* Matius
11:28-30
11:28
“Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi
kelegaan kepadamu.”
11:29
“Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan
rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.”
Kita semua tentu setuju bahwa anak-anak
adalah karunia berharga dari Tuhan. Sebagai orang-tua kita diberi mandat untuk
membentuk karakter anak bertumbuh menjadi manusia yang berguna bagi kemuliaan
Tuhan. Mendidik anak tidak mengenal batas waktu, dimulai sejak anak kita lahir
bahkan sejak mereka lagi dalam kandungan ibunya. Mendidik anak-anak dimulai
dengan membentuk karakter dan moral mereka. Kita mengajari mereka disiplin dan
membiasakan mereka ber-etiket, yang sudah barang tentu dimulai dari hal-hal
yang sederhana, sebagai contoh dengan : Mengucapkan terima kasih, meminta maaf
dan membiasakan mereka menyapa orang dengan kata-kata salam dan tersenyum
manis.
Khusus menerapkan suatu disiplin, sebagai
orang tua ketika mendidik anak-anaknya perlu sikap ketegasan, tetapi ketegasan
ini tidak selalu bersifat kekerasan. Banyak orang menganggap bahwa cara untuk
mendisiplin seorang anak adalah dengan menggunakan rotan atau dengan kata-kata
yang keras. Tetapi kata-kata keras sering mempunyai konotasi kasar. Mungkin hal
itu bisa berhasil, tapi cara disiplin seperti itu bisa menimbulkan luka batin
di hati anak-anak kita. Akibatnya bukan rasa disiplin yang tumbuh dalam diri
mereka tetapi hanya rasa takut ( misalnya : takut dipukul, takut diomeli, dsb),
hal demikian mungkin bisa menimbulkan jiwa pemberontakan atau gangguan emosi
lainnya yang ditumpahkan ketika mereka merasa cukup kuat untuk
memberontak. Rasul Paulus mengajarkan
bahwa para orang tua perlu sekali untuk menjaga hati anak-anaknya nya demikian
: "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati
anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan"
(Efesus 6:4).
Tetapi bagaimana dengan tinjauan ayat lain
di Alkitab? bukankah ada tertulis "Siapa tidak menggunakan tongkat, benci
kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada
waktunya." (Amsal 13:24). Memang seolah-olah ayat tersebut memberikan
"license memukul" dalam hal
mendidik anak. Tetapi dengan referensi Alkitab pula kita diberitahu
bahwa tongkat tidak selalu berarti tongkat. Bahwa tongkat ini bukan hanya
berbicara tentang sepotong kayu saja. Contohnya : Tongkat Musa adalah tongkat
gembala; kemanapun Musa berjalan selalu ada tongkat di tangan, apalagi mengingat
Musa adalah seorang gembala domba. Sebagai pemimpin bangsa Israel Musa berjalan
dengan tongkat sebagai lambang hadirnya kuasa Allah. Dan seringkali kita
melihat dalam dunia militer, seorang komandan berjalan dengan tongkat sebagai
tanda adanya suatu kuasa di pundaknya. Maka, ada tongkat kuasa, adapula
komando. Jadi tongkat dalam ayat tersebut juga berbicara tentang kuasa. Bukan
kuasa Musa, bukan kuasa dari tongkat itu saja, tetapi tongkat ini adalah
lambang dari kekuasaan Allah. Kuasa Allah itulah yang dipakai oleh Musa.
Angkatlah tongkatmu, maka tongkat berbicara tentang kuasa Allah. Dengan
demikian dapatlah dimengerti bahwa Amsal tersebut juga berbicara tentang
pimpinan Kuasa Allah untuk kita dalam mendidik anak-anak kita . Yesus berkata
dalam Kisah 1:8: "Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun
ke atas kamu...". Maka jelaslah bagi kita dalam mendidik-pun anak-anak
kita perlu pimpinan Roh Kudus sebagai kekuatan, ini adalah kuasa yang Tuhan
berikan kepada kita.
RUMAH
SEBAGAI AJANG PELATIHAN :
Para orang-tua sebaiknya menempatkan rumah
sebagai ajang pelatihan dengan mengikuti materi dan prinsip-prinsip Alkitab
sebagai berikut :
Amsal 29:17
"Didiklah anakmu, maka ia akan memberikan ketenteraman kepadamu, dan
mendatangkan sukacita kepadamu"
Amsal 22:6
"Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa
tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu."
Mendidik anak-anak pada masa kanak-kanak
tentu saja berbeda dengan mendidik mereka ketika beranjak dewasa. Saya ingat
satu pernyataan seorang ibu yang pernah
mengeluh kepada anaknya: "lebih mudah berbicara denganmu ketika kamu masih
8 tahun". Ketika memasuki usia remaja, rupanya anaknya bukanlah orang yang
gampang menurut nasehat dan anjuran orang-tua. Saya yakin hal inipun dialami
oleh banyak orang-tua. Meski demikian, kita bersyukur sudah dibekali orang-tua
dengan pengajaran Kristus sejak kecil. Hal itu sudah barang tentu telah menjadi
dasar karakter, kepercayaan dan tanggung-jawab ketika memasuki usia remaja dan
dewasa yang mulai ingin coba-coba "against the rule".
Saya percaya banyak orang tua mengalami
kesulitan-kesulitan ketika memberikan nasehat saat anak memasuki masa-masa
puber menuju ke kedewasaan. Begitu banyak anak-anak remaja yang tiba-tiba membenci
orang tuanya tanpa alasan yang jelas. Gejolak hormonal mereka mempengaruhi
perilaku mereka. Kadang banyak orang-tua yang tidak sabar menghadapi hal ini.
Dan kemudian balik memarahi, dan kemarahan orang-tuanya itu justru menjadi semacam pemicu pemberontakan mereka.
Maka tidak jarang terjadi "dead lock" hubungan antara anak dengan
orang tua ataupun gurunya. Tetapi Tuhan memberikan otoritas kepada orang-tua
untuk tetap mendidik anak-anaknya ketika memasuki masa-mudanya. Orang-tua tetap
bertanggung jawab untuk mendisiplin anak-anaknya (Efesus 6:4, Amsal 22:6). Jika
demikian cara/ metode apakah yang terbaik?
METODE TUHAN
YESUS :
Bagaimana seharusnya kita sebagai orangtua
maupun guru secara umum menanamkan disiplin dalam diri anak-anak. Kapan kita
dapat menggunakan "tongkat" yang berfungsi sebagai
"command" dengan ketegasan dan kapan saatnya kita harus menggunakan kata-kata yang lemah
lembut. Bagaimana mendidik dan mendisiplinkan anak dengan cara Alkitab? Dalam
Matius 11:28-30 Tuhan Yesus memberi pengajaran yang luar biasa, sebuah
pengajaran yang sangat sejuk, tanpa paksaan dan kekerasan : "Marilah
kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan
kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut
dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang
itu enak dan beban-Kupun ringan."
Cara Yesus
mengajar ini sangat sederhana; pertama : datang kepadaKu, kedua : Aku memasang
kuk (beban), yang ketiga : belajarlah kepadaKu. Metode ini dapat pula menjadi
cara kita dalam mendidik anak-anak. Pertama : sebagai orang-tua/ guru kita
harus menjadi pribadi yang akrab kepada anak-anak, sehingga anak-anak tidak
canggung, tidak sungkan, tidak takut untuk datang kepada orangtuanya sebagai
sandaran yang memberikan mereka keamanan dan kelegaan. Yang kedua : Orang tua harus menanamkan
tanggung-jawab kepada anak sejak awal akan tugas-tugas (beban/kuk) mereka
sebagai umat Allah, bahwa beban yang mereka pikul bukanlah beban yang memberatkan,
tetapi suatu tugas yang mulia. Dan yang ketiga : Belajarlah kepadaku, yang berarti orang tua
harus menjadi panutan bagi anak-anak. Bahwa orangtua harus menjadi pribadi yang
patut dicontoh seperti Tuhan Yesus yang lemah-lembut dan rendah-hati. Ketika orang-tua berhasil menjadi tokoh
panutan bagi anak-anaknya, hal ini akan memudahkan orang-tua itu mengarahkan
anak-anaknya menjadi pribadi yang diharapkannya.
Mahatma Ghandi adalah seorang tokoh besar
dalam sejarah, dengan terang-terangan mengaku bahwa perjuangan yang dia lakukan
ter-inspirasi oleh pengajaran cinta-kasih sebagai sari pengajaran Yesus dalam
Khotbah diatas Bukit. Maka Gandhi melakukan perjuangannya yang kita kenal
gerakan ahimsa dan swadesi, sebuah gerakan anti kekerasan yang terilhami oleh
tokoh yang dia kagumi yaitu Yesus Kristus. Meski Gandhi menolak disebut
"beragama Kristen" tetapi dia tidak menolak disebut sebagai
"seorang Kristen" karena dia adalah seorang penganut ajaran Yesus
Kristus. Metode Yesus telah dicontoh oleh Gandhi, kemudian Gandhi menjadi guru
dan teladan bagi rakyat India untuk berjuang dalam kemerdekaan India dengan
tanpa kekerasan, kesuksesannya sudah terbukti. Maka, kitapun bisa memandang hal
tersebut sebagai sebuah inspirasi yang memotivasi kita menjadi teladan yang
patut dicontoh anak-anak kita. Bahwa kita selalu memegang sebuah amanat, masa
depan anak-anak kita tergantung dari bekal pendidikan dan pembentukan karakter
yang kita bina sejak awal.
Bagi mereka yang masih mempunyai anak-anak
yang masih kecil, kami mengucapkan selamat mengajar dan jadilah teladan bagi
mereka.