(Baca : 2 Timotius 3:14-15 & Matius 18:1-7)
Kepercayaan terbesar yang diberikan Tuhan
kepada orang tua adalah mendidik anak-anak menjadi anak yang baik. Terkadang
ada orang tua yang hanya mementingkan kebutuhan anak secara materi, tetapi
mengabaikan kasih, perhatian serta kedekatan dengan anak. Memang sebagai orang
tua kita bertanggungjawab memenuhi kebutuhan anak secara materi, tetapi untuk
kebutuhan rohaninya juga harus diperhatikan. Tidak terpenuhinya kebutuhan
rohani anak bisa menimbulkan berbagai masalah didalam dirinya ketika ia tumbuh
dewasa. Perlakuan kita terhadap anak ketika mereka masih kecil akan menentukan
menjadi anak seperti apa mereka kelak. Seperti dalam bacaan diatas (2 Timotius
3:14-15), Timotius yang masih muda telah memiliki kepribadian dan iman yang
tangguh. Hal ini tidak terlepas dari peran neneknya Lois dan ibunya Eunike yang
mengajarkan Kitab Suci kepada Timotius ketika ia masih kecil.
Timotius
adalah generasi ke tiga dari orang-orang yang takut akan Tuhan. Mulai dari
neneknya dan kemudian ibunya. Ayahnya berbangsa Yunani dan belum mengenal
Kitab Suci, sedangkan ibunya berkebangsaan Yahudi dan sudah mengenal Allah.
Iman Timotius terbentuk dari kedua wanita yang mengasuhnya sejak kecil.
Timotius dibesarkan dalam keluarga yang takut akan Tuhan. Iman dan
kepercayaannya yang sungguh-sungguh menjadikan Paulus (sebagai bapak rohaninya)
merasa terharu dan bangga. Nenek dan ibu Timotius mempersiapkan dia tepat
pada saat Timotius dibutuhkan pada zamannya mendampingi Paulus dalam
penderitaan dan pemberitaan Injil Yesus Kristus.
Ada
seorang pemikir berkata bahwa pada saat lahir, manusia adalah sebuah kertas
putih yang belum ada coretan sama sekali. Oleh karena itu, keluarga menjadi
“pensil” pertama yang memberikan coretan kepada manusia. Cara kita berlajar,
bertutur-kata, berbahasa, dan sebagainya diajarkan pertama-tama dalam keluarga.
Keluarga menjadi komponen yang sangat penting bagi masa depan seseorang.
Kesalahan
pendidikan dalam keluarga akan memberikan dampak yang besar bagi sang anak.
Sayangnya, kehadiran keluarga lama kelamaan menjadi pudar dan hilang, khususnya
kehidupan keluarga di kota besar. Seiring pertumbuhan sang anak menjadi dewasa
dan perkembangan zaman yang menuntut orang dengan kesibukan setiap harinya,
seringkali esensi keluarga menjadi hilang. Setiap orang dalam keluarga,
ayah-ibu-anak, pulang ke rumah bagaikan sebuah rumah kos-kosan.
Pergi
di pagi hari, pulang malam hari, dan tidak ada perjumpaan yang mendalam di
antara mereka. Tidak bisa disalahkan banyak anak muda yang terkena
masalah kehidupan, narkoba, dan lain-lain dikarenakan sang orang tua tidak
memiliki waktu untuk berbagi dan memberikan evaluasi terhadap sang anak.
Tidak bisa disalahkan jika sang suami lebih betah untuk berjalan dengan
teman-temannya karena sang isteri lebih sibuk “ber-arisan” ataupun kerja
sehingga lupa untuk meluangkan waktu bagi sang suami.
Oleh
sebab itu , kita diingatkan bahwa keluarga merupakan komponen yang penting
dalam membangun masa depan setiap orang. Oleh karena itu, hal pertama yang kita pelajari adalah
kembalilah membangun keluarga yang benar-benar saling memperhatikan, mengasihi,
dan saling menegur.
Membangun keluarga yang kokoh pada dasarnya harus
dimulai dari kerendahan hati setiap orang untuk menempatkan Kristus
sebagai dasar keluarganya.
Ketika Kristus menjadi dasar berarti setiap komponen (ayah-ibu-anak) memiliki
kerendahan hati untuk melihat bahwa kita semuanya setara sehingga kita harus
saling memperhatikan, mengasihi, mendengarkan, bahkan mengevaluasi. Menempatkan Kristus sebagai dasar keluarga
juga mendorong kita untuk sama-sama menempatkan Alkitab sebagai tolok ukur dan
pedoman kehidupan kita.
Melalui
Alkitab kita mengenal siapa itu Kristus, apa yang diajarkannya, dan apa yang
harus kita lakukan dalam kehidupan. Alkitab
harus ditempatkan sebagai sebuah cermin kehidupan, dimana melaluiNya setiap
kita dapat mengevaluasi diri, memperbaiki diri, dan melaksanakan apa yang
Kristus inginkan melalui kehidupan kita. Alkitab menjadi pegangan kehidupan
yang harus mulai diajarkan dari keluarga. Mengajarkan apa yang Kristus
ajarkan bukanlah hanya tugas guru sekolah sabat anak-anak, pendeta, majelis,
tetapi itu adalah tugas setiap kita yang berada di keluarga. Sang Anak berhak
menegur sang ayah, jika sang ayah tidak menjalankan apa yang Kristus ajarkan,
sang ibu dapat menegur sang anak jika mereka menyakiti orang lain.
Sayangnya
dalam kehidupan kita seringkali keluarga “pecah” karena setiap orang di
dalamnya lebih senang untuk cinta dirinya sendiri sehingga tidak mau
mendengarkan orang lain; lebih senang untuk mencintai uang sehingga kedua orang
tua “lupa” untuk pulang dan memperhatikan sang anak. Oleh karena itu,
sejak saat ini cintailah Tuhan, jadikan Dia sebagai dasar keluarga sehingga
kita saling merendahkan diri, dan menjadikan Alkitab sebagai tolok ukur
kehidupan dan sarana untuk mengevaluasi diri masing-masing, dan itu semua harus
dimulai dari keluarga.
==00==