa kematian adalah bagian dari kehidupan; sebetulnya kematian adalah peniadaan kehidupan, bukan bagian dari kehidupan. Kematian tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi sesuatu yang kita mesti alami" [alinea pertama: empat kalimat terakhir].

Hari Sabat membawa kelegaan. Dosa mengubah keadaan di Bumi ini dalam segala aspek, sebagaimana dosa juga sudah mengubah suasana surga. Tetapi akibat dari dosa yang paling buruk adalah dampak yang ditimbulkannya terhadap manusia--secara fisik, mental, emosional, dan spiritual. Kemerosotan manusia akibat dosa dan hidup di lingkungan yang buruk karena dosa membuat manusia sangat mudah merasa letih dan lesu, lahir maupun batin. Setelah hari-hari yang melelahkan sepanjang minggu, kita membutuhkan satu hari yang melegakan: Sabat.

Selama hidup di atas Bumi ini Yesus telah berusaha memulihkan maksud diadakannya hari Sabat sebagai satu hari yang melegakan dan menyenangkan, khususnya dengan melakukan berbagai pelayanan penyembuhan serta mujizat yang lebih sering dilakukan-Nya pada hari Sabat. Tetapi Dia menghadapi banyak tantangan dari kaum Farisi dan ahli Taurat, golongan elit agama yang telah mengubah Sabat hari ketujuh dari waktu istirahat yang melegakan menjadi waktu yang justeru menambah stres karena sarat dengan aturan-aturan yang membebankan. Misalnya, sewaktu Yesus berada di Kapernaum, kota pesisir Galilea, sesudah beribadah dan mengajar di sinagog pada hari Sabat, Ia dibawa ke rumah mertua Petrus yang sedang sakit demam tinggi untuk menyembuhkannya (Luk. 4:38-39). Sebenarnya banyak orang yang sejak tadi mengikut Dia sambil membawa anggota keluarga mereka yang sakit untuk disembuhkan, tetapi karena takut pada orang Farisi dan ahli Taurat yang melarang penyembuhan dilakukan pada hari Sabat orang banyak itu terpaksa menunggu sampai matahari terbenam baru membawa orang-orang sakit itu kepada Yesus dan disembuhkan dengan penumpangan tangan (ay. 40).

"Setiap mujizat penyembuhan pada hari Sabat adalah menakjubkan dan bermanfaat untuk menunjukkan arti sebenarnya dari hari Sabat...Jika seseorang mempunyai kesempatan untuk melepaskan penderitaan pada hari pembebasan itu, mengapa dia tidak melakukannya?...Jika Allah tidak mengizinkan penyembuhan maka hal itu tidak akan terjadi. Ketika datang ke soal meringankan kesengsaraan manusia, Allah tidak beristirahat" [alinea ketiga: kalimat pertama dan ketiga; alinea keempat: dua kalimat terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang hari Sabat sebagai waktu untuk penyembuhan?
1. Pada waktu Allah menjadikan Sabat hari ketujuh sebagai hari perhentian, manusia masih dalam keadaan sempurna dengan rupa Allah yang tidak mudah merasa letih bekerja seperti setelah berdosa. Jadi, pada mulanya perhentian hari Sabat tidak ada hubungannya dengan hari istirahat untuk manusia, tapi perhentian hari Sabat berkaitan dengan penciptaan.
2. Sesudah ada dosa keadaan manusia dan lingkungan hidup berubah membuat manusia mudah merasa letih dan lesu, baik karena kesibukan pekerjaan maupun karena masalah-masalah kehidupan. Dalam keadaan ini Sabat sebagai hari perhentian menjadi semakin penting artinya bagi kehidupan manusia.
3. Mungkin bukan kebetulan bahwa Yesus lebih sering melakukan berbagai mujizat penyembuhan pada hari Sabat seperti yang dilakukan-Nya, tetapi dengan cara demikian Ia menjadikan hari Sabat sebagai hari yang membawa kelegaan bagi manusia. Barangkali kebiasaan sebagian dari kita yang melawat orang sakit pada hari Sabat mencerminkan tindakan Kristus.

5. HARI SABAT SEBAGAI TANDA PEMULIHAN (Sebuah Ciptaan Baru)

Janji yang diteguhkan. Berdasarkan perhitungan kasar masa pelayanan Yesus di dunia ini, sejak Dia merekrut keduabelas murid itu sampai pada kematian-Nya di kayu salib, kurang-lebih tiga setengah tahun. Sebelum itu Yohanes Pembaptis sudah mengadakan pelayanan pendahuluan untuk mempersiapkan bagi Tuhan "jalan di padang gurun" dan meluruskan "jalan di padang belantara" (Yes. 40:3-5). Berdasarkan catatan Lukas, Yohanes Pembaptis mulai melayani pada tahun ke-15 masa pemerintahan Kaisar Tiberius (Luk. 3:1). Tiberius mulai berkuasa pada tahun 14 TM (selama 23 tahun, hingga tahun 37 TM), berarti pendahulu Yesus itu mulai melayani tahun 29 TM. Menurut injil Lukas pula, tidak lama kemudian Yesus memulai pelayanan-Nya ketika berusia 30 tahun segera setelah dibaptis (Luk. 3:22-23). Yesus tercatat tiga kali mengikuti perayaan Paskah sebagai pesta tahunan orang Yahudi (Yoh. 2:13; 6:4) termasuk menjelang penyaliban-Nya (Yoh. 11:55-57).

Masa pelayanan Yesus yang relatif singkat itu dilaksanakan secara sangat efisien sehingga jumlahnya tidak terhitung. Setidaknya tujuh kali Injil mencatat pelayanan Yesus yang diadakan pada hari Sabat, meliputi penyembuhan orang sakit dan orang yang kerasukan roh jahat, tetapi lebih banyak lagi yang tidak disebutkan. "Masih banyak hal-hal lain lagi yang diperbuat oleh Yesus, tetapi jikalau semuanya itu harus dituliskan satu per satu, maka agaknya dunia ini tidak dapat memuat semua kitab yang harus ditulis itu" (Yoh. 21:25). Semua itu merupakan "rasa pendahuluan" (foretaste) dari janji pemulihan yang hendak Allah lakukan atas manusia yang sudah merosot karena dosa kembali kepada keadaan semula pada waktu diciptakan (1Kor. 15:52).

"Hari Sabat tidak hanya mengingatkan kita akan kemampuan penciptaan Allah, tapi juga menunjuk kepada janji-janji pemulihan-Nya. Sesungguhnya, dengan setiap penyembuhan satu orang pada hari Sabat janji pemulihan abadi itu dengan mantap diteguhkan kembali. Dalam caranya yang khas, hari Sabat memberi suatu pandangan ke belakang pada sejarah bumi yang mula-mula dan membentang ke depan kepada nasib akhir manusia. Sekali lagi, kita bisa mengatakan bahwa hari Sabat menunjuk kepada Penciptaan dan Penebusan" [alinea pertama].

Penciptaan dipulihkan. Allah berjanji, "Sebab sesungguhnya, Aku menciptakan langit yang baru dan bumi yang baru; hal-hal yang dahulu tidak akan diingat lagi, dan tidak akan timbul lagi dalam hati" (Yes. 65:17). Ini merupakan puncak dari pemulihan menyeluruh yang Allah hendak lakukan atas segala ciptaan-Nya yang telah dirusak oleh dosa, dan hal ini akan terjadi sesudah masa seribu tahun orang saleh berada di surga dan akan kembali mewarisi Bumi yang diperbarui ini, setelah sebelumnya di awal milenium itu orang saleh diubahkan kepada keadaan semula seperti pada waktu penciptaan. Pemulihan atas langit dan bumi itu telah disaksikan oleh Yohanes Pewahyu dalam khayalnya ketika dia berkata, "Lalu aku melihat langit yang baru dan bumi yang baru, sebab langit yang pertama dan bumi yang pertama telah berlalu, dan lautpun tidak ada lagi...Ia yang duduk di atas takhta itu berkata: 'Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!' Dan firman-Nya: 'Tuliskanlah, karena segala perkataan ini adalah tepat dan benar.'" (Why. 21:1, 5).

"Hari Sabat 'menyatakan bahwa Dia yang menjadikan segala sesuatu di surga dan di bumi, dan oleh siapa segala sesuatu itu tetap bersama-sama, adalah kepala atas jemaat dan oleh kuasa-Nya kita diperdamaikan dengan Allah...Hari Sabat ada suatu tanda dari kuasa Kristus untuk menguduskan kita. Dan itu telah diberikan kepada semua orang yang dikuduskan oleh Kristus. Sebagai suatu tanda dari kuasa pengudusan-Nya, hari Sabat diberikan kepada semua orang yang melalui Kristus menjadi bagian dari Israel milik Allah" [alinea terakhir].

Seperti telah diutarakan terdahulu, hari Sabat adalah bagian dari penciptaan dan karena itu Sabat hari ketujuh tidak dapat dipisahkan dari penciptaan. Ketika dosa merusak penciptaan Allah dan membuat manusia lupa atau sengaja tidak mengindahkan penciptaan Allah, hari Sabat berfungsi untuk mengingatkan kita kembali akan kuasa penciptaan Allah itu. Bahkan, kekudusan hari Sabat menjadi tanda dari kuasa pengudusan Allah di dalam Kristus. Sewaktu kita menguduskan hari Sabat, Kristus menguduskan kita.

Apa yang kita pelajari tentang hari Sabat dan ciptaan baru?
1. Yesus datang ke dunia menjelma sebagai manusia biasa dengan beraneka missi, termasuk untuk memperlihatkan kepedulian Allah kepada manusia berdosa melalui pelayanan penyembuhan. Menyembuhkan orang sakit dan membangkitkan orang mati merupakan demonstrasi dari kuasa pemulihan ilahi yang mudah dipahami oleh manusia.
2. Penyembuhan yang Yesus sering lakukan pada hari Sabat membuat orang-orang yang disembuhkan itu mempunyai kesan istimewa tentang hari Sabat. Bagi mereka yang sudah bertahun-tahun menderita sakit tanpa harapan untuk sembuh, penyembuhan Yesus itu menjadi semacam "penciptaan kembali" ketika mereka mulai menjalani hidup yang baru.
3. Penciptaan kembali langit dan bumi yang baru (Yes. 65:17) di akhir milenium adalah puncak pemulihan seluruh ciptaan Allah kepada keadaannya semula yang sempurna ketika diciptakan. Sebelumnya pemulihan orang saleh pada kondisi yang sempurna dilakukan pada kedatangan Yesus kedua kali di awal milenium.

PENUTUP

Hari Sabat milik Tuhan. Hukum keempat dari Sepuluh Perintah itu jelas dan tegas:"Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat; enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat Tuhan, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan" (Kel. 20:8-10; huruf miring ditambahkan). Mengapa harus ingat? Sebab dengan mengingat hari Sabat kita mengingat Allah adalah Pencipta; sebaliknya, dengan melupakan hari Sabat kita melupakan Allah sebagai Pencipta. Walaupun Yesus katakan "Hari Sabat diadakan untuk manusia" (ayat hafalan), itu adalah "hari Sabat Tuhan," hari milik Allah.

"Dari sejak awal pertentangan besar di surga sudah menjadi tujuan Setan untuk meruntuhkan hukum Allah. Untuk mencapai tujuan inilah maka dia mengadakan pemberontakan melawan Sang Pencipta, dan walaupun dia sudah dibuang dari surga dia meneruskan peperangan yang sama di bumi. Menipu manusia, dan dengan demikian menuntun mereka melanggar hukum Allah, adalah tujuan yang tetap diusahakannya. Apakah ini dicapai dengan mengesamping seluruh hukum itu, atau dengan menolak salah satu prinsipnya, pada akhirnya akibatnya sama saja" [empat kalimat pertama].

Menjelang kedatangan Yesus kedua kali, manusia akan terbagi ke dalam dua golongan: mereka yang menerima "materai Allah" (Why. 7:2-3), dan mereka yang menerima "tanda binatang" (Why. 13:16-17). Hari Sabat menjadi tanda antara Allah yang menciptakan dan memiliki hari Sabat itu dengan umat-Nya yang memelihara kekudusan hari itu. Sabat adalah ibarat "bendera" yang menandakan kewarganegaraan dari individu yang mengenakan bendera itu di dadanya dengan negara yang menjadikan bendera itu sebagai lambang kenegaraan. Sebagaimana seorang warganegara yang setia kepada kewarganegaraannya akan selalu menjunjung tinggi bendera negaranya, demikianlah seorang umat Allah yang taat pada Hukum Allah akan senantiasa menghormati hari Sabat. Kesetiaan memelihara kekudusan hari Sabat tidak menyelamatkan seseorang, tetapi seorang yang selamat akan setia memelihara kekudusan hari Sabat.

''Beginilah firman Tuhan: Taatilah hukum dan tegakkanlah keadilan, sebab sebentar lagi akan datang keselamatan yang dari pada-Ku, dan keadilan-Ku akan dinyatakan. Berbahagialah orang yang melakukannya, dan anak manusia yang berpegang kepadanya: yang memelihara hari Sabat dan tidak menajiskannya, dan yang menahan diri dari setiap perbuatan jahat" (Yes. 56:1-2).

DAFTAR PUSTAKA:

 1.   Keith Augustus Burton, Kristus dan Hukum-Nya -Pedoman Pendalaman Alkitab SSD,  Indonesia Publishing House, April - Juni 2014.

2.   Loddy Lintong, California, U.S.A-Face Book.