"MEMURIDKAN
ORANG BIASA"
PENDAHULUAN
Jangan
memandang muka. Banyak orang senang berada dekat dengan orang
yang dianggap penting. Sebagaimana kita tahu, ukuran sekuler untuk orang
"penting" adalah dari kalangan pejabat, berpangkat, terkenal, kaya,
dan sebagainya. Sangat mudah untuk mengenali orang-orang penting menurut ukuran
duniawi seperti itu. Bisa dibayangkan bagaimana sambutan jemaat kalau satu
orang penting sekonyong-konyong muncul di gereja kita dalam acara kebaktian.
Disediakan tempat duduk khusus di deretan paling depan, didampingi, diajak
ngobrol, dan sebagainya. Wajar.
Kalau dikunjungi
oleh orang-orang penting saja sudah begitu membanggakan, apalagi kalau di
antara jemaat kita sendiri ada anggota-anggota dari kalangan orang penting.
Karena itu kita sangat senang jika berhasil menarik jiwa dari "golongan
atas," seolah-olah merasa jiwa-jiwa seperti itu lebih berkualitas
dibanding jiwa-jiwa dari kalangan orang kebanyakan. Saya teringat seorang
pendeta yang secara terbuka mengungkapkan kebanggaannya melihat halaman gereja
yang bertebaran dengan mobil-mobil mewah milik para anggota jemaat. Untuk
ukuran di tanah air pada tahun 1980-an, ketika banyak orang masih mengandalkan
kendaraan umum seperti angkutan kota (angkot) sebagai moda transportasi
keluarga, banyaknya mobil pribadi parkir di halaman menunjukkan bahwa gereja
itu "berkelas."
"Tidak
demikian dengan Yesus yang melihat kesia-siaan dan kehampaan dari kebesaran dan
kehormatan duniawi. Bahkan, dalam banyak kasus, orang-orang yang sangat
sukses--seperti kaum Farisi yang kedudukannya menyenangkan, golongan Saduki
yang kaya, dan bangsawan Romawi--itulah yang paling menyusahkan Dia.
Sebaliknya, orang-orang 'biasa'--para tukang kayu, nelayan, petani, ibu
rumahtangga, gembala, serdadu, dan hamba--yang pada umumnya mengerumuni dan
menerima Dia" [alinea kedua].
Pemuridan yang
diajarkan Yesus Kristus tidak mengenal diskriminasi dalam bentuk dan
manifestasi apapun, karena dalam pemandangan Allah semua manusia adalah sederajat
dan sama-sama adalah calon warga surga, "sebab Allah tidak memandang
muka" (Gal. 2:6). Tetapi mata manusiawi kita terlalu gampang untuk menjadi
silau melihat jiwa-jiwa yang kelihatannya memiliki atribut-atribut kesuksesan
duniawi, akibatnya kita mudah terjebak ke dalam sikap memandang muka.
"Ingatlah, bahwa Tuhan mereka dan Tuhan kamu ada di surga dan Ia tidak
memandang muka" (Ef. 6:9).
1. BERTUMBUH DALAM
KESEDERHANAAN (Permulaan yang Rendah Hati)
Hidup
sebagai orang miskin. Pernahkah
anda bertanya-tanya, apa sebabnya Allah menghendaki Yesus Kristus lahir dari
orangtua yang miskin seperti Yusuf dan Maria, bukan dari keluarga kaya atau
bangsawan supaya menyediakan latar belakang yang lebih berpengaruh di mata
masyarakat? Tentu saja Yesus dilahirkan dalam keluarga sederhana bukan karena
sasaran utama dari missi keselamatan-Nya adalah orang-orang miskin dan rakyat
jelata saja, sehingga dengan menjadi orang miskin Yesus akan lebih mudah
menjangkau dan diterima di kalangan orang-orang biasa. Injil keselamatan
Kristus mengandung kuasa ilahi dan tidak membutuhkan penguatan bersifat duniawi
apapun agar diterima oleh manusia.
Fakta bahwa orangtua
Yesus hanya sanggup menyediakan "sepasang burung tekukur dan dua ekor anak
merpati" (Luk. 2:24) sebagai persembahan penyerahan anak atas kelahiran
Yesus, suatu bentuk persembahan paling murah yang ditentukan oleh Kitabsuci
orang Ibrani (Im. 12:8), menunjukkan kemiskinan keluarga Yesus. Tampaknya
hadiah-hadiah berharga yang dulu dipersembahkan oleh orang-orang majus dari
Timur (Mat. 2:11) sudah habis untuk bekal hidup ketika mereka harus melarikan
diri ke Mesir karena Herodes hendak membunuh bayi Yesus (Mat. 2:13-15). Seperti
yang Yesus katakan kepada seorang ahli Taurat yang ingin mengikuti Yesus ke mana
saja, bahwa bantal untuk tidur pun Dia tidak punya (Mat. 8:19-20).
"Tekukur dan
merpati dapat menggantikan karena keadaan yang sederhana. Jadi sejak awal--dari
kelahiran-Nya di palungan sampai persembahan yang diberikan oleh
orangtua-Nya--Yesus digambarkan sebagai sudah menanggung kemanusiaan-Nya dalam
keluarga orang 'biasa' dan miskin" [alinea kedua:dua kalimat pertama].
Kemiskinan yang
membawa hikmah.
Sewaktu memuji
kedermawanan jemaat di Korintus yang dengan murah hati membawa persembahan bagi
pekerjaan injil, rasul Paulus menulis: "Sebab kalian mengetahui betul
bahwa kita sangat dikasihi oleh Yesus Kristus Tuhan kita. Ia kaya, tetapi
Ia membuat diri-Nya menjadi miskin untuk kepentinganmu, supaya dengan
kemiskinan-Nya itu, kalian menjadi kaya" (2Kor. 8:9, BIMK; huruf
miring ditambahkan). Seperti pernah saya katakan, penjelmaan Yesus bersifat
totalitas, termasuk hidup sebagai orang miskin di atas dunia ini padahal Ia
datang dari istana surga dan menguasai seluruh alam semesta.
Sebagaimana Kristus membungkus
keilahian-Nya dengan kemanusiaan, demikianlah Ia membungkus kekayaan-Nya dengan
kemiskinan. Sebagaimana dengan menjadi seperti manusia Yesus tidak kehilangan
keilahian-Nya, dengan menjadi miskin Ia tidak kehilangan kekayaan-Nya. Tidak
seperti orang-orang kaya yang sangat takut kalau menjadi miskin, Yesus rela
hidup di dunia ini sebagai orang miskin tanpa merasa takut akan kehilangan
kekayaan-Nya.
Pena inspirasi menulis:
"Kristus melewatkan rumah-rumah orang kaya, istana-istana bangsawan,
kedudukan-kedudukan terpelajar yang masyur, dan menjadikan Nazaret yang gelap
dan hina sebagai rumah-Nya. Kehidupan-Nya, dari permulaan sampai akhir, adalah
sebuah kehidupan kerendahan hati dan sederhana. Kemiskinan menjadi
kudus oleh hidup-Nya yang miskin. Ia tidak akan mengenakan kemuliaan
sikap yang bakal menghalangi pria dan wanita, serendah apapun, untuk datang ke
dalam hadirat-Nya dan mendengar pengajaran-Nya" (Ellen G. White, Signs
of the Times, 7 Juni 1905; huruf tebal ditambahkan).
Apa yang kita
pelajari tentang kehidupan Yesus yang diawali dalam kemiskinan?
1. Sekiranya Yesus
dalam penjelamaan-Nya telah dilahirkan sebagai orang kaya atau dalam keluarga
bangsawan, rakyat jelata dan orang-orang biasa akan sulit mendekati-Nya.
Mungkin Yesus hanya akan berkhotbah di ruang utama kaabah Yerusalem, di istana,
atau di rumah-rumah orang kaya yang tertutup untuk umum.
2. Hidup Kristus
yang miskin justeru membawa hikmah bagi semua manusia, khususnya masyarakat
kalangan bawah yang lebih memerlukan pelayanan-Nya. Yesus bahkan menjadi lebih
peka terhadap orang-orang miskin yang tulus seperti ditunjukkan-Nya terhadap
persembahan seorang perempuan janda (Mrk. 12:41-44).
3. Yesus terbiasa
dengan lingkungan miskin seperti di Betania (dalam bahasa Aram berarti
"gubuk derita"), di rumah penderita kusta bernama Simon (Mrk. 14:3),
tempat di mana Dia sering beristirahat dan mengasingkan diri (Mat. 21:17; Mrk.
11:11). Keakraban Yesus dengan kemiskinan membuat kemiskinan itu hal yang
sakral.
2. YESUS MENGUBAH SITUASI
(Mengubah yang "Biasa")
Merasa seperti
orang miskin. Seseorang pernah
membuat kategori manusia berdasarkan status sosial-ekonomi seperti ini: Orang
yang miskin dan jelata setiap hari bertanya, Besok mau makan apa? Orang yang
berkecukupan dan punya jabatan setiap hari bertanya, Besok mau makan di mana?
Orang yang kaya dan berkedudukan tinggi setiap hari bertanya, Besok mau makan
dengan siapa? Orang yang kaya raya dan berkuasa setiap hari bertanya, Besok mau
makan siapa? Tentu saja penggolongan tersebut bersifat satiris (menyindir)
meski berdasarkan pengamatan empiris (pengalaman) seringkali ada benarnya.
Sebagai manusia
seutuhnya yang memiliki cipta, rasa dan karsa (kesanggupan akal, perasaan, dan
kemauan; kerap disebut Tridaya) setiap orang mempunyai hasrat-hasrat alami yang
umum dan sama. Namun kebersamaan hasrat itu tampaknya lebih terbuka di kalangan
"masyarakat bawah" yang miskin dan sederhana cara berpikirnya
ketimbang di antara "masyarakat atas" yang kaya dan berpikiran
kompleks. Masyarakat dari strata sosial bawah ini--dalam sosiologi disebut kaum
proletar--lazimnya memiliki ikatan emosional yang kuat, berbeda dengan
masyarakat dari strata sosial atas--sering disebut kaum borjuis--yang biasanya
lebih tertutup dan berpikiran individualistik karena mampu mandiri.
"Orang-orang
'biasa' mempunyai kesamaan keinginan-keinginan jasmani, emosi, dan sosial yang
alamiah. Mereka menginginkan makanan jasmani, pengakuan pribadi, dan
persahabatan. Yesus mengerti ciri-ciri sifat ini dan menempatkan diri-Nya dalam
situasi-situasi sosial yang menyediakan peluang untuk menjangkau orang-orang
melalui keinginan-keinginan bersama ini" [alinea pertama].
Kepedulian Yesus
terhadap kekurangan. Pesta
kawin di Kana, Galilea di mana Yesus dan murid-murid hadir dan mengadakan
mujizat-Nya yang pertama itu tampaknya bukan sebuah pesta kalangan miskin,
terbukti dari banyaknya undangan yang datang termasuk tamu-tamu dari kampung
lain sehingga persediaan minuman anggur habis. Mungkin itu kesalahan
perhitungan pihak katering, atau karena keluarga pengantin menyebarkan undangan
lebih banyak dari hidangan yang disediakan. Pada zaman itu minuman anggur
merupakan sajian utama dari sebuah pesta kawin, maka kekurangan persediaan
minuman anggur adalah sebuah social faux pas (baca: fau pa),
yaitu "musibah sosial" yang sangat memalukan.
Perlu dicatat bahwa
Yesus secara "terpaksa" mengadakan mujizat perdana untuk mengubah air
biasa menjadi minuman anggur, yang lezat pula. "Saat-Ku belum tiba,"
kata Yesus (Yoh. 2:4). Meskipun waktu-Nya belum sampai untuk melakukan mujizat,
Yesus tidak terlalu kaku terhadap timeline dan tidak peduli
dengan keadaan yang mendesak. Karena rasa belas kasihan-Nya terhadap keluarga
pengantin yang akan memikul aib sepanjang hidup kalau sampai tamu-tamu tidak
kebagian air anggur untuk bisa minum sampai puas, maka Yesus "melanggar
jadwal" dan mengadakan mujizat itu. Di sini kita melihat kepedulian Yesus
yang tinggi terhadap kekurangan dan kebutuhan manusia yang mendesak. Bagi para
tamu di pesta kawin ini minuman anggur hanyalah untuk kepuasan selera, tetapi
bagi keluarga pengantin suguhan minuman itu penting sebab dapat mengakibatkan
masalah psikologis berkepanjangan jika tidak tertanggulangi.
Sebagaimana Yesus sudah
mengubah air biasa menjadi minuman anggur yang paling lezat, demikianlah Yesus
telah dan akan selalu mengubah "orang-orang biasa" di mata dunia
menjadi orang-orang yang luar biasa dalam pemandangan surga. "Yesus sangat
sering mencari orang-orang yang dianggap orang biasa karena kekurangan
sumberdaya pribadi, mereka disiapkan untuk bergantung sepenuhnya pada Allah
demi keberhasilan mereka...Namun ingat, mereka adalah orang-orang biasa--para
petani, nelayan, tukang kayu, gembala, tukang keramik, ibu rumahtangga,
hamba--yang telah diubah menjadi saksi-saksi yang luar biasa bagi Kristus"
[alinea terakhir: kalimat pertama dan kalimat terakhir].
Apa yang kita
pelajari tentang Yesus yang mengubah orang biasa menjadi luar biasa?
1. Kemiskinan
hampir selalu diidentikkan dengan kebodohan, orang-orang "biasa" yang
lemah dan karena ketidakberdayaan mereka sering dimanfaatkan bahkan
"dimangsa" oleh orang-orang yang nasibnya lebih beruntung. Tetapi
kepada orang-orang biasa itulah Yesus menunjukkan kepedulian-Nya.
2. Allah tidak
menilai manusia berdasarkan kekayaan maupun kepintaran mereka, tetapi Tuhan
menilai manusia menurut ketulusan hati mereka. Allah lebih peduli kepada
orang-orang biasa yang berhati tulus dan menunjukkan kebaikan-Nya kepada
mereka.
3. Sebagaimana
Tuhan memperlakukan umat-Nya dengan tidak memandang muka, umat-Nya pun harus
memperlakukan sesamanya tanpa memandang muka. "Tetapi, jikalau kamu
memandang muka, kamu berbuat dosa, dan oleh hukum itu menjadi nyata bahwa kamu
melakukan pelanggaran" (Yak. 2:9).
3. YESUS MEMILIH
ORANG BIASA (Panggilan Kepada Nelayan yang Penuh Kekurangan)
Berubah oleh
pengalaman rohani. Petrus
adalah murid Yesus yang temperamental dan spontanitas, namun dia berhati tulus
dan terbuka. Petrus yang nama aslinya Simon adalah saudara dari Andreas,
seorang yang tadinya adalah murid dari Yohanes Pembaptis tapi kemudian menjadi
pengikut Kristus ketika Yesus memanggil kedua bersaudara ini sewaktu mereka
sedang menjala ikan di danau Galilea (Mat. 4:18-20). Belakangan Yesus mengubah
nama Simon menjadi Kefas, sebuah nama yang dalam bahasa Aram artinya "batu
karang." Dalam bahasa Grika, kata untuk "batu" atau "batu
karang" ialah Πέτρος, Petros. Satu-satunya orang yang
bernama Petrus dalam Alkitab adalah murid terdekat Yesus ini.
"Dalam Perjanjian
Baru, Petrus menonjol sebagai seorang yang paling berpengaruh di antara semua
murid-murid. Bahkan, pada akhirnya dia menjadi orang yang paling berpengaruh
sepanjang sejarah manusia. Ini berbicara perihal mengubah 'orang biasa' menjadi
orang yang luar biasa!" [alinea pertama].
Mengapa Petrus yang
hanya seorang nelayan biasa bisa berubah menjadi seorang yang paling
berpengaruh? Bukan karena Petrus adalah seorang yang berpembawaan karismatik
dan berjiwa pemimpin, melainkan karena dia telah berubah melalui pengalaman
rohaninya bersama Yesus, di antaranya melalui pelajaran berharga ketika sedang
menjala ikan di danau Genesaret. Malam itu tak satupun ikan yang berhasil
ditangkap meski mereka sudah bekerja semalaman, dan berdasarkan pengalaman
berarti malam itu bukan waktu yang tepat untuk mencari ikan. Mereka sudah
kembali ke tepi danau dan bersiap hendak pulang ketika Yesus muncul dan
menyuruh mereka mendorong perahu kembali ke tengah danau. Meskipun sempat
membantah tapi akhirnya dia turuti juga kata Gurunya itu, dan kita tahu hasilnya
berlimpah secara mencengangkan.
Mungkin dalam hatinya
Petrus menggerutu, saya sudah lelah melaut sepanjang malam, dan jala-jalanya
sekarang sudah dicuci dan dibereskan, apa gunanya berlayar ke tengah danau lagi
yang sudah pasti tidak akan ada hasilnya? Dalam soal menangkap ikan, Yesus yang
berlatar belakang anak tukang kayu ini tahu apa dibandingkan dengan saya yang
sejak muda berpengalaman sebagai nelayan? Barangkali dia menuruti kata Yesus
hanya untuk menunjukkan bahwa usaha ini akan sia-sia (Luk. 5:5). Tetapi apa
yang terjadi membuktikan bahwa Yesus sungguh Anak Allah, bukan sekadar anak
tukang kayu yang miskin. Dalam ketakjubannya, Petrus akhirnya berkata kepada
Yesus: "Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini seorang berdosa"
(ay. 8).
Dipanggil dan
diubahkan. Selain sebagai
mantan nelayan, kita tidak tahu apa-apa lagi mengenai latar belakang sosial
Petrus. Namun latar belakang tidak penting bilamana seseorang menerima
panggilan Yesus untuk mengikut Dia, sebab Yesus akan mengubah seseorang yang dipanggil
untuk disiapkan dan diperlengkapi bagi pekerjaan-Nya. Ketika Yesus mengumpulkan
murid-murid-Nya dan meminta informasi dari mereka tentang penilaian masyarakat
tentang siapakah diri-Nya, semua menyatakan sesuai dengan apa yang mereka
dengar. Namun tatkala Yesus meminta pendapat dari murid-murid itu sendiri
mengenai diri-Nya, sementara yang lain masih dalam keragu-raguan, Petrus
langsung menjawab dengan tandas: "Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang
hidup!" (Mat. 16:16). Tetapi bukan ketegasan Petrus yang Yesus puji,
melainkan keterbukaan hatinya yang mau mendengar bisikan Roh Allah. Kata Yesus
kepada Petrus, "Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia
yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di surga" (ay. 17).
"Tidak disangsikan
bahwa Yesus menghabiskan banyak waktu dengan Petrus, dan Petrus memiliki banyak
pengalaman yang dahsyat dengan Dia. Meskipun hanya seorang nelayan biasa dengan
banyak kesalahan, melalui waktunya bersama Yesus, Petrus diubahkan secara
radikal--bahkan sesudah berbuat beberapa kesalahan yang memilukan, termasuk
menyangkal Yesus tiga kali persis seperti yang Yesus katakan
sebelumnya" [alinea kedua].
Apa yang kita
pelajari tentang Petrus dan perubahannya?
1. Seperti Petrus,
banyak orang mungkin dilahirkan dengan ciri-ciri tabiat seorang pemimpin.
Tegas, berani, berpendirian, karismatik, dan tanggap. Tetapi dalam pelayanan
pekerjaan Tuhan semua sifat-sifat itu hanya berguna sebagai pendukung, pemimpin
rohani adalah seorang yang telah diubahkan oleh Tuhan.
2. Perubahan dalam
diri Petrus bukan hasil pendidikan seminari, tapi hasil pengalaman rohani yang
dialami dari hari ke hari bersama Yesus. Allah memanggil orang-orang biasa
untuk diubahkan melalui proses pembelajaran dalam pelatihan iman dan kerendahan
hati.
3. Yesus adalah
Guru dan Teladan umat-Nya sepanjang zaman. Yesus sudah menjadi Guru dan Teladan
bagi murid-murid-Nya pada zaman dulu secara pribadi, Dia juga tetap menjadi
Guru dan Teladan anda dan saya sebagai murid-murid pada masa kini. Sebagaimana
Yesus sudah mengubah Petrus dkk, Dia juga ingin mengubah kita.
4. ANDA DAN SAYA
DI MATA TUHAN (Evaluasi Surgawi)
Tak ada
perbedaan. Dalam bukunya
berjudul De l'égalité des races humaines (Tentang kesetaraan ras
manusia), terbit tahun 1885, Joseph Anténor Firmin (1850-1911),
seorang politikus, pakar hukum, dan antropolog kelahiran Haiti, antara lain
menulis: "Semua manusia dianugerahi dengan keunggulan-keunggulan yang sama
dan kekurangan-kekurangan yang sama, tanpa perbedaan warna kulit atau bentuk
anatomis. Semua ras adalah sederajat." (hal. 450). Akibat terbitnya buku
itu cendekiawan berkulit hitam ini sempat dikucilkan karena pada waktu itu
pendapatnya dianggap terlalu radikal. Belakangan, sejalan dengan reformasi
kemanusiaan yang ditandai dengan penghapusan perbudakan dan gerakan persamaan
hak kulit berwarna di AS dan Eropa, publik mengakui kebenaran pandangannya.
Alkitab mencatat bahwa
ketika Allah menciptakan manusia satu-satunya perbedaan adalah soal jender atau
jenis kelamin, tetapi secara umum nenek moyang pertama manusia itu sama-sama
menyandang rupa Allah. "Maka Allah menciptakan manusia itu menurut
gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan
diciptakan-Nya mereka" (Kej. 1:27). Empat ribu tahun kemudian, di bawah
tuntunan Roh Allah, rasul Petrus mengeluarkan pernyataan ini:
"Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang.
Setiap orang dari bangsa mana pun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan
kebenaran berkenan kepada-Nya. Itulah firman yang Ia suruh sampaikan kepada
orang-orang Israel, yaitu firman yang memberitakan damai sejahtera oleh Yesus
Kristus, yang adalah Tuhan dari semua orang" (Kis. 10:34-36; huruf
miring ditambahkan).
"Tidak
mengherankan, Yesus menjangkau massa dengan ilustrasi-ilustrasi biasa dan
pembicaraan yang mudah. Tak ada dalam sikap-Nya yang menunjukkan bahwa ada
seseorang yang dikecualikan dari perhatian-Nya. Para penggalang murid moderen
juga harus berhati-hati agar tidak memberi kesan bahwa mereka memperlakukan
sebagian orang lebih mulia daripada yang mereka lakukan pada orang-orang lain
dalam hal jangkauan keluar" [alinea kedua: tiga kalimat pertama].
Yesus mati bagi
semua orang. Allah yang pada
mulanya telah menciptakan manusia sama dan sederajat, Allah yang sama itulah
yang mempedulikan semua manusia dengan perhatian yang sama. Di mata Allah
manusia yang lebih berharga dari burung pipit itu kehidupannya dipelihara (Luk.
12:6-7), tetapi di mata Allah yang sama itu juga semua manusia yang berbuat
dosa dan tidak bertobat akan dibinasakan (Luk. 13:1-5). Allah yang memelihara
kehidupan burung-burung dan mendandani bungka bakung serta rumput di padang
(Mat. 6:25-30), namun Allah itu juga tidak menyayangkan malaikat-malaikat
sekalipun yang berbuat dosa dan melemparkan mereka ke neraka (2Ptr. 2:4).
Yesus menyerahkan
diri-Nya dan mati sebagai Penebus untuk semua manusia tanpa peduli latar
belakang, ras, dan status sosial mereka (1Tim. 4:10; 1Tim. 2:6). "Salib
membuktikan, dalam cara yang tidak bisa kita coba pahami, 'nilai yang tak
terhingga' (meminjam frase yang Ellen G. White banyak kali gunakan) dari setiap
manusia, terlepas dari statusnya dalam kehidupan--sebuah status yang seringkali
tidak lebih dari rekaan manusia berdasarkan konsep dan ciri yang tak berarti di
surga, atau bahkan bertentangan dengan prinsip-prinsip surga itu sendiri"
[alinea terakhir: kalimat terakhir].
Pena inspirasi menulis:
"Yesus mempedulikan setiap orang seakan-akan tidak ada orang lain di muka
bumi ini. Sebagai Tuhan, Ia menggunakan kuasa yang besar demi kita, sementara
sebagai Saudara Sulung Ia merasakan segala dukacita kita. Pangeran surga itu
tidak menjauhkan diri-Nya dari manusia yang hina dan berdosa. Kita tidak
mempunyai seorang imam besar yang terlalu besar dan terlalu ditinggikan
sehingga Ia tidak dapat memperhatikan kita atau bersimpati dengan kita,
melainkan seorang yang dalam segala hal digoda sama seperti kita, namun tanpa
dosa" (Ellen G. White, Testimonies for the Church, jld. 5, hlm.
346-347).
Apa yang kita
pelajari tentang penilaian surga terhadap setiap manusia?
1. Pada mulanya
Allah menciptakan manusia sederajat, dalam keserupaan dan kesempurnaan bentuk,
tetapi dosa membuat manusia jadi berbeda-beda seperti sekarang. Sekalipun
keadaan manusia beraneka ragam, Allah tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan
keadaan jasmaniah mereka.
2. Yesus datang ke
dunia ini untuk mati sebagai Penebus bagi semua manusia, karena itu Ia
menghendaki injil keselamatan itu juga menjangkau semua orang agar seluruhnya mendapat
kesempatan yang sama untuk bertobat dan selamat.
3. Allah tidak
menilai manusia berdasarkan penampilan lahiriah seseorang, tetapi berdasarkan
kesetiaan dan ketulusan hati. "Bukan yang dilihat manusia yang
dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat
hati" (1Sam. 16:7).
5. KESETARAAN
MANUSIA (Sebuah Masyarakat Tanpa Kelas)
Dipersatukan
oleh Injil Kristus. Dalam
Kekristenan dikenal apa yang disebut "Egaliterianisme Kristen" atau
paham kesetaraan alkitabiah (biblical equality), sebuah doktrin yang
mengajarkan bahwa manusia diciptakan sama dan sederajat dalam pemandangan
Tuhan. ("Egaliter" adalah kata serapan dari bahasa Prancis, égal, artinya
"sama" atau "sederajat.") Kesetaraan di sini meliputi semua
aspek, termasuk jender dan ras maupun kelas sosial, tetapi terutama kesetaraan
dalam hal tanggungjawab untuk menggunakan setiap talenta dan karunia Tuhan demi
kemuliaan Allah maupun dalam hal pelayanan bagi semua manusia tanpa pilih
buluh. Salah satu dasar alkitabiah dari doktrin ini berpangkal pada ajaran
Rasul Paulus dalam Galatia 3:26-28. Paham lainnya adalah
"Komplementarianisme" yang mengajarkan bahwa sementara kita sebagai
satu umat adalah sama dalam pemandangan Tuhan, masing-masing orang berbeda
dalam hal talenta dan karunia sehingga dengan demikian memiliki tanggung jawab
dan peran yang berbeda pula, namun semuanya saling melengkapi. Pandangan ini
berdasarkan pada ajaran Rasul Paulus dalam 1Korintus 12:4-12.
Perbedaan-perbedaan
acapkali menghasilkan berbagai prasangka di antara manusia, termasuk di
kalangan umat percaya sekalipun. Perbedaan ras dan budaya sering menimbulkan
sikap keunggulan, perbedaan tingkat sosial dan ekonomi kerap melahirkan rasa
curiga, perbedaan tingkat pendidikan dan kecerdasan terkadang mengakibatkan
salah pengertian, perbedaan jender banyak kali menumbuhkan cara berpikir yang
dikotomis, dan sebagainya. Tetapi di dalam sifat Kristus kita dipersatukan dan
tidak mengenal perbedaan. Seperti kata rasul Paulus, "Kalian semuanya sudah
dibaptis atas nama Kristus, jadi kalian sudah menerima pada diri kalian
sifat-sifat Kristus sendiri. Dalam hal ini tidak lagi diadakan perbedaan antara
orang Yahudi dan orang bukan Yahudi, antara hamba dan orang bebas, antara
laki-laki dan perempuan. Saudara semuanya satu karena Kristus Yesus" (Gal.
3:27-28, BIMK).
"Mungkin ciri yang
secara sosial paling menarik dari Kekristenan primitif adalah tidak adanya
perbedaan kelas. Tembok-tembok pemisah sudah diruntuhkan di bawah kepentingan
injil. Orang biasa menang melalui Kristus. Kristus mengubah orang biasa menjadi
orang yang luar biasa...Pada kenyataannya, masyarakat Kristen telah menjadi
sebuah masyarakat tanpa kelas" [alinea pertama: empat
kalimat pertama dan kalimat terakhir].
Universalitas,
bukan universalisme. Berkaitan
dengan Kekristenan kita membedakan antara "universalitas" dengan
"universalisme." Universalisme Kristen adalah pandangan yang
mengajarkan bahwa semua orang pasti selamat karena Allah yang maha kasih itu
tidak akan tega membinasakan manusia, karena Yesus sudah mati di kayu salib
untuk menebus dosa semua manusia, sebuah doktrin yang tidak berdasarkan
pengajaran Alkitab yang seutuhnya. Sedangkan universalitas adalah suatu keadaan
yang bersifat kesemestaan, atau kehadiran di mana-mana. Jadi, bilamana kita
berbicara tentang "universalitas Kristen" itu berarti sebuah usaha
untuk menghadirkan Kekristenan di mana-mana di seluruh muka bumi ini, yaitu
program penginjilan semesta seperti yang kita telah dan sedang jalankan selama
ini sebagai implementasi dari perintah Yesus dalam Matius 28:19-20 dan Markus
16:15-16.
Berdasarkan pandangan
Kristen bahwa semua manusia adalah sama di hadapan Allah, dan bahwa setiap
orang berhak mendapat kesempatan untuk mengenal Yesus Kristus dan diselamatkan
oleh iman, penginjilan semesta harus menjadi kepedulian setiap orang Kristen.
Injil keselamatan harus dibagikan secara merata, dikumandangkan di segala
tempat, dan menjangkau setiap orang tanpa membeda-bedakan kelas dan latar
belakangnya.
Pena inspirasi menulis:
"Tidak ada perbedaan atas dasar kebangsaan, ras, atau kasta yang diakui
oleh Allah. Ia adalah Pencipta seluruh umat manusia. Semua orang adalah satu
keluarga oleh penciptaan, dan semua adalah satu melalui penebusan. Kristus
sudah datang untuk menghancurkan tiap dinding pemisah untuk membuka lebar
setiap bagian bait suci supaya setiap jiwa bisa memperoleh jalan masuk yang
bebas kepada Allah. Kasih-Nya begitu luas, begitu dalam, dan begitu penuh yang
menembus ke mana-mana" (Ellen G. White, Christ's Object Lessons,
hlm. 386).
Apa yang kita
pelajari tentang Kekristenan dan doktrin masyarakat tanpa kelas?
1. Alkitab
mengajarkan bahwa semua manusia adalah sama dan sederajat dalam pemandangan
Tuhan, itulah sebabnya Kekristenan tidak mengenal atau mempraktikkan pembedaan
manusia. Semangat kesetaraan ini harus kita praktikkan di dalam gereja lebih
dulu, baru kita dapat mempraktikkannya di luar gereja.
2. Allah tidak
mengenal perbedaan manusia, tetapi Ia menandai perbedaan kepribadian dan
keunikan manusia. Sebagai orang Kristen kita mendukung kesederajatan manusia di
mata Tuhan, tetapi kita pun mengakui perbedaan-perbedaan pendapat, sifat,
watak, selera, talenta dan karunia setiap orang.
3. Kesetaraan tidak
sama dengan penyamarataan. Sementara peluang untuk selamat adalah hak semua
orang, keselamatan itu sendiri merupakan pilihan pribadi. Kita harus menginjil
kepada semua orang di mana saja, tetapi kita tidak dapat paksakan dengan cara
apapun dan terhadap siapapun untuk menerima injil.
PENUTUP
Penginjilan oleh
semua orang Kristen. Sesaat
sebelum kembali ke surga Yesus mengamanatkan kepada kesebelas murid-Nya,
"Pergilah ke seluruh dunia dan siarkanlah Kabar Baik dari Allah itu kepada
seluruh umat manusia" (Mrk. 16:15, BIMK). Perintah itu sesungguhnya
ditujukan juga kepada murid-murid-Nya di seluruh dunia pada setiap zaman,
siapapun mereka. Penginjilan harus dilakukan kepada semua orang, oleh semua
orang Kristen. Pemuridan untuk semua, dan semua untuk pemuridan.
"Pada penutupan
pekerjaan injil ini ada ladang luas yang harus dikerjakan; dan lebih daripada
sebelumnya, pekerjaan itu memerlukan pembantu-pembantu dari kalangan orang
biasa...Banyak dari antara mereka ini hanya memiliki sedikit kesempatan
memperoleh pendidikan; tetapi Kristus melihat dalam diri mereka
kemampuan-kemampuan yang akan menyanggupkan mereka memenuhi maksud-Nya. Kalau
mereka menyerahkan hati mereka kepada pekerjaan itu dan terus-menerus belajar,
Ia akan melayakkan mereka untuk bekerja bagi Dia" [kalimat pertama dan dua
kalimat terakhir].
"Tetapi apa
yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang
berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa
yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih
Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang
berarti, supaya jangan ada seorang manusia pun yang memegahkan diri di hadapan
Allah" (1Kor. 1:27-29).
DAFTAR PUSTAKA:
1.
Dan Solis, PEMURIDAN -Pedoman
Pendalaman Alkitab SSD, Indonesia
Publishing House, Januari - Maret 2014.
2.
Loddy Lintong, California,
U.S.A-Face Book.