Saat
ini zaman telah memasuki abad ke 21. Abad teknologi dan informasi, dimana
batas-batas wilayah, maupun negara seakan tidak terlihat lagi dan dunia seakan
telah menyatu dalam suatu komunitas global. Kota-kota besar telah menjadi
tempat berkumpulnya orang dari berbagai suku maupun ras. Perjumpaan dengan
lawan jenis yang berbeda suku maupun ras telah menjadi hal yang tak
terhindarkan.
Demikian
halnya dengan cinta, telah mempertemukan orang-orang dari beragam budaya dan
ras. Kerap jalinan cinta yang terbentuk itu kemudian pudar karena tentangan
orang tua yang tidak menyetujui anaknya menikah dengan orang yang berlainan
suku maupun ras. Ada juga orang-orang yang kemudian nekad “kawin lari” demi
mewujudkan cintanya yang terhambat jurang perbedaan suku/ras.
Sejarah
mencatat perbedaan warna kulit telah membuat perpisahan dan perbedaan antar
umat manusia sejak masa yang sangat lama. Prasangka-prasangka suku maupun ras
telah begitu mendunia bagaikan penyakit menular yang sangat berbahaya, bahkan
sampai hari ini. Perbedaan kulit antara hitam dan putih pernah membuat Amerika
Serikat hancur dalam perang saudara berkepanjangan pada beberapa abad yang
silam. Konflik-konflik antar suku di Indonesia masih seringkali kita lihat
seperti di Kalimantan beberapa tahun lalu. Kalau begitu bagaimana dengan
perkawinan antar suku atau ras? Dapatkah cinta menghancurkan tembok-tembok
pemisah itu? Apakah pandangan Alkitab mengenai perkawinan beda suku ataupun
warna kulit tersebut?
Perspektif
Sosial – Budaya
Kita
patut bersyukur memiliki Allah yang penilaiannya tidak berdasarkan apa yang
kelihatan saja, namun lebih melihat pada hati manusia itu sendiri dan tidak
pernah “membedakan orang” (Kis 10:34). Allah yang telah menciptakan segala
sesuatu, termasuk perbedaan suku, bangsa, maupun warna kulit. Kita semua
berasal dari pria dan wanita yang pertama, yaitu Adam dan Hawa.
Alkitab
mencatat setelah banjir besar yang melanda seluruh Bumi, hanya Nuh dan
keluarganya yang selamat dari banjir tersebut. Ketiga anaknya, Sem, Ham dan
Yafet bersama istri mereka kemudian menjadi nenek moyang manusia modern
sekarang ini. Dari merekalah, bangsa-bangsa kemudian terbentuk sampai ke
ujung-ujung bumi. Faktor geografis dan alam menjadi salah satu faktor yang
menentukan perbedaan warna kulit. Suku-suku bangsa yang tinggal di benua Afrika
yang panas dan tandus cenderung berkulit hitam, sementara suku-suku bangsa yang
mendiami wilayah sub tropis yang dingin dan jarang terkena panas matahari,
kulitnya cenderung putih.
Terpencarnya
manusia dalam beragam wilayah, telah membuat mereka mengembangkan sistem budaya
secara tersendiri. Setiap masyarakat suku bangsa memiliki budaya yang berbeda
dengan suku lainnya. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski
mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan
oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk
pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu
generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Biasanya
budaya yang berbeda-beda inilah yang menjadi faktor kunci dalam perkawinan
antar suku. Penerimaan terhadap budaya suku lain akan membuat seseorang berpeluang
besar diterima oleh keluarga besar calon pasangannya. Mereka akan merasa bahwa
budayanya diterima dan dihargai. Hal sebaliknya dapat terjadi, yaitu apabila
seseorang resisten dan menolak budaya calon pasangannya. Sebagai contoh,apabila
seseorang hendak menikah dengan pasangan yang berasal dari suku Jawa, maka
sangat besar harapan dari keluarga pasangannya itu bahwa perkawinan akan
dilaksanakan menurut budaya mereka.
Perspektif
Alkitab:
Beberapa
orang berpandangan bahwa perkawinan antar ras sesungguhnya telah dilarang
Allah. Mereka mengatakan bahwa perkawinan antara Israel dengan orang asing
(beda kultur maupun warna kulit) dilarang dalam kitab Perjanjian Lama.
Pandangan yang bersifat rasis ini tidaklah Alkitabiah. Memang Alkitab
melarang anak-anak Israel kawin dengan bangsa-bangsa asing, namun larangan itu
bukan karena alasan suku maupun kulit, tetapi lebih karena Israel adalah orang
percaya, sementara bangsa-bangsa asing tersebut merupakan penyembah-penyembah
berhala atau orang yang tidak percaya (Ulangan 7:3-4).
Raja
Salomo dicela bukan karena ia menikahi wanita-wanita asing, namun karena
wanita-wanita asing tersebut adalah penyembah-penyembah berhala, sementara
Salomo sendiri adalah Raja dari kerajaan yang menyembah Allah. Perjanjian Lama
bahkan tidak membedakan perlakuan antara orang Israel asli dengan orang-orang
asing yang menetap bersama umat Israel (Keluaran 12:48-49). Belum lagi dengan
Rut, ia adalah orang asing, namun diterima Allah, bahkan menjadi nenek moyang
biologis dari Yesus (Matius 1:5).
Bagaimanakah
pandangan Perjanjian Baru? Dalam I Korintus 6:14-16, kita melihat bahwa Paulus
hanya melarang perkawinan antara orang Kristen dan non-Kristen, bukan antar
suku maupun ras. Jadi, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru tidak
melarang adanya perkawinan campuran. Larangan hanya berlaku jika orang
percaya/Kristen kawin dengan orang yang tidak percaya/non-Kristen.
Kesimpulan:
Sebagai
kesimpulan akhir ada beberapa hal yang dapat menjadi bahan perenungan:
1. Bagi yang hendak merencanakan menikah dengan
orang yang berbeda suku maupun ras, ada konsekuensi-konsekuensi yang harus
diperhatikan. Mungkin saja ada
suara ketidaksetujuan entah dari orangtua, maupun dari keluarga besar.
Menyikapinya harus dengan bijak dan jangan dengan emosi maupun kemarahan.
2. Dalam perkawinan
antar suku maupun ras, ada perbedaan-perbedaan adat, budaya maupun kebiasaan
yang harus diatasi. Seringkali adaptasi dalam perkawinan antar suku/budaya
lebih sukar daripada perkawinan antar ras. Oleh karena itu, adanya perbedaan kebiasaan-kebiasaan
adat dan budaya, maupun lainnya harus dapat diatasi bersama. Usahakan untuk
dapat saling memahami budaya masing-masing dan menyesuaikan diri selama budaya
tersebut tidak bertentangan dengan firman Tuhan. Usahakan agar sama-sama memiliki satu iman,
seperti pengalaman penulis adalah seorang dari suku Tapanuli, menikah dengan
asal suku Palembang, namun sama-sama memiliki iman yang sama sebagai
anggota Gereja Masehi Advent Hari
Ketujuh.
3. Seperti kata orang-orang bijak, “ketika kamu
menikahi seseorang, sesungguhnya kamu menikah dengan seluruh keluarganya juga.”
Bagi yang hendak membina hubungan maupun menikah dengan kekasih yang beda suku
maupun ras, harus mempersiapkan diri untuk dapat beradaptasi dan menghadapi
sikap seluruh keluarga besarnya, baik yang mendukung maupun menolak hubungan
tersebut.
========================================================