PENDAHULUAN
Warga cilik kerajaan surga. Program
pemuridan yang mengabaikan kanak-kanak adalah usaha pemuridan yang cacad.
Mengapa? Sebab Yesus sendiri melayani dan memberkati kanak-kanak. Bahkan, karena
karakter mereka Yesus menjadikan kanak-kanak sebagai standar moral bagi
calon-calon surga, "sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya
Kerajaan Surga" (Mat. 19:14). Yesus mengasihi kanak-kanak, dan kanak-kanak
pun menyayangi Yesus. Kanak-kanak adalah juga calon-calon warga surga,
jangan-jangan malah kanak-kanak itu yang lebih rindu dan lebih siap untuk masuk
surga ketimbang orang-orang dewasa. Jadi, janganlah sekali-kali mengabaikan
kanak-kanak dalam pemuridan.
"Banyak gereja tampaknya kehilangan
fakta penting ini dalam perencanaan penginjilan mereka, mengarahkan bagian
terbesar dari sumberdaya mereka kepada orang dewasa. Murid-murid Kristus yang
mula-mula pun kelihatannya meremehkan nilai pelayanan anak-anak. Yesus menolak
sikap demikian dan menyediakan ruang bagi anak-anak, bahkan memberi prioritas
kepada mereka" [alinea kedua: tiga kalimat terakhir].
Dalam
struktur organisasi Gereja MAHK pelayanan anak-anak mendapat tempat khusus
dengan sistem pelayanan berjenjang, mulai dari tingkat pusat sedunia sampai
kepada jemaat-jemaat setempat. Dalam situs Departemen Pelayanan Anak-anak dari
Pimpinan Pusat Gereja MAHK Sedunia (Children Ministries Department of
General Conference of Seventh-day Adventist Church) disebutkan
falsafah yang mendasari pelayanan anak-anak: "Pelayanan Anak-anak adalah
perihal mengembangkan iman anak-anak dari lahir sampai usia empat belas tahun.
Sementara Sekolah Sabat menyediakan pendidikan agama sekali seminggu, Pelayanan
Anak-anak melihat pada anak secara utuh dan berusaha menyediakan berbagai
pelayanan yang akan menuntun anak-anak kepada Yesus dan memuridkan mereka dalam
kehidupan sehari-hari mereka dengan Dia" (Sumber: http://www.gcchildmin.org/philosophy/index.html).
Pemuridan
di kalangan anak-anak adalah bagian dari pelayanan Yesus, dan dengan demikian
menjadi bagian pula dari perintah Yesus yang diamanatkan kepada kita. Pemuridan
harus dimulai sejak usia sedini mungkin, bahkan program pemuridan adalah hal
yang paling diperlukan oleh anak-anak usia dini pada zaman ini.
1. ANAK-ANAK
JUGA MANUSIA (Keberuntungan Anak-anak Ibrani)
Ketika
anak-anak dikorbankan.
Mempersembahkan
anak-anak sebagai kurban dalam peradaban purba adalah fakta sejarah. Hampir
semua masyarakat purba mengenal upacara mengurbankan anak-anak kecil atau
remaja, laki-laki maupun perempuan. Penggalian-penggalian arkeologis di
berbagai tempat di dunia membuktikan sinyalemen ini, antara lain kebudayaan
Aztec dan Inca di Amerika Selatan, kebudayaan Viking dan Celtic di Eropa,
kebudayaan Kartage di Afrika, kebudayaan Fenisia di Laut Tengah, kebudayaan
Mancuria, Hindus, dan Tibet di Asia. Bahkan antara tahun 2005-2010 lalu di
Uganda, sebuah negara di Afrika, kedapatan masih mempraktikkan ritual
mengurbankan anak-anak sehingga menjadikannya sebagai satu-satunya bangsa di
abad ke-21 yang masih menjalankan upacara keji ini.
Dalam
tradisi bangsa Kanaan mengurbankan anak-anak adalah bagian penting dalam
penyembahan dewa Molokh, dan peribadatan kekafiran ini seringkali mempengaruhi
bangsa Israel yang mendiami negeri Kanaan. Manasye, raja ke-14 kerajaan Yehuda
di selatan yang memerintah tahun 687-642 SM, dalam masa kemurtadannya
kemungkinan juga telah mempersembahkan anak-anaknya sendiri kepada dewa Molokh
(2Taw. 33:6). Perbuatan demikian jelas-jelas melawan perintah Allah kepada
bangsa Israel untuk tidak mempersembahkan anak-anak mereka kepada Molokh (Im.
18:21), sebuah perintah yang disertai sangsi hukuman mati (Im. 20:1-5). Namun
tampaknya bukan hanya Manasye yang berbuat itu, tapi juga raja-raja Yehuda
lainnya seperti Salomo (1Raj. 11:7), Yosia (2Raj. 23:10), dan Zedekia, bahkan
rakyat Yehuda dan Israel secara bersama-sama (Yer. 32:32-35).
Kalau
pada peradaban purba mengobankan anak-anak adalah karena tujuan penyembahan
(motif keagamaan), pada zaman moderen ini mengorbankan anak-anak lebih karena
tujuan eksploitasi (motif ekonomi). Bagi masyarakat yang kurang mampu anak-anak
sering dijadikan sebagai tenaga kerja, sedangkan bagi masyarakat mampu
anak-anak kerap dijadikan sebagai bahan reputasi dan gengsi orangtua mereka.
Apapun alasannya, pengeksploitasian anak pada hakikatnya adalah
"mengorbankan" anak-anak, suatu hal yang tidak berterima di hadapan
Tuhan.
"Pengorbanan anak sebagai hal menyenangkan
ilah telah diterima oleh banyak budaya. Kalau tidak, nilai anak-anak sering
diukur dengan kontribusi ekonomis mereka bagi masyarakat. Produktivitas kerja,
bukan nilai hakiki, menentukan hubungan mereka dengan dunia orang dewasa.
Menyedihkan untuk dikatakan, namun sebagian dari sikap demikian ini, khususnya
ketika dikaitkan dengan nilai ekonomi, ditemukan dalam dunia dewasa ini
sekalipun. Sesungguhnya, hari kemurkaan itu akan datang" [alinea pertama:
lima kalimat terakhir].
Harkat
anak-anak.
Kitabsuci
mengatakan bahwa anak-anak merupakan anugerah dan pusaka Allah (Mzm. 127:3-5;
128:4-6). Anak-anak adalah titipan Allah kepada orangtua mereka untuk diajar
tentang perintah Tuhan (Ul. 6:6-7) dan dididik (Ams. 22:6), sebab mereka akan
menjadi murid-murid Tuhan sendiri (Yes. 54:13). Beberapa di antara tokoh-tokoh
Alkitab adalah anak-anak yang lahir atas permintaan ibu mereka kepada Tuhan
dengan cara paksa, seperti Yusuf (Kej. 30:22-24) dan Samuel (1Sam. 1:11, 27),
menunjukkan bahwa dari zaman dulu orangtua sangat mendambakan anak-anak dan
dipandang sebagai berkat dari Tuhan. Namun sementara anak-anak adalah karunia
Tuhan, orangtua berkewajiban untuk memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sesuai dengan jalan Tuhan. Anak-anak bukanlah aset untuk dimanfaatkan demi
kepentingan orangtua, tapi anak-anak adalah tanggungjawab yang dipercayakan
Allah kepada orangtua mereka.
"Pendidikan,
hak kesulungan, dan banyak praktik-praktik budaya lainnya yang jelas
menunjukkan betapa bernilainya anak-anak dalam kebudayaan Ibrani purba. Tidak
mengherankan, Kristus memperluas kedudukan anak-anak yang sudah terangkat itu,
dibandingkan dengan budaya di sekitarnya, kepada standar yang baru. Lagi pula,
anak-anak adalah makhluk manusia, dan kematian Kristus adalah bagi semua orang
berapapun usia mereka--suatu hal yang tidak boleh kita lupakan" [alinea
terakhir].
Peradaban
moderen menghargai harkat anak-anak, antara lain dengan mengakui serta menjamin
hak-hak anak. Pada rapat paripurna PBB tanggal 20 November 1989 telah disahkan
apa yang disebut "Konvensi Anak-anak" di mana Indonesia menjadi salah
satu negara penandatangan. Dalam konvensi ini antara lain ditegaskan,
"Dalam semua tindakan yang menyangkut anak-anak, baik yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau swasta, pengadilan,
penguasa-penguasa pemerintahan atau badan-badan legislatif, kepentingan terbaik
dari anak-anak harus menjadi pertimbangan utama" (Pasal 3, ayat 1). Selain
itu, "Negara-negara Peserta akan menghormati tanggungjawab, hak dan
kewajiban orangtua...untuk memberi, dengan cara yang sesuai dengan kemampuan
yang berkembang dari anak itu, arahan dan bimbingan yang tepat dalam
pelaksanaan hak-hak anak yang diakui dalam Konvensi yang sekarang ini"
(Pasal 5).
Apa yang kita pelajari tentang nilai
anak-anak pada pemandangan Tuhan?
1. Allah menanamkan dalam kebudayaan
Israel purba (orang Ibrani) untuk menghargai anak-anak sebagai berkat dan
anugerah, di antaranya dengan membakukan "hak kesulungan" untuk
setiap anak laki-laki tertua. Meskipun hak tersebut tidak berlaku bagi kita,
tapi tuntutan Allah akan penghargaan terhadap anak-anak tidak berubah.
2. Mengorbankan anak, dalam cara
apapun dan dengan motif apapun, adalah tindakan pengkhianatan terhadap hak-hak
anak dan menjadi kekejian bagi Tuhan. Anak-anak adalah milik Allah yang
dititipkan dalam pengasuhan orangtua, segala bentuk pengeksploitasian anak pada
dasarnya adalah pengingkaran terhadap mandat Allah.
3. Tidak ada satu pun anak yang minta
dilahirkan; anak lahir dari aktivitas biologis orangtua dan kehendak Allah.
Setiap orangtua bertanggungjawab untuk membesarkan, memelihara, dan mendidik
anak-anak mereka. Allah akan memberkati setiap orangtua yang bertanggungjawab
dengan menyediakan sumberdaya yang diperlukan.
2. YESUS SEBAGAI ANAK BIASA (Masa
Kanak-kanak Yesus)
Bertumbuh secara normal.
Masa
kanak-kanak dan masa remaja Yesus Kristus telah menjadi bahan spekulasi banyak
orang karena Alkitab sangat sedikit menulis tentang hal itu. Satu-satunya
informasi tentang kehidupan Yesus sebelum Dia berusia 30 tahun--selain waktu
kelahiran-Nya--adalah saat Yesus berumur 12 tahun ikut bersama Yusuf dan Maria
ke Yerusalem dalam ziarah tahunan yang diwajibkan bagi orang Yahudi, mungkin
sekaligus untuk persiapan bar mitzvah, sebuah upacara
tradisional bagi anak laki-laki Yahudi yang mencapai umur 13 tahun sebagai
tanda memasuki masa "kedewasaan rohani" di mana seorang anak dianggap
sudah cukup dewasa untuk menaati semua hukum agama (bagi anak perempuan pada
usia 12 tahun, disebut bat mizvah). Sesudah kisah tentang kunjungan
ziarah tahunan itu, dengan peristiwa Yesus mengajar di kaabah Yerusalem,
selanjutnya kita tidak menemukan informasi apapun sampai Yesus muncul lagi
ketika Dia dibaptis dan memulai pelayanan-Nya.
Bahwa
Yesus sebagai kanak-kanak dan remaja cukup dikenal di kampungnya terbukti
ketika orang-orang mengungkapkan keheranannya terhadap kecakapan Yesus mengajar
dan mengadakan mujizat. Kata mereka, "Dari mana diperoleh-Nya hikmat itu
dan kuasa untuk mengadakan mujizat-mujizat itu? Bukankah Ia ini anak tukang
kayu? Bukankah ibu-Nya bernama Maria dan saudara-saudara-Nya: Yakobus, Yusuf,
Simon dan Yudas? Dan bukankah saudara-saudara-Nya perempuan semuanya ada bersama
kita? Jadi dari mana diperoleh-Nya semuanya itu?" (Mat. 13:54-56). Mereka
tertegun karena selama ini Yesus yang mereka kenal sebagai anak tukang kayu,
yang mungkin tidak banyak bicara, tiba-tiba sekarang tampil begitu fasih dalam
pengetahuan agama. Karena mengenal siapa Yesus itulah maka mereka tidak mau
mendengar pengajaran-Nya (ay. 57-58). Lumrah dan khas, bukan?
"Sekiranya Yesus melewatkan masa
kanak-kanak dan hadir di planet Bumi ini sebagai seorang yang sudah dewasa,
berbagai pertanyaan serius mungkin akan timbul sehubungan dengan kemampuan-Nya
menyesuaikan diri dengan anak-anak. Akan tetapi Kristus bertumbuh-kembang
seperti layaknya semua anak-anak, tidak ada tahap-tahap pengembangan yang
berkaitan dengan pertumbuhan dan kematangan yang terlewatkan. Ia mengerti
godaan-godaan masa remaja. Ia mengalami kecenderungan untuk berbuat salah dan
kegelisahan masa kanak-kanak" [alinea pertama: empat kalimat pertama].
Masa pertumbuhan akhlak.
Sekalipun
kelahiran-Nya terjadi sebagai suatu keajaiban, Yesus sebagai kanak-kanak
bukanlah seorang "anak ajaib" dalam pengertian seperti anak yang
"super" dan berbeda dari teman-teman-Nya. Dapat dipastikan bahwa masa
pertumbuhan Yesus hingga mencapai usia dewasa berlangsung dalam tahap-tahap
yang normal dan wajar, termasuk dalam pertumbuhan akhlak dan akal budi.
Kecerdasan emosi maupun kecerdasan psikologis Yesus tidak bertumbuh sendiri
secara otomatis, orangtua-Nya harus menjalankan kewajiban mereka sebagai
umumnya orangtua bangsa Ibrani untuk mendidik dan melatih Yesus selama masa
kanak-kanak hingga remaja. Kepiawaian Yesus dalam hal doktrin agama adalah
hasil dari perpaduan pengajaran orangtua-Nya dan kesungguh-sungguhan Yesus
sendiri untuk belajar dengan tekun.
Satu-satunya ayat dalam Alkitab yang menyinggung
soal pertumbuhan kecerdasan emosi dan kecerdasan psikologis Yesus selepas usia
12 tahun adalah dalam injil Lukas: "Yesus makin bertambah besar dan
bertambah bijaksana, serta dikasihi oleh Allah dan disukai oleh manusia"
(Luk. 2:52, BIMK). Sebelumnya penulis yang sama telah memberi pernyataan
tentang pertumbuhan Yesus secara fisik selama dua belas tahun pertama,
"Anak itu bertambah besar dan kuat. Ia bijaksana sekali dan sangat
dikasihi oleh Allah" (ay. 40, BIMK).
"Menurut ayat-ayat tersebut, Yesus
memperoleh kebijaksanaan. Allah menganugerahkan kasih karunia pada-Nya. Dari
perjumpaan pada masa kanak-kanak Kristus di kaabah selama kunjungan Paskah kita
dapat melihat bahwa Yesus memiliki hikmat kitabsuci yang mendalam. Guru-guru
agama sangat terkesan dengan pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban
Yesus...Allah sudah tentu menggunakan berbagai pengalaman masa kanak-kanak
untuk membentuk tabiat tanpa cela yang menakjubkan itu" [alinea ketiga; alinea
keempat: kalimat pertama].
Apa yang kita pelajari tentang masa
kanak-kanak Yesus?
1. Penjelmaan Anak Allah dalam sosok
Yesus Kristus adalah penjelmaan totalitas sejak lahir, masa kanak-kanak, masa
remaja, sampai usia dewasa. Kemanusiawian Yesus tidak berbeda dari orang-orang
sekampung-Nya: bertumbuh, bergaul, membantu orangtua, belajar agama, dan
sebagainya.
2. Di Nazaret, kampung halaman Yesus,
masyarakat mengenal Dia sebagai seorang yang saleh dan suka bergaul. Itulah
sebabnya Ia "makin dikasihi oleh Allah dan manusia" (Luk. 2:52, TB).
Yesus membuktikan bahwa sebagai remaja menjadi "anak gaul" dan
sekaligus "anak saleh" bukan hal yang mustahil.
3. Tampaknya Yesus telah menerima
pendidikan agama dan pendidikan moral dari orangtua duniawi-Nya, yakni Yusuf dan
Maria, dalam takaran yang proporsional dan porsi yang cukup. Yesus bertumbuh
secara normal dan wajar, bukan sebagai seorang "anak karbitan" yang
dipaksa bertumbuh karena ambisi orangtua.
3. KEPEDULIAN PADA ANAK-ANAK
(Menyembuhkan Anak-anak)
Merasakan kekhawatiran orangtua.
Yesus
tidak pernah menjadi orangtua, tetapi Ia mempunyai orangtua di dunia ini. Tentu
saja Yesus mengerti kekhawatiran orangtua terhadap keadaan anak-anak mereka.
Bukankah Ia sendiri pernah menyaksikan kekhawatiran ibu dan ayahnya karena
kehilangan diri-Nya selama tiga hari dalam perjalanan pulang setelah merayakan
Paskah, lalu bergegas kembali ke Yerusalem? Saat menemukan Yesus sedang
mengajar di dalam kaabah, ibu-Nya menegur Dia, "Nak, mengapakah Engkau
berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari
Engkau" (Luk. 2:48).
Ketika para orangtua dari anak-anak yang
sakit parah, dirasuk roh jahat, maupun yang sudah mati itu datang menemui Yesus
untuk meminta pertolongan, Ia dapat merasakan kecemasan, kepanikan, bahkan
keputusasaan mereka. Namun, meskipun Yesus tentu ingin memenuhi kerinduan para
orangtua itu menyangkut keadaan anak mereka, Ia juga ingin menanamkan suatu
nilai rohani yang penting: iman. Maka ketika orangtua dari
anak tunggal yang tersiksa oleh roh jahat datang kepada Yesus dan mengadu bahwa
murid-murid-Nya tidak berhasil mengusir roh jahat itu, Yesus tidak menegur
murid-murid melainkan mencela ketidakpercayaan orang banyak termasuk orangtua
anak itu. Kata-Nya kepada mereka, "Hai kamu angkatan yang tidak percaya
dan yang sesat, berapa lama lagi Aku harus tinggal di antara kamu dan sabar
terhadap kamu? Bawa anakmu itu kemari!" (Luk. 9:41). Bukankah sebelumnya
Yesus sudah memberi kekuatan dan kuasa kepada murid-murid-Nya "untuk
menguasai setan-setan dan untuk menyembuhkan penyakit-penyakit"? (ay. 1).
"Dalam semua cerita ini satu kesamaan
sangat mencolok ialah bahwa, dalam setiap kasus, orangtua yang putus asa itu
datang kepada Yesus mencari pertolongan bagi seorang anak. Orangtua mana yang
tidak terpengaruh? Orangtua mana yang belum pernah merasakan kepedihan,
kesedihan, ketakutan, dan langsung merasa ngeri apabila seorang anak sakit
parah atau bahkan sedang sekarat? Bagi mereka yang sudah mengalaminya, tidak
ada hal lain yang lebih buruk" [alinea pertama].
Ketika orangtua kehilangan anak.
Sesungguhnya,
tidak ada orangtua yang siap kehilangan anak akibat kematian, sekalipun dalam
kasus-kasus di mana kematian mungkin sudah diantisipasi semisal akibat sesuatu
penyakit. Kalau boleh memilih, mungkin banyak orangtua yang siap untuk
menggantikan kematian anaknya. Dalam satu dunia yang sempurna, siklus kehidupan
memang seharusnya berlangsung normal bilamana generasi yang lebih tua meninggal
lebih dulu baru kemudian orang-orang dari generasi yang lebih muda. Tetapi anda
dan saya tidak hidup dalam dunia yang sempurna, dan kematian selalu tampil
sebagai sosok yang misterius dan tak terduga. Banyak kali bahkan doa-doa kita
kehilangan daya untuk mencegah suatu kematian.
Seseorang
pernah berkata, "Apabila orangtua yang meninggal, anda kehilangan masa
lalu; apabila anak yang meninggal, anda kehilangan masa depan." Anak, atau
anak-anak, memang selalu dikaitkan dengan masa depan. Semakin besar ambisi
orangtua terhadap masa depan anaknya, semakin berat pula kesedihan yang harus
ditanggung kalau anak itu meninggal dunia. Namun orangtua bisa saja kehilangan
harapan pada masa depan anaknya bukan akibat kematian secara fisik saja tapi
juga karena "kematian" moral dan rohani dari anak itu. Dengan
demikian orangtua yang saleh tidak cukup hanya mendoakan kesehatan dan
keselamatan fisik anak-anak mereka saja, tapi juga mendoakan kesejahteraan
moral dan kerohanian mereka. Mendoakan anak yang sakit jasmani sama pentingnya
dengan mendoakan anak yang sakit rohani. Bahkan, dalam banyak kasus, lebih
mudah bagi orangtua untuk merelakan anaknya meninggal dunia asalkan jiwanya
selamat.
"Meratapi kematian fisik dan
menyaksikan pembusukan rohani mungkin sama-sama menyakitkan. Berapa banyak
orangtua yang menderita atas anak-anak yang dikuasai oleh kecanduan narkoba,
pornografi, atau sikap ketidakpedulian masa remaja? Apapun penderitaan itu,
kita harus belajar untuk percaya kepada Tuhan serta kebaikan dan kasih-Nya,
bahkan ketika keadaan tidak menghasilkan kebahagiaan seperti pada cerita-cerita
Alkitab tersebut di atas" [alinea terakhir: tiga kalimat pertama].
Apa yang kita pelajari tentang
anak-anak yang disembuhkan oleh Yesus, dibandingkan dengan anak-anak kita
sekarang?
1. Semasa hidup-Nya di atas dunia ini
Yesus menyembuhkan anak-anak yang sakit dan menderita karena kepedulian
orangtua mereka, tapi banyak juga anak-anak lain yang tidak beruntung mendapat
pelayanan Yesus. Zaman sekarang pun banyak anak-anak yang bernasib malang
akibat ketidakpedulian orangtua mereka.
2. Orangtua yang bertanggungjawab atas
kesejahteraan anak tentu menaruh perhatian pada semua aspek kehidupan anak-anak
mereka, semata-mata demi kepentingan anak itu sendiri. Yesus menolong anak-anak
karena Ia melihat mereka juga adalah calon-calon warga surga.
3. Sementara menangisi kematian anak
adalah hal yang manusiawi, orang Kristen tidak akan bersedih kelewat batas. "Selanjutnya
kami tidak mau, saudara-saudara, bahwa kamu tidak mengetahui tentang mereka
yang meninggal, supaya kamu jangan berdukacita seperti orang-orang lain yang
tidak mempunyai pengharapan" (1Tes. 4:13).
4. KEJAHATAN TERHADAP ANAK-ANAK
(Sebuah Amaran Mengerikan)
Menghargai kepolosan kanak-kanak.
Setelah
mencela kota-kota yang penduduknya tidak mau bertobat meski sudah mendengar
kabar keselamatan, Yesus kemudian berdoa: "Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa,
Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak
dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil. Ya
Bapa, itulah yang berkenan kepada-Mu" (Mat. 11:25-26; huruf miring
ditambahkan). Kata Grika yang diterjemahkan dengan "orang kecil"
dalam ayat ini adalahνήπιος, nēpios, sebuah
kata sifat yang bisa berarti anak kecil atau juga tidak
terpelajar (Strong, G3516). Meskipun Alkitab versi King James
menerjemahkan kata ini dengan babes ("kanak-kanak"
atau "orang yang kurang berpengalaman"), secara kontekstual maksud
sebenarnya adalah "orang-orang yang tidak terpelajar" seperti
digunakan oleh Alkitab versi BIMK.
Salah
satu sifat khas anak-anak kecil, yang membuat mereka berbeda dari orang dewasa,
ialah kepolosan. Karena sifat mereka yang polos maka anak-anak tidak bisa
berbohong. Yesus menyukai keluguan dan kepolosan kanak-kanak oleh sebab Ia
menghargai ketulusan hati. Itulah sebabnya Yesus menegaskan, "Aku berkata
kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak
kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga...Ingatlah,
jangan menganggap rendah seorang dari anak-anak kecil ini. Karena Aku
berkata kepadamu: Ada malaikat mereka di surga yang selalu memandang wajah
Bapa-Ku yang di surga...Demikian juga Bapamu yang di surga tidak menghendaki
supaya seorang pun dari anak-anak ini hilang" (Mat. 18:3,
10, 14; huruf miring ditambahkan).
"Terdapat
kemurnian yang unik dalam diri anak-anak yang Yesus sering tonjolkan ketika
menggambarkan kerajaan-Nya. Bagaimanapun ketulusan, kerendahan hati,
kebergantungan, dan kemurnian mereka mencakup esensi dari kehidupan Kristiani.
Betapa kita semua harus mendambakan kebersahajaan dan kepercayaan seperti itu
dalam menghidupkan iman kita" [alinea pertama].
Perlindungan
anak. Melindungi anak-anak adalah kewajiban semua orang dewasa,
dan perlindungan itu bersifat komprehensif. Anak-anak tidak saja harus dilindungi
dari keadaan berbahaya yang dapat mengancam hidupnya atau mencelakakan dirinya,
tapi juga dilindungi hak-haknya sebagai anak. Perlindungan hak anak sudah
menjadi kepedulian dunia internasional, dan sebuah negara akan dianggap
terbelakang jika tidak turut merespon masalah ini. Sekarang ini kita memiliki
dua lembaga nasional yang menggeluti masalah perlindungan anak. Pertama adalah
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (disingkat KPAI) yang pembentukannya melalui
Keppres No. 77 Tahun 2003 berdasarkan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, sebuah lembaga yang dibiayai negara melalui APBN dan bertanggungjawab
kepada presiden; kedua adalah Komisi Nasional Perlindungan Anak (disingkat
Komnas PA) yang pembentukannya berdasarkan Surat Akta Notaris sebagai sebuah
LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), didirikan tahun 1988 dan dibiayai oleh para
donatur.
Gereja
MAHK juga menaruh perhatian terhadap isu perlindungan anak. Melalui lembaga
yang disebut Adventist Risk Management (ARM) telah disusun apa yang disebut
Rencana Perlindungan Anak yang bertujuan untuk menyediakan pelatihan dan
pemberdayaan para pemimpin jemaat demi menjadikan gereja sebagai tempat yang
aman bagi anak-anak serta melindungi anak-anak dari berbagai bentuk pelecehan.
Sebagaimana kita tahu, gereja kita menyediakan berbagai program untuk anak-anak
dan remaja di mana para relawan dari kalangan orang-orang dewasa terlibat
sebagai instruktur ataupun pembimbing, antara lain Pathfinder Club, Acara
Pembangunan Tabiat Anak (APTA), Pelayanan Anak-anak, di samping Sekolah Sabat
Anak-anak. Dalam rapat General Conference di Atlanta tahun 2010 lalu para
delegasi yang berkumpul dari segenap penjuru dunia telah menyetujui sebuah
keputusan untuk menambah satu kalimat khusus dalam Buku Peraturan Jemaat (d/h
Peraturan Sidang) yang mensyaratkan agar para guru dan pembina program-program
bagi anak-anak tersebut "harus memenuhi standar dan tuntutan gereja,
misalnya penelitian latar belakang atau sertifikasi." (Sumber: http://news.adventist.org/all-news/news/go/2012-02-21/safe-churches-a-priority-for-adventist-risk-management/).
"Dalam tindakan-tindakan kejahatan yang
dingin, mengerikan, dan sangat kejam atas anak-anak--khususnya selama
kegiatan-kegiatan yang disponsori gereja--dapat merusak kepercayaan seorang
anak terhadap gereja dan biasanya juga terhadap Tuhan dari gereja itu. Murka
seperti apa yang seharusnya secara adil menanti mereka yang melakukan
tindakan-tindakan itu serta orang-orang yang melindungi para pelakunya. Kristus
dan pekabaran-Nya membangkitkan kepercayaan dan keyakinan. Seberapa beranikah organisasi
manusia berkompromi dengan iman yang tulus seperti anak-anak itu oleh kurangnya
kewaspadaan?" [alinea terakhir].
Apa yang kita pelajari tentang
peringatan soal perlindungan anak-anak?
1. Keluguan kanak-kanak terkadang
muncul dalam celetukan-celetukan yang bagi orang dewasa terdengar menggelikan,
tapi kepolosan sebagai ciri alamiah anak-anak kecil itu tidak boleh dianggap
enteng. Allah meninggikan orang-orang yang berhati polos karena hal itu
menandakan kemurnian pikiran dan ketulusan hati.
2. Banyak orang dewasa yang
memanfaatkan atau mengambil keuntungan dari keluguan anak-anak di bawah umur,
bahkan sering sampai menjurus kepada tindak kejahatan yang serius pada
kanak-kanak. Setiap orang dewasa memikul tanggungjawab moral untuk melindungi
anak dari segala jenis pelecehan dan eksploitasi.
3. Perlindungan anak adalah bukti dari
masyarakat yang beradab, sebaliknya pelecehan anak adalah bukti dari
kebiadaban. Sementara negara dan gereja beserta organisasi dan lembaga
kemasyarakatan bertekad melindungi hak anak, Allah lebih peduli lagi pada
keselamatan jiwa anak-anak itu.
5. DISKRIMINASI TERHADAP ANAK-ANAK
(Membiarkan Anak-anak Kecil)
Jangan larang mereka.
Yesus
berada di dalam sebuah rumah di Yudea dan sedang menerangkan tentang masalah
perkawinan dan perceraian kepada murid-murid-Nya, yang tampaknya belum puas
dengan penjelasan Yesus sebelumnya kepada orang-orang Farisi, ketika
sekonyong-konyong sekelompok anak-anak yang masih kecil muncul di pintu ingin
bertemu dengan Dia. "Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus,
supaya Ia menjamah mereka; akan tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang
itu" (Mrk. 10:13). Kata Grika yang diterjemahkan dengan membawa dalam
ayat ini adalah προσφέρω, prospherō, sebuah
katakerja dengan pengertian yang luas dan bisa juga berarti mempersembahkan seperti
yang digunakan dalam Matius 2:11 dan 5:23-24. Jadi, tampaknya para orangtua
dari anak-anak kecil itu sudah menunggu waktu yang tepat untuk mengadakan
semacam acara baby dedication (penyerahan bayi) seperti yang
sering kita adakan di gereja.
Tetapi
murid-murid yang merasa diskusi mereka diinterupsi lalu mencegah sambil
marah-marah. Namun Yesus balik memarahi murid-murid-Nya, "Biarkan
anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab
orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah. Aku berkata
kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan
Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya"(Mrk.
10:14-15; huruf miring ditambahkan). Di sini Yesus bukan saja menyambut
anak-anak karena mereka masih kecil dan lucu-lucu, tetapi Dia juga menghargai
sikap "seperti seorang anak kecil" dalam menyambut surga atau
keselamatan.
"Bayangkanlah diabaikan oleh
orang-orang dewasa yang galak hanya untuk dipeluk oleh Yesus yang
berkepribadian penyayang dan penuh perhatian. Tidak heran kalau anak-anak kecil
itu memeluk Dia. Dalam cerita ini kita telah diberikan contoh yang tak ternilai
perihal bagaimana anak-anak kecil harus diperlakukan oleh mereka yang mengaku
sebagai pelaksana pemuridan" [alinea kedua].
Keberanian anak kecil. Menarik
bahwa ketika anak-anak kecil itu dimarahi oleh murid-murid Yesus dengan cara
yang kasar mereka tidak langsung berhamburan keluar sambil menangis ketakutan.
Mungkin ada di antara mereka yang sudah siap untuk kabur namun urung tatkala
mendengar suara Yesus dan perkataan-Nya yang bersifat membela serta melindungi
hak mereka, atau juga karena kerinduan anak-anak kecil itu pada Yesus cukup
besar untuk mengalahkan rasa takut mereka. Anak-anak kecil itu ingin tahu
bagaimana rasanya dipeluk Yesus dan mereka juga rindu untuk memeluk Guru yang
baik hati itu.
"Pada anak-anak yang dibawa untuk
berhubungan dengan Dia, Yesus melihat pria dan wanita yang harus menjadi
pewaris kasih karunia-Nya dan rakyat dari kerajaan-Nya, dan sebagian dari
mereka akan menjadi syuhada karena nama-Nya. Ia tahu bahwa anak-anak ini akan
mendengarkan Dia dan jauh lebih siap untuk menerima Dia sebagai Penebus mereka
ketimbang orang-orang dewasa yang kebanyakan berpengalaman duniawi dan berhati
keras" [alinea terakhir: dua kalimat pertama].
Apa yang kita pelajari tentang
pembelaan Kristus terhadap anak-anak kecil?
1. Yesus membenci diskriminasi,
termasuk terhadap anak-anak kecil. Ia ingin agar anak-anak juga mendapat
pelayanan seperti halnya orang-orang dewasa. Dalam hal keselamatan jiwa,
orang-orang dewasa tidak lebih penting dari anak-anak yang masih kecil.
2. Pernahkah anda memperhatikan
anak-anak kecil mendapat hadiah? Mereka sangat bergairah dan gembira. Sikap
seperti inilah yang Yesus inginkan dari manusia ketika mereka menerima anugerah
keselamatan. Sayangnya, tidak semua orang yang kelihatannya bersemangat untuk
masuk surga.
3. Ketika Yesus mempersilakan mereka
masuk, sambil menegur keras murid-murid yang berusaha menghalau mereka,
anak-anak kecil itu langsung bergegas ke pangkuan Yesus. Anak-anak mungkin
lemah secara fisik karena masih kecil, tetapi tekad mereka seringkali lebih
kuat dari orang dewasa.
PENUTUP
Injil dan perkembangan kognitif anak.
Salah seorang psikolog yang gagasan-gagasannya
telah mempengaruhi dunia psikologi moderen adalah Jean Piaget (1896-1980),
seorang pakar psikologi perkembangan dan filsuf asal Swiss yang terkenal dengan
teorinya tentang Tahap Perkembangan Kognitif yang disusun berdasarkan rangkaian
penelitian epistemologis yang dilakukannya, sebuah kajian ilmiah yang kini
lebih dikenal sebagai "epistemologi genetik." Menurut teorinya, ada
empat tahap perkembangan kognitif anak:
1. Tahap sensor-motorik (usia
lahir sampai 2 tahun) di mana pengetahuan sang bayi tentang dunia hanya
terbatas pada persepsi sensor dan aktivitas motoriknya sendiri. Pada tahap ini
sang bayi memperoleh pengetahuan melalui pengalaman-pengalaman sensorik dengan
mempermainkan benda-benda.
2. Tahap pra-operasional (usia 2
hingga 6 tahun) di mana seorang anak belajar menggunakan bahasa, tapi belum
mampu memahami logika yang konkret dan belum sanggup menangkap pandangan orang
lain. Pada tahap ini anak-anak belajar melalui permainan pura-pura.
3. Tahap operasional konkret (usia
7 hingga 11 tahun) di mana anak mulai memahami penggunaan pikiran. Biasanya
seorang anak sudah mulai berpikir logis tentang peristiwa-peristiwa yang
konkret, tapi masih sukar untuk mengerti konsep-konsep abstrak atau hipotetik
(pengandaian). Pada tahap ini kemampuan logika anak masih sangat kaku.
4. Tahap operasional formal (usia
12 tahun ke atas) di mana anak yang sudah remaja itu mulai mengembangkan
kemampuan berpikir tentang konsep-konsep yang abstrak, dan mulai menumbuhkan
kecakapan-kecakapan seperti berpikir logis, menggunakan pertimbangan deduktif,
dan mengadakan perencanaan yang sistematis.
Berdasarkan pembagian tahap-tahap
perkembangan kognitif (kemampuan berpikir atau pengertian) tersebut di atas
kita mungkin dapat menyusun pendekatan-pendekatan seperti apa yang paling
efektif untuk mengajar tentang injil kepada anak-anak sesuai dengan usia
mereka.
"Anak-anak kecil dapat menjadi
orang-orang Kristen, mendapat pengalaman sesuai dengan umur mereka. Mereka
perlu dididik dalam perkara-perkara rohani, dan orangtua harus memberi mereka
setiap kesempatan agar mereka bisa membentuk tabiat yang serupa dengan tabiat
Kristus...Para ibu dan ayah harus memandang anak-anak mereka sebagai anggota
keluarga Tuhan yang lebih muda, menyerahkan mereka untuk dididik bagi
surga" [alinea kedua: dua kalimat terakhir; alinea ketiga: kalimat
pertama].
"Semoga anak-anak lelaki kita
seperti tanam-tanaman yang tumbuh menjadi besar pada waktu mudanya; dan
anak-anak perempuan kita seperti tiang-tiang penjuru, yang dipahat untuk
bangunan istana!" (Mzm. 144:12).
DAFTAR PUSTAKA:1. Dan Solis, PEMURIDAN -Pedoman Pendalaman Alkitab SSD, Indonesia Publishing House, Januari - Maret 2014.
2. Loddy Lintong, California, U.S.A-Face Book.