Kamis, 06 Juni 2013

WAHYU KEPADA YOHANES (47-48)



“HENDAKLAH ENGKAU SETIA SAMPAI MATI, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan…BARANGSIAPA MENANG, IA TIDAK AKAN MENDERITA APA-APA OLEH KEMATIAN YANG KEDUA” (Wahyu 2:10,11)

KESETIAAN
   “Policarpus adalah kepala gereja Smirna sekitar tahun 155 M.  Kumpulan orang banyak di stadion geger karena penangkapannya.  Tetapi saat polisi tiba di pondoknya untuk menangkapnya, dia malah menjamu mereka, mohon waktu satu jam untuk berdoa sebelum membawanya.  Para opsir kagum dengan kemurahan hatinya dan sedih karena mereka harus menangkapnya.  Saat dia berjalan menuju stadion diiringi sorak-sorai orang banyak, ada suara dari surga mengatakan, “Kuatkan hatimu, Policarpus, dan jalani nasibmu.”
   Gubernur, karena rasa hormatnya kepada usianya, berusaha membujuk Policarpus untuk menghindari kematian dengan menawarkan jalan keluar yang simpel, “Yang perlu kau lakukan hanyalah mengatakan, ‘Enyahlah para ateis’”.  Orang banyak menggunakan kalimat itu kepada orang-orang Kristen, menyebut mereka ateis.  Palicarpus melambaikan tangannya ke arah kerumunan orang kafir dan mengatakan, “Enyahlah para ateis.”  Tidak puas, gubernur mengatakan, “Kutukilah Kristus, maka aku akan membebaskan engkau.”  “DELAPAN PULUH ENAM TAHUN AKU TELAH MELAYANI DIA DAN DIA TIDAK MELAKUKAN KESALAHAN APA PUN TERHADAPKU,” jawab kepala gereja itu.  “Bagaimana aku bisa menghujat Raja yang telah menyelamatkan aku?”.  Ketika gubernur mengancam akan membakarnya, Policarpus menjawab,”Engkau mengancam aku dengan api yang menyala selama satu jam saja, karena engkau tidak tahu tentang api penghakiman yang akan membakar orang-orang yang tidak taat.  Tetapi untuk apa kita menunda-nunda? Laksanakan saja keinginanmu!”.
    Ketika mereka ingin memakukan Policarpus di tiang, dia berkata, “Biarkan aku begini.  Dia yang akan menolongku bertahan dari api juga akan menolongku untuk tetap berada disini, bahkan tanpa paku”.  Ketika mereka menyalakan api, api itu membentuk kubah sekelilingnya, tampak seperti perapian.  Sang kepala gereja berdiri di tengah-tengahnya, tak tersentuh api.  Kumpulan orang banyak, tak sanggup menerima kekalahan mereka membunuhnya denga belati.  Policarpus pun mati karena imannya.
   Ancaman kematian bagi orang-orang Kristen bukan masalah dalam dunia dewasa ini.    Mudah menganggap bahwa cerita-cerita seperti ini tidak relevan dalam kehidupan kita sehari-hari, terutama jika kita hidup nyaman di komplek-komplek perumahan.  Kemartiran saudara-saudari kita di masa lalu, bahkan di masa kini menantang kita untuk memperhitungkan seberapa besar iman kita.  Bagaimanakah sikap kita jika ditempatkan dalam situasi yang sama?.  Dapatkah iman kita bertumbuh dan matang tanpa tantangan seperti itu?.  Seberapa besarkah Yesus benar-benar berharga bagi kita?.”  1)

     -Hendaklah engkau setia sampai mati—Melukiskan anjuran supaya terus setia walaupun harus menuntut korban nyawa.
    PAHALA (perjanjian):
1.   Mahkota kehidupan – Melambangkan upah yang akan diberikan kepada pemenang atas Setan walaupun harus melalui kesusahan.
2.   Tidak akan menderita kematian kedua –Melukiskan terhindarnya orang-orang percaya dari kematian kedua sebagai hukuman atas dosa dan akhir dosa.            2)
   “Bilamana nubuatan-nubuatan tentang akhir zaman digenapi, dan umat Allah akan menghadapi penderitaan serupa seperti yang dialami umat Kristen mula-mula, apakah saya akan berada di pihak Kristus?.  Ketika menghadapi suatu cobaan berat yang nampaknya seakan mengganggu kenyamanan serta ketenangan pribadi saya, akankah saya menemukan kesenangan di dalam pengenalan dan penerimaan akan Yesus Kristus sebagai yang “pertama dan terakhir”?.
    Kematian yang kedua –Kematian yang pertama ialah “tidur” yang berlangsung selama penghakiman, dari mana terdapat kebangkitan.  Kematian yang kedua bertentangan dengan hidup yang kekal.  Itu adalah kehilangan secara permanen akan keberadaan yang merupakan “upah dosa.” (Lihat Roma 6:23).  3)
Ay 11: “Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepada jemaat-jemaat: Barangsiapa menang, ia tidak akan menderita apa-apa oleh kematian yang kedua”.
1)   ‘Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepada jemaat-jemaat’.
Jemaat Smirna yang sedang menderita disuruh mendengarkan Firman Tuhan! Ini perlu diperhatikan karena banyak orang justru tidak mau mendengar Firman Tuhan pada waktu sedang menderita, seperti misalnya bangsa Israel dalam Kel 16:8. Padahal orang yang menderita justru membutuhkan Firman Tuhan dan karenanya harus mau mendengar!
Penerapan:
Pada waktu sedang mengalami penderitaan yang berat, jangan lalu justru tidak pergi ke Kebaktian dan Pendalaman Alkitab. Juga jangan lalu membuang Saat Kebaktian pagi saudara. Pada saat-saat seperti itu, Tuhan biasanya justru berbicara paling jelas dan memberikan penghiburan yang paling manis!
2)   ‘Barangsiapa menang, ia tidak akan menderita apa-apa oleh kematian yang kedua’.
a)   ‘Barangsiapa menang’.
Ini sudah dibahas dalam Wah 2:7, sehingga tidak akan diulang di sini.
b)   ‘ia tidak akan menderita apa-apa oleh kematian yang kedua’.
·        Kata ‘menderita’ menunjukkan bahwa kematian kedua ini tidak menunjuk pada pemusnahan.
·        Untuk kata ‘tidak’ di sini, dalam bahasa Yunaninya digunakan ‘double negatives’ (2 x kata ‘tidak’), yaitu OU ME, yang menunjukkan penekanan, dan bisa diterjemahkan ‘sekali-kali tidak’.
     Istilah ‘kematian yang kedua’ hanya ada dalam Kitab Wahyu (bdk. Wah 20:6,14  21:8).  4)
REFERENSI:

1.   Jon Paulien, “Kabar Baik Dari Patmos”, Bandung: Indonesia Publishing House, 2007.hal.57
2.   DR. U. Aritonang, Tafsiran Buku Wahyu: Universitas Advent Indonesia Cisarua -Bandung, 1988 hal.13
3.   Leo R. Van Dolson, “Kemenangan Sekarang ini-Kemuliaan Masa Mendatang”(Wahyu, Bagian I ), Bandung: Indonesia Publishing House, Pelajaran Sekolah Sabat Penuntun Guru, April-Juni 1989.hal.39-40
4.   Pdt. Budi Asali M.Div. , Eksposisi Wahyu kepada Yohanes.

                           WAHYU KEPADA YOHANES (48)
    “Dan tuliskanlah kepada MALAIKAT JEMAA DI PERGAMUS: inilah firman Dia, yang memakai pedang yang tajam dan bermata dua: AKU TAHU DI MANA ENGKAU DIAM, yaitu di sana, di tempat takhta Iblis;…DI MANA IBLIS DIAM”(Wahyu 2:12,13.)

   FIRMAN ALLAH : PEDANG TAJAM BERMATA DUA, HINDARKAN KOMPROMI
    
    “Beberapa yang mempelajari ayat ini mengatakan bahwa jemaat di PERGAMUS adalah jemaat yang BERKOMPROMI.  Ini menjelaskan alasan mengapa Yesus memakai pendekatan pedang tajam bermata dua.  Jemaat ini membutuhka kemampuan tajam membedakan yang berasal dari Firman Allah.  Baca Ibrani 4:12 “Sebab Firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua mana pun;…..
   Jemaat di Pergamus tampaknya berlawanan dengan jemaat Efesus, yang memiliki doktrin yang kokoh namun kekurangan KASIH.  Jemaat Pergamus lemah dalam bidang yang menjadi kekuatan jemaat Efesus, doktrin yang kokoh.  Menurut Yesus, Pergamus adalah tempat berbahaya untuk didiami orang-orang Kristen.  Dalam pengertian tertentu, Dia menyebut kota itu tempat kediaman Iblis.  Pergamus mungkin yang paling mengesankan di antara tujuh kota yang disebutkan dalam Kitab Wahyu.  Reruntuhannya yang terletak di puncak bukit terjal menjulang beberapa ratus kaki di atas dataran rendah.  Struktur terbesar yang masih tersisa adalah amfiteaternya, yang menampung hingga 15 000 orang.  Dibangun di punggung bukit terjal, kota itu menghadap ke lembah di sebelah barat.  Para arkeolog mengambil sebagian dari yang paling spektakuler dari kuil-kuilnya, Altar Pergamon, dan membangunnya kembali dalam sebuah museum di Berlin bagian timur.  Kuil itu mencakup anak tangga besar dari marmer (hampir 20 kaki tingginya dan lebarnya 100 kaki) dan puncaknya mengikuti bentuk tapal kuda oleh barisan tiang-tiang penopang atap yang diukir pada marmer itu.  Itu sebuah karya luar biasa, memancarkan rasa percaya diri akan kejeniusan manusia dan kekuatan kepercayaan yang diwakilinya.  Kemegahan seperti itu pasti menarik para penonton kepada agama-agama kafir Romawi.
   SIKAP KOMPROMI dengan mudahnya menyusup masuk tanpa disadari orang-orang Kristen.  Kekuatan pencapaian manusia jauh lebih mengesankan dewasa ini.  Pencakar langit raksasa, kemajuan teknologi yang menakjubkan, tak disadari semuanya menyarankan bahwa kehidupan nyata harus ditemukan dalam pencapaian dan keangkuhan manusiawi.   Firma pronn Allah adalah pedang tajam bermata dua yang menyingkapkan kepalsuan ini kepada yang sebenarnya.  Bagaimana pun, Pergamus saat ini sebagian besar tinggal puing-puing.  1)

PERGAMUS – CITADEL – BENTENG- 323 – 538 (ayat 12-17)
·         Pergamus pernah menjadi ibu-kota propinsi Asia dan pusat kebudayaan Yunani:
1.   Sesuai dengan arti namanya, sidang ini menjadi sidang yang popular walaupun menghadapi penganiayaan.
·         Sumber berita :
1.   Yang memakai pedang tajam bermata dua- Melambangkan Kristus dalam kemegahan kemuliaan-Nya.
·         Engkau diam di tempat takhta iblis –Melukiskan setan bertempat tinggal di mana orang-orang Kristen berdiam.  2)
   
    “Oleh karena masa yang dilambangkan oleh Pergamus adalah masa perkembangan Kepausan (313-538 Masehi), tampaknya terbukti bahwa tahta Setan itu merujuk kepada pusat perbaktian kepausan yang bernama Roma.”3)
     
   “Hampir tidak terasa cara-cara kekafiran menemukan jalannya ke dalam jemaat Kristen.  Roh kompromi dan penyesuaian ditahan untuk sejenak oleh penganiayaan-penganiayaan berat yang diderita jemaat di bawah kekafiran.  Tetapi begitu penganiayaan itu berhenti, dan Kekristenan memasuki pekarangan dan istana-istana raja-raja, ia menyingkirkan kesederhanaan Kristus dan rasul-rasul-Nya yang bersahaja itu bagi kebesaran dan kemegahan imam-imam serta penguasa-penguasa kafir; dan di tempat dari tuntutan-tuntutan Allah ia menggantikan teori-teori serta tradisi-tradisi manusia.  Perubahan secara nama saja dari Konstantin di penggalan awal dari abad keempat menyebabkan kegembiraan yang besar; dan dunia, berjubahkan suatu bentuk kebenaran, melangkah ke dalam gereja”.  4)

Ay 12: “Dan tuliskanlah kepada malaikat jemaat di Pergamus: Inilah firman Dia, yang memakai pedang yang tajam dan bermata dua:”.
1)   Kota ‘Pergamus’.
a)   Perbedaan nama ‘Pergamus’ dan ‘Pergamum’.
KJV: Pergamos.
RSV/NIV/NASB: Pergamum.
William Barclay: “Pergamos is the feminine form of the name and Pergamum the neuter. In the ancient world it was known by both forms but Pergamum was much the commoner and the newer translations are right to prefer it” (= Pergamos adalah bentuk perempuan dari nama itu dan Pergamum adalah bentuk netralnya. Dalam dunia purba kota itu dikenal dengan kedua bentuk itu, tetapi Pergamum jauh lebih lazim, dan terjemahan-terjemahan yang lebih baru bertindak benar pada waktu memilihnya) - hal 87.
b)   Keadaan / situasi kota Pergamus.
Pergamus adalah ibukota dari propinsi Asia. Steve Gregg mengatakan bahwa kalau Efesus adalah ‘New York dari Asia’ (kota terbesar di Asia), maka Pergamus adalah ‘Washington D.C. dari Asia’ (ibukota Asia).
Kota Pergamus mempunyai perpustakaan terbesar kedua di dunia, yang mempunyai 200.000 ‘buku’. Ini hanya kalah oleh perpustakaan di Alexandria, Mesir.
Catatan: Barclay mengatakan bukan ‘buku’ tetapi ‘parchment rolls’ / gulungan kulit / perkamen. Dan A. T. Robertson (hal 303) mengatakan bahwa kata ‘parchment’ (charta Pergamena) diturunkan dari kata Pergamum.
Pergamus adalah kota tertua di Asia, dan kota ini:
·        adalah kota yang pertama-tama mendirikan kuil bagi Kaisar Agustus.
Karena Pergamus adalah ibukota Asia, maka Pergamus merupakan pusat penyembahan terhadap kaisar. Di kota ini orang-orang kristen diperintahkan untuk mempersembahkan dupa / kemenyan kepada patung kaisar sambil mengatakan ‘Kaisar adalah Tuhan’.
·        mempunyai kuil bagi Dewa Zeus.
·        mempunyai kuil bagi Dewa Asclepius / Aesculapius yang berbentuk ular dan dianggap sebagai dewa penyembuh.
Karena itu, banyak orang datang ke Pergamus mencari kesembuhan, sehingga Steve Gregg mengatakan bahwa kota ini seperti ‘Lourdes’ (= kota kesembuhan orang Katolik) bagi dunia purba.
Herman Hoeksema: “because of this imaginary power of this god, he was generally known as Soter, that is, Savior. ... the serpent, the symbol of the devil, was hailed as the savior of men and was worshipped as such” (= karena kuasa, yang sebenarnya hanya merupakan khayalan, dari allah / dewa ini, ia pada umumnya dikenal sebagai SOTER, yaitu Juruselamat. ... ular, simbol dari setan, dipanggil / disebut / diterima dan disembah sebagai juruselamat manusia) - hal 83.
Herman Hoeksema: “Satan, the serpent, is honored and worshipped as the savior of men instead of Christ; and Caesar, man, is worshipped as lord of all instead of Him to Whom all power is given in heaven and on earth. ... the prince of darkness is the ruler of this age. And he still exercises dominion over the kingdoms of the world. He is, in principle, hailed as the savior wherever the Christ is rejected; and the divinity of man is proclaimed wherever the divinity of the Son of Man is not acknowledged (= Setan, sang ular, dan bukannya Kristus, dihormati dan disembah sebagai juruselamat manusia; dan Kaisar, manusia, disembah sebagai tuhan dari semua sebagai ganti dari Dia kepada siapa semua kuasa di surga dan di bumi diberikan. ... pangeran kegelapan adalah penguasa jaman ini. Dan ia tetap berkuasa atas kerajaan-kerajaan dunia. Pada dasarnya, ia diterima sebagai juruselamat dimanapun Kristus ditolak; dan keilahian manusia diproklamirkan dimanapun keilahian Anak Manusia tidak diakui) - hal 84.
Catatan: bagian terakhir (yang saya garisbawahi) perlu dicamkan oleh gereja-gereja / pendeta-pendeta dari kalangan Liberal, yang sudah ada yang berani mengatakan bahwa Yesus bukanlah Juruselamat satu-satunya, dan bahkan bukan Allah.
George Eldon Ladd: “Pergamum, while not as important a commercial city as Ephesus and Smyrna, was nevertheless more important as a political and religious center. ... Pergamum was a stronghold of both pagan religion and emperor worship and provided an unusually difficult environment for a Christian church (= Pergamum, sekalipun tidak sepenting Efesus dan Smirna sebagai kota perdagangan, tetapi lebih penting sebagai pusat politik dan agama. ... Pergamum merupakan kubu dari agama kafir dan penyembahan kaisar dan memberikan lingkungan yang luar biasa sukarnya untuk suatu gereja Kristen) - hal 45.
Semua ini menyebabkan Yesus mengatakan bahwa jemaat Pergamus diam ‘di tempat takhta Iblis / dimana Iblis diam’ (ay 13).
2)   Asal usul ‘jemaat / gereja di Pergamus’.
Matthew Poole: “Pergamos was a famous city of Troas; we read of Pergamos no where else in Scripture, but of Troas we read of Paul’s being there, Acts 16:8,11; 20:5,6, and preaching Christ there, 2Cor. 2:12” (= Pergamus adalah kota yang termasyhur di Troas; kita tidak membaca tentang Pergamus di tempat lain dalam Kitab Suci, tetapi tentang Troas kita membaca tentang keberadaan Paulus di sana, Kis 16:8,11; 20:5,6, dan mengkhotbahkan Kristus di sana, 2Kor 2:12) - hal 954.
Jadi ada kemungkinan bahwa gereja di Pergamus merupakan hasil penginjilan rasul Paulus.
3)   ‘Inilah firman Dia, yang memakai pedang yang tajam dan bermata dua’.
Homer Hailey: “The sword, recognized by the Romans as the symbol of authority and judgment, belongs to Christ and not to Rome” (= Pedang, diakui oleh orang Romawi sebagai simbol dari otoritas dan penghakiman, merupakan milik Kristus dan bukan milik Roma) - hal 130.
Geoffrey B. Wilson: “It was important that those who were living under the threat of the Roman sword should be reminded that Christ wielded a far more powerful sword (1:16), with which he would visit the unfaithful in summary of judgement (v. 16)” [= Adalah penting bahwa mereka, yang sedang hidup di bawah ancaman dari pedang Romawi, untuk diingatkan bahwa Kristus memegang dan menggunakan pedang yang jauh lebih kuat / berkuasa (1:16), dengan mana ia akan mengunjungi orang yang tidak setia dalam penghakiman yang cepat / tidak ditunda (ay 16)] - hal 34.
Robert H. Mounce (NICNT): “In the context of life in a provincial capital where the proconsul was granted the ‘right of the sword’ (ius gladii), the power to execute at will, the sovereign Christ with the two-edged sword would remind the threatened congregation that ultimate power over life and death belongs to God” [= Dalam kontex kehidupan dalam suatu ibukota propinsi dimana prokonsul / gubernur Romawi diberi ‘hak pedang’ (ius gladii), kuasa untuk menjalankan hukuman mati sekehendaknya, Kristus yang berdaulat dengan pedang bermata dua akan mengingatkan jemaat yang terancam bahwa kuasa terakhir / tertinggi atas kehidupan dan kematian ada pada Allah] - hal 96.
Penerapan:
Ini juga perlu untuk kita renungkan, khususnya pada saat ini dimana kita hidup pada masa yang sangat berbahaya (banyak kejahatan, perampokan, kerusuhan, dsb). Lebih-lebih kalau misalnya nanti situasi politik dan pemerintahan di Indonesia berkembang sedemikian rupa sehingga kekristenan betul-betul ditindas / dianiaya. Dalam keadaan seperti ini kita memang harus hati-hati / tidak gegabah, karena bertindak gegabah / sok beriman adalah sama dengan mencobai Tuhan. Tetapi sebaliknya kita tidak boleh takut. Kita harus ingat bahwa nasib kita ada di tangan Kristus / Tuhan, dan bukan di tangan manusia.
Bandingkan dengan Mat 10:28-30 - “(28) Dan janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka. (29) Bukankah burung pipit dijual dua ekor seduit? Namun seekorpun dari padanya tidak akan jatuh ke bumi di luar kehendak BapaMu. (30) Dan kamu, rambut kepalamupun terhitung semuanya”.
Perhatikan bahwa sekalipun dalam ay 28nya Yesus berkata bahwa manusia bisa membunuh tubuh kita, tetapi dalam ay 29-30nya terlihat bahwa tanpa kehendak Tuhan hal itu tidak mungkin terjadi.
Ay 13: “Aku tahu di mana engkau diam, yaitu di sana, di tempat takhta Iblis; dan engkau berpegang kepada namaKu, dan engkau tidak menyangkal imanmu kepadaKu, juga tidak pada zaman Antipas, saksiKu, yang setia kepadaKu, yang dibunuh di hadapan kamu, di mana Iblis diam”.
1)   ‘Aku tahu di mana engkau diam’.
Barclay menterjemahkan: ‘I know where you stay.
William Barclay: “The word for ‘to stay’ is here KATOKEIN; and it means to have one’s permanent residence in a place. It is a very unusual word to use of Christians in the world. Usually the word used of them is PAROKEIN, which means to be a sojourner. ... Here is something very important. The principle of the Christian life is not escape, but conquest. We may feel it would be very much easier to be a Christian in some other place and in some other circumstances but the duty of the Christian is to witness for Christ where life has set him. ... The more difficult it is to be a Christian in any set of circumstances, the greater the obligation to remain within these circumstances. If in the early days Christians had run away every time they were confronted with a difficult engagement, there would have been no chance of a world for Christ” (= Kata untuk ‘diam / tinggal’ di sini adalah KATOKEIN; dan itu berarti ‘mempunyai tempat tinggal tetap / permanen di suatu tempat’. Itu merupakan kata yang sangat tidak lazim untuk digunakan terhadap orang-orang Kristen di dunia ini. Biasanya kata yang digunakan terhadap mereka adalah PAROKEIN, yang berarti ‘tinggal untuk sementara’. ... Di sini ada sesuatu yang sangat penting. Prinsip dari kehidupan Kristen bukanlah lari / meloloskan diri, tetapi penaklukan. Kita mungkin merasa bahwa akan jauh lebih mudah untuk menjadi orang Kristen di tempat lain dan dalam keadaan yang lain, tetapi kewajiban orang Kristen adalah bersaksi bagi Kristus dimana kehidupan telah meletakkannya. ... Makin sukar untuk menjadi orang Kristen dalam suatu keadaan yang ditentukan, makin besar kewajiban untuk tetap tinggal dalam keadaan ini. Jika dalam jaman awal orang-orang Kristen telah lari setiap kali mereka dihadapkan pada pertempuran yang sukar, maka tidak mungkin akan ada suatu dunia bagi Kristus) - hal 91-92.
Herman Hoeksema: “The question might be raised whether it were not advisable for the little church to migrate out of that wicked city where the devil had his throne and dwelling-place. It might be more safe for it in other cities in the vicinity. But that is not the message John must deliver to the church, nor is it the attitude of Scripture in general. ... the Scriptures never tell us that the church of Christ as such must emigrate from the world and live in literal and local isolation” (= Bisa ditanyakan suatu pertanyaan apakah tidak sebaiknya gereja kecil itu pindah tempat keluar dari kota yang jahat dimana Iblis bertakhta dan berdiam. Adalah lebih aman baginya di kota lain di sekitarnya. Tetapi itu bukanlah pesan yang harus diberikan oleh Yohanes kepada gereja itu, juga itu bukan sikap dari Kitab Suci pada umumnya. ... Kitab Suci tidak pernah mengatakan kepada kita bahwa gereja Kristus seperti itu harus beremigrasi dari dunia dan secara hurufiah hidup di suatu tempat yang terpencil) - hal 85.
Penerapan:
Apakah keadaan di Indonesia pada saat ini menyebabkan saudara ingin pindah keluar negeri? Atau ingin pindah keluar negeri andaikata mempunyai uang untuk itu? Memang bisa dimengerti bahwa manusia berusaha mencari tempat yang lebih aman dan lebih menyenangkan, tetapi kita perlu mengingat beberapa hal:
·        keamanan diri kita sebetulnya tidak tergantung tempat / sikon dimana kita berada, tetapi tergantung kepada Tuhan. Tuhan bisa melindungi dan membebaskan Petrus, yang dikelilingi oleh musuh-musuhnya (Kis 5:18-dst), dan Tuhan bisa membunuh Herodes ditengah-tengah para pendukung / pengagumnya (Kis 12:21-23).
·        kita tidak boleh hidup demi kesenangan diri kita, tetapi demi kesenangan dan kemuliaan Tuhan. Inilah penyangkalan diri (bdk. Mat 16:24).
·        kita harus menjadi ‘terang’ (Mat 5:14), dan makin gelap suatu tempat, makin dibutuhkan terang. Jadi negara kita yang sedang kacau ini justru sangat membutuhkan keberadaan kita sebagai terang di sini.
Tetapi pada saat yang sama saya juga berpendapat bahwa kata-kata Barclay dan Hoeksema di atas tidak boleh dimutlakkan, seakan-akan dalam keadaan apapun kita tidak boleh pindah. Bandingkan dengan:
¨      Kej 46:1-7 dimana Yakub pindah ke Mesir, dengan restu dari Allah, karena adanya bahaya kelaparan.
¨      Kis 9:22-26 dimana Paulus lari dari Damsyik ke Yerusalem, karena mau dibunuh.
¨      Mat 24:15-21, khususnya ay 16 dan ay 20 dimana kata ‘melarikan diri’ muncul 2 x. Di sini / dalam situasi ini Tuhan bahkan memerintahkan untuk lari.
Dari semua ini saya menyimpulkan bahwa kita boleh lari / pindah, kalau:
*        betul-betul mau dibunuh / akan mati kalau tidak pindah, bukan sekedar pada waktu mengalami keadaan sukar.
*        kita diyakinkan dalam pergumulan kita, bahwa Tuhan mengijinkan / menyuruh kita lari.
2)   ‘di tempat takhta Iblis ... dimana Iblis diam’.
Kata-kata ‘takhta Iblis’ bisa menunjuk kepada pemerintah Romawi yang ada di Pergamus (ingat kota ini adalah ibukota propinsi), atau menunjuk kepada penyembahan berhala dan semua praktek setan di kota ini. Tetapi kebanyakan penafsir seperti Barclay, Leon Morris, George Eldon Ladd, Robert H. Mounce, dsb., menganggap bahwa kota ini disebut ‘takhta Iblis’ karena kota ini merupakan pusat penyembahan kepada kaisar di Asia.
Pulpit Commentary: “The ruins of it even now attest its greatness in ancient times, when it stood high on the roll of famous cities. It was the abode of royalty; it was the metropolis of heathen divinity. Our Lord looks at it as the place ‘where Satan’s throne is.’ ... Not that the beautiful in art, and the costly in material, and the strong in structure, are not reckoned by Christ at their real value; but that where men worship these things for their own sake, where they are used to hide corruption, and where impurity of motive and of life poison all, material beauty is forgotten in the world badness. ‘Man looketh on the outward appearance; the Lord looketh on the heart.’” (= Bahkan reruntuhannya sekarang memperlihatkan / membuktikan kebesarannya pada jaman kuno, pada waktu ia menonjol dalam daftar kota-kota yang termasyhur. Ia merupakan tempat tinggal raja, ia adalah kota besar dari keilahian kafir. Tuhan kita memandangnya sebagai tempat ‘dimana takhta Iblis ada’. ... Bukan bahwa keindahan seni, dan mahalnya bahan, dan kuatnya struktur, tidak diperhitungkan oleh Kristus sesuai dengan nilai mereka yang sebenarnya; tetapi dimana manusia menyembah hal-hal ini demi diri mereka sendiri, dan hal-hal itu digunakan untuk menyembunyikan kejahatan, dan dimana ketidakmurnian motivasi dan hidup meracuni semua, maka keindahan materi dilupakan dalam kejelekan dunia. ‘Manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati’) - hal 72-73.
Catatan: bagian terakhir dikutip dari 1Sam 16:7b.
Adam Clarke: “It was a maxim among the Jews, that where the law of God was not studied, there Satan dwelt; but he was obliged to leave the place where a synagogue or academy was established” (= Merupakan suatu pepatah di antara orang Yahudi, bahwa dimana hukum Allah tidak dipelajari, di sana Setan tinggal / diam; tetapi ia harus meninggalkan tempat dimana sebuah sinagog / tempat ibadah Yahudi atau suatu akademi didirikan) - hal 978.
Pepatah ini jelas merupakan pepatah bodoh. Justru di tempat dimana Tuhan dikasihi, diajarkan / diberitakan, maka di sanalah setan senang untuk tinggal dan menggoda orang-orang itu.
John Stott: “Let us rid our minds of the medieval caricature of Satan. Forget the horns, the hooves and the tail, and we are left with the Biblical portrait of a spiritual being, highly intelligent, immensely powerful and utterly unscrupulous” (= Marilah kita membuang dari pikiran kita karikatur tentang setan dari abad pertengahan. Lupakanlah tanduk, kuku dan ekor, dan kita mempunyai gambaran yang Alkitabiah tentang seorang makhluk rohani, sangat pandai, sangat kuat / berkuasa dan jahat secara total) - hal 60.
Stott juga mengatakan bahwa baru-baru ini ada suatu pengumpulan pendapat di Inggris yang menunjukkan bahwa hanya 24 % dari orang-orang Inggris yang berusia di bawah 21 tahun yang percaya akan adanya setan.
Dan Stott lalu mengatakan: “How delighted he must be!” (= Alangkah senangnya ia!) - hal 60.
3)   ‘engkau berpegang kepada namaKu’.
a)   Di kota ini nama Yesus tak diakui / dihormati. Yang diakui dan dihormati adalah nama Dewa Asclepius / Aesculapius dan nama Kaisar. Tetapi orang kristen Pergamus tetap setia kepada nama Kristus! Ini menunjukkan bahwa orang bisa tetap setia kepada Kristus, sekalipun keadaan sekitarnya begitu sukar. Kalau mereka bisa mengapa kita tidak?
b)   Ini menunjukkan bahwa mereka bukan hanya setia kepada nama Kristus, tetapi juga memberitakan nama Kristus.
Herman Hoeksema: “It were conceivable that they kept the faith and clung to the name of Jesus, but that they kept it all for themselves, that they lived in seclusion, and that they carefully avoided an open clash with the wicked environment. But once more, this is not the calling of the church of Christ. ... It may not hold its peace, even when the world threatens with devilish fury. The church must confess; and not to confess is to deny” (= Merupakan sesuatu yang bisa dimengerti jika mereka memelihara iman dan berpegang erat-erat pada nama Yesus, tetapi mereka memelihara semua itu untuk diri mereka sendiri, hidup dalam pengasingan, dan dengan hati-hati menghindari perselisihan / bentrokan terbuka dengan lingkungan yang jahat. Tetapi sekali lagi, ini bukan panggilan dari gereja Kristus. ... Gereja tidak boleh berdiam diri, bahkan pada waktu dunia mengancam dengan kemarahan yang besar sekali / jahat / dari setan. Gereja harus mengaku, dan tidak mengaku berarti menyangkal) - hal 86.
4)   ‘engkau tidak menyangkal imanmu kepadaKu’.
a)   ‘imanmu kepadaKu’.
NIV: ‘your faith in me’ (= imanmu kepadaKu).
KJV/RSV/NASB/Lit: ‘my faith’ (= imanKu).
John Stott: “Commentators are agreed that, grammatically speaking, ‘my faith’ means ‘your faith in me’” (= Para penafsir setuju bahwa berbicara secara gramatika, ‘imanku’ berarti ‘imanmu kepadaKu’) - hal 56.
b)   ‘tidak menyangkal’.
Kata ‘menyangkal’ ada dalam aorist tense (= past tense / bentuk lampau), dan karena itu rupanya kata-kata ‘tidak menyangkal’ menunjuk pada satu kejadian tertentu di masa lampau, dimana jemaat dihadapkan pada pemaksaan untuk menyangkal Yesus. Rupanya pada peristiwa itu juga Antipas mengalami kematian syahid. Tetapi jemaat Pergamus tetap tidak mau menyangkal Kristus.
Pulpit Commentary: “Here is one of the million proofs that man’s moral character is not necessarily formed by external circumstances, however antagonistic those circumstances may be” (= Di sini ada satu dari jutaan bukti bahwa karakter moral manusia tidak harus dibentuk oleh keadaan luar, betapapun bermusuhannya keadaan itu) - hal 101-102.
5)   ‘juga tidak pada zaman Antipas, saksiKu, yang setia kepadaKu, yang dibunuh di hadapan kamu’.
a)   ‘Antipas’.
Ada yang menganggap bahwa nama ‘Antipas’ ini adalah nama asli seseorang; tetapi ada juga yang menganggap bahwa sama seperti nama-nama lain dalam Kitab Wahyu, ini hanya bersifat simbolis, yang menunjuk kepada segolongan orang yang ‘anti Paus’.
Catatan: lihat di depan tentang penafsiran simbolis dari ke tujuh gereja (hal 1-2, point no 1,c dari buku ini).
Matthew Poole: “Our being able from no history to give an account of this martyr, hath inclined some to think this epistle wholly prophetical, and that Antipas signifieth not any particular person, but all those who opposed the pope, as if it were Antipapa” (= Ketidakmampuan kita memberikan catatan / cerita dari sejarah tentang martir ini, telah mencondongkan beberapa orang untuk berpikir bahwa surat ini sepenuhnya bersifat nubuat, dan bahwa Antipas tidak berarti seseorang yang tertentu, tetapi semua mereka yang menentang Paus, seakan-akan kata itu adalah Antipapa) - hal 954-955.
Steve Gregg: Some who take this approach have suggested that Antipas does not refer to an individual, but to a class of men opposed (‘anti’) to the popes (‘papas’), which men were martyred in great numbers in Rome and Constantinople” [= Sebagian dari orang-orang yang mengambil arti ini mengusulkan bahwa Antipas tidak menunjuk kepada seorang individu, tetapi kepada segolongan orang yang menentang (‘anti’) Paus (‘papas’), yaitu orang-orang yang mati syahid dalam jumlah besar di Roma dan Constantinople] - hal 70.
Saya berpendapat bahwa Antipas adalah nama orang.
b)   Ada yang menterjemahkan kata-kata ‘saksiKu yang setia’ dengan ‘martirKu yang setia’.
William Barclay: “The Risen Christ calls Antipas my faithful MARTUS. We have translated that ‘martyr’; but MARTUS is the normal Greek word for ‘witness’. In the early church to be a martyr and to be a witness were one and the same thing. ‘Witness’ meant so often ‘martyrdom’” (= Kristus yang bangkit menyebut Antipas ‘MARTUS-Ku yang setia’. Kita telah menterjemahkannya ‘martir’, tetapi MARTUS adalah kata Yunani yang normal untuk ‘saksi’. Dalam gereja mula-mula menjadi ‘martir’ dan menjadi ‘saksi’ adalah hal yang satu dan sama) - hal 92.
Catatan: A. T. Robertson mengatakan (hal 305) bahwa arti ‘martir’ adalah arti modern yang baru muncul pada abad ke 3.
c)   Kematian Antipas.
Adam Clarke: “There is a work extant called ‘The Acts of Antipas’, which makes him bishop of Pergamos, and states that he was put to death by being enclosed in a burning brazen bull. But this story confutes itself, as the Romans, under whose government Pergamos then was, never put any person to death in this way. It is supposed that he was murdered by some mob, who chose this way to vindicate the honour of their god Aesculapius, in opposition to the claims of our Lord Jesus” (= Ada suatu karya yang masih ada yang disebut ‘Perbuatan / Kisah Antipas’, yang membuatnya sebagai uskup dari Pergamus, dan menyatakan bahwa ia dibunuh dengan dimasukkan ke dalam sapi dari kuningan yang dibakar. Tetapi cerita ini menentang dirinya sendiri, karena orang Romawi, dibawah pemerintahan siapa Pergamus saat itu, tidak pernah membunuh seseorang dengan cara ini. Diduga bahwa ia dibunuh oleh suatu gerombolan, yang memilih cara ini untuk mempertahankan kehormatan dari dewa mereka Aesculapius, dalam pertentangan dengan tuntutan dari Tuhan Yesus kita) - hal 978.
d)   Tak diingat dalam sejarah, tetapi diingat oleh Kristus.
Pulpit Commentary: “Of Antipas we know nothing more than is named here. No historic roll, save this, refers to him. But Christ never forgets. To be remembered by him is fame enough” (= Tentang Antipas kita tidak mengetahui apapun lebih dari yang disebutkan di sini. Tidak ada catatan sejarah, kecuali ini, yang menunjuk kepadanya. Tetapi Kristus tidak pernah lupa. Diingat oleh Dia adalah cukup masyhur / populer) - hal 73.
Mungkin kalau ini terjadi pada jaman sekarang, orang kristen sendiri bahkan akan mengecam Antipas sebagai orang kristen yang extrim. Tetapi Yesus justru memuji Antipas dengan sebutan ‘saksiKu yang setia’. Perlu diingat bahwa istilah ‘saksiKu yang setia’ yang diberikan kepada Antipas, merupakan istilah yang sama dengan yang ditujukan kepada Kristus sendiri dalam Wah 1:5. Jadi ini merupakan suatu pujian yang sangat tinggi.
e)   A. T. Robertson mengatakan (hal 305) bahwa kematian syahid Antipas ini disusul oleh beberapa orang lain di Pergamum, yaitu Agathonice, Attalus, Carpus, dan Polybus. Seringkali orang digoda setan dengan berpikir: ‘Dari pada mati secara sia-sia, lebih baik menyangkal Yesus / berkompromi’. Tetapi dari cerita tentang Antipas ini terlihat bahwa kematian syahid tidaklah sia-sia. Pertama, kesetiaan sampai mati itu menyenangkan Allah, dan kedua, itu memotivasi orang kristen lain untuk juga berani mati demi Kristus.
Tetapi sebaliknya kalau kita menyangkal Kristus, berkompromi dengan dunia, dsb, kita menghancurkan motivasi orang kristen lain untuk menderita dan mati demi Kristus!.5)
REFERENSI:
1.   Jon Paulien, “Kabar Baik Dari Patmos”, Bandung: Indonesia Publishing House, 2007. hal.58.
2.   DR. U. Aritonang, Tafsiran Buku Wahyu: Universitas Advent Indonesia Cisarua -Bandung, 1988 hal.13,14.
3.   Leo R. Van Dolson, “Kemenangan Sekarang ini-Kemuliaan Masa Menda DR. U. Aritonang, Tafsiran Buku Wahyu: Universitas Advent Indonesia Cisarua -Bandung, 1988 hal.40
4.   E.G. White, The Great Contorversy, hal.49-50.
5.   Pdt. Budi Asali M.Div., Eksposisi Wahyu kepada Yohanes.