Senin, 08 Juli 2013

TUHAN DI PINTU HATI, SAMBUTLAH.




"KEBANGUNAN ROHANI: KEBUTUHAN KITA YANG BESAR"

PENDAHULUAN

  Suam-suam kuku. Laodikia. Sebuah nama yang unik dan penuh makna bagi umat Kristiani. Secara pribadi nama ini bahkan mengandung makna yang lebih istimewa lagi, bukan saja karena itu adalah nama lahir saya tapi oleh sebab kata ini juga seringkali melambangkan kondisi rohani diri sendiri. Laodikia adalah saya.
 Menurut en.wikipedia, ensiklopedia dalam jaringan (online), ada 9 kota di dunia purba yang menggunakan nama Laodikia. Masing-masing di Turki (3 kota), Syria (2 kota), dan masing-masing 1 kota terdapat di Yunani, Irak, Iran dan Lebanon. Fakta ini menunjukkan bahwa pada zaman purba nama Laodikia tidak saja sangat populer tapi juga amat disukai. Akan halnya Laodikia dalam kitab Wahyu, yaitu urutan terakhir dari Tujuh Jemaat yang disorot Tuhan dalam pasal 2 dan 3, maka yang dimaksudkan adalah nama sebuah jemaat yang berkedudukan di kota metropolis Laodikia dalam wilayah Frigia Pakatiana di bagian baratdaya Turki moderen. Kota ini aslinya bernama Diospolis (artinya: Kota Zeus) yang kemudian berganti nama menjadi Rhodas, sebelum akhirnya diubah menjadi kota Laodikia oleh raja Anthiocus II Theos yang berkuasa tahun 261-246 SM untuk menghormati istrinya, Laodice. Sejak itu Laodikia makin maju dan menjadi kota perniagaan penting, pusat mode dan kota pendidikan, terutama setelah dikuasai oleh kerajaan Romawi pada tahun 133 SM.
 Ciri utama dari kota Laodikia purba ini adalah airnya yang agak hangat atau suam-suam kuku berhubung kebutuhan air bersih kota ini mengandalkan pasokan mata air panas dari sumbernya di kota Hierapolis dan pasokan air pegunungan bersalju dari sumbernya di kota Kolose. Menurut standar, "suam-suam kuku" itu lebih hangat dari suhu ruangan maupun suhu badan manusia yang normal, yakni antara 98-105 derajat Fahrenheit atau 36,5-40,6 Celsius. Untuk ukuran suhu udara dan suhu badan ini sudah tergolong sangat panas, tetapi untuk ukuran temperatur air ini tidak dingin dan tidak panas. Air dengan suhu demikian sangat nyaman untuk mandi terutama di musim dingin atau pada malam hari, akan tetapi tidak nyaman untuk diminum. Sekadar informasi, titik didih air pada tekanan dan suhu udara standar (76 cmHg, 25°C/77°F), adalah 100 °C atau 212 °F.
 "Yesus menggunakan perlambangan itu untuk melukiskan keadaan suam-suam kuku dari gereja-Nya pada zaman akhir yang disebut percaya diri, berpuas diri, acuh tak acuh, dan bersikap masa bodoh secara rohani. Itulah gereja yang telah kehilangan kegairahannya. Itulah sebuah gereja yang membutuhkan suatu kebangunan rohani" [alinea ketiga: tiga kalimat terakhir].
 Orang Kristen setengah hati. Tuhan berkata perihal gereja Laodikia ini, "Jadi karena engkau suam-suam kuku, dan tidak dingin atau panas, Aku akan memuntahkan engkau dari mulut-Ku" (Why. 3:16; huruf miring ditambahkan). Kata asli (Grika) yang diterjemahkan dengan "suam-suam kuku" dalam ayat ini adalah  χλιαρς, chliaros, yang secara kiasan menerangkan tentang jiwa dengan perasaan kasih yang terombang-ambing antara bergairah dan dingin, atau kadang bersemangat kadang loyo. Di seluruh Alkitab, inilah satu-satunya ayat yang menggunakan istilah suam atau hangat-hangat kuku.
 Dalam pengertian rohani suam-suam kuku dapat berarti keberagamaan yang sekadar rupa, sikap beragama yang kompromistis, dan mau kelihatan sebagai orang yang beragama tapi tidak ingin tampak terlalu alim. Atau dalam konteks pluralisme, gaya beragama dengan kerohanian yang suam-suam kuku ini sering disebut sebagai "kaum moderat" atau "golongan tengah." Menurut saya fanatisme beragama itu perlu, tetapi hanya untuk dimanifestasikan dalam kehidupan peribadatan pribadi, bukan untuk diekspresikan dalam pergaulan di ruang publik. Saya lebih suka menyebut seseorang dengan kerohanian yang suam-suam kuku ini sebagai "orang Kristen setengah hati" yang hanya kelihatannya saja taat tetapi sesungguhnya kesetiaannya rapuh.
 Tuhan tidak menyukai keberagamaan formalitas dan kompromis-sekularistik seperti keadaan Jemaat Laodikia, sehingga Ia berkata, "Aku akan memuntahkan engkau dari mulut-Ku." Tuhan lebih suka orang yang tegas pendiriannya dalam soal beragama. "Alangkah baiknya jika engkau dingin atau panas!" kata-Nya (ay. 15). Sebab orang-orang yang beragama setengah hati adalah mereka yang merasa "kaya dan tidak kekurangan apa-apa" padahal sebenarnya mereka itu "melarat, dan malang, miskin, buta dan telanjang" (ay. 17).
1.   DICIPTAKAN BARU (Pengharapan Bagi Jemaat Laodikea yang Suam-suam Kuku)
 Yesus, Saksi yang benar. Tujuh jemaat yang terdapat dalam kitab Wahyu pasal 2 & 3 adalah jemaat-jemaat yang secara fisik memang terdapat di tujuh kota Asia Kecil, yaitu semenanjung di ujung barat benua Asia yang dulu dikenal dengan nama Jazirah Anatolia atau sekarang ini Turki. Wilayah ini dikelilingi oleh empat laut masing-masing di setiap sisi, yakni Laut Hitam di utara, Laut Tengah di selatan, Laut Aegea di barat, dan Laut Kaspia di timur. Ketujuh jemaat yang dinamai menurut kota masing-masing itu berturut-turut adalah Efesus, Smirna, Pergamus, Tiatira, Sardis, Filadelfia dan Laodikia. Secara spesifik pesan yang ditujukan kepada tujuh jemaat dalam kitab Wahyu ini dapat ditafsirkan sebagai pekabaran untuk jemaat-jemaat setempat pada abad pertama itu, tetapi dalam perspektif nubuatan tulisan ini secara simbolik merupakan pekabaran kepada Gereja Kristen di dunia sepanjang sejarah.
 Pekabaran kepada ketujuh jemaat tersebut memiliki pola penulisan yang sama, selalu dimulai dengan perintah "Tuliskanlah" dan ditutup dengan kata-kata "Siapa bertelinga hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh." Namun sumber dari pekabaran itu selalu mengidentifikasikan diri dengan sebutan-sebutan yang berbeda. Kepada jemaat Efesus sumber itu menyebut dirinya "Dia, yang memegang ketujuh bintang itu di tangan kanan-Nya" (Why. 2:1), tapi kepada jemaat Smirna jatidirinya adalah "Yang Awal dan Yang Akhir" (2:8). Kepada jemaat Pergamus sebutannya menjadi "Dia, yang memakai pedang yang tajam dan bermata dua" (2:12), sedangkan kepada jemaat Tiatira namanya menjadi "Anak Allah, yang mata-Nya bagaikan nyala api dan kaki-Nya bagaikan tembaga" (ay. 18). Kepada jemaat Sardis pengirim surat adalah "Dia, yang memiliki ketujuh Roh Allah dan ketujuh bintang itu" (3:1), dan kepada jemaat Filadelfia penulisnya ingin dikenal sebagai "Yang Kudus, Yang Benar" (3:7). Kepada jemaat terakhir, Laodikia, identitasnya ialah "Amin, Saksi yang setia dan benar, permulaan dari ciptaan Allah" (3:14)
Tentu saja, apapun predikat yang digunakan semuanya merujuk kepada Oknum ilahi yang sama, yaitu Yesus Kristus. "Yesus mengalamatkan kepada masing-masing dari ketujuh jemaat dalam  Wahyu 2 dan 3 itu dengan gelar tentang Diri-Nya yang sesuai untuk kondisi kerohanian mereka. Gelar-gelar yang Ia gunakan dalam pekabaran-Nya kepada jemaat Laodikia bernada kepastian akan kebangunan rohani bagi semua orang yang mau mengindahkan panggilan-Nya" [alinea pertama].
 Yesus, Sang Pencipta. Kepada jemaat Laodikia, Yesus menyebut diri-Nya adalah "Amin" (Grika: μν, amēn) yang secara harfiah artinya teguh dan sesungguhnya, sebuah kata spesifik yang dalam tradisi Yahudi juga digunakan sebagai ungkapan sambutan yang bersifat mendukung, misalnya dalam doa dan bacaan firman Tuhan bersahut-sahutan, dan dapat diterjemahkan sebagai jadilah demikian atau semoga terpenuhi. Akan halnya kata "Saksi" (Grika: μρτυς, martys) arti harfiahnya adalah seorang yang melihat sesuatu, sedangkan kata "permulaan" (Grika: ρχarchē) dapat berarti pangkal maupun seseorang atau sesuatu yang memulaikan. 
 Alkitab versi Bahasa Indonesia Masa Kini menerjemahkan Wahyu 3:14 sebagai berikut: "Kepada malaikat jemaat di Laodikia, tulislah begini: Inilah pesan dari Sang Amin, Saksi yang setia dan benar, sumber segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah" (BIMK; huruf miring ditambahkan). Dalam terang ini kita beroleh kesimpulan bahwa Yesus Kristus adalah "first in prominence" (yang pertama dalam fadilat [kemuliaan]), bukan "first in sequence" (yang pertama dalam urutan).
 "Hal ini sangat penting. Yesus, Dia yang berfirman maka lahirlah dunia-dunia, Dia yang menciptakan bumi, Dia yang berfirman sehingga hadirlah kehidupan--Yesus yang sama ini mengucapkan pengharapan kepada Laodikia. Khalik yang maha kuasa dapat menciptakan hidup yang baru. Ia dapat menciptakan ulang kerinduan-kerinduan rohani yang baru di dalam hati kita. Ia dapat mengubah kehidupan rohani kita" [alinea terakhir].
 Apa yang kita pelajari tentang pengharapan bagi Jemaat Laodikia?
1. Pekabaran kepada tujuh jemaat dalam Wahyu 2&3 berasal dari Yesus Kristus yang berbicara sebagai "saksi" yang mengetahui dengan pasti kondisi rohani dari setiap jemaat itu, bahkan kondisi rohani dari setiap orang Kristen sepanjang zaman.
2. Penggambaran tentang kondisi rohani dari ketujuh jemaat tersebut relevan dan mengena kepada tiap-tiap jemaat zaman ini maupun kepada masing-masing orang. Pendeknya, kita semua memiliki kekurangan-kekurangan yang sama pada waktu yang berbeda. Jadi, semua pekabaran itu cocok untuk semua.
3. Kabar baiknya, Yesus tidak hanya menegur tapi juga memberi pengharapan, yakni untuk penciptaan baru. "Siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru" (2Kor. 5:17). Sebab "menjadi ciptaan baru, itulah yang ada artinya" (Gal. 6:15).
2.  GANJARAN UNTUK KEBAIKAN (Sebuah Teguran yang Penuh Kasih)
 Orang Kristen panas-dingin? Bahasa Indonesia mengenal ungkapan [maaf] "panas-panas tahi ayam" yang bertutur tentang orang-orang yang tidak memiliki determinasi untuk menyelesaikan apa yang telah dimulainya, atau dalam melakukan sesuatu hanya pada awalnya saja bersemangat tapi lama-kelamaan menjadi lesu dan kehilangan gairah. Dalam pengertian rohani barangkali keadaan seperti ini cocok untuk orang-orang Kristen seperti jemaat pertama, Efesus, yang dalam bahasa Alkitab "telah meninggalkan kasihmu yang semula" (Why. 2:4). Tetapi kepada jemaat ketujuh, Laodikia, Tuhan menyebut kondisi kerohaniannya "suam-suam kuku, dan tidak dingin atau panas" (Why. 3:16). Mungkin mereka inilah orang-orang Kristen yang sebentar panas sebentar dingin, atau "orang Kristen panas-dingin"?
 Francis Chan, penulis dan penginjil internasional asal Amerika kelahiran Hongkong (1967), dalam karyanya berjudul Crazy Love: Overwhelmed by a Relentless God (Colorado Springs, CO: David C. Cook Publ., 2008), sebuah buku rohani Kristen yang dinobatkan sebagai buku terlaris tahun 2009 oleh New York Times, menulis: "Kehidupan yang suam-suam kuku sambil mengaku nama Kristus pada waktu yang bersamaan adalah sama sekali memuakkan bagi Tuhan." Selanjutnya pendiri gereja Cornerstone Community Church di Simi Valley, California ini menyebutkan ciri-ciri dari orang Kristen yang suam-suam kuku. Antara lain: (1) rajin ke gereja semata-mata untuk memberi kesan sebagai "orang Kristen yang baik"; (2) kalau harus memilih, lebih cenderung kepada apa yang populer ketimbang apa yang benar; (3) tidak serius pada hidup baru yang ditawarkan Yesus; (4) gampang tersentuh oleh khotbah yang menarik, tapi tidak tergerak untuk berubah dan berbuat; (5) tidak pernah membagikan injil karena takut merusak hubungan dengan orang lain; (6) beragama secara formalitas sebab tidak ingin dianggap orang Kristen fanatik; (7) merasa puas kalau sudah memberi persembahan atau menyumbang gereja, asalkan kehidupan pribadinya tidak diusik.
 "'Pekabaran kepada jemaat Laodikia berlaku paling tepat terhadap mereka yang pengalaman rohaninya hambar, yang tidak menjadi saksi yang tegas dalam mendukung kebenaran' --SDA Bible Commentary, jld. 7, hlm. 962. Ini adalah sebuah pernyataan yang sangat menarik. Suatu pengalaman rohani yang hambar ialah pengalaman rohani yang tak bernyawa. Memiliki kulit luar Kristiani tetapi kekurangan isi. Memiliki bentuk luar tetapi kekurangan kuasa yang hidup. Umat Laodikia bukanlah orang-orang bidat ataupun orang-orang fanatik yang berapi-api; hanya saja mereka itu acuh tak acuh secara rohani. Umat Laodikia kelihatan seperti orang-orang yang baik moralnya"  [alinea pertama: tujuh kalimat pertama].
 Ketika Allah mengajar kita. Allah peduli dengan kondisi kerohanian umat-Nya, dan bukti dari kepedulian itu ialah ketika Allah sebagai Bapa semawi mengajar kita seperti halnya seorang ayah mendidik anak-anaknya. Pengajaran merupakan bukti kepedulian orangtua terhadap kehidupan anak-anaknya di dunia ini, apalagi menyangkut nasib dan kehidupan di akhirat. "Kita mempunyai bapak di dunia. Ia mengajar kita, dan kita menghormatinya. Nah, apalagi terhadap Bapa rohani kita yang di surga, tentu kita harus lebih lagi tunduk kepada-Nya supaya kita hidup. Orangtua kita yang di dunia mengajar kita hanya dalam waktu yang terbatas, menurut apa yang mereka merasa baik. Tetapi Allah mengajar kita untuk kebaikan kita sendiri, supaya kita dapat menjadi suci bersama-sama dengan Dia" (Ibr. 12:9-10, BIMK).
 Teguran dan pengajaran adalah bagian dari proses pendidikan seorang anak. Jadi kita harus merasa berbahagia dan tidak menolak bila ditegur Allah, sebab Tuhan tidak hanya mencambuk tapi juga membebat akibat dari pukulan itu (Ay. 5:17-18; Mzm. 94:12), sebab "teguran mendatangkan hikmat" dan didikan akan "memberi ketenteraman...dan mendatangkan sukacita" (Ams. 29:15, 17). "Memang pada waktu kita diajar, hukuman itu tidak menyenangkan hati kita, melainkan hanya menyedihkan saja. Tetapi kemudian dari itu, bagi kita yang sudah diajar, hukuman itu menyebabkan kita hidup menurut kemauan Allah, dan menghasilkan perasaan sejahtera pada kita" (Ibr. 12:11, BIMK).
 "Tuhan kita terlalu sayang kepada umat-Nya untuk membiarkan mereka begitu saja menuju kepada kebinasaan. Ia akan berbuat apa saja yang perlu demi menyalakan kembali api rohani di dalam hati mereka. Teguran-Nya yang keras adalah karena kasih yang lebih kuat. Pengajaran-Nya hanya oleh karena kerinduan-Nya untuk menyembuhkan kita. Nabi Hosea menggemakan perasaan ini dengan seruan untuk bertobat: 'Mari kita kembali kepada Tuhan. Dialah yang menyakiti kita, tapi Dia juga yang akan menyembuhkan. Dia yang melukai, tapi Dia juga yang akan membalut luka-luka kita' (Hos. 6:1, BIMK)" [alinea terakhir].
 Apa yang kita pelajari tentang teguran Allah yang penuh kasih?
1. Allah tidak menyukai keadaan rohani yang suam-suam kuku. Dia ingin kerohanian kita dipanaskan kembali, supaya kita tidak dimuntahkan-Nya sehingga binasa. Untuk membuat umat-Nya sadar dan berubah dari kondisi rohani yang suam-suam kuku itulah maka Tuhan menegur kita.
2. Teguran Allah adalah ibarat pil yang terasa pahit di mulut tetapi berkhasiat untuk menyembuhkan penyakit. Sebagai orang Kristen yang menyadari hal itu maka dalam menghadapi pengajaran Tuhan tersebut perhatian kita harus terfokus pada hasilnya, bukan pada prosesnya.
3. Janji Alkitab sangat menguatkan kita, bahwa sekalipun Tuhan mengajar kita dengan keras dan menyakitkan namun Tuhan sendiri yang juga akan menyembuhkan luka-luka akibat pukulan-Nya itu sehingga rasa sakitnya akan lenyap tak berbekas.
3. BELAJAR MENYADARI KENYATAAN (Persepsi dan Realitas)
 Kesenjangan dalam penilaian. Manusia seringkali terlalu percaya diri sehingga menjadi takabur dan gegabah; keadaan itu berlaku dalam kehidupan sehari-hari dan bisa terjadi juga dalam kehidupan rohani. "Ada suatu kesenjangan antara apa yang Laodikia ucapkan dan lakukan. Ada suatu kesenjangan yang bahkan lebih besar lagi antara pengalaman rohani yang Laodikia pikir dia miliki dan apa yang sesungguhnya dia punyai" [alinea pertama].
 Secara harfiah, menurut beberapa sumber, kata "Laodikia" merupakan perpaduan dari dua kata Grika, yaitu λας, laos (orang banyak, masyarakat, rakyat) dan δκη, dike (hukum, keputusan, pendapat). Berdasarkan pengertian ini nama "Laodikia" bisa berarti "masyarakat hukum" atau juga "pendapat masyarakat"--tergantung konteks dan perspektif. Kalau benar nama kota itu menggambarkan aspirasi penduduknya maka dalam konteks hukum mungkin rakyatnya ingin dianggap sebagai masyarakat yang taat hukum, sedangkan dari perspektif sosial mereka suka dikenal sebagai masyarakat yang bebas berpendapat. Atau bisa jadi juga kedua-duanya, bahwa penduduk kota Laodikia merasa mereka adalah masyarakat yang menghargai hukum dan sekaligus juga menghargai pendapat orang. Sikap dan cara berpikir masyarakat seperti ini tentu bisa terbawa ke dalam jemaat, di mana umat itu merasa yakin bahwa ketaatan pada hukum Tuhan itu tidak perlu dipertanyakan.
 Tetapi Yesus mencela penilaian jemaat Laodikia itu tentang diri mereka sendiri. "Kalian berkata, 'Kami kaya dan serba cukup; kami tidak kekurangan apa-apa.' Tetapi kalian tidak tahu betapa melarat dan betapa menyedihkan keadaanmu! Kalian miskin, telanjang, dan buta" (Why. 3:17, BIMK; huruf miring ditambahkan). Kita dapat melihat dengan jelas di sini bagaimana pendapat jemaat Laodikia itu sangat berlawanan dengan penilaian Yesus Kristus, dan perbedaan itu disebabkan oleh ketidaktahuan di pihak pertama. Apa sebabnya mereka tidak tahu? Rupanya mereka mengalami penyakit "rabun rohani" yang menjangkiti mata iman sehingga penglihatan mereka tergganggu dan tidak dapat melihat dengan terang. Itulah sebabnya Tuhan menganjurkan jemaat itu supaya membeli "obat untuk dioles di matamu supaya kalian dapat melihat" (ay. 18, BIMK).
 Parameter yang salah. Selain faktor ketidaktahuan akibat rabun rohani, kekeliruan penilaian mereka juga disebabkan oleh penggunaan parameter yang salah. Sebagai sebuah kota bisnis terkemuka, Laodikia telah memberi kemakmuran dan kesejahteraan lahiriah kepada penduduknya. Dalam keadaan yang berkecukupan orang-orang Kristen di kota itu merasa telah diberkati, dan mereka menganggap berkat yang limpah sebagai bukti yang tak dapat disangkal bahwa Tuhan berkenan terhadap mereka dan menjadi pertanda bahwa kehidupan rohani mereka sudah memuaskan hati Tuhan. Sementara bersyukur atas setiap berkat jasmaniah yang kita terima adalah sikap yang baik dan disukai Tuhan, menganggap bahwa berkat-berkat jasmaniah adalah simbol perkenan Allah atas kehidupan kita merupakan cara berpikir yang menyesatkan. Apalagi kalau ungkapan bersyukur untuk sesuatu berkat berupa kesenangan lahiriah itu sengaja diobral melalui status FB untuk memancing acungan jempol dan komentar!
 Selain sentra perdagangan emas yang kaya di kawasan Asia Kecil, kota Laodikia purba juga dikenal dengan pabrik-pabrik bahan pakaian dan sebagai produsen obat mata sejenis salep yang tersohor mujarab sampai ke mancanegara. Di kota ini pula terdapat sebuah sekolah kedokteran yang didirikan dan dipimpin oleh Alexander Philalethes, dan di kemudian hari posisinya digantikan oleh bekas mahasiswanya yang cerdas dan ambisius bernama Demosthenes Philalethes, seorang dokter ahli mata kenamaan di abad pertama yang telah menulis buku-buku teks pelajaran kesehatan mata yang digunakan secara luas di berbagai fakultas kedokteran pada abad-abad permulaan. Namun, sementara kota Laodikia tersohor dengan perhiasan emasnya, produk bahan pakaian dan salep matanya, kepada jemaat di kota itu Tuhan justeru berpesan: "Aku menasihati kalian supaya membeli daripada-Ku emas, yaitu emas yang murni, supaya kalian menjadi kaya. Belilah juga pakaian putih daripada-Ku supaya kalian berpakaian dan menutupi keadaan kalian yang telanjang dan memalukan. Dan belilah pula obat untuk dioles di matamu supaya kalian dapat melihat" (Why. 3:18, BIMK).
 "Salah satu tipuan Setan yang fatal ialah untuk membutakan kita terhadap kenyataan akan kebutuhan kerohanian kita. Sebagian dari pemimpin-pemimpin rohani pada zaman Yesus buta terhadap kemiskinan rohani mereka sendiri. Mereka itu adalah anggota-anggota 'gereja' yang suka membaca Alkitab, pemelihara Sabat, dan pembayar persepuluhan yang menantikan kedatangan Mesias. Namun, banyak yang berada dalam kegelapan mengenai bentuk kerajaan rohani yang Ia hendak tuntun mereka untuk masuk...Yesus akan memulihkan penglihatan rohani yang telah hilang kalau kita mengizinkan Dia. Setiap kali Yesus mencelekkan mata yang buta dalam Perjanjian Baru, Ia menyatakan kerinduan-Nya untuk membuka mata pikiran kita sehingga menyanggupkan kita untuk melihat Dia dengan jelas" [alinea kedua: empat kalimat pertama dan dua kalimat terakhir].
 Apa yang kita pelajari tentang berbedanya anggapan dan kenyataan di jemaat Laodikia?
1. Umumnya manusia berambisi untuk mencapai hal-hal duniawi tetapi tidak untuk hal-hal rohani. Akibatnya, kita sering tidak puas dalam pencapaian hal duniawi namun cepat puas dalam hal rohani. Standar pencapaian keduniawian tinggi, tapi standar pencapaian keilahian rendah.
2. Penyakit rohani orang Kristen, utamanya yang hidup di kota-kota, adalah mata yang gampang silau terhadap hal-hal duniawi yang gemerlap. Kesilauan tentu saja mengurangi daya penglihatan yang jika dibiarkan tanpa diobati dapat menyebabkan rabun rohani dengan akibat jiwa jadi gelap.
3. Kemakmuran hidup dapat membuat saraf-saraf rohani jadi tumpul sehingga orang bisa mati rasa dan tidak peka lagi terhadap busung lapar rohani yang dideritanya. Seperti lima anak dara yang bodoh itu, membiarkan lampu mereka menyala semalaman tanpa menyadari minyaknya bakal habis.
4. INTERVENSI DARI SURGA (Obat Ilahi)
 Tuhan menawarkan penyembuhan. Jemaat Laodikia tidak dapat menyembuhkan diri sendiri dari penyakit rohani yang dideritanya. Yesus adalah Tabib Agung, bukan saja untuk menyembuhkan penyakit jasmani tapi juga rohani. Bahkan, spesialisasi-Nya adalah pada penyakit rohani manusia. Sebagai "dokter super-spesialis" penyakit rohani, Yesus tidak memerlukan prosedur anamnesia (mewawancarai pasien untuk mengetahui gejala dan riwayat penyakit), tapi langsung diagnosis. Setelah menerangkan penyakit rohani jemaat Laodikia, Yesus langsung memberi resep obat yang diperlukan dengan jaminan kesembuhan yang pasti. Bukan itu saja, tapi Dia juga memberitahukan bagaimana caranya mendapatkan obat itu.
 Gejala penyakit jemaat Laodikia adalah "demam rohani" karena kondisi badan mereka tidak panas dan juga tidak dingin--orang Manado menyebutnya "Kristen lao-lao"--yakni gejala yang lazim dialami ketika orang Kristen kekurangan protein Roh yang merupakan zat pembangun kerohanian dan pembentukan tulang serta otot rohani. Seperti halnya kekurangan protein dalam tubuh manusia, kekurangan protein Roh dalam jiwa manusia selain menghambat pertumbuhan rohani juga dapat mengakibatkan komplikasi berupa merosotnya daya tahan rohani sehingga mudah terkena infeksi sekularisme, kwashiorkor dan marasmus (busung lapar) rohani, bahkan pada tahap lanjut dapat menimbulkan gangguan fungsi hati (kehilangan kasih). Jadi, gejala "demam rohani" (Kristen panas-dingin) bukan hal yang sepele, sebab dalam jangka panjang dapat menyebabkan masalah kerohanian yang parah dan berujung pada kematian rohani.
 "Ada pengharapan bagi Laodikia, sama seperti pengharapan yang ada bagi semua orang yang menderita apatisme dan ketidakacuhan rohani. Tuhan kita mempunyai obat ilahi. Fakta bahwa Tuhan berbicara kepada jemaat ini menunjukkan bahwa ada pengharapan bagi jemaat jika umat-Nya menerima dan mengikuti nasihat-Nya" [alinea pertama].
 Obat surgawi. Yesus berkata, "Aku menasihatkan engkau, supaya engkau membeli dari pada-Ku emas yang telah dimurnikan dalam api, agar engkau menjadi kaya, dan juga pakaian putih, supaya engkau memakainya, agar jangan kelihatan ketelanjanganmu yang memalukan; dan lagi minyak untuk melumas matamu, supaya engkau dapat melihat. Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah!" (Why. 3:18-19; huruf miring ditambahkan). Berdasarkan kedua ayat ini kita dapat menyimpulkan bahwa obat yang Yesus tawarkan demi penyembuhan "penyakit rohani" yang diidap oleh jemaat Laodikia bukan seperti obat-obatan moderen yang berlapis gula (sugar coating medicine), melainkan obat asli yang rasanya pahit. Proses pengobatannya selain memerlukan waktu juga membutuhkan kerelaan hati untuk menjalani "teguran dan hajaran" berupa penempaan kehidupan rohani yang akan dilakukan oleh Tuhan.
 Kenyataan bahwa Tuhan menawarkan "emas yang telah dimurnikan dalam api" menunjukkan bahwa emas (=keberagamaan) yang dimiliki jemaat Laodikia belum murni tapi masih bercampur dengan partikel-partikel duniawi. Begitu juga, perlunya "pakaian putih" itu membuktikan bahwa pakaian (=tabiat) yang kita kenakan adalah kotor dengan noda-noda cinta diri serta compang-camping oleh keserakahan yang memalukan. Nasihat agar mengoleskan "minyak untuk melumas mata" menyingkapkan mata (=iman) kita yang kabur dan tidak dapat melihat lebih jauh dari apa yang kita alami sekarang. Obat mata itu juga dibutuhkan agar kita bisa memiliki persepsi yang tepat mengenai kondisi rohani kita yang sebenarnya, supaya kita tidak dininabobokan oleh rasa aman yang semu tentang keselamatan kita.
 "Emas yang Ia tawarkan tanpa logam campuran, lebih berharga daripada emas Ofir; sebab itulah iman dan kasih...Pakaian putih yang Ia persilakan jiwa itu untuk pakai adalah jubah kebenaran-Nya sendiri, dan minyak untuk melumas itu adalah minyak kasih karunia-Nya yang akan memberi penglihatan rohani bagi jiwa yang berada dalam kebutaan dan kegelapan, agar dia bisa membedakan antara pekerjaan Roh Allah dan roh musuh" [alinea kedua: kalimat terakhir; alinea ketiga: kalimat pertama].
 Apa yang kita pelajari tentang obat ilahi yang Yesus tawarkan kepada Jemaat Laodikia?
1. Umat Tuhan tidak mampu menyadari kondisi rohani mereka yang sebenarnya serta akibat-akibat yang bisa terjadi. Beruntunglah ada "dokter ilahi" yang bersedia mendiagnosis keadaan kita dan menyediakan obat surgawi demi kesembuhan kita.
2. Penyakit rohani timbul akibat terinfeksi oleh virus yang melumpuhkan sistem kekebalan rohani oleh sebab kita selalu terpapar dengan radikal-radikal bebas keduniawian di lingkungan yang sudah tercemar oleh dosa. Di dunia ini tidak ada ruang yang steril dosa, jadi semua kita berpenyakit rohani.
3. Penyembuhan dari penyakit rohani memerlukan proses yang jangka waktunya tergantung pada kesetiaan kita menelan obat ilahi dan kesabaran serta ketekunan kita untuk mengikuti semua advis dokter super-spesialis penyakit rohani itu.
5. TIDAK KENAL MENYERAH (Cinta Tiada Akhir)
 Keintiman dengan Yesus. Dalam Alkitab salah satu hubungan metaforal antara manusia dengan Tuhan digambarkan dalam dimensi hubungan antara dua kekasih (Kid. Ag. 5:2-5), bahkan antara suami dan istri (Ef. 5:25-27, 32). Ide teologis yang ditekankan di sini adalah keintiman antara jemaat sebagai "istri" dengan Yesus sebagai "suami." Hubungan ini terjalin oleh cinta agape yang luhur dan penuh pengorbanan, sebuah cinta yang tak bersyarat dan tidak mengenal akhir. Itulah sebabnya Yesus Kristus dilukiskan sebagai kekasih yang tiada putus-putusnya dan tanpa kenal waktu selalu mengetuk pintu hati setiap orang untuk siapa Dia telah mati. Dalam hal ini tidak ada bedanya antara orang berdosa dan orang saleh, ketukan Yesus di pintu hati kita mengharapkan sambutan untuk mempersilakan Dia masuk.
 "Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok," kata Yesus, "jikalau ada orang yang mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya dan Aku makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama dengan Aku" (Why. 3:20; huruf miring ditambahkan). Makan merupakan kesempatan paling menyenangkan bagi setiap orang, dan dalam peradaban mana saja makan bersama adalah ungkapan keakraban di antara orang-orang yang turut serta. Dalam arti kata yang sebenarnya, selama hidup di dunia ini Yesus sudah sering makan bersama dengan banyak orang, khususnya dengan individu-individu yang terpinggirkan di masyarakat seperti pemungut cukai dan perempuan tuna susila.
 Kita mengetahui bahwa ada keintiman di antara dua orang atau lebih apabila mereka sering terlihat bersama-sama di berbagai tempat, bukan? Kedekatan secara fisik adalah kebutuhan hakiki dalam suatu hubungan yang intim. Yesus sendiri membuktikan hal itu di mana Dia selalu bersama-sama dengan murid-murid-Nya, khususnya dengan tiga orang di antara mereka yang paling akrab dengan Dia, yaitu Petrus, Yakobus dan Yohanes (Mrk. 5:37; Mat. 26:37). Yesus juga berteman akrab dengan tiga bersaudara yang tinggal di kampung Betania, yaitu Maria, Marta dan Lazarus, ke rumah siapa Yesus sering berkunjung oleh sebab Dia mengasihi mereka (Yoh. 11:5; Mrk. 11:11-12).
 Duduk di takhta-Nya. Takhta identik dengan kemenangan. Sepanjang peradaban manusia, dari dulu sampai sekarang, "takhta" (jabatan kekuasaan) lazimnya adalah hasil dari sebuah perjuangan. Yesus sendiri memperoleh takhta-Nya setelah menang dalam peperangan besar dengan Setan, di surga dan di dunia ini. Itulah sebabnya Dia mendorong umat-Nya untuk memenangkan pertarungan pribadi yang sama, dengan janji akan duduk bersama-sama dengan Dia di atas takhta-Nya. Dalam bahasa rasul Paulus: "Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya; tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya" (2Tim. 4:7-8).
 Kerinduan Yesus untuk berada bersama-sama dengan umat tebusan-Nya di surga bukan sekadar untuk dapat makan bersama-sama, tapi lebih daripada itu ialah supaya bisa duduk bersama-sama dengan mereka di takhta-Nya. "Barangsiapa menang, ia akan Kududukkan bersama-sama dengan Aku di atas takhta-Ku, sebagaimana Aku pun telah menang dan duduk bersama-sama dengan Bapa-Ku di atas takhta-Nya" (Why. 3:21). Kabar baiknya, kuasa kemenangan Yesus itu ditawarkan-Nya kepada Jemaat Laodikia, dan setiap orang yang menerima kuasa kemenangan itu juga pasti menang. Kenyataan dari kondisi kerohanian kita yang apatis dan acuh tak acuh tidak membuat Yesus juga menjadi apatis dan acuh tak acuh dengan kita.
 "Kristus menggunakan motivasi-Nya yang terbesar bagi umat-Nya pada zaman akhir yang acuh tak acuh. Motivasi terbesar untuk membangunkan kita dari tidur rohani adalah kasih Yesus yang tak ada habisnya, sebab Ia rindu untuk menjalani seluruh kekekalan dengan kita. Kalau itu tidak cukup untuk menyadarkan kita dari apatisme rohani kita, apa lagi? Kalau itu tidak cukup untuk membuat kita bertelut mengusahakan kebangunan rohani, apa lagi?" [alinea ketiga].
 Tatkala menikmati perjamuan Paskah terakhir bersama murid-murid-Nya, Yesus mengeluarkan sebuah pernyataan: "Aku sangat rindu makan Paskah ini bersama-sama dengan kamu, sebelum Aku menderita. Sebab Aku berkata kepadamu: Aku tidak akan memakannya lagi sampai ia beroleh kegenapannya dalam Kerajaan Allah" (Luk. 22:15-16). Apa maksudnya Yesus berkata tentang "kegenapan" yang akan terpenuhi di dalam Kerajaan Allah? Ini berarti bahwa perjamuan Paskah yang dinikmati-Nya bersama murid-murid pada waktu itu hanyalah sebuah "cicip awal" atau rasa pendahuluan (foretaste) dari pesta agung yang akan diadakan di surga ketika semua umat tebusan akan duduk bersama Yesus dalam "perjamuan kawin Anak Domba" (Why. 19:9).
 Apa yang kita pelajari tentang kasih Yesus yang tak kenal akhir?
1. Keintiman adalah "ruh" dari sebuah hubungan. Dalam hubungan kita dengan Yesus Kristus keintiman itu ditunjukkan melalui komunikasi dalam doa dan iman kepada-Nya. Kian sering kita berkomunikasi dan makin percaya kita kepada-Nya, kian berkualitas hubungan itu.
2. Firman Tuhan adalah makanan rohani bagi jiwa, dan Alkitab merupakan perwujudan diri Kristus. Membaca dan mempelajari Alkitab dapat menggantikan suasana makan bersama dengan Yesus ketika anda dan saya dikenyangkan oleh perkataan-Nya.
3. Kalau ada satu ambisi yang sangat direstui Allah untuk dikejar oleh umat-Nya di dunia, itu adalah ambisi untuk bertakhta bersama Yesus dalam kerajaan surga. Takhta apa saja di dunia ini tidak ada artinya dibandingkan dengan takhta surga. Jangan habiskan seluruh sumberdaya anda untuk takhta dunia.
PENUTUP
 Reformasi dan kebangunan rohani. Pada era reformasi ini orang-orang menuntut adanya perubahan dalam penatalaksanaan di berbagai bidang kehidupan, politik maupun kemasyarakatan. Meskipun kelihatannya seperti sudah terjadi perubahan, banyak orang mengeluh bahwa perubahan itu hanya di kulit saja tapi substansinya belum. Perubahan baru pada bentuk dan gaya, bukan isi. Mengapa perubahan hakiki tampak sulit dilakukan? Karena dalam kehidupan sekuler tidak dikenal istilah "kebangunan" (revival). Gereja mengenal kata "reformasi" dan "kebangunan" secara rohani.
 "Kebangunan dan reformasi harus berlangsung di bawah pertolongan Roh Kudus. Kebangunan dan reformasi adalah dua hal yang berbeda. Kebangunan menandakan suatu pembaruan kehidupan rohani, menghidupkan kemampuan pikiran dan hati, kebangkitan dari kematian rohani. Reformasi menandakan reorganisasi, suatu perubahan dalam hal ide dan teori, kebiasaan dan praktik. Reformasi tidak akan menghasilkan buah kebenaran yang baik kecuali itu dihubungkan dengan kebangunan oleh Roh. Kebangunan dan reformasi harus melakukan tugas yang ditentukan untuk keduanya, dan dalam melaksanakan tugas ini kedua-duanya harus menyatu" [alinea pertama].
 Bilamana kita berbicara tentang reformasi rohani dan kebangunan rohani, kita tidak menekankan pada soal sistem melainkan lebih pada diri orang per orang--pikiran dan hati. Kalau manusianya berubah dan dibangunkan kembali secara rohani, ketika pikiran dan hatinya diperbarui oleh Roh Allah, niscaya berbagai jenis produknya serta merta akan berubah. Tabiatnya, sikapnya, perilakunya, tutur katanya, bahkan airmukanya pun akan berbeda dari sebelumnya. Seorang pengikut Kristus yang telah diubahkan dan dibangunkan kembali kerohaniannya akan menampilkan "aura Kristiani" yang tidak saja berbeda tapi juga berkuasa untuk mempengaruhi orang-orang lain.
 "Janganlah ikuti norma-norma dunia ini. Biarkan Allah membuat pribadimu menjadi baru, supaya kalian berubah. Dengan demikian kalian sanggup mengetahui kemauan Allah -- yaitu apa yang baik dan yang menyenangkan hati-Nya dan yang sempurna" (Rm. 12:2, BIMK).
REFERENSI :

1.   Mark Finley, Kebangunan dan Pembaruan--- Penuntun Guru Pelajaran Sekolah Sabat Dewasa, Trw.III, 2013. Bandung: Indonesia Publishing House.
2.   Loddy Lintong, California U.S.A.