Minggu, 26 Mei 2013

ADA ENAM KEKELIRUAN ORANG TUA



Orangtua tak luput dari kesalahan. Yang diperlukan adalah kesadaran untuk memperbaikinya.



Kasih sayang kita kepada buah hati saja tak cukup. Lebih dari itu, kita perlu menyampaikannya secara wajar, tak berlebihan, dan masuk akal. Sebagai orangtua, kita sering bersikap keliru. Keliru soal sikap, keliru bicara, bahkan bisa saja keliru dalam memilih. Sebagai contoh, baju yang kita belikan untuk anak ternyata tak ia suka. Ini wajar dan jangan sampai membuat kita patah semangat. Yang penting, setiap kali kita berbuat kesalahan, kita bersedia minta maaf.
Permintaan maaf bukanlah untuk merendahkan kita sebagai orangtua, tetapi justru menanamkan anak nilai-nilai keberanian dan tanggung jawab. Nanti, anak akan meniru sikap ksatria kita itu. Demikian dikemukakan oleh Tanya Remer Altmann, MD., penulis buku Mommy Calls: Dr. Tanya Answers Parent's Top 101 Question about Babies and Toddlers sekaligus dokter anak di Los Angeles.
Simak juga penjelasan Elly Risman Musa, Psi, Ketua Pelaksana Yayasan Kita dan Buah Hati mengenai enam kekeliruan yang umum dilakukan oleh orangtua. Pelajari dan segera perbaiki.
1.   Kita sering: Memberi terlalu banyak nasehat.
Dampak : Anak malah tak peduli dengan apa yang kita katakan. Karena terlalu banyak informasi, mereka jadi bingung inti pesan yang ingin disampaikan. Ketika anak tidak melakukan apa yang kita mau karena bingung, mereka kita cap sebagai anak yang tak punya rasa hormat.
Perbaiki dengan : Ganti cara penyampaian. Gunakanlah kalimat-kalimat pendek, terutama kepada anak laki-laki.
2.   Kita sering : Turun tangan di setiap persoalan anak-anak.
Dampak : Anak jadi tak mendiri, manja, dan tidak punya rasa tanggung jawab. Mereka merasa tak perlu berusaha dan berjuang mendapatkan apa yang diinginkan karena semua sudah tersedia.
Perbaiki dengan : Memberi bantuan sesuai kondisi dan usia. Untuk anak di bawah usia 5 tahun, orangtua bisa meminta anaknya mencoba melakukannya lebih dulu sambil memberi arahan. Untuk anak berumur di atas 5 tahun, sebaiknya orangtua mengatur kesepakatan. Misalnya, anak harus mengerjakan PR-nya sendiri. Bila setelah mencoba ia masih tetap kesulitan, barulah dibantu.
3.   Kita sering : Membentak anak saat ia menangis atau berteriak-teriak di mal.
Dampak : Anak semakin malu dan takut sehingga berteriak lebih keras lagi. Kita jadi bingung karena tak tahu apa yang ia rasakan dan inginkan.
Perbaiki dengan : Melakukan 4 langkah ini:
1. Jangan panik dan tak perlu malu terhadap orang lain yang menonton.
2. Peluk dan tenangkan anak. Tanya perlahan, "Ada apa?" Lalu tunggu jawabannya. Jika ia tidak menjawab, bawa anak ke tempat sepi dan tunggu sampai ia berhenti menangis.
3. Jika anak sudah mengatakan maunya, carikan solusi terbaik. Tetapi, tak perlu harus menuruti semua keinginannya yang tidak masuk akal.
     4. Kita sering : Mengajari anak latihan buang air di toilet terlalu dini.
Dampak : Anak merasa dipaksa. Karena usianya terlalu muda (batita), otak anak belum bisa menangkap pentingnya latihan ini.
Perbaiki dengan : Mengajari anak dengan sabar. Idealnya, latihan toilet dikenalkan sejak usia 1-1,5 tahun dan harus disertai penjelasan sederhana dan berulangkali bahwa semua orang harus "pupu" dan pipis di tempatnya. Berikan pujian untuk setiap kemajuan anak, betapapun kecilnya.
5.   Kita sering : Langsung berkata “tidak” ketika anak ingin jajan permen.
Dampak : Anak sembunyi-sembunyi jajan karena tidak memahami mengapa ia tidak boleh makan permen. Perintah dan larangan yang tidak disertai penjelasan, hanya akan melahirkan kepatuhan sesaat.
Perbaiki dengan : Alih-alih hanya menolak, sebaiknya ceritakan juga tentang gula. Ajaklah ia mencicipi rasa gula. Lalu, tambahkan keterangan hal positif dan negatif gula. Misalnya, gula perlu dibatasi karena bisa bikin sakit gigi, meski rasanya enak. Ajak anak menghafal kalimat singkat seperti "Makan permen boleh, tapi tidak dalam jumlah terlalu banyak."
6.   Kita sering : Menegur anak dengan kemarahan.
Dampak : Anak justru melawan karena tak suka ditegur dan dibentak.
Perbaiki dengan : Ganti teguran dengan pertanyaan. Percakapan ini bisa menjadi gambaran.
Situasi : Anak berlari-lari tiada henti di dalam rumah.
Ibu : "Kamu sedang apa?"
Anak : "Lari."

Ibu : "Kita sepakat kalau di dalam rumah harus bagaimana, Nak?"
Anak : (sambil mengingat kesepakatan dengan ibunya) "Jalan."
Ibu : "Bisa kamu lakukan?"
Anak : (sudah sadar akan kesepakatan dengan ibunya) "Bisa."
Ibu : Bagus. Anak mama memang cerdas." (Atau berikan pujian lain).
Cara ini akan jauh lebih baik untuk membentuk iklim sehat di keluarga. Jadi, kita tak perlu berteriak, "Jangan lari, nanti jatuh!". Mungkin saja anak akan benar-benar jatuh karena kaget dengan cara kita menegurnya.
   Tentu masih banyak lagi kekeliruan yang kita sebagai orang tua sering lakukan, namun semoga ke enam kekeliruan ini boleh menjadi masukan kepada kita.  Tuhan memberkati!