Jumat, 08 Maret 2013

Merawat Ciptaan Allah (10)





"PENATALAYANAN DAN LINGKUNGAN".

PENDAHULUAN
 Dasar pemahaman. Pekan ini kita membahas kewenangan dan kewajiban manusia terhadap bumi yang merupakan lingkungan hidup kita, sebagaimana yang dimaksudkan Allah kepada Adam pada awal penciptaan. Tetapi sebelum kita beranjak lebih jauh, baiklah kita kenali dulu makna dua istilah yang menjadi tema pembahasan pelajaran pekan ini, yaitu penatalayanan dan lingkungan.
 Penatalayanan. Ini merupakan sebuah kata bentukan yang terdiri atas dua kata yang disandingkan, penataan dan pelayanan. Kata penatalayanan adalah padanan untuk kata stewardship dalam bahasa Inggris, yang definisinya--menurut Dictionary.com yang mengutip kamus terbitan Random House--adalah: (1) jabatan dan tugas-tugas pelayan atau pengurus, seorang yang bertugas mewakili orang lain, khususnya dalam mengelola harta benda, keuangan, kekayaan, dsb; (2) tanggungjawab untuk mengawasi dan melindungi sesuatu yang dianggap berharga untuk dirawat dan dipelihara. Sedangkan Wikipedia menerangkan bahwa "penatalayanan" merupakan suatu keyakinan teologis bahwa manusia bertanggungjawab atas dunia ini, yang bagi umat Kristen landasan alkitabiahnya terdapat dalam Kej. 2:15, Im. 25:1-5, dan khususnya perumpamaan Tuhan Yesus dalam Mat. 25:14-30.
 Lingkungan. Ini adalah padanan untuk kata environment (Inggris). Menurut definisi dari situs KamusBahasaIndonesia.org, kata ini berarti daerah atau kawasan yang berada di dalamnya; bagian wilayah; golongan; dan semua yang mempengaruhi pertumbuhan manusia dan hewan. Lingkungan terbagi ke dalam lima bagian, yakni lingkungan alam, lingkungan hidup, lingkungan kebudayaan, lingkungan mati, dan lingkungan sosial. Wikipedia Indonesia menerangkan bahwa "Lingkungan adalah kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup keadaan sumber daya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral, serta flora dan fauna yang tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan, dengan kelembagaan yang meliputi ciptaan manusia seperti keputusan bagaimana menggunakan lingkungan fisik tersebut." Lingkungan terbagi ke dalam komponen "abiotik" (tidak bernyawa: tanah, udara, iklim, dsb) dan "biotik" (bernyawa: tumbuhan, hewan, manusia, dan mikro organisme). Ilmu yang mempelajari tentang lingkungan adalah ekologi.
 Pelajaran Sekolah Sabat pekan ini, sebagaimana dimaksud oleh penyusun pelajarannya, ialah untuk membahas tentang hubungan antara manusia--sebagai makhluk ciptaan yang tertinggi dan paling cerdas--dengan Bumi ciptaan Allah beserta lingkungannya, baik komponen biotik maupun abiotik. "Di dalam ciptaan ini Ia menempatkan manusia, yang dengan sengaja dihubungkan dengan Diri-Nya, orang lain, dan dunia sekitarnya. Karena itu, sebagai umat Advent, kita menganggap pelestarian dan pemeliharaannya berkaitan erat dengan pelayanan kita kepada-Nya..."[alinea kedua: dua kalimat terakhir].
 Dalam perkataan lain, Gereja Advent menyadari bahwa sebagai umat Tuhan kita mengemban tanggungjawab untuk memelihara dan merawat lingkungan hidup di mana kita tinggal, percaya bahwa kita ditempatkan di dunia ini untuk menjadi penatalayan-penatalayan atas ciptaan Tuhan--yaitu orang-orang yang melaksanakan tugas perawatan dan pemeliharaan alam ini demi Sang Pencipta.
 Pena inspirasi menulis: "Bahwa apa yang menjadi dasar dari integritas bisnis dan kesuksesan sejati adalah pengakuan akan kepemilikan Allah. Sang Pencipta dari segala sesuatu, Dialah pemilik yang asli. Kita adalah para penatalayan-Nya. Apa yang kita miliki adalah sebuah kepercayaan dari Dia untuk digunakan sesuai petunjuk-Nya. Ini merupakan kewajiban yang terletak atas setiap manusia. Hal ini menyangkut seluruh lingkup aktivitas manusia. Apakah kita mengakuinya atau tidak, kita adalah penatalayan-penatalayan yang memperoleh talenta dan fasilitas dari Allah serta ditempatkan di dunia untuk melaksanakan suatu pekerjaan yang ditentukan oleh Dia" (Ellen G. White, The Adventist Home, hlm. 367).
1.      MANDAT DARI SANG PENCIPTA (Kekuasaan yang Diberikan pada Penciptaan)
 Keunggulan dan kekuasaan. Alkitab mengajarkan bahwa manusia bukan saja makhluk ciptaan yang paling mulia di Bumi ini, tapi juga paling cerdas dan paling berkuasa. Tentu saja keunggulan-keunggulan itu dikaruniakan bukan tanpa sesuatu maksud, tetapi semua itu diberikan kepada manusia berkenaan dengan tugas dan fungsi kita sebagai pelaksana dalam hal perawatan dan pemeliharaan ciptaan Allah di planet ini.
 Setelah menciptakan Bumi dan isinya, pada hari yang keenam Allah kemudian berfirman: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi" (Kej. 1:26; huruf miring ditambahkan). Perhatikan, Allah telah berencana untuk memberikan kepada manusia kekuasaan atas alam ciptaan-Nya ini sebelum Adam diciptakan, itulah sebabnya Dia menciptakan manusia itu menurut gambar dan rupa-Nya sendiri. Dengan kata lain, penciptaan manusia didesain menurut citra Allah dan dilengkapi dengan keunggulan-keunggulan melebihi seluruh ciptaan lainnya, oleh karena manusia hendak diberi kuasa atas semua ciptaan lain di planet ini!
 "Menurut Kejadian 1:26, kekuasaan Adam meluas sampai ke semua ciptaan lainnya yang ada--di laut, di darat, dan di udara. Kekuasaan mencakup maksud memerintah atau memiliki kuasa atas makhluk-makhluk ini. Tidak dikatakan tentang kekuasaan atas kekuatan alam itu sendiri tetapi hanya atas makhluk ciptaan. Dan, menurut ayat itu lagi, kuasa memerintah ini bersifat sejagat. Intinya, Adam harus menjadi penguasa bumi" [alinea pertama].
 Dalam ketakjubannya pemazmur menulis, "Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kau letakkan di bawah kakinya" (Mzm. 8:4-7; huruf miring ditambahkan). Adam mulai menjalankan kekuasaannya itu ketika dia memberi nama kepada makhluk-makhluk hidup lainnya (Kej. 2:19). "Wewenang memberi nama pada burung-burung dan binatang-binatang merupakan penegasan akan status Adam sebagai penguasa atas hewan-hewan" [alinea kedua: kalimat terakhir].
 Prinsip penatalayanan. Segera setelah Adam diciptakan, Allah menempatkannya di rumah alamiah yang asri, Taman Eden. "TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu" (Kej. 2:15; huruf miring ditambahkan). Kata Ibrani yang diterjemahkan dengan mengusahakan dalam ayat ini adalah עָבַד,`abad (dilafalkan: ävad), yang berarti bekerja atau melayani; sedangkan kata asli untuk memelihara adalah שָׁמַר, shamar (dilafalkan: syämar), yang artinya mengawasi atau melindungi. Sebelum Adam mempraktikkan wewenangnya dengan memberi nama kepada binatang-binatang itu, dia lebih dulu menerima tanggungjawabnya sebagai pemelihara dan pelindung alam ini.
 Kewajibannya atas alam tersebut menempatkan Adam selaku "penatalayan" Allah (=pelaksana tugas untuk dan atas nama Allah), dan dengan demikian kewajiban tersebut mengandung prinsip penatalayanan. "Taman itu merupakan hadiah kepada Adam, sebuah ungkapan kasih Allah, dan sekarang Adam telah diberi tanggungjawab atasnya, sebuah contoh lain dari kekuasaan yang Adam terima pada saat Penciptaan" [alinea terakhir: kalimat terakhir].
 Apa yang kita pelajari tentang kekuasaan yang Allah berikan kepada Adam?
1. Adam telah diciptakan menurut citra Allah, disertai dengan keunggulan-keunggulan, oleh sebab manusia itu akan memangku kekuasaan atas bumi ini dan semua ciptaan lainnya. 
2. Kekuasaan yang Allah berikan kepada manusia itu agar dia dapat melaksanakan pekerjaan serta tugas-tugas atas alam ini, untuk dan atas nama Sang Pencipta sebagai Pemilik. Dengan demikian maka manusia sesungguhnya adalah "penatalayan-penatalayan" Allah.
3. Dengan menyadari status asli yang diberikan Allah kepada manusia pada saat penciptaan, seyogianya kita manusia akan memiliki pandangan dan sikap yang lebih bertanggungjawab terhadap kelestarian alam ciptaan Allah ini.
2. PERLAKUAN TERHADAP HEWAN (Memelihara Ciptaan Lainnya)
 Pernyataan kepemilikan Allah. Di seluruh Alkitab dan dalam berbagai peristiwa Allah mengumandangkan kepemilikan-Nya atas alam semesta, termasuk Bumi dan segala isinya. Ketika bangsa Israel diperintahkan untuk mempersembahkan kurban lembu jantan dan domba jantan secara rutin dan teratur sebagai bagian dari peribadatan, sesungguhnya umat itu tidak membawa hewan-hewan kurban sebagai pemberian mereka kepada Allah. Sebab, sebagaimana dikatakan-Nya, "Tidak usah Aku mengambil lembu dari rumahmu atau kambing jantan dari kandangmu, sebab punya-Kulah segala binatang hutan, dan beribu-ribu hewan di gunung. Aku kenal segala burung di udara, dan apa yang bergerak di padang adalah dalam kuasa-Ku" (Mzm. 50:9-11).
 Allah memiliki dunia ini dan segala hewan yang ada di dalamnya oleh karena Dialah yang telah menciptakan semua itu. Sebagai Pencipta alam semesta Allah layak menerima puji-pujian dan penghormatan dari seluruh makhluk ciptaan-Nya, sebagaimana diakui oleh kedua puluh empat tua-tua seperti yang disaksikan Yohanes Pembaptis dalam suatu penglihatan (Why. 4:11). "Penciptaan hewan-hewan bukanlah sebuah kebetulan atau gagasan yang muncul belakangan. Allah sengaja menciptakan mereka. Adalah kehendak-Nya bahwa semuanya itu harus ada, dan prinsip ini harus menuntun perlakuan kita atas mereka" [alinea pertama].
 Sekarang, apa hubungannya antara menjadi penyayang binatang dengan vegetarisme? Sebagian orang yang berpandangan ekstrem telah mengaitkan pola makan tanpa daging sebagai bukti nyata dari sikap menyayangi binatang. Bahkan, seorang pendukung vegetarisme dalam forum di situs veggieboards menuding bahwa orang yang mengaku penyayang binatang tapi masih makan daging adalah munafik. Namun, tentu saja kita tidak bisa menjadi terlalu naif dalam hal ini. Menjadi penyayang binatang adalah masalah kesadaran moral, sedangkan pilihan untuk menjadi vegetaris adalah soal pertimbangan kesehatan. Seorang yang non-vegetaris bisa saja adalah seorang yang peduli dunia satwa, sementara seorang vegetaris yang ketat mungkin saja adalah seorang yang tidak suka binatang. Pandangan manusia terhadap hewan yang hidup di alam bebas dengan daging hewan di atas meja makan tentu berbeda sekali.
 Pena inspirasi menulis: "Seorang yang mempunyai Kristus tinggal di hatinya tidak akan berlaku kasar sekalipun kepada ternaknya, karena mereka itu adalah makhluk ciptaan Tuhan. Seorang yang memiliki pengaruh kasih karunia Allah yang menghaluskan dan melembutkan di hatinya tidak akan memukul, menyakiti, atau menyepak ternaknya dengan cara yang tidak mempunyai rasa kasihan. Dia akan ingat bahwa malaikat-malaikat Tuhan menuntut tanggungjawab atas kata-katanya yang keras dan kasar serta tindakannya yang kejam. Surga tidak akan pernah dihuni oleh orang-orang yang bertabiat seperti itu" (Ellen G. White, Manuscript Releases, jld. 21, hlm. 331).
 Status manusia dan evolusionisme. Banyak orang yang sangat bangga jika mengetahui dirinya berasal dari garis keturunan tertentu yang secara tradisional memiliki status sosial terpandang di masyarakat, tetapi tidak ada yang merasa bangga jika dikatakan dirinya berasal dari sejenis hewan semacam kera, sekalipun itu adalah "kera sakti" seperti Hanoman dalam tradisi kepercayaan Hinduisme. Meskipun paham evolusi mengakui manusia (homo sapiens) sebagai puncak pengembangan organisme yang paling tinggi dan sempurna, namun menyebut asal-usul manusia adalah dari hewan bukanlah gambaran yang menggembirakan buat saya. Meskipun manusia memang terbuat dari debu dan pada akhirnya akan kembali kepada debu (Kej. 3:19), tetapi manusia adalah ciptaan tangan Allah dan nyawanya berasal dari mulut Allah sendiri (Kej. 2:7).
 "Namun, pada saat yang sama, sebagian orang telah melangkah terlalu jauh dengan mengklaim bahwa pada hakekatnya manusia tidak lebih penting daripada binatang, dan oleh sebab itu manusia tidak harus diberi perlakuan istimewa. Dalam banyak cara hal ini merupakan alur pemikiran yang secara logis mengalir dari suatu model evolusi tentang asal-usul manusia. Lagi pula, jika kita dan binatang hanya dipisahkan oleh waktu dan nasib, mengapa kita harus menjadi lebih istimewa dari mereka?" [alinea ketiga: tiga kalimat pertama].
 "Kemanusiaan itu sendiri adalah sebuah martabat," kata Immanuel Kant (1724-1804), filsuf dan antropolog Jerman yang terkenal dengan teorinya bahwa dalam diri manusia ada suatu kewajiban moral yang sangat penting dan mutlak (categorical imperative). Prof. Holmes Rolston III, guru besar ilmu filsafat dari Universitas Colorado, yang dianggap sebagai salah seorang filsuf modern dan terkenal dengan kontribusi pandangannya dalam masalah etika lingkungan serta hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama, menulis: "Martabat manusia adalah hasil dari (1) sifat dari dan dalam kodrat manusia, dan (2) budaya di mana manusia itu menumbuhkan tabiat mereka. Manusia menghidupkan kehidupan yang berujud. Perwujudan ini, bukan berarti tidak dihargai, adalah penting tapi tidak mencukupi. Hayat kemanusiaan kita membuka lebar ruang-ruang terhadap kemungkinan baru di mana martabat kita dapat (bahkan harus) lebih terdidik dalam kebudayaan. Dalam hal ini, dengan memadukan keterbatasan biologis kita dengan penghalusan kebudayaan, secara radikal kita berbeda dari hewan" (Sumber: http://lamar.colostate.edu/~hrolston/human-uniqueness.pdf).
 Apa yang kita pelajari tentang perlakuan terhadap makhluk ciptaan lainnya?
1. Allah telah menciptakan hewan dan menyatakan bahwa makhluk-makhluk itu adalah milik-Nya. Kalau kita adalah orang-orang yang menghormati Tuhan tentu kitapun akan menghargai milik-Nya, sebab apa yang kita lakukan terhadap kepunyaan Tuhan pada dasarnya adalah perlakuan terhadap Dia.
2. Manusia lebih tinggi statusnya dari hewan, karena Allah telah menciptakan dan menentukannya demikian. Dengan menghargai ciptaan-ciptaan Tuhan lainnya, termasuk hewan, kita menghormati martabat kemanusiaan kita sendiri yang luhur dan bermoral.
3. Perlakuan yang baik terhadap hewan menunjukkan rasa tanggungjawab kita selaku pelindung dan pemelihara ciptaan-ciptaan Tuhan lainnya. Sebaliknya, memperlakukan hewan dengan kasar dan kejam menjadikan kita sebagai orang-orang yang tidak bertanggungjawab.
3. MERAYAKAN PENCIPTAAN (Hari Sabat dan Lingkungan)
 Hubungan kita dengan penciptaan. Manusia adalah bagian dari penciptaan, karena itu kita memiliki hubungan dengan Sang Pencipta dan juga dengan ciptaan-ciptaan lainnya. Bagaimana kita memahami hubungan-hubungan ini akan sangat mempengaruhi sikap dan perilaku kita terhadap ciptaan-ciptaan Tuhan yang lain itu. Ibaratnya, sikap dan perilaku kita terhadap saudara-saudara kandung seyogianya berbeda dengan sikap dan perilaku kita terhadap orang-orang lain yang bukan saudara atau tidak memiliki hubungan keluarga. Sebagaimana kedekatan kita dengan keluarga sendiri adalah karena sama-sama berasal dari satu keturunan, kedekatan kita dengan ciptaan-ciptaan lain adalah karena sama-sama berasal dari satu Pencipta.
 "Bagi sebagian orang ciptaan itu untuk dimanfaatkan, digunakan, bahkan dijarah sampai ke tingkat manapun demi untuk memenuhi keinginan dan kemauan kita. Sebaliknya bagi yang lain adalah menyembah ciptaan itu sendiri (baca Roma 1:25). Lalu ada pandangan alkitabiah yang seharusnya memberi kita sudut pandang yang berimbang dalam cara di mana kita berhubungan dengan dunia yang Tuhan ciptakan untuk kita" [alinea kedua].
 Belakangan ini banyak bencana alam terjadi yang berkaitan dengan kerusakan alam akibat ulah manusia. Pemanasan global, penipisan lapisan ozon, efek rumah kaca, anomali iklim, banjir dan kebakaran hutan adalah sebagian dari isu-isu yang telah menjadi keprihatinan para pemerhati lingkungan hidup sejak lama. Selain kerusakan alam, perilaku manusia juga telah menyebabkan banyak spesis flora dan fauna yang terancam punah, setidaknya di tingkat lokal. Tidak sedikit jenis buah-buahan maupun hewan yang sekarang sangat sulit untuk ditemukan, termasuk yang tergolong endemik (hanya terdapat di daerah tertentu saja). Saya tidak tahu, berapa banyak anak-anak dan cucu kita sekarang ini yang tidak pernah mengenal lobi-lobi (di daerah saya disebut tome-tome), buah berbentuk kelereng besar yang rasanya manis-kecut? Atau melihat burung gagak berbulu hitam pekat dengan paruh yang kukuh, jenis burung yang berperan dalam kisah nabi Nuh (Kej. 8:7) dan nabi Elia (1Raj. 17:6) itu? Di Amerika, burung-burung gagak masih bisa dijumpai mencari makan di pinggir jalan, suasana yang pernah saya alami pada masa kanak-kanak di kampung halaman lebih dari enampuluh tahun lalu. Entahlah kini.
 Sabat, hari perayaan penciptaan. Seperti pernah kita bahas terdahulu, kalau manusia dapat kita sebut sebagai "pangeran penciptaan" maka Sabat hari yang ketujuh dalam pekan adalah "mahkota penciptaan." Istilah-istilah ini menjadi lebih bermakna terutama bila kita mengingat perkataan Yesus, "Hari Sabat diadakan untuk manusia..." (Mrk. 2:27). Hari Sabat yang diadakan oleh Sang Pencipta di penghujung minggu penciptaan adalah karunia tersendiri bagi manusia, satu hari untuk dinikmati dengan cara berhenti dari segala aktivitas dan rutinitas sehari-hari. "Ketika Allah pada hari ketujuh telah menyelesaikan pekerjaan yang dibuat-Nya itu, berhentilah Ia pada hari ketujuh dari segala pekerjaan yang telah dibuat-Nya itu. Lalu Allah memberkati hari ketujuh itu dan menguduskannya, karena pada hari itulah Ia berhenti dari segala pekerjaan penciptaan yang telah dibuat-Nya itu" (Kej. 2:2-3; huruf miring ditambahkan).
 Pencantuman hukum Sabat hari yang ketujuh dalam Sepuluh Perintah (Hukum Keempat) adalah penegasan kembali akan pentingnya kedudukan hari Sabat dalam penciptaan, di mana manusia harus meniru apa yang Allah lakukan pada hari itu, yakni berhenti, memberkati, dan menguduskan. Dalam Sepuluh Perintah itu sangat jelas disebutkan alasan Allah memerintahkan manusia untuk berhenti "melakukan segala pekerjaan" (Kel. 20:9). "Sebab enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya TUHAN memberkati hari Sabat dan menguduskannya" (ay. 11; huruf miring ditambahkan). Perhatikan tiga hal yang disebutkan dalam kitab Kejadian diulangi kembali dalam kitab Keluaran.
 "Oleh mengarahkan kita kepada fakta bahwa Allah menciptakan kita dan dunia yang kita tempati ini, hari Sabat merupakan pengingat yang terus-menerus bahwa kita bukanlah ciptaan yang sepenuhnya otonom yang bisa berbuat apa saja yang diinginkan terhadap orang lain dan kepada dunia itu sendiri. Sabat seharusnya mengajarkan kita bahwa kita sesungguhnya adalah penatalayan-penatalayan, dan bahwa penatalayanan menuntut tanggungjawab" [alinea terakhir: dua kalimat pertama].
 Apa yang kita pelajari tentang kedudukan hari Sabat dalam penciptaan?
1. Hari Sabat dan kita manusia sama-sama adalah "produk" dari penciptaan. Manusia ada, dan hari Sabat itu juga ada, oleh sebab Allah yang mengadakannya. Dalam pengertian tertentu, hari Sabat merupakan "mahkota penciptaan" yang dikenakan kepada manusia sebagai "pangeran penciptaan."
2. Dalam Sepuluh Perintah Allah (Hukum Moral), perintah untuk berhenti pada hari Sabat dicantumkan supaya manusia selalu mengingat akan penciptaan alam semesta yang Alllah telah lakukan. Dengan kata lain, Sabat hari yang ketujuh adalah semacam "hari perayaan penciptaan" yang harus diperingati setiap minggu.
3. Perhentian pada Sabat hari ketujuh juga mengingatkan kita akan tanggungjawab kita sebagai penatalayan-penatalayan Allah untuk tugas perawatan dan pelestarian alam sebagai lingkungan hidup manusia maupun terhadap ciptaan-ciptaan lainnya.
4. TANGGUNGJAWAB PRIBADI (Penatalayan Terhadap Kesehatan Kita)
 Kemerosotan kondisi manusia. Manusia telah diciptakan dalam keadaan sempurna dan pada mulanya keadaannya "sungguh amat baik." Bahwa sekarang ini kondisi umum manusia jauh dari sempurna dan amat rentan terhadap macam-macam penyakit, itu adalah akibat dari suatu sebab: dosa. Dalam dunia biologi kondisi ini dikenal dengan sebutan dysgenics, sebuah istilah yang mulai digunakan tahun 1915 sebagai suatu kajian ilmiah tentang kemerosotan genetik dalam populasi manusia moderen, khususnya di kalangan bangsa-bangsa Barat.
 Sementara sebagian pakar kesehatan mengaitkan kondisi ini dengan kelainan genetik, para ilmuwan penganut ajaran evolusi menyebutnya sebagai akibat dari apa yang mereka sebut "pengenduran seleksi alam" (relaxation of natural selection), yaitu "proses oleh mana alam pada setiap generasi menyingkirkan yang tidak sehat dengan menurunkan kesuburan mereka dan dengan kematian dini." Francis Galton, keponakan Charles Darwin yang masih muda, adalah orang yang paling memikirkan masalah ini. Dia pun mengajukan solusi untuk mengatasinya dengan cara menggantikan seleksi alam itu dengan apa yang dia sebut "seleksi yang sengaja dirancang" (consciously designed selection) "melalui mana masyarakat akan mengontrol dan memperbaiki kualitas genetika mereka sendiri." Untuk itu dia menyodorkan istilah eugenics (1883). Tetapi belakangan ditetapkan bahwa istilah yang dipakai untuk kemerosotan genetika adalah dysgenics, sedangkan eugenics digunakan untuk memperbaiki kondisi tersebut. (Sumber: Richard Lynn--http://www.ulsterinstitute.org/preview/DYSGENICS_chapter1.pdf).
 "Berlawanan dengan model evolusi--di mana penyakit dan kematian adalah bagian dari sarana utama penciptaan--hal-hal ini datang hanya setelah kejatuhan, sesudah masuknya dosa. Jadi, hanya dengan latar belakang riwayat Penciptaan maka kita dapat memahami dengan lebih baik ajaran Alkitab tentang kesehatan dan penyembuhan" [alinea pertama: dua kalimat terakhir].
 Memelihara bait Tuhan. Prinsip alkitabiah menyatakan bahwa segala ciptaan, termasuk manusia, adalah milik Allah sebagai Pencipta. Artinya, manusia tidak dapat memperlakukan ataupun memanfaatkan tubuhnya sesuka hati seperti miliknya sendiri. Kembali lagi, dalam hal ini berlaku konsep penatalayanan, bahwa kita hanyalah penatalayan Allah atas tubuh kita--merawat tubuh kita sendiri untuk dan atas nama Sang Pencipta. Dalam perkataan lain, tubuh oleh mana kita hidup ini adalah "titipan" Allah untuk dipelihara, dirawat, dan digunakan bagi maksud-maksud Allah selaku Pemilik dari tubuh kita ini. Hal ini merupakan tanggungjawab pribadi.
 Tulis rasul Paulus: "Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah -- dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!" (1Kor. 6: 19, 20). Sekali lagi, kedua ayat ini menegaskan kembali kepemilikan Allah atas diri kita karena dua hal, oleh penciptaan dan penebusan.
 "Tubuh kita adalah wahana bagi otak kita, dan adalah melalui pikiran kita Roh Kudus berkomunikasi dengan kita. Jika kita ingin memiliki persekutuan dengan Allah, kita harus merawat tubuh dan pikiran kita. Kalau kita menyalahgunakan tubuh kita, maka kita merusak diri kita, baik secara fisik maupun rohani. Menurut ayat-ayat ini, seluruh pertanyaan tentang kesehatan itu sendiri, dan bagaimana kita merawat tubuh kita, yakni 'bait Allah,' merupakan masalah moral yang mengandung akibat-akibat yang abadi" [alinea kedua].
 Apa yang kita pelajari tentang penatalayanan terhadap kesehatan kita?
1. Pada mulanya manusia telah diciptakan dalam keadaan sangat sempurna dan amat baik. Kejatuhan manusia ke dalam dosa telah mengubah segalanya, mendatangkan kemerosotan atas seluruh ciptaan dengan semua akibatnya secara turun-temurun.
2. Manusia boleh berusaha dan mengikhtiarkan segala cara untuk memperbaiki keadaan dirinya yang merosot akibat dosa, tetapi apapun itu tidak akan pernah bisa mengembalikan kondisi semula sebelum berdosa. Tetapi ada pengharapan, bila Yesus datang kedua kali semuanya akan dipulihkan.
3. Sementara menantikan saat itu, kita mengemban tanggungjawab pribadi untuk merawat tubuh kita ini agar selalu sehat. Perawatan tubuh yang benar bukanlah dengan motivasi penampilan diri, melainkan atas kesadaran bahwa tubuh kita ini adalah "bait Allah" di mana Roh Tuhan tinggal.
5. MERAWAT MILIK TUHAN (Prinsip-prinsip Penatalayanan)
 Pemberian Allah yang baik dan sempurna. Adalah suatu kenyataan yang membesarkan hati bahwa meskipun manusia sudah berdosa dengan melawan perintah Allah, namun Tuhan tidak pernah berhenti mengaruniakan hal-hal yang baik kepada manusia. Mengapa? Karena Tuhan tetap memperlakukan kita sebagai para penatalayan-Nya. Dan rasul Yakobus menyaksikan, "Setiap pemberian yang baik dan hadiah yang sempurna datangnya dari surga, diturunkan oleh Allah, Pencipta segala terang di langit. Ialah Allah yang tidak berubah, dan tidak pula menyebabkan kegelapan apa pun" (Yak. 1:7, BIMK; huruf miring ditambahkan).
 Perhatikan, sang rasul menekankan perihal sifat Allah "yang tidak berubah" sebagai jaminan bahwa setiap pemberian dan anugerah dari pada-Nya itu selalu "baik" dan "sempurna." Kata asli untuk baik di sini adalah ἀγαθός, agathos, sebuah kata-sifat yang juga mengandung arti berguna dan unggul. Sedangkan kata asli untuk sempurna pada ayat ini adalah τέλειος, teleios, kata-sifat yang artinya tidak ada kekurangan yang perlu ditambahkan. Jadi, semua pemberian Allah kepada manusia selalu memiliki keunggulan serta berguna, dan setiap anugerah ataupun hadiah dari pada-Nya itu selamanya tidak mengandung kekurangan apapun. Tidak ada hadiah, pemberian, atau anugerah apapun dari dunia ini yang sebanding dengan apa yang diberikan oleh Tuhan kepada kita.
 Konsep penatalayanan alkitabiah. Sekarang, coba kita berintrospeksi dan menyelidiki hidup kita masing-masing: pemberian dan hadiah apa saja yang Allah sudah berikan kepada anda dan saya selama hidup? Seberapa besar manfaat dari pemberian itu dalam kehidupan kita, dan bagaimana kita melihat keunggulan dari pemberian itu dibandingkan dengan apa yang orang lain miliki atau tidak miliki? Talenta dan bakat? Kecerdasan dan kemampuan berpikir? Kesehatan dan kekuatan fisik? Pengaruh dan reputasi? Kekayaan dan kemakmuran? Waktu dan kesempatan? Pemeliharaan dan pimpinan Tuhan? Rumahtangga dan keluarga? Kita sering menyebut pemberian dan anugerah Tuhan itu dengan berkat, dan semakin anda merenungkannya kian bertambah pula daftar berkat-berkat Tuhan dalam hidup anda.
 Nah, bagaimana anggapan anda dengan semua pemberian Tuhan tersebut, apakah itu dihadiahkan kepada anda untuk dinikmati sendiri dan demi kepentingan pribadi anda saja? Nasihat rasul Petrus adalah, "Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik dari kasih karunia Allah" (1Ptr. 4:10; huruf miring ditambahkan). Kata asli yang diterjemahkan dengan pengurus dalam ayat ini adalah οἰκονόμος, oikonomos, sebuah kata-benda maskulin dalam bahasa Grika yang berarti pengelola (Bhs. Inggris: manager). "Pada akhirnya, karena Allah adalah Pencipta kita, dan oleh sebab segala sesuatu yang kita miliki adalah karunia dari Dia, maka kita diwajibkan di hadapan-Nya untuk menjadi penatalayan-penatalayan yang baik atas apapun yang telah dipercayakan kepada kita" [alinea pertama: kalimat terakhir].
 Melalui perumpamaan tentang talenta (Mat. 25:14-30), Yesus menuntut kita untuk menjadi pengelola-pengelola yang baik dan bertanggungjawab atas milik Tuhan yang dikaruniakan kepada kita. Dalam perumpamaan ini ada beberapa pesan pekabaran yang kita dapatkan: (1) Karunia-karunia yang tidak sama itu, baik jumlah maupun jenisnya, mencerminkan keadilan Tuhan yang mengetahui kesanggupan seseorang; (2) Setiap orang diberi waktu dan kesempatan yang sama untuk menggunakan talentanya; (3) Pemberian atau karunia itu hanya titipan dari Tuhan, bukan milik kita; (4) Karunia atau talenta itu dipercayakan kepada kita supaya digunakan, bukan untuk disimpan; dan (5) Tuhan menuntut hasil keuntungan atau nilai tambah dari karunia-karunia itu, bukan sekadar kembali modal.
 "Masing-masing mempunyai tempatnya dalam rencana kekekalan surga. Masing-masing harus bekerjasama dengan Kristus untuk keselamatan jiwa-jiwa. Tidak lebih pasti tempat yang disediakan bagi kita di istana surgawi daripada tempat khusus yang ditentukan di dunia ini di mana kita harus bekerja bagi Tuhan" [alinea terakhir: tiga kalimat terakhir].
 Apa yang kita pelajari tentang prinsip-prinsip alkitabiah tentang penatalayanan?
1. Allah tetap mengaruniakan kepada manusia berbagai pemberian sejak masa penciptaan hingga sekarang ini, dan semua itu pun tetap sempurna dan baik. Hal ini karena Tuhan tidak pernah berubah, baik kemarin, sekarang, dan selama-lamanya (Ibr. 13:8; Mal. 3:6).
2. Setiap orang yang dipercayakan dengan pemberian dari Allah dengan sendirinya menjadi pengelola (manajer) atas milik Tuhan yang dititipkan kepadanya. Pertanggungjawaban kita harus berupa hasil-hasil dari penggunaan karunia tersebut.
3. Pemberian dan karunia dari Tuhan diberikan dalam jumlah dan jenis yang berbeda-beda, sesuai dengan penilaian Tuhan akan kesanggupan kita masing-masing. Keadilan tidak berarti harus sama rata; keadilan berarti proporsional.
PENUTUP
 Hidup untuk melayani. Sementara bagi banyak orang hidup itu adalah untuk dinikmati, bagi kita sebagai umat Tuhan hidup itu adalah untuk melayani. Pemahaman ini didasarkan pada keyakinan bahwa kita adalah milik Tuhan, oleh penciptaan maupun penebusan, dan keberadaan kita bukan semata-mata untuk diri kita sendiri melainkan untuk melayani Tuhan.
 "Pengikut-pengikut Kristus telah ditebus untuk melayani. Tuhan kita mengajarkan bahwa tujuan hidup yang sebenarnya ialah pelayanan. Kristus sendiri adalah seorang pekerja, dan kepada semua pengikut-Nya Ia memberikan hukum tentang pelayanan--melayani Allah dan sesama manusia. Di sini Kristus menyajikan kepada dunia suatu pengertian tentang kehidupan yang lebih tinggi dari apa yang pernah mereka ketahui" [empat kalimat pertama].
 Anda dan saya--maupun setiap orang yang menyadari dan merasakan tanggungjawab ini--dapat melayani Tuhan dengan apa yang telah dikaruniakan-Nya kepada kita masing-masing, yaitu berbagai potensi dan sumberdaya pribadi yang kita miliki. Allah itu maha adil, Dia tidak menuntut kita untuk melayani-Nya tanpa lebih dulu melengkapi kita dengan berbagai karunia dan pemberian yang bermanfaat dalam pelayanan dimaksud. Melayani adalah gaya hidup umat Kristen sejati, dalam pelayanan vertikal kepada Tuhan dan pelayanan horisontal terhadap sesama manusia.
 Sesungguhnya, pelayanan itu bukanlah memberikan sesuatu dari sumberdaya kita, melainkan memanfaatkan sesuatu dari perbendaharaan Tuhan yang ada dalam diri kita. Sebab anda dan saya hanyalah penatalayan atas milik Tuhan, layaknya seorang manajer yang diangkat untuk mengelola "bisnis" Tuhan di dunia ini. Minimal kita bisa melayani Dia dengan merawat dan memelihara lingkungan hidup di mana kita berada. Sebagaimana semboyan PBB untuk pelestarian alam, Think globally, act locally, sembari peduli terhadap kondisi Bumi secara menyeluruh kita dapat berbuat sesuatu yang sederhana di lingkungan kita sendiri.
 "Aku bersyukur kepada Dia, yang menguatkan aku, yaitu Kristus Yesus, Tuhan kita, karena Ia menganggap aku setia dan mempercayakan pelayanan ini kepadaku..." (1Tim. 1:12).



SUMBER :

1.   James L. Gibson, Dir.Geoscience Research Institute, Lomalinda: “Asal “Usul, Penuntun Guru Pelajaran Sekolah Sabat Dewasa, Trw.I, 2013. Bandung: Indonesia Publishing House.
2.   Loddy Lintong, California U.S.A.