"KRISTUS, HUKUM DAN INJIL"
PENDAHULUAN
Hukum dan kasih karunia Allah. Titus Lucretius Carus (99-55 SM) adalah seorang pujangga dan filsuf Romawi yang terkenal dengan syairnya berjudul "De rerum natura" ("On the Nature of Things" atau terjemahan bebasnya "Tentang Sifat Benda-benda"), sebuah puisi yang bertutur tentang penciptaan dunia oleh para dewa. Dalam puisi yang bersifat didaktik (mengandung pelajaran) itu sang pujangga mengungkapkan keyakinannya akan eksistensi makhluk-makhluk supra alami dengan kekuasaan tak terbatas yang telah menetapkan hukum-hukum alam, sehingga memungkinkan segala benda dapat berinteraksi dalam keselarasan yang mengagumkan, semuanya didasarkan pada pengamatannya terhadap fenomena alam.
Sementara dalam pengertian tertentu isi puisi itu menggambarkan pengakuan akan adanya Tuhan (dalam perspektif bangsa Romawi purba disebut "dewa"), Lucretius masih memperdebatkan apakah Tuhan itu peduli pada nasib manusia dan segala sesuatu yang terjadi di bumi ini. Tentu saja dewa yang dipahami oleh penyair tersebut berbeda dengan Allah yang dikenal oleh kita sebagai umat percaya. Bangsa Romawi purba dan juga bangsa-bangsa kafir pada zaman dulu menganut paham politeisme (banyak Tuhan), dan mereka percaya bahwa para dewa itu memiliki kekuasaan yang dapat berpengaruh pada kehidupan manusia, dan pada dasarnya bersifat intimidasi. Secara etimologis, kata "dewa" dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta deva (artinya: sinar atau langit) yang dalam bahasa Latin disebut deus dengan arti yang sama.
"Sebaliknya, Alkitab menyatakan bahwa hanya ada satu Allah, dan bahwa Ia sangat peduli pada apa yang terjadi di bumi ini. Dua manifestasi dari kepedulian yang sangat besar pada umat manusia itu terdapat dalam hukum-Nya (yakni untuk membimbing manusia bagaimana harus hidup) dan kasih karunia-Nya (yakni sarana yang Ia sediakan untuk menyelamatkan kita sekalipun kita sudah melanggar hukum itu). Walaupun sering terlihat seakan saling bertentangan, hukum dan kasih karunia itu tidak terpisahkan" [alinea kedua: tiga kalimat pertama].
1. MELANGGAR KEHENDAK ALLAH (Dosa dan Hukum)
Hukum menentukan kesalahan. Untuk lebih memahami makna dari pertanyaan retorika rasul Paulus, "Apakah hukum Taurat itu dosa?" (Rm. 7:7; "hukum Taurat" dalam versi BIMK disebut "hukum agama Yahudi"), kita harus membaca penjelasan Paulus sebelumnya mengenai status hukum agama Yahudi itu khususnya dalam kehidupan orang Kristen Yahudi. Katanya: "Tetapi sekarang kita tidak lagi terikat pada hukum agama Yahudi. Kita sudah mati terhadap hukum yang dahulunya menguasai kita. Kita tidak lagi mengabdi dengan cara yang lama, menurut hukum yang tertulis. Sekarang kita mengabdi menurut cara baru yang ditunjukkan oleh Roh Allah kepada kita" (ay. 6, BIMK; huruf miring ditambahkan). Di sini sang rasul menegaskan tentang kehidupan orang-orang Kristen Yahudi yang tidak lagi "dikuasai" oleh hukum Taurat atau hukum tertulis, tetapi dikuasai oleh Roh Allah sebagai penuntun hidup.
Bagi orang Yahudi yang masih hidup di bawah hukum Taurat, setiap perbuatan dan tindakan mereka akan dinilai berdasarkan hukum itu, bahkan termasuk apakah pada waktu hendak makan seseorang membasuh tangan lebih dulu atau tidak. Misalnya ketika orang Farisi mempersalahkan Yesus dan murid-murid yang makan tanpa lebih dulu membasuh tangan mereka (Mat. 15:2; Luk. 11:38). Sebenarnya soal mencuci tangan sebelum makan hanyalah kebiasaan nenek-moyang yang didasarkan pada kewajiban imam-imam (Kel. 30:18-21) dan tradisi kaum bangsawan (1Raj. 7:38). Jadi orang-orang yang hidup di bawah hukum Taurat harus taat pada hukum itu, tetapi ketika seseorang tidak berada di bawah hukum Taurat dia dibebaskan dari segala tuntutan hukum itu, sebab "kalau hukum tidak ada, maka pelanggaran pun tidak ada" (Rm. 4:15, BIMK).
"Apa yang Paulus katakan di sini serupa dengan hubungan antara hukum pidana dan tindak pidana. Suatu tindakan hanya bisa disebut tindak pidana kalau hukum menyatakannya demikian. Anda bisa masuk penjara di sebuah negara karena melakukan sesuatu yang di negara lain hal itu sah. Alasannya: di satu negara ada hukum yang melarang perbuatan itu, sedangkan di negara lain tidak. Satu perbuatan yang sama tetapi dengan dua konsekuensi yang berbeda. Apa yang membuat perbedaan itu? Hukum!" [alinea kedua].
Dinamika hukum dan dosa. Ketika seorang Yahudi percaya dan menerima Yesus Kristus sebagai Mesias, dia mendapat pengampunan dosa dan menerima kasih karunia serta dibebaskan dari hukum Taurat. Tetapi dibebaskan dari hukum Taurat itu tidak identik dengan dibebaskan dari dosa, sebab hukum Taurat tidak identik dengan dosa. Sebagai umat percaya, orang-orang Kristen Yahudi tidak lagi melayani Allah dengan cara penurutan pada hukum Taurat sebab mereka sekarang melayani Allah di dalam kasih karunia. Namun demikian, pelayanan melalui kasih karunia sama sekali tidak membebaskan mereka dari kewajiban untuk menaati hukum Allah. Sebagai orang Kristen kita semua "telah dimerdekakan dari dosa" (Rm. 6:18) dan sekarang "menjadi hamba Allah" (ay. 22), tetapi bukan berarti bahwa kita bisa "mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa" (Gal. 5:13). Menjadi hamba Allah berarti harus melayani Allah, termasuk menurut pada semua perintah dalam hukum-Nya.
Setelah membuat pernyataan retorika bahwa hukum Taurat itu bukan dosa (disebut retorika karena gaya bahasanya yang bersifat memancing), Paulus kemudian mengatakan bahwa justeru melalui hukum itu dia tahu bahwa "mengingini" adalah dosa. Hal ini mengindikasikan bahwa di sini sang rasul sedang berbicara tentang hukum moral, yaitu Sepuluh Perintah di mana perintah kesepuluh melarang manusia untuk mengingini atau tamak. Lalu dia melanjutkan dengan sebuah pernyataan yang semakin menarik: "Tetapi dalam perintah itu dosa mendapat kesempatan untuk membangkitkan di dalam diriku rupa-rupa keinginan; sebab tanpa hukum Taurat dosa mati" (Rm. 7:8; huruf miring ditambahkan). Kata asli yang diterjemahkan dengan "kesempatan" dalam ayat ini adalah aphormē, sebuah kata benda feminin yang arti harfiahnya ialah "basis operasi" (Strong; G874), sebuah istilah yang lazim digunakan dalam dunia kemiliteran. Jadi, dosa menjadikan hukum itu sebagai basis untuk beroperasi. Dalam perkataan lain, hukum itu "memicu" terjadinya dosa, yaitu sesuatu yang sering disebut sebagai dinamika antara hukum dan dosa. Karena pada dasarnya manusia telah dikuasai oleh dosa dan suka memberontak, maka semakin dilarang justeru semakin bersemangat untuk melanggar.
"Barangkali Paulus menggunakan perintah spesifik itu gantinya perintah-perintah lain karena tidak begitu kentara bahwa hal itu salah. Banyak orang, di dalam dan dari diri mereka, mungkin tidak percaya bahwa mengingini itu salah. Membunuh, mencuri, ya; umumnya seorang tidak memerlukan Sepuluh Perintah untuk mengetahui hal itu. Tapi mengingini? Maka, itu adalah sebuah contoh paling tepat untuk menerangkan maksudnya bahwa hukum itulah yang menunjukkan kepada kita apa itu dosa. Kalau tidak, dia mungkin tidak tahu kalau mengingini itu salah" [alinea terakhir].
Apa yang kita pelajari tentang hubungan dosa dan hukum?
1. Hukumlah yang menentukan adanya dosa, tetapi hukum itu sendiri bukan dosa. Ketika seseorang menerima Yesus dan berada di bawah kasih karunia maka dia dibebaskan dari hukum Allah, tapi bukan berarti dia bebas untuk melanggar hukum itu. Namun, penurutan terhadap hukum Allah bukan lagi bersifat paksaan melainkan kesadaran dan kerelaan.
2. Di satu sisi, hukum itu menunjukkan kesalahan dan dosa; di sisi lain, hukum itu bisa memicu terjadinya pelanggaran dan dosa. Masalahnya bukan pada hukum itu, tapi pada diri kita sebagai manusia. Penyelesaiannya bukan dengan menghapus hukum itu, melainkan kita manusia yang harus berubah sikap terhadap hukum.
3. Sepuluh Perintah melarang manusia untuk memiliki tabiat suka mengingini, sebab kebiasaan mengingini dapat memupuk sifat tamak dalam diri manusia. Mengingini dalam hal ini adalah dalam hal-hal yang bersifat mementingkan diri sendiri, berlomba untuk menyaingi atau melebihi orang lain. Keinginan yang tak terkendali dapat berbalik mengendalikan diri kita.
2. PILIHAN UNTUK BANGSA TERPILIH (Hukum dan Bangsa Israel)
Kesempatan istimewa. Ketika bangsa Israel sudah berada di ambang pintu memasuki tanah perjanjian Kanaan, Musa berpidato di hadapan mereka sebagai pembekalan terakhir. Menyadari bahwa dirinya tidak akan ikut masuk ke negeri yang subur dan permai itu, Musa dalam pesannya beberapa waktu sebelum wafat telah menghadapkan kepada umat Israel sebuah pilihan, "yakni berkat dan kutuk" (Ul. 30:1), terkait dengan hukum Allah. "Ingatlah, aku menghadapkan kepadamu pada hari ini kehidupan dan keberuntungan, kematian dan kecelakaan," kata pemimpin besar umat Tuhan itu (ay. 15). Kalau mereka setia menaati hukum Allah maka mereka akan selamat dan hidup sejahtera (ay. 16), tetapi kalau mereka tidak setia menurut hukum-hukum itu niscaya mereka akan binasa (ay. 17-18). Dia berpesan, "Aku memanggil langit dan bumi menjadi saksi terhadap kamu pada hari ini: kepadamu kuperhadapkan kehidupan dan kematian, berkat dan kutuk. Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu" (ay. 19; huruf miring ditambahkan).
Perhatikan bahwa penurutan pada hukum Allah adalah sebuah pilihan, bukan paksaan. Jadi, akibat yang akan mereka alami di kemudian hari sehubungan dengan penurutan ataupun pembangkangan terhadap hukum Allah, itu adalah konsekuensi logis dari pilihan yang mereka ambil. Menjadi sebagai bangsa yang dipercayakan Tuhan untuk menerima Hukum Allah sudah merupakan sebuah kesempatan istimewa; mendapat peluang untuk memilih menaati atau tidak menaati hukum itu adalah suatu kesempatan yang lebih istimewa lagi.
"Di antara semua bangsa di muka bumi, adalah kepada Israel yang secara khusus Allah nyatakan hukum-Nya (Rm. 9:4). Hukum itu tidak dimaksudkan untuk menjadi beban bagi bangsa itu melainkan untuk menjadi suatu alat melalui mana bangsa pilihan itu akan menyatakan kepada umat manusia hukum moral yang merupakan dasar dari pemerintahan Allah. Israel seharusnya menjadi mitra Allah dalam missi penginjilan semesta, dan hukum Allah harus menjadi tanda pengenal bagi para jurukabar Allah" [alinea pertama: tiga kalimat terakhir].
Hukum dan janji. Allah tidak hanya memberi hukum-hukum-Nya kepada manusia, tapi juga menawarkan janji-janji. Bagi umat Israel, janji-janji itu sudah dinyatakan kepada tiga nenek moyang pertama bangsa itu, yakni berturut-turut kepada Abraham, Ishak, dan Yakub. Kepada kita umat Kristen, yang berasal dari berbagai bangsa di dunia, janji-janji penurutan itu juga berlaku. Hanya saja kita tidak ada hubungannya dengan janji-janji yang Allah berikan kepada Abraham, yaitu perjanjian yang lama; kita terikat dengan janji yang dibuat oleh Yesus Kristus, yaitu perjanjian yang baru. Untuk kita, perjanjian yang lama itu "telah menjadi tua dan usang" (Ibr. 8:13), dan perjanjian yang baru bagi kita itu disediakan oleh Yesus Kristus karena "Ia adalah Pengantara dari suatu perjanjian yang baru, supaya mereka yang telah terpanggil dapat menerima bagian kekal yang dijanjikan, sebab Ia telah mati untuk menebus pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan selama perjanjian yang pertama" (Ibr. 9:15).
Sebagaimana halnya dengan perjanjian yang lama antara Allah dengan Israel itu didasarkan pada penurutan pada hukum Allah di pihak manusia, dalam hal perjanjian yang baru antara Kristus dengan umat-Nya juga didasarkan pada penurutan pada firman-Nya. "Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu...tetapi setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir," kata Yesus (Mat. 7:24, 26; huruf miring ditambahkan). Dengan menggunakan perumpamaan antara "batu" dengan "pasir" sebagai fondasi rumah, Yesus sedang berbicara mengenai dasar dari penurutan kita. Kalau fondasi penurutan kita kokoh maka kehidupan rohani kita akan bertahan terhadap segala godaan dan tantangan, tapi kalau fondasinya rapuh maka dengan mudah kerohanian kita akan terguncang lalu hanyut terbawa arus. Jangan lupa bahwa sebelum mengutarakan perumpamaan ini Yesus telah membuat pernyataan mendasar soal keselamatan, bahwa untuk masuk surga bukan sekadar menyerukan nama Tuhan tetapi "melakukan kehendak Bapa-Ku" (ay. 21).
"Sebagai bangsa pilihan, Israel diharapkan untuk hidup selaras dengan kehendak Tuhan. Musa dengan jelas mengatakan bahwa kehidupan dan kemakmuran hanya akan datang kepada bangsa itu kalau mereka memelihara 'perintah, ketetapan, dan peraturan' Allah (Ul. 30:15-16)...Namun, kita jangan lupa bahwa 'semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah' (Rm. 3:23). Tidak ada satu bangsa di bumi sudah memenuhi kehendak Allah. Bahkan dalam sejarah belakangan ini bangsa-bangsa yang mengaku Kristen telah keliru menggambarkan maksud Allah dengan hasutan perang, prasangka, dan penindasan" [alinea kedua: dua kalimat terakhir; alinea ketiga: tiga kalimat terakhir].
Apa yang kita pelajari tentang hukum Allah dan bangsa Israel?
1. Ketika menurunkan hukum-Nya kepada bangsa Israel sebagai umat pilihan, Allah berharap mereka akan menaatinya dengan sempurna, dan untuk itu Ia menawarkan janji-janji berkat. Dalam Alkitab PL kita bisa membaca bagaimana janji-janji itu dipenuhi ketika bangsa itu menurut, tapi pada waktu mereka tidak menurut yang datang adalah kutuk.
2. Janji berkat dan keselamatan yang serupa disediakan juga oleh Yesus Kristus kepada umat percaya, bukan berdasarkan perjanjian yang lama tetapi perjanjian yang baru, di mana kita dituntut untuk "melakukan" firman-Nya. "Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri" (Yak. 1:22).
3. Penurutan selalu berbanding lurus dengan iman. Ketika iman kita kuat lebih mudah bagi kita untuk menurut pada hukum Allah dan melakukan firman-Nya, tapi bilamana iman kita menjadi lemah maka penurutan pun loyo. Untuk memiliki iman yang kuat kita harus berusaha--dengan pertolongan Tuhan--agar iman kita terus bertumbuh.
3. PILIHAN UNTUK ANDA DAN SAYA (Hukum dan Bangsa-bangsa)
Mengenal Allah melalui ciptaan-Nya. Kita sudah pelajari bahwa hukum Allah menunjukkan tabiat-Nya. Jadi, maksud dari diturunkannya hukum Allah kepada manusia bukan semata-mata untuk membatasi gerak-gerik manusia dengan semua aturan dan perintah itu, tetapi agar manusia dapat mengenal Allah melalui hukum-Nya. Bangsa Israel purba sebagai umat pilihan telah mendapat kesempatan istimewa untuk menerima hukum Allah itu, dan melalui mereka diharapkan seluruh bangsa di dunia juga akan mengetahuinya. Kenyataan bahwa mereka gagal menjalankan peran sebagai penyebar ajaran hukum Allah tidak menjadi penghalang bagi bangsa-bangsa lain untuk mengenal Allah dan tabiat-Nya serta beribadah kepada-Nya. Rasul Paulus menulis, "Semenjak Allah menciptakan dunia, sifat-sifat Allah yang tidak kelihatan, yaitu keadaan-Nya sebagai Allah dan kuasa-Nya yang abadi, sudah dapat difahami oleh manusia melalui semua yang telah diciptakan. Jadi manusia sama sekali tidak punya alasan untuk membenarkan diri" (Rm. 1:20, BIMK; huruf miring ditambahkan).
Kepada bangsa Israel hukum itu telah diucapkan oleh Allah sendiri (Kel. 20:1, 19), kepada bangsa-bangsa lain hukum itu dituliskan dalam hati sanubari (Rm. 2:14-15). Bagi orang Yahudi hukum itu menjadi penuntun hidup sampai Kristus datang (Gal. 3:24), bagi orang-orang bukan Yahudi hukum itu menyatakan dosa dan menuntun mereka kepada Kristus untuk mendapatkan pengampunan dosa dalam kasih karunia oleh iman (Ef. 2:8). "Terlepas dari kesalahan-kesalahan Israel, Allah tidak meninggalkan orang-orang dari bangsa-bangsa lain tanpa saksi. Mereka yang tidak berkesempatan menerima wahyu Allah secara tertulis menerima pekabaran-pekabaran ilahi melalui lembaran-lembaran pewahyuan alamiah (Rm. 1:20). Kitab alam Allah mengandung informasi yang cukup untuk menuntun seseorang kepada-Nya" [alinea pertama].
Jadi, baik bangsa-bangsa lain sebelum maupun sesudah eksistensi Israel purba telah diberi kesempatan juga untuk mempelajari dan mengenal Allah melalui alam ciptaan-Nya. Khusus kepada bangsa-bangsa moderen yang muncul sesudah bangsa Israel ada, kesempatan itu semakin terbuka dengan adanya kitab-kitab yang telah ditulis oleh hamba-hamba Allah pada zaman nabi-nabi (Perjanjian Lama) maupun rasul-rasul (Perjanjian Baru). Bukan secara kebetulan saja gulungan-gulungan kitab itu ditemukan melalui ekspedisi (penjelajahan) dan ekskavasi (penggalian) di situs-situs purbakala sampai akhirnya kita sekarang bisa memiliki sebuah Alkitab yang memuat semua firman Allah yang perlu diketahui manusia. Eksistensi Alkitab adalah bagian dari rencana Allah untuk menutup kesenjangan informasi mengenai Diri-Nya akibat kegagalan umat Israel purba, sebab Allah ingin segala bangsa mengenal Dia. "Sekarang saya sungguh-sungguh menyadari bahwa Allah memperlakukan semua orang sama. Orang yang takut kepada Allah dan berbuat yang benar, orang itu diterima oleh Allah, tidak peduli ia dari bangsa apa," rasul Petrus bersaksi (Kis. 10:34-35, BIMK).
Penghiburan atas kekecewaan. Menurut sebuah sumber, sampai dengan akhir tahun 2013 Alkitab secara lengkap (Semua kitab PL dan PB) telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 520 bahasa dunia, dan secara bagian per bagian sudah diterjemahkan ke dalam hampir 3000 bahasa. Bahkan, dalam satu bahasa terdapat beberapa versi. Alkitab berbahasa Inggris saja memiliki lebih dari 50 versi saat ini, sementara Alkitab berbahasa Indonesia keluaran Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) setidaknya telah menerbitkan 3 versi (Terjemahan Lama, Terjemahan Baru, dan Bahasa Indonesia Masa Kini). Menurut data yang layak dipercaya, sejak berdirinya pada tahun 1954 hingga akhir tahun 2012, LAI telah mencetak dan menyebarluaskan sekitar 24 juta Alkitab yang lengkap, jika ditambah dengan bagian-bagian lepas (testamen, porsi, dan seleksi) bahkan telah mencapai sekitar 460 juta eksemplar. Itu baru cetakan, belum lagi Alkitab dan bagian-bagian Alkitab yang diterbitkan dalam format digital (bukan cetakan), termasuk dalam bentuk kaset, CD, VCD, software dan audio. Alkitab digital yang saya gunakan, keluaran LAI 2003, memiliki lebih dari 30 dialek berbagai daerah di Nusantara.
Kita bisa menghabiskan puluhan bahkan ratusan halaman untuk memuat berbagai informasi tentang Alkitab dan penerbitan serta penyebarannya, tetapi pada dasarnya semua itu hanya untuk menunjukkan betapa firman Allah dan perintah-perintah-Nya telah tersebar ke seantero dunia di antara "semua bangsa dan suku dan bahasa dan kaum" sebagaimana yang dinubuatkan oleh Alkitab itu sendiri (Why. 14:6). Selain sebagai penuntun jalan keselamatan bagi manusia, firman Allah ini juga dapat menjadi sumber kekuatan dan penghiburan bagi banyak manusia yang mengalami kekecewaan dalam hidup mereka.
"Begitu banyak orang yang merasakan suatu kehampaan dalam hidup mereka yang dunia ini tidak bisa berikan--kemasyuran, kekuasaan, uang, seks--yang dapat mengisi kekosongan itu. Pada intinya, inilah pekabaran dari kitab Pengkhotbah. Kehampaan dan ketidakpuasan ini sering membawa orang banyak kepada pencarian akan sesuatu yang lebih, sesuatu yang melampaui keberadaan sehari-hari. Mereka ditarik kepada kebenaran yang dinyatakan dalam suatu kerinduan untuk memuaskan hasrat dan kekosongan jiwa mereka" [alinea kedua: empat kalimat terakhir].
Apa yang kita pelajari tentang hukum Allah dan bangsa-bangsa di dunia?
1. Maksud diturunkannya hukum Allah kepada bangsa Israel purba adalah supaya melalui mereka seluruh bangsa di dunia mengenal Allah melalui hukum-Nya, tetapi Israel gagal menjalankan perannya. Kegagalan Israel tidak menggagalkan rencana Allah, sebab tabiat Allah dapat dipelajari melalui semua ciptaan-Nya (Mzm. 19:2).
2. Selain melalui alam firman Allah dan hukum-Nya juga telah dilestarikan melalui tulisan para nabi dan rasul yang diilhami oleh Roh Kudus-Nya yang terangkum dalam sebuah buku yang disebut Alkitab. Sebagai kitabsuci, Alkitab menjadi sebagai "saksi" yang menyatakan kemahakuasaan Allah serta kasih-Nya pada manusia.
3. Alkitab bukan saja berisi hukum dan perintah Tuhan yang harus ditaati oleh manusia, tetapi juga mengandung janji-janji berkat bilamana manusia percaya kepada-Nya dan menuruti firman-Nya. Bagi orang-orang yang kecewa atas kehidupan sekarang ini, Alkitab menyajikan pengharapan bahagia untuk kehidupan yang akan datang.
4. DIBENARKAN, DIKUDUSKAN, DAN DISELAMATKAN (Kasih Karunia dan Kebenaran)
Sumber kasih karunia. Tatkala bersaksi tentang Yesus Kristus, Yohanes Pembaptis berkata: "Karena dari kepenuhan-Nya kita semua telah menerima kasih karunia demi kasih karunia; sebab hukum Taurat diberikan oleh Musa, tetapi kasih karunia dan kebenaran datang oleh Yesus Kristus" (Yoh. 1:16-17). Adalah atas kehendak Allah bahwa hukum Taurat diberikan kepada manusia melalui Musa, dan atas kehendak Allah pula kasih karunia dan kebenaran itu ditawarkan kepada manusia melalui Yesus Kristus. Tetapi ketika Yohanes Pembaptis menekankan tentang perantara yang berbeda melalui siapa Allah memberikan hukum-Nya dan kasih karunia-Nya kepada manusia, dia tidak bermaksud untuk mempertentangkan antara hukum Allah dengan kasih karunia Allah. Sebaliknya, hukum dan kasih karunia itu bekerja bersama-sama untuk menyelesaikan maksud Allah atas manusia. Hukum menunjukkan dosa-dosa manusia, kasih karunia menghapuskan dosa-dosa itu; hukum mempersalahkan manusia, kasih karunia membenarkan manusia.
Allah menurunkan Sepuluh Perintah untuk menjadi penuntun kehidupan yang Ia kehendaki diamalkan oleh manusia, dan pada waktu yang sama menjadi sebagai pengingat apabila manusia tidak menghidupkan kehidupan seperti yang dikehendaki-Nya. Sejarah menunjukkan bahwa bangsa Israel purba yang seharusnya menjadi contoh atas kehidupan menurut hukum Allah telah gagal, karena mereka terbukti sudah menyembah berhala, membunuh, berdusta, berzina, dan berbagai pelanggaran hukum lainnya. Seperti telah kita pelajari pekan lalu, masalahnya bukan pada hukum itu tetapi pada sifat manusia yang cenderung berdosa sebagai warisan Adam. Karena itu manusia membutuhkan "sifat bawaan" yang berbeda, suatu sifat yang lebih penurut dan taat hukum Allah, tentu bukan melalui gen pembawa sifat secara lahiriah tetapi melalui keteladanan ciri tabiat secara rohaniah, yaitu dari "Adam kedua" dalam sosok Yesus Kristus (1Kor. 15:45-46).
"Sebagai akibat dari dosa Adam, seluruh umat manusia telah dipengaruhi oleh kutukan maut. Kutukan ini diperkuat oleh kenyataan bahwa tidak ada seorangpun yang dilahirkan dari orangtua manusia, kecuali Yesus, yang bebas dari kecenderungan-kecenderungan berdosa...Ketika Yesus hidup di bumi ini, secara sukarela Ia menyerahkan kehendak-Nya sendiri kepada kehendak Bapa-Nya dan memilih untuk tidak berbuat dosa. Tidak seperti Adam pertama, yang sudah mendatangkan pehukuman dan kepalsuan ke dalam dunia, Yesus telah membawa 'kasih karunia dan kebenaran.' Kasih karunia dan kebenaran tidak menggantikan hukum. Sebaliknya, Yesus memperlihatkan mengapa hukum itu sendiri tidak cukup untuk memperoleh keselamatan. Kebenaran yang Ia bawa adalah pemahaman yang lebih lengkap tentang kasih karunia" [alinea pertama: kalimat kedua dan ketiga; alinea kedua: lima kalimat terakhir].
Sifat dari kasih karunia Kristus. Kasih karunia bukan sebuah konsep yang abstrak. Bahkan, dalam pengertian sempit, kasih karunia Allah adalah satu sosok pribadi--Yesus Kristus. Sebagai personifikasi dari kasih karunia Allah, Yesus Kristus bukan saja telah datang ke dunia ini untuk secara fisik mati bagi dosa manusia, tapi secara rohani juga mendidik manusia dalam penurutan hukum Allah serta menguduskan mereka. Tulis rasul Paulus: "Karena kasih karunia Allah yang menyelamatkan semua manusia sudah nyata. Ia mendidik kita supaya kita meninggalkan kefasikan dan keinginan-keinginan duniawi dan supaya kita hidup bijaksana, adil dan beribadah di dalam dunia sekarang ini" (Tit. 2:11-12); bahkan Ia "membebaskan kita dari segala kejahatan dan untuk menguduskan bagi diri-Nya suatu umat, kepunyaan-Nya sendiri, yang rajin berbuat baik" (ay. 14).
Jadi, dapat kita simpulkan bahwa kasih karunia Kristus adalah suatu pemberian yang komplit (total package) dari Allah bagi manusia: mendidik, membebaskan, membenarkan, memperbarui, menguduskan, dan menyelamatkan. "Karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Kristus Yesus, Tuhan kita" (Rm. 6:23), "sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah" (Tit. 2:8). "Tetapi ketika nyata kemurahan Allah, Juruselamat kita, dan kasih-Nya kepada manusia, pada waktu itu Dia telah menyelamatkan kita, bukan karena perbuatan baik yang telah kita lakukan, tetapi karena rahmat-Nya oleh permandian kelahiran kembali dan oleh pembaharuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus, yang sudah dilimpahkan-Nya kepada kita oleh Yesus Kristus, Juruselamat kita, supaya kita, sebagai orang yang dibenarkan oleh kasih karunia-Nya, berhak menerima hidup yang kekal, sesuai dengan pengharapan kita" (3:4-7).
"Pemberian yang Yesus berikan kepada umat manusia adalah hidup kekal. Selanjutnya, kasih karunia diujudkan sebagai kehadiran Kristus yang menyanggupkan seseorang untuk turut serta dalam kebenaran yang didorong oleh hukum itu. Paulus menyatakan bahwa dalam menghukum dosa di dalam daging, Yesus sudah memungkinkan 'tuntutan hukum Taurat digenapi di dalam kita' (Rm. 8:4). Kasih karunia tidak hanya membebaskan kita dari kutukan hukum, tetapi menyanggupkan kita untuk memelihara hukum itu dalam cara yang sesuai dengan panggilan kita untuk melaksanakannya" [alinea terakhir: empat kalimat terakhir].
Apa yang kita pelajari tentang hukum, kasih karunia, dan kebenaran?
1. Bangsa Israel sebagai umat pilihan pada zaman dulu telah gagal memenuhi tuntutan Sepuluh Perintah Allah, begitu pula halnya bangsa-bangsa dan bahkan umat Tuhan masa kini. Sepuluh Perintah Allah masih tetap diperlukan sebagai pengingat manusia akan kehendak Allah, selama manusia belum mampu hidup menurut hukum-hukum itu.
2. Adam pertama (Adam fisik) telah menurunkan sifat bawaan yang cenderung berdosa dengan melanggar hukum Allah, tetapi Kristus sebagai "Adam kedua" (Adam rohani) menelandankan ciri tabiat yang tidak berdosa dengan menaati hukum Allah. Dengan dan di dalam Yesus, kecenderungan berbuat dosa bisa diubah jadi kecenderungan untuk hidup suci.
3. Kasih karunia dalam Yesus Kristus adalah pemberian Allah yang sempurna bagi manusia yang tidak sempurna. Kasih karunia itu membebaskan manusia dari tuntutan hukum Allah, tetapi tidak membebaskan kita dari penurutan hukum Allah. Melalui kasih karunia seorang yang beriman dapat dibenarkan, dikuduskan, dan diselamatkan.
5. ANTARA KEBINASAAN DAN KESELAMATAN (Hukum dan Injil)
Injil adalah kabar baik. Tentang injil, rasul Paulus menegaskan pendiriannya: "Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya..." (Rm. 1:16). Alkitab versi Terjemahan Lama menerjemahkan kalimat pertama dari ayat yang sama ini seperti berikut: "Karena tiadalah aku berasa malu mengaku Injil itu; karena ia itulah suatu kuasa Allah yang mendatangkan selamat kepada tiap-tiap orang yang percaya..." (TL; huruf miring ditambahkan). Bagian kalimat ini serupa dengan bunyi ayat yang sama dalam beberapa versi Alkitab berbahasa Inggris, khususnya King James maupun New King James.
Dosa adalah pelanggaran hukum Allah yang telah mengakibatkan maut (1Yoh. 3:4; Rm. 6:23), tetapi Injil adalah kuasa Allah yang menyelamatkan (Rm. 1:16b; 1Kor. 15:2) dan mematahkan kuasa maut (2Tim. 1:10). Pelanggaran hukum Allah membuat manusia "bermusuhan" dengan Allah (Rm. 8:7); injil "mendamaikan" manusia dengan Allah (Ef. 2:14-16). Dosa memperbudak manusia (Yoh. 8:34); injil membebaskan kita (Gal. 5:1). Dosa mendatangkan rasa malu (Rm. 6:20-21); injil membawa keberanian (Ef. 6:19-20; 1Tes. 2:2; Gal. 2:5). Injil dalam bahasa asli PB adalah euaggelion, sebuah kata benda netral yang berarti kabar baik (Strong; G2098). Itulah sebabnya Paulus tidak merasa malu untuk memberitakan injil, karena dia sedang membawakan "kabar baik" bagi manusia. Sebaliknya, dosa adalah sebuah "berita buruk" sehingga membuat seseorang merasa tertekan dan malu oleh dosanya. Hanya orang "tidak normal" yang gemar berceloteh tentang dosa-dosa masa lalunya.
"Tidak peduli seberapa 'baik' pun hidup kita, tidak ada yang bisa luput dari ingatan yang terus-menerus akan dosa. Sudah barang tentu kebahagiaan terganggu oleh penyakit, kematian, dan malapetaka. Pada tingkat pribadi, rasa ketenangan rohani sering ditantang oleh kenangan tentang dosa masa lalu, bahkan lebih buruk lagi, oleh dorongan untuk kembali berbuat dosa...Seorang yang hidup dalam dosa, dalam kelaliman, tidak lebih dari mayat berjalan yang sedang menunggu hari bilamana nafas terakhir akan meninggalkan tubuhnya" [alinea pertama; alinea kedua: kalimat pertama].
Injil berbeda dari hukum. Sekiranya tidak ada campur tangan ilahi atas kehidupan manusia di atas bumi ini, secara alamiah nasib kita akan sama dengan hewan dan tumbuhan. Lahir, bertumbuh dewasa, beranak-pinak, menjadi tua, lalu mati. Dengan siklus hidup seperti itu, kelahiran merupakan awal perjalanan menuju kematian. Dari zaman ke zaman keadaan umum manusia adalah seperti itu, dan akan terus begitu kalau tidak ada injil. Tetapi dengan adanya Injil, yaitu kabar baik tentang rencana keselamatan melalui kasih karunia Allah, meskipun kematian tak dapat dihindari namun bagi umat percaya ada pengharapan akan kehidupan di balik kematian. Bahkan, generasi terakhir dari golongan orang percaya yang hidup sampai kedatangan Yesus kedua kali tidak akan pernah mengalami kematian (1Kor. 15:51-52).
Hukum dan injil sangat berbeda dalam banyak hal. Hukum Taurat--terdiri atas tiga bagian: hukum sosial bangsa Israel (Keluaran 21-23), hukum agama Yahudi (Keluaran 25-31), dan hukum moral untuk semua orang (Keluaran 20)--seluruhnya adalah "usaha" di pihak manusia, dalam bentuk positif (harus melakukan) maupun negatif (jangan melakukan), untuk menyenangkan hati Allah. Sebaliknya, injil adalah "usaha" di pihak Allah untuk kepentingan manusia (1Kor. 15:1-3). Hukum mempersalahkan orang yang tidak taat dan menyediakan hukuman; injil membenarkan orang berdosa dan membebaskannya dari hukuman. Hukum menuntut kebenaran yang sempurna dari manusia; injil mengaruniakan kesempurnaan Kristus kepada manusia. Hukum menuntut usaha; injil didapatkan oleh iman. Hukum selalu menghakimi; injil selalu mengampuni. Hukum menyodorkan ancaman; injil menawarkan janji.
"Inilah injil itu. Kabar baik ialah bahwa kita yang sudah terperangkap dalam tubuh kelaliman dapat ditutupi dengan kebenaran Kristus. Injil adalah jaminan bahwa kita bisa luput dari kutukan hukum karena kita sekarang memiliki kebenaran yang hukum itu tegakkan (Rm. 8:1)...Dan inti dari injil adalah janji agung bahwa pada akhirnya maut tidak akan menjadi kata akhir dan mereka yang diselamatkan oleh Yesus akan hidup selama-lamanya di dunia baru" [alinea ketiga; alinea keempat: kalimat terakhir].
Apa yang kita pelajari tentang hukum dan injil?
1. Hukum dan injil sama-sama berasal dari Allah, disampaikan kepada manusia untuk tujuan yang berbeda. Melalui hukum manusia dididik tentang kehendak Allah, melalui injil manusia diperkenalkan kepada kasih Allah. Ketika manusia gagal menaati perintah-perintah dalam hukum itu, injil menyediakan jalan untuk pengampunan atas kegagalan itu.
2. Injil, seperti juga kasih karunia, tidak meniadakan hukum Allah tetapi meniadakan hukuman yang dituntut oleh hukum itu. Itulah sebabnya injil disebut sebagai "kabar baik" bagi manusia berdosa. Dosa sudah memisahkan manusia dari Allah, tetapi injil mendekatkan Allah kepada manusia.
3. Missi dari hukum dan injil sangat berbeda, dengan muatan-muatan yang berbeda pula. Missi hukum adalah memperkenalkan kepada manusia tentang sifat Allah yang maha adil, missi injil untuk memperkenalkan sifat Allah yang maha kasih. Hukum itu tegas dan kaku, injil itu toleran dan lentur. Namun, hukum dan injil sama-sama menampilkan sifat Allah yang maha kasih.
PENUTUP
Iman lawan perbuatan. Setiap orang yang beragama mengharapkan keselamatan, yaitu hidup kekal di surga dan di dunia baru. Ironisnya, keberagamaan tidak selalu menjamin keselamatan. Seperti kata Yesus, "Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Surga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di surga" (Mat. 7:21; huruf miring ditambahkan). Tentu saja, sekadar berseru "Tuhan, Tuhan!" sangat jauh lebih gampang daripada melakukan kehendak Allah. Tapi di pihak lain, Tuhan juga tidak bermaksud hendak mempersulit manusia untuk masuk surga. Atas ilham Roh Kudus rasul Paulus menulis, "Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu..." (Ef. 2:8-9; huruf miring ditambahkan).
Selama berabad-abad Dunia Kristen telah terpolarisasi ke dalam dua kutub menyangkut doktrin tentang keselamatan, antara lain karena dua bagian ayat yang "kontroversial" di atas ini. Pada ekstrem yang satu adalah paham legalisme (manusia diselamatkan oleh penurutan hukum), dan pada ekstrem yang lain adalah paham antinomianisme (manusia diselamatkan hanya oleh kasih karunia). Tetapi isi Alkitab tidak mungkin saling bertentangan, sebab Pengarangnya sama, yaitu Roh Allah, hanya penulisnya yang berbeda-beda (66 kitab dengan 40 penulis). Kalau begitu, bagaimana kita mempersandingkan ayat-ayat ini menjadi satu pekabaran yang utuh? Pelajaran kita pekan ini--dan sepanjang triwulan berjalan--adalah jawaban atas pertanyaan itu.
Hukum memang tidak menyelamatkan, karena keselamatan adalah kasih karunia Allah. Namun, kasih karunia tidak meniadakan hukum, bahkan meninggikan hukum Allah (Sepuluh Perintah) itu. Perhatikan tulisan rasul Paulus ini: "Oleh Injil itu kamu diselamatkan, asal kamu teguh berpegang padanya, seperti yang telah kuberitakan kepadamu--kecuali kalau kamu telah sia-sia saja menjadi percaya" (1Kor. 15:2; huruf miring ditambahkan). Apa yang Paulus beritakan atau ajarkan? Sang rasul memberitakan keselamatan melalui kasih karunia oleh iman, dan pada saat yang sama meninggikan hukum Allah. Injil adalah perpaduan dari kasih karunia dan ketaatan pada hukum Allah, karena di dalam injil Kristus kedua hal ini dipersatukan.
"Jadi, keselamatan itu sebagian adalah hutang yang bisa diperoleh sebagai upah. Kalau manusia oleh perbuatan baiknya tidak dapat mengusahakan keselamatan, maka keselamatan itu sepenuhnya haruslah kasih karunia, diterima oleh manusia sebagai orang berdosa karena dia menerima dan percaya kepada Yesus. Keselamatan adalah sepenuhnya pemberian cuma-cuma. Pembenaran oleh iman ditempatkan melampaui pertentangan. Dan semua pertentangan ini berakhir segera setelah masalahnya diselesaikan sehingga usaha-usaha dari manusia yang telah jatuh dengan amal baiknya itu tidak pernah dapat menyediakan hidup kekal baginya" [lima kalimat terakhir].
"Sebab inilah kehendak Allah, yaitu supaya dengan berbuat baik kamu membungkamkan kepicikan orang-orang yang bodoh. Hiduplah sebagai orang merdeka dan bukan seperti mereka yang menyalahgunakan kemerdekaan itu untuk menyelubungi kejahatan-kejahatan mereka, tetapi hiduplah sebagai hamba Allah" (1Ptr. 2:15-16).