Sabtu, 02 November 2013

5. Persembahan Kurban, Apa Dan Bagaimana?

"PENDAMAIAN: KURBAN PENGHAPUS DOSA"

PENDAHULUAN

 Melambangkan darah Kristus.

   Dalam upacara-upacara permohonan pengampunan dosa di Bait Suci pada zaman Perjanjian Lama, seseorang yang hendak membawa persembahan kurban bakaran dari binatang--lembu/sapi, kambing/domba, burung tekukur/merpati--tidak hanya sekadar mengantar hewan kurban itu kepada imam yang bertugas, melainkan si pembawa kurban itu harus berpartisipasi aktif dalam ritual tersebut. Setiap bagian dari upacara persembahan kurban memiliki makna tertentu dengan prosesi yang berbeda-beda, tergantung siapa orang itu dan apa tujuan persembahan kurban tersebut. Allah juga sudah menyediakan beberapa alternatif dalam hal hewan kurban yang boleh dipersembahkan seseorang berdasarkan status sosial dan kemampuan ekonomisnya.

     Kalau hewan kurban itu berupa lembu atau sapi, orang itu "harus meletakkan tangannya ke atas kepala kurban bakaran itu...kemudian haruslah ia menyembelih lembu itu...kemudian haruslah ia menguliti kurban bakaran itu dan memotong-motongnya" (Im. 1:4-6). Kalau binatang kurban itu berupa kambing atau domba dia harus juga menyembelih dan memotong-motongnya (ay. 10-12), lalu imam yang akan menampung darah binatang itu untuk disiramkan ke empat sisi mezbah (ay. 5, 11), sedangkan kalau itu berupa burung merpati atau tekukur maka dia harus memelintir lehernya hingga putus dan memencet di samping mezbah sampai darahnya keluar (ay. 15). Dalam persembahan kurban bakaran darah itu penting karena darah hewan kurban itu melambangkan darah Kristus yang tercurah untuk menebus dosa manusia.

     Persembahan kurban bakaran berupa binatang adalah persembahan tertinggi dalam sistem upacara kurban di Bait Suci bangsa Israel purba pada zaman Perjanjian Lama. Dalam versi bahasa Ibrani moderen persembahan ini disebut עֹלָה, 'olah, yang secara harfiah artinya "apa yang dibawakan" atau dipersembahkan kepada Tuhan, yang dalam hal ini ialah אִשֶּׁה, 'ishshah, yaitu "kurban bakaran" (Im. 1:9), atau "an offering made by fire"  (KJV), suatu persembahan "yang baunya menyenangkan bagi Tuhan." Binatang yang dipersembahkan sebagai kurban bakaran itu harus כָּלִיל, kaliyl, yakni utuh atau "seluruhnya" (1Sam. 7:9).

  "Sistem persembahan kurban barangkali merupakan bagian yang paling dikenal dari upacara Bait Suci karena bagian itulah yang mengunjuk langsung kepada pengorbanan Kristus. Darah binatang yang mati itu bagi orang berdosa yang bersangkutan menjadi suatu lambang untuk darah Kristus yang mati bagi kita" [alinea pertama].

    Selain persembahan kurban bakaran sebagai penebus dosa, upacara Bait Suci dalam Perjanjian Lama juga mengenal "persembahan pentahiran" yang dalam bahasa Ibrani disebut חַטָּאָת, chatta'ath, sebagaimana yang diatur dalam Imamat 12:5-8, bisa berupa seekor kambing maupun domba, atau kalau tidak mampu bisa digantikan dengan dua ekor burung tekukur atau dua ekor anak burung merpati. Persembahan pentahiran, atau persembahan penyucian dari kenajisan, juga berlaku bagi seorang yang berpenyakit kusta sebagaimana yang diatur dalam Imamat pasal 14. Persembahan pentahiran ini terkadang disebut sebagai "persembahan penghapus dosa" sebagaimana diatur dalam Imamat pasal 9, di mana persembahan berupa binatang ini diperlakukan sebagai persembahan kurban bakaran.

    "Ada kalanya pelajaran ini misalnya menggunakan istilah persembahan pentahiran gantinya persembahan penghapus dosa untuk menghindari kesan bahwa melahirkan anak dianggap sebagai kesalahan moral oleh sebab ibu muda itu yang harus membawa persembahan itu (Im. 12:5-8). Persembahan kurban ini lebih dipahami sebagaipersembahan pentahiran untuk kenajisan yang dialaminya, dan bukan sebagai persembahan kurban karena dosa" [alinea kedua: dua kalimat terakhir].

I. SOLUSI ATAS DOSA (Dosa dan Kemurahan)

 Dosa tidak sengaja dan sengaja.

   Menarik bahwa dalam Imamat pasal 4 dan 5 diatur persembahan kurban untuk dosa-dosa yang tidak disengaja. Tentang dosa yang tak disengaja itu diatur pula bentuk persembahan untuk penghapus dosa tersebut, tergantung siapa yang berbuat. Ada tiga kemungkinan pelakunya: imam (pemimpin agama), rakyat biasa, dan pemuka masyarakat. Dalam perkataan lain, cara penanganan dosa-dosa yang tidak disengaja itu sudah diantisipasi sebelumnya dan siapa saja bisa melakukan pelanggaran secara tidak disengaja.

    "Jikalau yang berbuat dosa itu imam yang diurapi, sehingga bangsanya turut bersalah,haruslah ia mempersembahkan kepada Tuhan karena dosa yang telah diperbuatnya itu, seekor lembu jantan yang tidak bercela sebagai kurban penghapus dosa" (Im. 4:3; huruf miring ditambahkan). Selanjutnya, "Jikalau yang berbuat dosa dengan tak sengaja itu segenap umat Israel, dan jemaah tidak menyadarinya, sehingga mereka melakukan salah satu hal yang dilarang Tuhan, dan mereka bersalah, maka apabila dosa yang diperbuat mereka itu ketahuan, haruslah jemaah itu mempersembahkan seekor lembu jantan yang muda sebagai korban penghapus dosa" (ay. 13-14; huruf miring ditambahkan). Lalu,"Jikalau yang berbuat dosa itu seorang pemuka yang tidak dengan sengaja melakukan salah satu hal yang dilarang Tuhan, Allahnya, sehingga ia bersalah, maka jikalau dosa yang telah diperbuatnya itu diberitahukan kepadanya, haruslah ia membawa sebagai persembahannya seekor kambing jantan yang tidak bercela" (ay. 22-23; huruf miring ditambahkan).

 Perhatikan, seorang "imam yang diurapi" dapat saja berbuat dosa dan dosanya dianggap sebagai dosa seluruh bangsa, sedangkan jika yang berdosa itu "pemuka" atau pemimpin dalam masyarakat maka dosanya itu tidak berdampak pada rakyat yang dipimpinnya. Selain itu, seorang pemuka masyarakat bisa saja tidak menyadari bahwa dia sudah berbuat dosa sampai hal itu "diberitahukan kepadanya." Dosa yang dikategorikan sebagai "dosa tidak disengaja" tersedia pengampunan (kemurahan) dari Allah melalui prosedur persembahan kurban penghapus dosa. Sebaliknya, "dosa yang disengaja" tidak ada ampun: "Tetapi kalau seorang Israel atau seorang asing dengan sengaja berbuat dosa, dia meremehkan Tuhan. Orang itu harus dihukum mati, karena ia melawan Tuhan dan dengan sengaja melanggar perintah Tuhan. Orang itu mati karena salahnya sendiri" (Bil. 15:30-31, BIMK; huruf miring ditambahkan).

 Walaupun Allah telah menentukan bahwa orang yang berbuat dosa dengan sengaja itu harus "dihukum mati" (TB: "dilenyapkan dari tengah-tengah bangsanya"), kemurahan Allah senantiasa menyediakan jalan pengampunan, seperti yang dialami Manasye (2Taw. 33:12-13). "Sebagaimana siapa saja yang mengenal Tuhan dapat bersaksi, dosa memisahkan kita dari Allah. Kabar baiknya ialah bahwa Tuhan telah menetapkan suatu sistem untuk memperbaiki pelanggaran yang disebabkan oleh dosa itu dan membawa kita kembali kepada-Nya. Tentu saja pada pusat dari sistem ini adalah persembahan kurban" [alinea pertama].

 Pemindahan hukuman.

    Seperti telah kita pelajari, upacara kurban bakaran melambangkan kematian Yesus Kristus sebagai "kurban pengganti" demi manusia yang berdosa. Melalui upacara kurban bakaran itu orang yang berbuat kesalahan terhadap Tuhan "mengalihkan" hukumannya ke atas lembu atau kambing domba atau burung yang harus dibunuh oleh tangannya sendiri. Bagi sebagian orang yang karena profesi atau kegemaran mereka terbiasa membunuh binatang, misalnya orang-orang yang bekerja di tempat potong hewan (pejagalan) dan mereka yang hobi berburu, hal itu bukan hal yang sulit atau mengerikan. Tetapi bagi para penyayang binatang dan yang gemar memelihara hewan piaraan maka membunuh binatang yang tak berdosa adalah sesuatu yang "menjijikkan." Coba bayangkan jika anjing atau kucing piaraan yang selama ini menjadi sahabat anda yang setia, lalu anda harus menyembelihnya dengan tangan sendiri supaya kesalahan anda dipindahkan kepada hewan yang tak bersalah itu?

    Absalom sudah melakukan tindakan kriminal pembunuhan berencana terhadap Amnon, saudara tirinya, karena si korban telah memperkosa Tamar, adik kandung Absalom. Pembunuhan yang bermotif balas dendam itu baru terlaksana dua tahun kemudian. Menurut hukum sipil Israel purba perbuatan tersebut harus diganjar dengan hukuman mati (Bil. 35:31), dan karena menyadari akan hal itu Absalom melarikan diri lalu meminta suaka kepada raja negeri Gesur. Sesudah tiga tahun Daud telah melupakan kesedihannya atas kematian Amnon, dan sekarang dia berbalik rindu kepada Absalom. Yoab, panglima tentara dan pengikut setia raja Daud, kemudian mengambil inisiatif untuk memulangkan Absalom di mana untuk maksud tersebut putra raja itu harus terlebih dulu mendapat amnesti dari raja supaya terbebas dari hukuman mati. Yoab kemudian merancang sebuah skenario dengan memperalat seorang perempuan janda dari Tekoa dengan cerita rekaan perihal kedua putranya yang bertengkar sehingga salah satu terbunuh. Memenuhi permintaan wanita itu raja Daud kemudian menganugerahi pengampunan terhadap "anak laki-laki" yang sudah membunuh saudaranya itu. (Baca kisahnya di 2Samuel 13-14).

    Hal menarik dari cerita ini adalah kesediaan perempuan itu untuk "memasang badan" atas keputusan raja untuk memberi pengampunan kepada si pelanggar hukum. Perempuan itu berkata kepada raja, "Aku dan keluargaku akan menanggung kesalahan itu, ya tuanku raja, tetapi raja dan takhtanya tak bersalah" (2Sam. 14:9). "Seperti itulah Allah mengambil alih kesalahan orang-orang berdosa demi untuk menyatakan mereka itu orang benar. Supaya kita diampuni, Allah sendiri harus menanggung hukuman kita. Ini merupakan alasan yang sah mengapa Kristus harus mati jika kita harus diselamatkan" [alinea terakhir].

    Pena inspirasi menulis: "Hukuman atas dosa-dosa setiap jiwa telah ditanggung oleh Anak dari Allah yang tak terhingga itu. Kesalahan dari setiap dosa menekan ke atas jiwa ilahi Penebus dunia. Dia yang tidak mengenal dosa menjadi berdosa demi kita, supaya kita bisa menjadi orang-orang benar di dalam Dia. Dengan mengenakan sifat manusia, Dia menempatkan diri-Nya di mana Dia terluka demi pelanggaran kita, diremukkan karena kesalahan-kesalahan kita, supaya oleh bilur-bilurnya kita bisa disembuhkan" (Ellen G. White, Review and Herald, 20 Desember 1892).

 Apa yang kita pelajari tentang dosa manusia dan kemurahan Allah?

1. Dosa adalah dosa, terlepas dari apakah perbuatan itu disengaja atau tidak. Bagi kita manusia berbuat dosa adalah sebuah keniscayaan, terlepas dari apakah dia orang biasa atau pemimpin, anggota awam atau rohaniwan. Allah yang maha mengetahui itu telah lebih dulu mengantisipasi dengan menyediakan penawarnya (Rm. 5:20-21).

2. Pada prinsipnya, bagi Allah tidak ada dosa yang terlalu besar untuk bisa diampuni dan tidak ada kesalahan yang terlampau keji untuk dapat dimaafkan. Namun, sementara kasih karunia Allah itu selalu lebih besar daripada dosa apapun, kita tidak akan menyalahgunakan rahmat Allah itu untuk terus menimbun dosa (Rm. 6:1-2).

3. Sistem persembahan kurban memungkinkan "pemindahan hukuman" dari orang yang bersalah kepada hewan yang tidak bersalah, dan melalui upacara kurban bakaran tersebut pemindahan hukuman orang berdosa kepada Yesus Kristus yang tidak pernah berdosa itu diperagakan (Yes. 53:5).

II. MEMINDAHKAN KESALAHAN (Penumpangan Tangan)

    "Pelengkap penderita."

   Kata "pelengkap penderita" adalah sebuah istilah khas dalam pelajaran Bahasa Indonesia yang diajarkan kepada murid-murid Sekolah Dasar (d/h Sekolah Rakyat disingkat "SR") hingga tahun 1960-an. "Pelengkap penderita" ialah bagian dalam sebuah kalimat yang sekarang ini lebih lazim disebut "obyek" yang bersama-sama dengan "subyek" (pokok kalimat) dan "predikat" (yang menjelaskan tentang "subyek") membentuk sebuah kalimat yang sempurna ("kalimat sempurna" yaitu sebuah kalimat yang memiliki subyek, predikat, dan obyek). Rupanya istilah "pelengkap penderita" merupakan hasil terjemahan langsung secara harfiah dari kata dalam Bahasa Belanda, lijdend voorwerp (lijdend=menderita; voorwerp=obyek). Sesungguhnya, kata "pelengkap penderita" tidak mengandung unsur keadaan apapun yang dapat ditafsirkan atau berkonotasi penderitaan.

    Dalam perkembangannya, setelah kedudukannya dalam kalimat diganti dengan sebutan "obyek," kelihatannya istilah "pelengkap penderita" telah mengalami transformasi makna dan menjadi "pihak yang dikorbankan." Dalam pengertian inilah maka kita bisa mengatakan bahwa binatang yang dipersembahkan seorang yang berbuat dosa sebagai persembahan kurban dalam sistem upacara Bait Suci zaman PL itu sebagai "pelengkap penderita" atau "pihak yang dikorbankan." Dramatisasinya ditandai dengan penumpangan tangan orang yang bersalah itu ke atas kepala dari hewan yang akan disembelih sebagai kurban pengganti (Im. 1:4; 4:29). Ritual penumpangan atau peletakkan tangan di kepala binatang kurban itu melambangkan pemindahan kesalahan dari orang yang berbuat dosa kepada binatang yang dikorbankan itu.

    "Satu bagian penting dari proses ini mencakup penumpangan tangan (Im. 1:4, 4:4, 16:21). Ini dilakukan supaya persembahan itu 'diperkenan untuk mengadakan pendamaian baginya' (Im. 1:4). Persembahan itu hanya berlaku bagi orang yang meletakkan tangannya ke atas kepala binatang itu. Menurut Imamat 16:21, penumpangan tangan akan disertai oleh pengakuan dosa; hal ini akan menyatakan pemindahan dosa dari orang yang berdosa itu kepada binatang yang tidak bersalah" [alinea ketiga].

 Membayangkan Kristus.

   Ketika seorang yang berbuat dosa meletakkan tangannya di atas kepala hewan kurban yang disediakannya sendiri, sambil mengakui dosa-dosa yang telah dibuatnya, maka secara hukum agama pada waktu itu dosa-dosa tersebut resmi dipindahkan kepada hewan kurban tersebut. Dengan kata lain, secara sadar orang yang berdosa itu mengerti bahwa binatang yang sebentar lagi akan disembelih oleh tangannya sendiri itu adalah pihak yang dikorbankan untuk mati sebagai pengganti dirinya. Kita tidak tahu apakah umat Israel purba mengerti bahwa hewan kurban itu membayangkan Yesus Kristus, yaitu Mesias yang akan mati di atas salib. Jangan-jangan, mereka memandang hewan kurban itu hanya sebagai seekor binatang biasa, dan mengorbankannya hanyalah suatu kerugian finansial seharga hewan ternak waktu itu!

    "Karena dosa-dosa telah dipindahkan kepada binatang itu oleh meletakkan tangan ke atasnya, kita harus mengerti bahwa kematian binatang itu sebagai kematian pengganti. Binatang itu mati menggantikan orang yang berdosa. Hal ini bisa menjelaskan mengapa tindakan membunuh binatang harus dilakukan oleh orang yang berdosa itu, oleh orang yang bersalah, dan bukan oleh imam" [alinea keempat: tiga kalimat terakhir].

    Sebagai umat Tuhan yang hidup di masa sekarang pada satu sisi kita "lebih beruntung" sebab tidak direpotkan dengan ritual yang bagi kebanyakan kita mungkin harus melaksanakannya tiap hari, tetapi di sisi lain kita "kurang beruntung" karena tidak mendapat kesempatan untuk merasakan pengalaman batin yang pasti amat mengesankan dengan upacara seperti itu. Hidup di masa pasca penyaliban Yesus Kristus yang membatalkan segala upacara persembahan kurban, dan mengerti bahwa kematian Kristus itu adalah "kematian terhadap dosa, satu kali dan untuk selama-selamanya" (Rm. 6:10), kita menghadapi bahaya untuk gampang berdosa karena merasa seolah-olah untuk kita telah tersedia "kredit" yang akan membayar lunas seberapa besar pun dosa kita.

 Apa yang kita pelajari tentang arti mengalihkan dosa kepada hewan kurban?

1. Penumpangan tangan di atas kepala manusia adalah tanda berkat, tetapi penumpangan tangan atas kepala hewan kurban adalah tanda kutuk. Sebagaimana transfer hutang dalam praktik akuntansi adalah sah kalau ada bukti pengakuan hutang, transfer dosa menjadi sah jika disertai pengakuan dosa.

2. Kurban bakaran yang dipersembahkan oleh umat Tuhan di zaman PL barangkali bisa dianggap sebagai "pelengkap penderita" dalam sistem upacara kurban di Bait Suci, tetapi Yesus Kristus yang dilambangkan oleh hewan kurban itu adalah "pelengkap keampunan." Tentu saja darah Kristus tak dapat dibandingkan dengan darah hewan kurban.

3. Kematian Yesus Kristus di kayu salib sangat mencukupi untuk membayar hutang dosa seluruh umat manusia dari awal hingga akhir riwayat dunia ini, tetapi kematian-Nya itu bukanlah semacam "blanko cek" yang sudah ditandatangani di mana kita dapat mengisi berapa saja jumlah yang dikehendaki. Kematian Yesus adalah bukti dari janji Allah untuk "menghapuskan surat hutang" akibat pelanggaran manusia (Kol. 2:13-14).

MEZBAH PENAMPUNG DOSA (Pemindahan Dosa)

    Darah hewan kurban.

    Sesudah prosesi penumpangan tangan dan penyembelihan hewan kurban oleh orang berdosa yang memohon pengampunan, darah binatang yang ditampung dalam sebuah wadah itu kemudian diserahkan kepada imam yang melayani untuk kemudian dipercikkan ke atas mezbah dan sebagian dioleskan pada tanduk mezbah. Darah adalah bagian paling penting dalam ritual keagamaan di Bait Suci oleh sebab darah hewan kurban itu melambangkan darah Yesus Kristus yang menyelamatkan umat manusia.

 Dalam kitab Imamat pasal 4 terdapat empat kategori pengaturan tentang persembahan kurban bakaran dan penanganan darah kurban: (1) imam secara perorangan, (2) umat Israel secara keseluruhan, (3) pemuka masyarakat secara perorangan, dan (4) rakyat biasa secara perorangan. Apabila yang berbuat dosa adalah seorang imam maupun umat Israel secara keseluruhan maka darah hewan kurban itu harus dipercikkan tujuh kali ke tirai pemisah bilik yang suci dan bilik maha suci serta sebagian dioleskan pada tanduk-tanduk mezbah pedupaan--"mezbah pembakaran ukupan dari wangi-wangian" (ay. 7)--yang berada di dalam bilik pertama di dalam Bait Suci, lalu sisanya dicurahkan ke bawah mezbah kurban bakaran yang berada di halaman. Tetapi bilamana yang berbuat dosa itu adalah pemuka masyarakat dan rakyat biasa secara perorangan, darah hewan kurban cukup dioleskan pada tanduk-tanduk mezbah dan sisanya dicurahkan ke bagian bawah mezbah kurban bakaran yang ada di luar, tidak dibawa ke dalam Bait Suci untuk dioleskan pada mezbah pedupaan di bilik yang suci. Sekali lagi kita melihat bahwa dalam sistem kepemimpinan bangsa Israel purba posisi imam selaku pemimpin agama adalah lebih tinggi dari pemuka masyarakat. Kesalahan seorang imam dianggap sebagai kesalahan seluruh umat Israel (ay. 3), itulah sebabnya jenis hewan kurban serta cara penanganan darahnya juga berbeda dibandingkan bagi seorang pemimpin masyarakat dan rakyat biasa.

 "Karena darah membawa dosa maka darah itu juga menajiskan Bait Suci. Kita menemukan satu contoh tentang penajisan ini dalam kasus-kasus di mana darah kurban penghapus dosa secara tak sengaja terpercik pada pakaian. Pakaian itu perlu dibersihkan, bukan di sembarang tempat tetapi hanya 'di suatu tempat yang kudus' (Im. 6:27)"[alinea keempat].

 Tanduk mezbah dan keselamatan.

    Tatkala Salomo diurapi menggantikan ayahnya sebagai raja Yehuda yang baru maka Adonia, saudara tirinya yang sebelumnya sempat memproklamirkan diri sebagai raja, menjadi ketakutan lalu melarikan diri ke Bait Suci dan memegangi tanduk-tanduk mezbah (1Raj. 1:50-51). Begitu pula halnya panglima Yoab yang sebelumnya telah bergabung dan mendukung Adonia, dalam ketakutannya juga melarikan diri ke dalam Bait Suci lalu memegang tanduk mezbah (1Raj. 2:28). Tradisi pada masa itu tampaknya menganggap bahwa tanduk-tanduk mezbah sebagai tempat untuk menyelamatkan diri. Adonia akhirnya selamat (1Raj. 1:53), tetapi Yoab tidak beruntung (1Raj. 2:29-31). Tampaknya Yoab tidak mendapat pengampunan dari Salomo karena sebelumnya dia telah membunuh Absalom dan dengan demikian melawan perintah raja Daud (2Sam. 18:5, 12-15). Allah berfirman: "Tetapi apabila seseorang berlaku angkara terhadap sesamanya, hingga ia membunuhnya dengan tipu daya, maka engkau harus mengambil orang itu dari mezbah-Ku, supaya ia mati dibunuh" (Kel. 21:14).

  Allah telah merancang bahwa mezbah kurban bakaran--tempat membakar hewan kurban--yang terletak di halaman Bait Suci, dan mezbah pembakaran ukupan--tempat membakar dupa--yang terdapat di bilik yang suci di dalam Bait Suci, keduanya memiliki empat tanduk pada setiap sudut atas (Kel. 27:2; 30:2). Tanduk-tanduk tersebut menjadi bagian yang paling penting dari mezbah dan mengandung makna istimewa. Raja Daud menyebut Allah sebagai "tanduk keselamatan" (2Sam. 22:3; Mzm. 18:3).

 "Apa artinya mengoleskan darah pada tanduk-tanduk mezbah? Tanduk-tanduk itu adalah titik-titik tertinggi dari mezbah, dan dengan demikian dapat menandakan dimensi vertikal dari keselamatan. Darah itu dibawa ke dalam hadirat Allah" [alinea kedua].

 Apa yang kita pelajari tentang ritual pemindahan dosa seseorang ke mezbah Tuhan?

1. Darah hewan kurban melambangkan penghapusan dosa, tetapi darah Yesus yang mensahkan penghapusan dosa yang dilambangkan oleh darah hewan kurban itu. Tanpa kematian Yesus semua ritual penghapusan dosa di Bait Suci tidak berguna, dan dengan kematian Yesus semua ritual itu tidak diperlukan lagi. Salib Kristus menuntaskan dan merangkum segalanya.

2. Dalam upacara kurban penghapus dosa, orang yang berdosa menumpangkan tangan ke atas kepala hewan kurban sebagai lambang pemindahan dosanya kepada hewan kurban, selanjutnya darah binatang yang dikorbankan itu dioleskan pada tanduk-tanduk mezbah yang melambangkan pemindahan dosa ke mezbah.

3. Sementara hewan kurban merujuk kepada Yesus Kristus sebagai "kurban pengganti" bagi manusia, mezbah yang menampung darah hewan kurban itu merujuk kepada rahmat Allah. Jadi, bukan Yesus yang mengampuni dosa melainkan Allah Bapa sendiri, tetapi Yesus adalah "jalan" bagi pengampunan dosa. Tanpa salib Kristus tidak ada pengampunan dosa.

IV. PERANAN IMAM (Menanggung Dosa)

 Makan daging sebagai kewajiban.

   Tentu saja tidak ada seorang pun imam zaman PL yang vegetaris. Betapa tidak? Memakan daging hewan kurban adalah bagian integral dari ritual persembahan penghapus dosa di Bait Suci, dan merupakan kewajiban yang melekat pada jabatan sebagai imam. Vegetarisme bukanlah isu Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru; vegetarisme adalah isu kesehatan, khususnya setelah abad ke-19. Sebab itu janganlah terlalu "hyper correct" dengan menjadikan vegetarisme sebagai teologi Kristen, apalagi sampai mengajarkan seolah-olah makan daging bisa "membahayakan" keselamatan jiwa. Sementara vegetarisme itu memang baik dan perlu demi pemeliharaan kesehatan jasmani dan pikirani manusia, kesehatan bukanlah syarat untuk masuk surga. Sehubungan dengan upacara persembahan kurban di Bait Suci pada zaman PL, keharusan memakan daging hewan kurban itu adalah perintah Allah (Im. 6:26, 29).

 "Dalam bahasa Ibrani, Keluaran 34:7 mengatakan bahwa Allah 'mengangkut kesalahan,' dua kata Ibrani yang sama itu digunakan dalam Imamat 10:17, di mana jelas bahwa tindakan mengangkut dosa oleh imam itulah yang membawa pengampunan kepada orang berdosa. Kalau tidak, tanpa pemindahan itu, orang yang berdosa itulah yang harus menanggung dosanya sendiri (Im. 5:1), dan tentu saja itu akan membawa kepada kematian (Rm. 6:23)" [alinea ketiga].

 Dalam perkataan lain, "pemindahan dosa" adalah pelajaran yang diajarkan melalui kewajiban imam-imam untuk memakan daging persembahan kurban dari orang Israel yang berbuat dosa. Tindakan imam memakan daging kurban itu bukan tanda partisipasi dalam perbuatan orang berdosa yang mempersembahkan kurban, melainkan tanda bahwa dosa itu sudah dipindahkan dari orang yang berdosa kepada imam.

 Jalan pendamaian.

   Aturan-aturan tentang persembahan kurban dalam hukum Musa meliputi "kurban bakaran, kurban sajian, kurban pengampunan dosa, kurban ganti rugi, kurban pentahbisan dan kurban perdamaian" (Im. 7:37, BIMK). Dari keenam jenis persembahan ini lima di antaranya melibatkan hewan kurban, hanya kurban sajian yang tidak berupa binatang melainkan hasil panen sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan. Di antara lima persembahan kurban yang melibatkan hewan itu ada yang dagingnya harus dimakan bersama-sama oleh imam dan orang berdosa beserta keluarganya, ada yang harus dimakan hanya oleh imam. Satu-satunya persembahan kurban yang dagingnya sama sekali tidak boleh dimakan oleh siapapun, tapi harus dibakar sampai habis di atas mezbah, ialah kurban perdamaian (Im. 1:4; Ul. 33:10).

 Kematian Yesus di kayu salib menggenapi khususnya persembahan kurban perdamaian, sebab kematian-Nya itu telah "menjadi jalan pendamaian" (Rm. 3:25) bagi manusia yang karena dosa sudah menjadi "musuh" Allah (Kol. 1:21). "Sebab itu, kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus" (Rm. 5:1).

 "Pekerjaan imam yang menanggung dosa orang lain tepat seperti apa yang Kristus telah lakukan bagi kita. Ia mati menggantikan kita. Jadi, kita bisa simpulkan bahwa pekerjaan keimamatan di Bait Suci duniawi melambangkan pekerjaan Kristus untuk kita, karena Ia telah menaruh ke atas diri-Nya kesalahan dari dosa-dosa kita" [alinea keempat].

 Apa yang kita pelajari tentang peran imam sebagai penanggung dosa?

1. Kewajiban imam untuk memakan daging hewan kurban yang dipersembahkan oleh seorang yang berbuat dosa menggambarkan Yesus sebagai penanggung dosa manusia. Dengan demikian memakan daging, dalam hal ini hewan kurban, adalah bagian dari komitmen terhadap pekerjaan keimamatan.

2. Tindakan tidak memakan daging kurban penghapus dosa oleh Harun dan kedua anaknya, Eleazar dan Itamar, telah menuai teguran keras oleh Musa (Im. 10:17), tapi itu bukan karena kelalaian atau pembangkangan. Hari itu Harun sedang berduka atas kematian dua anaknya yang lain, Nadab dan Abihu, yang dihukum Allah (ay. 1-2). Berpuasa adalah ungkapan rasa duka, itu sebabnya Musa menerima alasan Harun (ay. 19-20).

3. Kurban pendamaian, yang dagingnya tidak boleh dimakan tetapi harus dibakar habis di luar perkemahan, melambangkan Kristus yang mati di luar kota untuk menyediakan jalan perdamaian antara manusia dengan Allah Bapa (bandingkan Im. 4:12 dengan Ibr. 13:12).

IV. ALLAH YANG RAHMANI (Pengampunan)

 Siapakah seperti Allah? Dalam doa syukurnya Mikha berseru, "Tak ada Allah seperti Engkau, ya Tuhan, yang mengampuni dosa umat pilihan-Mu yang tersisa. Tidak untuk selamanya Engkau marah; sebaliknya, Engkau senang menunjukkan cinta-Mu yang tak terbatas itu. Engkau akan berbelas kasihan lagi kepada kami dan mengampuni kami. Dosa-dosa kami akan Kau pijak-pijak dan Kau lemparkan ke dasar laut!" (Mi. 7:18-19, BIMK). Seberapa besar pun kesabaran dan kebesaran hati manusia sehingga mau mengampuni orang lain yang bersalah, itu tidak dapat dibandingkan dengan pengampunan Allah atas dosa manusia. Mikha (Ibrani: מִיכָה, Miykah), nabi yang melayani di kerajaan Yehuda pada abad ke-8 SM, nama kepanjangannya adalah מִיכָיָה, Miykayah, yang artinya "Siapakah seperti Allah?"

 "Ayat ini menggambarkan dengan indahnya mengapa Allah itu tidak tertandingi. Ia tiada taranya karena kasih dan karunia pengampunan-Nya. Tabiat Allah yang menonjol, sebagaimana diungkapkan dalam kitab Mikha (dan dalam kitab yang lain), ialah kerelaan-Nya untuk mengampuni" [alinea pertama: kalimat kedua hingga keempat].

 Pena inspirasi menulis: "Kita diselamatkan karena Allah menyukai penebusan oleh darah Kristus; dan bukan saja Ia akan mengampuni orang berdosa yang bertobat, bukan saja Ia akan mengizinkannya masuk surga, tetapi Ia, Bapa yang rahmani itu, akan menanti tepat di gerbang surga untuk menyambut kita, untuk membukakan pintu yang seluas-luasnya kepada istana berkat. Oh, betapa kasih yang ajaib yang Bapa telah tunjukkan dalam anugerah Putra-Nya yang kekasih bagi umat manusia yang sudah jatuh! Dan Kurban ini menjadi saluran untuk mengalirnya kasih-Nya yang tak terbatas supaya semua yang percaya pada Yesus Kristus boleh menerima, seperti anak yang terhilang itu, pemulihan yang bebas dan sepenuhnya kepada kesukaan Surga" (Ellen G. White, Review and Herald, 21 September 1886).

 Pengampunan dan penghakiman.

    Sementara harga dari pengampunan Allah itu tak terhingga mahalnya, menuntut tidak kurang dari mengurbankan Putra-Nya sendiri, pengampunan itu diberikan secara cuma-cuma. Satu-satunya syarat ialah percaya. Tetapi seperti kata Martin Luther, sang reformator, kita diselamatkan hanya oleh iman saja tetapi iman itu tidak datang sendirian. Iman harus dibuktikan dengan perbuatan, dan perbuatan itu adalah pertobatan (Mat. 3:8). Pertobatan adalah syarat pengampunan dosa (Kis. 3:19), dan pertobatan berarti perubahan (Rm. 12:2).

   Sebagaimana yang kita baca dalam kesaksian nabi Mikha di atas, Allah itu "tidak bertahan dalam murka-Nya untuk seterusnya" tetapi akan kembali "menyayangi kita, menghapuskan kesalahan-kesalahan kita." Tetapi Allah yang sama itu juga "pembalas kepada para lawan-Nya dan pendendam kepada para musuh-Nya" dan "Ia tidak sekali-kali membebaskan dari hukuman orang yang bersalah" (Nah. 1:2-3).

 "Hal ini menyingkap dua dimensi hubungan Allah dengan kita: mengampuni orang yang bertobat dan menghukum orang yang jahat. Dua-duanya milik Allah. Ia adalah Penyelamat dan Hakim. Kedua aspek dari tabiat Allah ini saling melengkapi, bukan bertentangan. Allah yang berbelas kasihan dapat juga menjadi Allah yang adil. Dengan mengetahui hal ini kita bisa terjamin dalam kasih-Nya, dalam pengampunan-Nya, dan dalam keadilan-Nya yang pokok" [alinea terakhir: enam kalimat terakhir].

 Apa yang kita pelajari tentang Allah yang pengampun tapi juga adil?

1. Allah itu tidak tertandingi dalam hal kasih maupun juga keadilan. Ia mengasihi orang berdosa yang bertobat, tetapi menghukum orang jahat yang tidak menyesal dan berubah. Pengampunan adalah hasil dari kasih-Nya, penghakiman adalah hasil dari keadilan-Nya.

2. Kasih dan pengampunan Allah membuat kita bersyukur; keadilan dan penghakiman Allah membuat kita sadar dan bertobat. Pada akhirnya, keselamatan itu adalah hasil dari bagaimana kita merespon terhadap sifat-sifat Allah tersebut.

3. Kasih tanpa keadilan adalah lemah, keadilan tanpa kasih adalah kejam. Tanpa kasih Allah anda dan saya tidak akan pernah berpeluang untuk diampuni dan diselamatkan, tetapi tanpa keadilan Allah pertobatan kita adalah kesia-siaan. Dalam pembalasan Allah atas kejahatan orang jahat membuat pertobatan kita jadi berarti.

PENUTUP

 Darah Kristus.

   Darah adalah sarana pengampunan dosa. Dalam Bait Suci di dunia ini adalah darah hewan kurban, dalam Bait Suci di surga adalah darah Kristus. Para imam Perjanjian Lama itu adalah perantara dari orang berdosa yang memohon pengampunan, tetapi darah yang menjadi lambang penebusan dosa itu adalah darah hewan kurban yang disediakan oleh orang berdosa yang bersangkutan. Di surga, Yesus Kristus menjadi perantara orang berdosa yang memohon pengampunan dengan darah-Nya sendiri.

 "Sebagaimana Kristus pada waktu kenaikan-Nya tampil di hadapan Allah untuk menghadapkan darah-Nya demi orang-orang percaya yang bertobat, demikianlah imam di dalam pelayanan harian memercikkan darah persembahan kurban di tempat yang suci demi orang berdosa" [alinea pertama].

    "Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya! Dan bukan hanya itu saja! Kita malah bermegah dalam Allah oleh Yesus Kristus, Tuhan kita, sebab oleh Dia kita telah menerima pendamaian itu" (Rm. 5:10-11).
DAFTAR PUSTAKA:

1. Martin Probstle, BAIT SUCI -Pedoman Pendalaman Alkitab SSD,  Indonesia Publishing House, Oktober - Desember 2013.
2. Loddy Lintong, California, U.S.A-Face Book.