Senin, 08 Juli 2013

Jangan Menyerah Kepada Perbuatan Amoral.






Moralitas seksual sudah tidak lagi dianggap sebagai kebajikan di dunia ini. Mengumbar nafsu dan kepuasan tampaknya sudah dianggap lumrah. The New Encyclopædia Britannica menyatakan, ”Perzinaan tampaknya sudah mendunia dan, kadang-kadang, sama lazimnya dengan pernikahan.”
Namun, Tuhan ingin agar pernikahan ”terhormat” dan tempat tidur pernikahan ”tanpa kecemaran”. (Ibrani 13:4) Alkitab menyatakan, ”Jangan disesatkan. Orang yang melakukan percabulan, ataupun penyembah berhala, ataupun pezina, ataupun pria yang dipelihara untuk tujuan yang tidak alami, ataupun pria yang tidur dengan pria . . . tidak akan mewarisi kerajaan Allah.” (1 Korintus 6:9, 10) Oleh karena itu, untuk menikmati perkenan Ilahi, kita perlu menjaga kebersihan moral dalam dunia yang amoral ini.
Bagaimana kita dapat melindungi diri dari pengaruh yang merusak di sekeliling kita? Dalam Alkitab, di pasal ke-5 dari buku Amsal, Raja Salomo dari Israel zaman dahulu menyediakan jawabannya. Mari kita perhatikan apa yang ia katakan.
          
                             Kesanggupan Berpikir untuk Melindungi Saudara

Raja Israel ini mengawali nasihatnya, ”Hai anakku, perhatikanlah hikmatku.” Ia menambahkan, ”arahkanlah telingamu kepada kepandaian yang kuajarkan, supaya engkau berpegang pada kebijaksanaan dan bibirmu memelihara pengetahuan.”Amsal 5:1, 2.
Untuk melawan godaan perbuatan amoral, kita membutuhkan hikmat—kesanggupan untuk menerapkan pengetahuan Alkitab—dan daya pengamatan, atau kesanggupan untuk membedakan yang benar dari yang salah serta untuk memilih haluan yang benar. Kita didesak untuk memperhatikan hikmat dan daya pengamatan guna menjaga kesanggupan berpikir kita. Bagaimana caranya? Sewaktu mempelajari Firman Allah, Alkitab, kita perlu memperhatikan cara Tuhan bertindak dan mencondongkan telinga kita kepada kehendak dan maksud-tujuan-Nya. Dengan melakukannya, kita akan mengarahkan proses berpikir kita ke saluran yang benar. Kesanggupan berpikir yang dihasilkan dengan cara ini selaras dengan hikmat dan pengetahuan ilahi. Bila dijalankan dengan sepatutnya, kesanggupan ini melindungi kita dari jerat godaan amoral.

                                 Waspadalah terhadap Mulut Manis

Alasan mengapa kesanggupan berpikir penting dalam menjaga kemurnian moral di dunia yang kotor ini adalah karena orang yang amoral pandai merayu. Salomo memperingatkan, ”Karena bibir perempuan jalang menitikkan tetesan madu dan langit-langit mulutnya lebih licin dari pada minyak, tetapi kemudian ia pahit seperti empedu, dan tajam seperti pedang bermata dua.”—Amsal 5:3, 4.
Dalam amsal ini, orang yang sesat dilukiskan seperti ”wanita yang tidak dikenal”—seorang pelacur.* Ia merayu korbannya dengan kata-kata yang semanis madu dan lebih licin daripada minyak zaitun. Bukankah kebanyakan perbuatan seksual yang amoral mulainya begitu? Misalnya, perhatikan ada pengalaman bernama Amy, seorang sekretaris berusia 27 tahun yang berperawakan menarik. Ia menceritakan, ”Ada pria di kantor yang memberi saya begitu banyak perhatian dan memberikan pujian pada setiap kesempatan. Memang senang rasanya diperhatikan. Tetapi, saya tahu betul bahwa ia hanya berminat pada saya secara seksual. Saya tidak mau teperdaya oleh rayuannya.” Kata-kata sanjungan seorang perayu biasanya menarik jika kita tidak mengenali maksud di baliknya. Untuk itu, kita perlu menjalankan kesanggupan berpikir kita.
Dampak perbuatan amoral sepahit tanaman pahit dan setajam pedang bermata dua—menyakitkan dan mematikan. Hati nurani yang terganggu, kehamilan yang tidak diinginkan, atau penyakit lewat hubungan seksual sering menjadi konsekuensi pahit dari tingkah laku amoral. Dan, bayangkan betapa dalamnya kepedihan emosi teman hidup orang yang berselingkuh. Satu tindakan perselingkuhan dapat menimbulkan luka yang membekas seumur hidup. Ya, perbuatan amoral memang menyakitkan.
Selanjutnya, raja yang bijaksana ini mengomentari gaya hidup seorang wanita yang sesat, ”Kakinya turun menuju maut,  langkahnya dunia orang mati(Syeol). Ia tidak menempuh jalan kehidupan, jalannya sesat, tanpa diketahuinya.” (Amsal 5:5, 6) Haluan wanita yang amoral membawanya kepada kematian—langkah-langkahnya menuju Syeol, kuburan umum umat manusia. Dengan merajalelanya penyakit lewat hubungan seksual, khususnya AIDS, alangkah tepatnya kata-kata ini! Wanita ini bernasib sama dengan orang-orang yang turut bersamanya dalam jalan-jalannya yang serong.
Dengan keprihatinan yang tulus, sang raja mendesak, ”Sebab itu, hai anak-anak, dengarkanlah aku, janganlah kamu menyimpang dari pada perkataan mulutku.  Jauhkanlah jalanmu dari pada dia, dan janganlah menghampiri pintu rumahnya.”Amsal 5:7, 8.
Kita perlu sejauh mungkin menghindari pengaruh orang-orang yang amoral. Kita tidak perlu membuka diri pada jalan-jalan mereka dengan mendengarkan musik yang bejat, menonton hiburan yang merusak akhlak, atau melihat bahan-bahan pornografis. (Amsal 6:27; 1 Korintus 15:33; Efesus 5:3-5) Dan, betapa bodohnya bila kita menarik perhatian lawan jenis dengan menggoda mereka atau dengan berpakaian dan berdandan secara tidak bersahaja!—1 Timotius 4:8; 1 Petrus 3:3, 4.
                        Harganya Terlalu Mahal
Untuk alasan lain apa kita hendaknya menjauhkan haluan kita dari orang yang sesat? Salomo menjawab, ”supaya engkau jangan  menyerahkan keremajaanmu  kepada orang lain, dan tahun-tahun umurmu  kepada orang kejam; supaya  orang lain jangan mengenyangkan diri dengan kekayaanmu, dan hasil susah payahmu jangan masuk ke rumah orang yang tidak dikenal dan pada akhirnya engkau akan mengeluh, kalau daging dan tubuhmu habis binasa.”—Amsal 5:9-11.
Demikianlah Salomo menandaskan harga yang harus dibayar jika menyerah kepada perbuatan amoral. Perzinaan dan hilangnya martabat, atau harga diri, berjalan beriringan. Bukankah sungguh nista untuk sekadar menjadi pemuas nafsu amoral diri sendiri atau orang lain? Bukankah mengumbar nafsu dengan orang yang bukan teman hidup kita memperlihatkan kurangnya harga diri?
Namun, apa saja yang termasuk dalam ’menyerahkan tahun-tahun kita, kuasa kita, hasil kerja keras kita kepada orang tidak dikenal, atau orang asing’? Sebuah karya referensi menyatakan, ”Maksud ayat-ayat ini jelas: Harga perselingkuhan bisa saja mahal, karena segala yang dicapai orang dengan susah payah—kedudukan, kuasa, kemakmuran—bisa saja hilang karena tuntutan yang serakah dari sang wanita atau tuntutan ganti rugi dari masyarakat.” Alangkah mahalnya harga hubungan yang amoral itu!
Setelah martabatnya hilang dan kekayaannya habis, orang yang bodoh akan mengerang, dengan mengatakan, ”lalu engkau akan berkata: “Ah, mengapa aku benci kepada didikan, dan hatiku menolak teguran; mengapa aku tidak mendengarkan suara guru-guruku, dan tidak mengarahkan telingaku kepada pengajar-pengajarku? Aku nyaris terjerumus ke dalam tiap malapetaka di tengah-tengah jemaah dan perkumpulan.”—Amsal 5:12-14.
Pada akhirnya, sang pendosa menyatakan apa yang disebut seorang sarjana sebagai ”sederetan panjang penyesalan: seandainya saja saya mendengarkan ayah saya; seandainya saja saya tidak keras kepala; seandainya saja saya mendengarkan nasihat orang lain”. Namun, sesal kemudian tidak berguna. Kehidupan orang yang sudah tidak suci lagi kini hancur dan reputasinya tercemar. Sungguh penting bagi kita untuk mempertimbangkan harga yang mahal dari perbuatan amoral sebelum kita ditelan olehnya!
            
                           ”Minumlah Air dari Perigimu Sendiri”

Apakah Alkitab menabukan hubungan seks? Sama sekali tidak. Perasaan cinta asmara serta emosi yang meluap yang dinikmati antara pria dan wanita adalah karunia Allah. Namun, keintiman ini hanya boleh dinikmati oleh pasangan suami-istri. Karenanya, kepada seorang pria yang telah menikah, Salomo memberikan nasihat ini, ”Minumlah air dari kulahmu  sendiri, minumlah air dari sumurmu yang membual. Patutkah mata airmu meluap ke luar seperti batang-batang air ke lapangan-lapangan?  Biarlah itu menjadi kepunyaanmu sendiri, jangan juga menjadi kepunyaan orang lain.”Amsal 5:15-17.
”Kulahmu/perigimu sendiri” dan ”sumurmu” adalah ungkapan puitis untuk istri tercinta. Merasakan kenikmatan seksual dengannya disamakan seperti minum air yang segar. Tidak seperti air yang tersedia di tempat-tempat umum, sebuah perigi atau sumur dianggap sebagai milik pribadi. Dan, pria ini dinasihati untuk mendapatkan anak dari istrinya di rumah dan bukannya menghamburkan benihnya di lapangan, yaitu, dengan wanita lain. Jelaslah, kaum pria dinasihati untuk setia kepada istrinya.
Pria yang bijaksana ini melanjutkan, ” Diberkatilah kiranya sendangmu, bersukacitalah dengan isteri masa mudamu: rusa yang manis, kijang yang jelita; biarlah buah dadanya selalu memuaskan engkau, dan engkau senantiasa berahi, karena cintanya.”—Amsal 5:18, 19.
”Sendangmu”, atau sumber mata air, merujuk kepada sumber kepuasan seksual. Kenikmatan seksual dengan teman hidup ”diberkati”—pemberian Allah. Oleh karena itu, seorang pria dianjurkan untuk bersukacita dengan istri masa mudanya. Baginya, sang istri seelok dan secantik rusa betina, dan memiliki pesona dan keanggunan laksana kambing gunung.
Salomo selanjutnya mengajukan dua pertanyaan retorik, ”Hai anakku, mengapa engkau berahi akan perempuan jalang, dan mendekap dada perempuan asing?” (Amsal 5:20) Ya, mengapa orang yang telah menikah harus terpikat pada keintiman seksual di luar perkawinan melalui kontak di tempat kerja, di sekolah, atau di tempat lain?
Bagi orang-orang Kristen yang telah menikah, rasul Paulus memberikan nasihat ini, ” Saudara-saudara, inilah yang kumaksudkan, yaitu: waktu telah singkat!  Karena itu dalam waktu yang masih sisa ini orang-orang yang beristeri harus seolah-olah mereka tidak beristeri.” (1 Korintus 7:29) Apa maksudnya? Nah, para pengikut Yesus Kristus harus ’terus mencari dahulu kerajaan sorga’. (Matius 6:33) Oleh karena itu, pasangan suami-istri hendaknya tidak terlalu sibuk terhadap satu sama lain sehingga mereka menomorduakan kepentingan Kerajaan sorga dalam kehidupan mereka.
                              
                                         Perlunya Pengendalian Diri

Hasrat seksual dapat dikendalikan. Orang yang ingin diperkenan oleh Tuhan harus mengendalikannya. ”Karena inilah kehendak Allah: pengudusanmu, yaitu supaya kamu menjauhi percabulan, supaya kamu masing-masing mengambil seorang perempuan menjadi isterimu sendiri dan hidup di dalam pengudusan dan penghormatan,” demikian nasihat rasul Paulus.—1 Tesalonika 4:3, 4.
Oleh karena itu, kaum remaja hendaknya tidak terburu-buru menikah sewaktu mereka pertama kali merasakan timbulnya dorongan seksual. Perkawinan menuntut komitmen, dan hidup selaras dengan tanggung jawab demikian juga menuntut kematangan. (Kejadian 2:24) Sebaiknya menunggu sampai seseorang ”melewati mekarnya masa remaja”—periode ketika dorongan-dorongan seksual mendominasi dan dapat mengaburkan penilaian seseorang. (1 Korintus 7:36) Dan, sungguh tidak bijaksana serta fasik jika seorang dewasa yang ingin menikah terlibat dalam hubungan amoral hanya karena belum juga menemukan calon teman hidup!

”Kesalahan-kesalahannya Sendiri Akan Menangkap Orang Fasik”

Alasan dasar mengapa perbuatan seksual yang amoral dilarang adalah karena Tuhan Allah—Pemberi kehidupan dan Penganugerah kapasitas seksual dalam diri manusia—mengecam hal itu. Jadi, sewaktu memberikan motif terkuat untuk menjaga kesucian moral, Raja Salomo menyatakan, ”Karena segala jalan orang terbuka di depan mata TUHAN, dan segala langkah orang diawasi-Nya.” (Amsal 5:21) Ya, tidak ada yang tersembunyi dari mata Allah, ”yang kepadanya kita memberikan pertanggungjawaban”. (Ibrani 4:13) Tindakan seksual apa pun yang bejat, tidak soal seberapa tersembunyinya dan apa pun akibatnya secara jasmani dan sosial, akan merusak hubungan kita dengan Tuhan Allah. Sungguh bodoh untuk mengorbankan perdamaian dengan Allah demi kesenangan bejat sesaat!
Orang-orang yang tanpa malu memuaskan diri dalam hal-hal amoral mungkin kelihatannya luput dari hukuman—namun, itu hanya sementara. Salomo menyatakan, ”Orang fasik tertangkap dalam kejahatannya, dan terjerat dalam tali dosanya sendiri.  Ia mati, karena tidak menerima didikan dan karena kebodohannya yang besar ia tersesat.”Amsal 5:22, 23.
Sebenarnya, kita tidak perlu sampai tersesat? Bukankah buku Amsal telah memperingatkan kita terhadap tipu daya dunia ini? Dan, buku ini memaparkan kepada kita akibat yang biasanya dituai karena perbuatan seksual yang amoral—kesehatan kita, aset materi kita, kekuatan kita, dan martabat kita. Dengan wawasan yang sedemikian jelas, kita tidak perlu suatu saat menyesali diri dengan mengatakan, ”Seandainya saja. . . . ” Ya, dengan menerapkan nasihat yang Tuhan berikan dalam Firman-Nya yang terilham, kita dapat menjaga kesucian secara moral dalam dunia yang amoral.
=============================================