Rabu, 03 April 2013

Keluarga Yang Cinta Tuhan dan Cinta Alkitab



                    

(Baca : 2 Timotius 3:14-15 & Matius 18:1-7)
   Kepercayaan terbesar yang diberikan Tuhan kepada orang tua adalah mendidik anak-anak menjadi anak yang baik. Terkadang ada orang tua yang hanya mementingkan kebutuhan anak secara materi, tetapi mengabaikan kasih, perhatian serta kedekatan dengan anak. Memang sebagai orang tua kita bertanggungjawab memenuhi kebutuhan anak secara materi, tetapi untuk kebutuhan rohaninya juga harus diperhatikan. Tidak terpenuhinya kebutuhan rohani anak bisa menimbulkan berbagai masalah didalam dirinya ketika ia tumbuh dewasa. Perlakuan kita terhadap anak ketika mereka masih kecil akan menentukan menjadi anak seperti apa mereka kelak. Seperti dalam bacaan diatas (2 Timotius 3:14-15), Timotius yang masih muda telah memiliki kepribadian dan iman yang tangguh. Hal ini tidak terlepas dari peran neneknya Lois dan ibunya Eunike yang mengajarkan Kitab Suci kepada Timotius ketika ia masih kecil.
Timotius adalah generasi ke tiga dari orang-orang yang takut akan Tuhan. Mulai dari neneknya  dan kemudian ibunya. Ayahnya berbangsa Yunani dan belum mengenal Kitab Suci, sedangkan ibunya berkebangsaan Yahudi dan sudah mengenal Allah. Iman Timotius terbentuk dari kedua wanita yang mengasuhnya sejak kecil.  Timotius dibesarkan dalam keluarga yang takut akan Tuhan. Iman dan kepercayaannya yang sungguh-sungguh menjadikan Paulus (sebagai bapak rohaninya) merasa terharu dan bangga.  Nenek dan ibu Timotius mempersiapkan dia tepat pada saat Timotius dibutuhkan pada zamannya mendampingi Paulus dalam penderitaan dan pemberitaan Injil Yesus Kristus.
Ada seorang pemikir berkata bahwa pada saat lahir, manusia adalah sebuah kertas putih yang belum ada coretan sama sekali. Oleh karena itu, keluarga menjadi “pensil” pertama yang memberikan coretan kepada manusia. Cara kita berlajar, bertutur-kata, berbahasa, dan sebagainya diajarkan pertama-tama dalam keluarga. Keluarga menjadi komponen yang sangat penting bagi masa depan seseorang.
Kesalahan pendidikan dalam keluarga akan memberikan dampak yang besar bagi sang anak. Sayangnya, kehadiran keluarga lama kelamaan menjadi pudar dan hilang, khususnya kehidupan keluarga di kota besar. Seiring pertumbuhan sang anak menjadi dewasa dan perkembangan zaman yang menuntut orang dengan kesibukan setiap harinya, seringkali esensi keluarga menjadi hilang. Setiap orang dalam keluarga, ayah-ibu-anak, pulang ke rumah bagaikan sebuah rumah kos-kosan.
Pergi di pagi hari, pulang malam hari, dan tidak ada perjumpaan yang mendalam di antara mereka.  Tidak bisa disalahkan banyak anak muda yang terkena masalah kehidupan, narkoba, dan lain-lain dikarenakan sang orang tua tidak memiliki waktu untuk berbagi dan memberikan evaluasi terhadap sang anak.  Tidak bisa disalahkan jika sang suami lebih betah untuk berjalan dengan teman-temannya karena sang isteri lebih sibuk “ber-arisan” ataupun kerja sehingga lupa untuk meluangkan waktu bagi sang suami.
Oleh sebab itu , kita diingatkan bahwa keluarga merupakan komponen yang penting dalam membangun masa depan setiap orang. Oleh karena itu, hal pertama yang kita pelajari adalah kembalilah membangun keluarga yang benar-benar saling memperhatikan, mengasihi, dan saling menegur. 
Membangun keluarga yang kokoh pada dasarnya harus dimulai dari kerendahan hati  setiap orang untuk menempatkan Kristus sebagai dasar keluarganya. Ketika Kristus menjadi dasar berarti setiap komponen (ayah-ibu-anak) memiliki kerendahan hati untuk melihat bahwa kita semuanya setara sehingga kita harus saling memperhatikan, mengasihi, mendengarkan, bahkan mengevaluasi. Menempatkan Kristus sebagai dasar keluarga juga mendorong kita untuk sama-sama menempatkan Alkitab sebagai tolok ukur dan pedoman kehidupan kita.
Melalui Alkitab kita mengenal siapa itu Kristus, apa yang diajarkannya, dan apa yang harus kita lakukan dalam kehidupan.  Alkitab harus ditempatkan sebagai sebuah cermin kehidupan, dimana melaluiNya setiap kita dapat mengevaluasi diri, memperbaiki diri, dan melaksanakan apa yang Kristus inginkan melalui kehidupan kita. Alkitab menjadi pegangan kehidupan yang harus mulai diajarkan dari keluarga.  Mengajarkan apa yang Kristus ajarkan bukanlah hanya tugas guru sekolah sabat anak-anak, pendeta, majelis, tetapi itu adalah tugas setiap kita yang berada di keluarga. Sang Anak berhak menegur sang ayah, jika sang ayah tidak menjalankan apa yang Kristus ajarkan, sang ibu dapat menegur sang anak jika mereka menyakiti orang lain.
Sayangnya dalam kehidupan kita seringkali keluarga “pecah” karena setiap orang di dalamnya lebih senang untuk cinta dirinya sendiri sehingga tidak mau mendengarkan orang lain; lebih senang untuk mencintai uang sehingga kedua orang tua “lupa” untuk pulang dan memperhatikan sang anak.  Oleh karena itu, sejak saat ini cintailah Tuhan, jadikan Dia sebagai dasar keluarga sehingga kita saling merendahkan diri, dan menjadikan Alkitab sebagai tolok ukur kehidupan dan sarana untuk mengevaluasi diri masing-masing, dan itu semua harus dimulai dari keluarga.
                                                 ==00==