Selasa, 02 Juli 2013

Sikapi Dengan Bijak Perkawinan Beda Suku(Interracial Marriage)



Saat ini zaman telah memasuki abad ke 21. Abad teknologi dan informasi, dimana batas-batas wilayah, maupun negara seakan tidak terlihat lagi dan dunia seakan telah menyatu dalam suatu komunitas global. Kota-kota besar telah menjadi tempat berkumpulnya orang dari berbagai suku maupun ras. Perjumpaan dengan lawan jenis yang berbeda suku maupun ras telah menjadi hal yang tak terhindarkan.
Demikian halnya dengan cinta, telah mempertemukan orang-orang dari beragam budaya dan ras. Kerap jalinan cinta yang terbentuk itu kemudian pudar karena tentangan orang tua yang tidak menyetujui anaknya menikah dengan orang yang berlainan suku maupun ras. Ada juga orang-orang yang kemudian nekad “kawin lari” demi mewujudkan cintanya yang terhambat jurang perbedaan suku/ras.
Sejarah mencatat perbedaan warna kulit telah membuat perpisahan dan perbedaan antar umat manusia sejak masa yang sangat lama. Prasangka-prasangka suku maupun ras telah begitu mendunia bagaikan penyakit menular yang sangat berbahaya, bahkan sampai hari ini. Perbedaan kulit antara hitam dan putih pernah membuat Amerika Serikat hancur dalam perang saudara berkepanjangan pada beberapa abad yang silam. Konflik-konflik antar suku di Indonesia masih seringkali kita lihat seperti di Kalimantan beberapa tahun lalu. Kalau begitu bagaimana dengan perkawinan antar suku atau ras? Dapatkah cinta menghancurkan tembok-tembok pemisah itu? Apakah pandangan Alkitab mengenai perkawinan beda suku ataupun warna kulit tersebut?
Perspektif Sosial – Budaya
Kita patut bersyukur memiliki Allah yang penilaiannya tidak berdasarkan apa yang kelihatan saja, namun lebih melihat pada hati manusia itu sendiri dan tidak pernah “membedakan orang” (Kis 10:34). Allah yang telah menciptakan segala sesuatu, termasuk perbedaan suku, bangsa, maupun warna kulit. Kita semua berasal dari pria dan wanita yang pertama, yaitu Adam dan Hawa.
Alkitab mencatat setelah banjir besar yang melanda seluruh Bumi, hanya Nuh dan keluarganya yang selamat dari banjir tersebut. Ketiga anaknya, Sem, Ham dan Yafet bersama istri mereka kemudian menjadi nenek moyang manusia modern sekarang ini. Dari merekalah, bangsa-bangsa kemudian terbentuk sampai ke ujung-ujung bumi. Faktor geografis dan alam menjadi salah satu faktor yang menentukan perbedaan warna kulit. Suku-suku bangsa yang tinggal di benua Afrika yang panas dan tandus cenderung berkulit hitam, sementara suku-suku bangsa yang mendiami wilayah sub tropis yang dingin dan jarang terkena panas matahari, kulitnya cenderung putih.
Terpencarnya manusia dalam beragam wilayah, telah membuat mereka mengembangkan sistem budaya secara tersendiri. Setiap masyarakat suku bangsa memiliki budaya yang berbeda dengan suku lainnya. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Biasanya budaya yang berbeda-beda inilah yang menjadi faktor kunci dalam perkawinan antar suku. Penerimaan terhadap budaya suku lain akan membuat seseorang berpeluang besar diterima oleh keluarga besar calon pasangannya. Mereka akan merasa bahwa budayanya diterima dan dihargai. Hal sebaliknya dapat terjadi, yaitu apabila seseorang resisten dan menolak budaya calon pasangannya. Sebagai contoh,apabila seseorang hendak menikah dengan pasangan yang berasal dari suku Jawa, maka sangat besar harapan dari keluarga pasangannya itu bahwa perkawinan akan dilaksanakan menurut budaya mereka.
Perspektif Alkitab:
Beberapa orang berpandangan bahwa perkawinan antar ras sesungguhnya telah dilarang Allah. Mereka mengatakan bahwa perkawinan antara Israel dengan orang asing (beda kultur maupun warna kulit) dilarang dalam kitab Perjanjian Lama. Pandangan yang bersifat rasis ini tidaklah Alkitabiah. Memang Alkitab melarang anak-anak Israel kawin dengan bangsa-bangsa asing, namun larangan itu bukan karena alasan suku maupun kulit, tetapi lebih karena Israel adalah orang percaya, sementara bangsa-bangsa asing tersebut merupakan penyembah-penyembah berhala atau orang yang tidak percaya (Ulangan 7:3-4).
Raja Salomo dicela bukan karena ia menikahi wanita-wanita asing, namun karena wanita-wanita asing tersebut adalah penyembah-penyembah berhala, sementara Salomo sendiri adalah Raja dari kerajaan yang menyembah Allah. Perjanjian Lama bahkan tidak membedakan perlakuan antara orang Israel asli dengan orang-orang asing yang menetap bersama umat Israel (Keluaran 12:48-49). Belum lagi dengan Rut, ia adalah orang asing, namun diterima Allah, bahkan menjadi nenek moyang biologis dari Yesus (Matius 1:5).
Bagaimanakah pandangan Perjanjian Baru? Dalam I Korintus 6:14-16, kita melihat bahwa Paulus hanya melarang perkawinan antara orang Kristen dan non-Kristen, bukan antar suku maupun ras. Jadi, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru tidak melarang adanya perkawinan campuran. Larangan hanya berlaku jika orang percaya/Kristen kawin dengan orang yang tidak percaya/non-Kristen.
Kesimpulan:
Sebagai kesimpulan akhir ada beberapa hal yang dapat menjadi bahan perenungan:
1.    Bagi yang hendak merencanakan menikah dengan orang yang berbeda suku maupun ras, ada konsekuensi-konsekuensi yang harus diperhatikan.  Mungkin saja ada suara ketidaksetujuan entah dari orangtua, maupun dari keluarga besar. Menyikapinya harus dengan bijak dan jangan dengan emosi maupun kemarahan.

2.   Dalam perkawinan antar suku maupun ras, ada perbedaan-perbedaan adat, budaya maupun kebiasaan yang harus diatasi. Seringkali adaptasi dalam perkawinan antar suku/budaya lebih sukar daripada perkawinan antar ras. Oleh karena itu, adanya perbedaan kebiasaan-kebiasaan adat dan budaya, maupun lainnya harus dapat diatasi bersama. Usahakan untuk dapat saling memahami budaya masing-masing dan menyesuaikan diri selama budaya tersebut tidak bertentangan dengan firman Tuhan.  Usahakan agar sama-sama memiliki satu iman, seperti pengalaman penulis adalah seorang dari suku Tapanuli, menikah dengan asal suku Palembang, namun sama-sama memiliki iman yang sama sebagai anggota  Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh.

3.    Seperti kata orang-orang bijak, “ketika kamu menikahi seseorang, sesungguhnya kamu menikah dengan seluruh keluarganya juga.” Bagi yang hendak membina hubungan maupun menikah dengan kekasih yang beda suku maupun ras, harus mempersiapkan diri untuk dapat beradaptasi dan menghadapi sikap seluruh keluarga besarnya, baik yang mendukung maupun menolak hubungan tersebut.

========================================================