Jumat, 03 Mei 2013

Amaran Terhadap Formalisme Keberagamaan (5)



"CARILAH TUHAN DAN HIDUPLAH! (AMOS)"

PENDAHULUAN

Hidup atau mati. Haruki Murakami, novelis kelahiran Jepang (1949), dalam karyanya bertajuk Blind Willow, Sleeping Woman menulis kata-kata ini, "Kematian bukanlah kebalikan dari kehidupan, tapi kematian adalah bagian dari kehidupan." Dalam pengertian tertentu pernyataan ini ada benarnya, khususnya bila kehidupan seseorang terus terkungkung dalam dosa tanpa pengharapan untuk kehidupan di balik kematian karena menolak keselamatan. Tidak demikian bagi orang-orang beriman dan setia memelihara iman mereka sampai Yesus datang kedua kali (1Kor. 15:51-53).

Namun, meskipun kehidupan abadi ditawarkan Allah kepada semua orang, kenyataannya banyak yang tidak memperolehnya karena mengabaikan tawaran itu. Bangsa Israel purba, misalnya, sekalipun sebagai umat pilihan tapi tidak semua mereka mendapatkannya. Bahkan ketika nabi Amos yang diutus Tuhan kepada mereka telah mengingatkan, "Carilah yang baik dan jangan yang jahat, supaya kamu hidup..." (Am. 5:24), banyak yang tidak menghargai amaran itu dan akibatnya binasa.
"Sekiranya bangsa Israel sudah setia kepada Allah, niscaya Ia sudah akan dapat melaksanakan maksud-Nya oleh kehormatan dan kemuliaan mereka. Sekiranya mereka sudah berjalan pada jalan-jalan penurutan, niscaya Ia sudah akan mengangkat mereka 'di atas segala bangsa yang telah dijadikan-Nya untuk menjadi terpuji, ternama dan terhormat" [alinea kedua: dua kalimat pertama].
Masalah Israel purba bukan sekadar kegagalan mereka untuk setia dan taat kepada perintah-perintah Allah, tetapi sebab mereka tidak meninggalkan gaya hidup keduniawian. Kelompok kelas atas di Israel pada masa itu, yaitu orang-orang kaya dan memegang kekuasaan, sedang menikmati kemakmuran dan kesenangan di atas penderitaan kaum miskin yang tertindas. Namun Tuhan tidak pernah berhenti mengasihi mereka, dan melalui nabi-nabi-Nya terus mengingatkan dan mengamarkan mereka supaya bertobat. Sifat panjang sabar Allah benar-benar terbukti dalam menghadapi sikap keras kepala umat Israel.
"Pekan ini, sementara kita lanjutkan mempelajari kitab Amos, kita akan melihat lebih banyak lagi cara-cara Tuhan meminta umat-Nya agar menyingkirkan dosa-dosa mereka dan kembali kepada Dia, satu-satunya Sumber Hidup yang sejati. Pada akhirnya, kita semua hanya mempunyai dua pilihan: hidup atau mati. Tidak ada jalan tengah. Amos menunjukkan kepada kita sedikit lebih jauh lagi tentang perbedaan-perbedaan mencolok dari kedua pilihan ini" [alinea terakhir].
1.   KARENA TAK MAU BERUBAH (Bencilah Kejahatan, Cintailah Kebaikan)
Menangisi Israel. "Dengarlah hai umat Israel! Aku hendak menyanyikan bagimu sebuah nyanyian duka," demikianlah Amos berkata kepada bangsa yang sedang berbuat kejahatan itu (Am. 5:1, BIMK). Oleh karena seorang nabi adalah utusan dan jurubicara Tuhan, maka tangisan nabi itu adalah juga tangisan Tuhan. Tapi, mengapa menangisi Israel?
"Maksud dari nyanyian duka dalam Amos 5:1-15 adalah untuk mengejutkan bangsa itu menghadapi kenyataan. Jika mereka bersikeras dalam dosa-dosa mereka, pasti mereka akan mati. Sebaliknya, jika mereka menolak kejahatan dan kembali kepada Tuhan, mereka akan hidup. Tabiat Allah adalah sedemikian rupa sehingga Dia mengharapkan kesesuaian dengan kehendak ilahi" [alinea kedua].

Nubuatan Amos atas Israel adalah sesuatu yang tragis dan dahsyat. Tragis, sebab Israel adalah negara yang belum begitu lama muncul--digambarkan sebagai "anak dara Israel"--tetapi belum apa-apa sudah akan "terkapar di atas tanahnya" (ay. 2), yaitu di negeri mereka sendiri yang tidak lain adalah warisan yang dijanjikan Allah kepada nenek moyang mereka. Dahsyat, karena ketika tentara-tentara mereka maju ke medan perang sebagian besar akan mati dan hanya 10% saja yang tersisa (ay. 3). Ini adalah suatu kekalahan paling memalukan sekaligus mengerikan bagi sebuah bangsa yang ketika mereka datang telah menyebar teror kepada bangsa-bangsa di kawasan itu berkat kemenangan-kemenangan mereka yang sangat fantastis.

Harus berubah. Amos mengungkapkan latar belakang dosa Israel, sehingga hukuman Allah akan menimpa mereka, melalui nasihat ini: "Carilah yang baik dan jangan yang jahat, supaya kamu hidup...bencilah yang jahat dan cintailah yang baik" (Am. 5:14-15). Peringatan ini jauh lebih luas dari sekadar bertobat; bangsa itu harus berubah. Amaran supaya mereka mencari dan mencintai kebaikan menunjukkan bahwa pada waktu itu kehidupan bangsa ini sarat dengan kejahatan, dan sekarang mereka harus membenci hal-hal yang jahat itu lalu kembali mencintai hal-hal yang baik. Tentu saja ini menyangkut mentalitas (=cara berpikir), dari yang tadinya cenderung kepada perilaku-perilaku jahat sekarang harus berubah untuk condong kepada perilaku-perilaku yang baik.

Sebagai umat Tuhan, kita harus memiliki dan mengembangkan "pancaindera yang terlatih untuk membedakan yang baik daripada yang jahat" (Ibr. 5:14; bukan ay. 24 seperti yang tercetak dalam PSSD). Sebagaimana nasihat rasul Paulus, "Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik" (Rm. 12:9). Raja Salomo berkata, "Takut akan TUHAN ialah membenci kejahatan; aku benci kepada kesombongan, kecongkakan, tingkah laku yang jahat, dan mulut penuh tipu muslihat" (Ams. 8:13).

"Amos mengajak orang banyak itu bukan hanya berhenti mencari yang jahat tapi juga membenci kejahatan dan mencintai kebaikan. Perintah pada bagian ini bersifat bertahap. Katakerja mencintai (Ibr. 'ahav') dan membenci ('sane') dalam Alkitab seringkali merujuk kepada keputusan dan tindakan, bukan sekadar perasaan dan sikap. Dengan kata lain, perubahan dalam sikap bangsa itu akan menuntun kepada perubahan dalam tindakan mereka" [alinea ketiga].

Kekacauan moral. Allah berfirman melalui nabi Yesaya, "Celakalah mereka yang menyebutkan kejahatan itu baik dan kebaikan itu jahat, yang mengubah kegelapan menjadi terang dan terang menjadi kegelapan, yang mengubah pahit menjadi manis, dan manis menjadi pahit" (Yes. 5:20). Apa yang kita hendak katakan tentang orang-orang yang "menyebut jahat itu baik dan baik itu jahat"? Ini bukan sekadar kerancuan berpikir, tapi kekacauan moral atau penjungkirbalikkan nilai-nilai moral. Inilah kondisi moral bangsa Israel purba, dan keadaan seperti ini sedang menggejala di kalangan "orang Israel rohani" dewasa ini.

Namun, tentu saja, kita tidak boleh melakukan jeneralisasi (menyamaratakan). Kita patut bersyukur karena ada sebagian umat Allah dan hamba-hamba Tuhan yang tetap tegar berpegang pada kebenaran sekalipun mereka mesti mengalami tantangan yang berat, bahkan menghadapi persekongkolan-persekongkolan yang ingin menggilas mereka dan yang berusaha hendak mematikan karir dan membunuh karakter mereka.

"Semua orang yang pada hari yang jahat itu mau melayani Allah tanpa rasa takut sesuai dengan suara hati nurani akan memerlukan keberanian, keteguhan hati, dan pengetahuan akan Allah dan firman-Nya; oleh sebab orang-orang yang benar di hadapan Allah akan dianiaya, motif mereka akan diragukan, dan usaha-usaha mereka yang paling baik disalahtafsirkan, dan nama-nama mereka dicoret sebagai yang jahat. Setan akan bekerja dengan segala kuasa penipuannya untuk mempengaruhi hati dan mengaburkan pengertian, untuk menjadikan yang jahat kelihatan baik dan yang baik itu jahat" [alinea keempat].

Apa yang kita pelajari tentang amaran agar membenci kejahatan dan mencintai kebaikan?
1. Nabi Amos berusaha untuk menarik perhatian bangsa Israel purba terhadap nasib tragis yang menunggu mereka dengan menyebut nubuatan yang hendak diutarakannya sebagai sebuah "nyanyian duka." Tidak berlebihan, sebab memang itulah yang bakal terjadi kalau mereka tidak bertobat.
2. Waktu itu kondisi rohani bangsa Israel purba sudah sampai pada taraf "kekacauan moral" sebab hal yang jahat dianggap baik dan hal yang baik dibilang jahat. Siapa yang berani berkata bahwa kekacauan moral yang sama tidak terjadi pada umat Tuhan sekarang ini?
3. Untuk luput dari hukuman Allah yang dinubuatkan oleh Amos, umat Israel harus berbuat suatu hal: berubah. Perubahan itu harus meliputi kerohanian dan cara berpikir, berbalik dari praktik-praktik hidup mereka. Amaran yang sama juga berlaku bagi kita dewasa ini.

2. BERTUHAN DENGAN LEBIH SERIUS (Beragama Seperti Biasa)

Beragama adalah hal yang serius. Ketika beberapa tahun silam dunia mengalami krisis ekonomi yang parah, di mana-mana orang menuntut agar pemerintah maupun pelaku bisnis tidak lagi doing business as usual (bekerja seperti biasa-biasa saja). Artinya, harus ada upaya dan ikhtiar untuk mengurus ekonomi dengan lebih serius lagi. Dalam pengertian yang sama juga, bilamana kehidupan kita tengah dilanda masalah dan kesulitan, biasanya orang jadi lebih serius beribadah dan tidak "beragama seperti biasa-biasa saja." Kehidupan beragama yang biasa-biasa saja adalah keberagamaan yang formalitas atau sekadar rupa, menjalankan ibadah tetapi ajaran-ajaran agama tidak diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Orang Israel purba juga menghadapi masalah yang sama, kehidupan beragama mereka berjalan seperti biasa-biasa saja sehingga menjadi sia-sia dan tidak berterima bagi Tuhan. "Aku benci dan muak melihat perayaan-perayaan agamamu! Kalau kamu membawa kurban bakaran dan kurban gandum, Aku tidak akan menerimanya..." Allah berkata dengan tegas seraya melanjutkan, "Hentikan nyanyian-nyanyianmu yang membisingkan itu; Aku tak mau mendengarkan permainan kecapimu. Lebih baik, berusahalah supaya keadilan mengalir seperti air, dan kejujuran seperti sungai yang tak pernah kering" (Am. 5:21-24, BIMK; huruf miring ditambahkan).

Beragama adalah hal yang serius dan tidak dapat dijalankan secara basa-basi. Menjalankan kehidupan beragama yang serius berarti menghidupkan setiap doktrin agama secara benar. Dengan mengamalkan ajaran-ajaran agama dengan sungguh-sungguh maka kehidupan kita akan dipengaruhi secara positif, antara lain tercermin dalam hubungan kita dengan orang lain. "Amos berkhotbah bahwa Allah memandang rendah tatacara agama yang kosong dari formalisme yang mati bangsa itu, dan Dia menyerukan kepada mereka untuk berubah. Tuhan tidak senang dengan bentuk-bentuk perbaktian lahiriah dan kosong yang dipersembahkan kepada-Nya oleh orang-orang yang pada waktu yang sama menindas orang-orang lain demi keuntungan pribadi" [alinea kedua: kalimat ketiga dan keempat].

Keadilan dan kebenaran. Tatacara (ritual) agama memang hal penting yang ditetapkan Allah dengan cermat. Ketelitian adalah bagian tak terpisahkan dari upacara agama yang ditentukan atas bangsa Israel (baca Im. 10:16-18). Tetapi karena sudah menjadi kebiasaan, tatacara agama yang bersifat lahiriah itu akhirnya kehilangan makna dan berjalan secara otomatis seperti gerakan sebuah mesin yang sudah terprogram. Padahal, sementara tatacara dalam upacara agama Yahudi harus dilakukan dalam kecermatan tinggi--karena setiap bagian mempunyai arti tersendiri--esensi dari apa yang dilambangkan dalam upacara agama mereka itu adalah hal penting yang mereka harus pahami dan amalkan.

Pekabaran Amos menguak masalah pokok dari kehidupan bangsa Israel purba, yakni konflik sosial antar golongan, sebab orang-orang kaya memperlakukan orang-orang miskin tanpa keadilan dan kebenaran. Berabad-abad kemudian, ketika berkhotbah kepada keturunan bangsa Israel itu di sebuah bukit, Yesus berkata: "Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu" (Mat. 5:23-24). Di sini Yesus mengajarkan bahwa peribadatan tidak ada artinya jika hubungan pribadi dengan sesama saudara seiman tidak dibereskan lebih dulu. Atau, dalam perkataan lain, perbaktian seseorang adalah sia-sia kalau orang itu masih tetap bermusuhan dengan saudaranya.

"Tuhan menyerukan umat yang sisa untuk menjauhkan diri mereka dari praktik-praktik kejahatan dan formalisme agama, dan sebagai gantinya membiarkan keadilan mengalir seperti sungai dan kebenaran mengalir seperti aliran air yang tidak pernah berhenti. Sementara keadilan menyangkut penegakan apa yang benar di hadapan Allah, kebenaran adalah kualitas hidup dalam hubungan dengan Allah dan orang-orang lain di tengah masyarakat. Gambaran yang ditampilkan di sini ialah mengenai orang-orang beragama yang agamanya telah merosot menjadi hampa selain dari bentuk dan upacara tanpa perubahan hati yang seharusnya menyertai iman yang benar. (Baca Ul. 10:16)" [alinea terakhir: tiga kalimat terakhir].

Apa yang kita pelajari tentang amaran terhadap beragama secara biasa-biasa saja?
1. Keberagamaan adalah hal yang serius, tapi bangsa Israel purba telah terjebak dalam kehidupan beragama yang biasa-biasa saja dan hanya mementingkan formalitas. Ini membuat keberagamaan mereka ditolak Tuhan yang akan mendatangkan hukuman atas mereka.
2. Ciri-ciri dari kehidupan beragama yang biasa-biasa saja, yaitu formalisme beragama yang tanpa makna, ialah tidak mengamalkan nilai-nilai agama yang sesuai dengan iman. Dalam kasus Israel purba hal itu ditandai dengan lenyapnya keadilan dan sirnanya kebenaran dalam kehidupan sosial mereka.
3. Umat Tuhan zaman akhir juga dapat terjebak dalam keberagamaan yang biasa-biasa saja jika hanya secara luar saja kelihatan taat beragama tetapi jiwa dan hatinya tidak. Yesus menyebutnya agama "kuburan yang dilabur putih" (Mat. 23:27).

3. MELAYANI SEBAGAI KAUM AWAM (Dipanggil Menjadi Nabi)

Profesionalisme kaum awam. Acapkali orang menggunakan istilah "profesional" untuk membedakannya dari "amatir" dalam hal yang berkaitan dengan keahlian, di mana seorang profesional dianggap lebih ahli dari seorang amatir dalam suatu bidang tertentu. Ini termasuk gaya bahasa yang rancu. Dalam dunia olahraga perbedaan antara profesional dan amatir bukan pada soal ketrampilan tapi soal penghasilan, apakah seorang atlet membiayai hidupnya sepenuhnya dari hasil berolahraga atau tidak. Misalnya, seorang petinju profesional seratus persen menggantungkan nafkahnya dari bertinju, sedangkan seorang petinju amatir tidak semata-mata hidup dari bertinju. Namun dalam hal kemampuan serta ketangkasan di atas ring bisa saja petinju amatir lebih unggul dari petinju profesional.

Umumnya di kalangan gereja Kristen para anggota jemaat biasa disebut dengan istilah "kaum awam" untuk membedakan mereka dari para pendeta atau pelayan gerejawi yang menerima gaji atau hidup dari pekerjaan mereka sebagai rohaniwan. Lazimnya, dalam hal pengetahuan dan pemahaman teologis para pendeta dan rohaniwan profesional yang telah melewati suatu tahap pendidikan formal teologia dianggap "lebih tinggi" ketimbang kaum awam atau anggota jemaat biasa yang tidak memiliki pendidikan serupa. Secara teoretis mestinya begitu, terutama dalam lingkup organisasi Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh (GMAHK) yang mewajibkan seorang pendeta untuk lebih dulu menempuh pendidikan teologia formal setara strata satu (S1 atau Sarjana Agama) dari lembaga pendidikan tinggi yang dikelola oleh organisasi gereja MAHK. Namun sesuai dengan paham alkitabiah bahwa setiap pengikut Kristus pada prinsipnya adalah seorang penginjil, dan berpedoman pada asas alkitabiah priesthood by all believers (keimamatan oleh semua orang percaya) yang juga dianut oleh Gereja MAHK, maka kaum awam harus dilatih untuk menjadi pelayan injil yang trampil di dalam maupun di luar gereja.

Salah satu cara pembinaan sistematis dan berkelanjutan adalah melalui pendalaman Alkitab dengan materi Pedoman Pendalaman Alkitab Sekolah Sabat, atau populer sebagai Pelajaran Sekolah Sabat Dewasa (PSSD), yang dibahas di kelompok-kelompok Unit Kerja Sekolah Sabat (UKSS) yang diadakan di tiap jemaat dan diikuti oleh semua anggota termasuk para rohaniwan. Jadi, materi PSSD dibahas bersama-sama antara semua anggota jemaat, yaitu kaum awam maupun rohaniwan, dan melalui diskusi interaktif inilah doktrin-doktrin Alkitab didalami oleh semua. Pembelajaran juga diadakan mulai dari tingkat balita, kanak-kanak, pra-remaja, remaja dan pemuda untuk mendidik mereka sejak dini. MAHK adalah gereja yang progresif yang mendorong dan memberi keleluasaan kepada setiap kaum awam untuk berpartisipasi dalam liturgi maupun pelayanan injil. Dalam hal ini, "kaum awam" tidak harus secara kaku diartikan sebagai kelompok yang "lebih rendah" pengetahuan Alkitabnya dibandingkan dengan rohaniwan profesional. Dalam sejarah gereja Advent, tidak sedikit pemahaman doktrin Alkitab yang merupakan kontribusi pemikiran dari anggota-anggota awam berkat adanya komitmen dan sikap seperti ini.

Amos, nabi kaum awam. Dalam ulasan pelajaran pekan lalu kita sudah mengenal siapa Amos, seorang petani dan peternak dari kampung Tekoa di Yehuda yang menerima panggilan ilahi untuk berkhotbah dan bernubuat bagi  Tuhan kepada umat Israel di Betel dan Samaria. Barangkali, ketika meninggalkan desanya Amos tidak berangkat dengan perasaan sebagai seorang nabi yang baru diangkat, atau merasa seperti seorang pendeta muda tamatan sekolah seminari yang baru ditahbiskan dan siap membangun karirnya yang dimulai dengan tugas penggembalaan di suatu tempat. Dia tetaplah seorang pemuda desa yang sederhana, seorang kaum awam, tetapi dengan rasa tanggungjawab bahwa dia sudah dipilih Allah untuk menjadi jurubicara-Nya. Hanya karena iman dan sifat pemberaninya saja yang membuat dia berangkat tanpa ragu.

Amazia, imam di kota Betel, tidak menyukai nubuatan-nubuatan yang dikumandangkan Amos perihal bangsa Israel dan raja Yerobeam karena isinya sangat mengerikan. Lalu imam itu melapor kepada raja, tak lupa dibumbui dengan fitnah seolah-olah sang nabi telah berkomplot dengan rakyat untuk menggulingkan raja. Tidak jelas apa reaksi raja terhadap laporan tersebut, tapi setelah melapor imam itu langsung keluar dan menemui Amos. "Hai nabi, pulanglah ke Yehuda! Berkhotbahlah di sana. Biarlah mereka yang memberi nafkah kepadamu! Jangan lagi berkhotbah di Betel. Kota ini khusus untuk raja, dan tempat ibadah nasional," katanya kepada nabi itu (Am. 7:12-13, BIMK). Terhadap pengusiran yang bernada menghina tersebut, sang nabi menyahut: "Aku bukan nabi karena jabatan. Sebenarnya aku peternak dan pemetik buah ara. Tapi TUHAN mengambil aku dari pekerjaanku, dan menyuruh aku menyampaikan pesan-Nya kepada orang Israel" (ay. 14-15, BIMK). Sesudah mengucapkan itu Amos lalu bernubuat tentang nasib tragis yang bakal menimpa Amazia dan keluarganya (ay. 17).

"Dalam tanggapannya kepada imam itu, Amos menegaskan bahwa panggilan kenabiannya datang dari Allah. Dia mengaku bahwa dirinya bukan seorang nabi profesional yang bisa diupah untuk pelayanannya. Amos menjauhkan dirinya dari nabi-nabi profesional yang bernubuat demi keuntungan...Akan tetapi, mengatakan kebenaran sama sekali tidak menjamin sambutan penerimaan, oleh sebab kebenaran seringkali bisa tidak menyenangkan, dan--kalau itu mengganggu mereka yang sedang berkuasa--hal itu dapat menimbulkan perlawanan serius" [alinea ketiga; dan alinea keempat: kalimat pertama, huruf miring ditambahkan].

Apa yang kita pelajari tentang panggilan Amos sebagai seorang nabi?
1. Seseorang tidak harus menjadi "profesional" dulu baru bisa digunakan oleh Tuhan untuk pekerjaan pelayanan-Nya. Allah tidak memanggil orang yang sanggup, tetapi Dia menyanggupkan orang yang dipanggil-Nya.
2. Amos adalah representasi dari golongan "kaum awam" dan orang-orang biasa yang dipanggil Tuhan untuk melakukan hal-hal yang luar biasa. Dalam melayani Tuhan, kriteria yang paling utama adalah ketulusan hati dan kesediaan untuk digunakan Allah.
3. Kualifikasi yang dibutuhkan untuk menyampaikan kebenaran bukanlah kecakapan, melainkan keberanian. Berani berkata benar di atas yang benar sekalipun langit runtuh, dan tidak mempan terhadap rayuan untuk berkompromi, itulah ciri-ciri profesionalisme sejati yang diperlukan dalam pekerjaan Tuhan.

4. BUSUNG LAPAR ROHANI (Jenis Kelaparan yang Terburuk)

Ketika Allah bungkam. Kehidupan bangsa Israel tidak pernah lepas dari tuntunan firman Allah melalui nabi-nabi-Nya, mulai dari saat mereka meninggalkan negeri perhambaan Mesir hingga memasuki dan bermukim di tanah perjanjian Kanaan. Bangsa Israel purba terbiasa mendapatkan petunjuk maupun nasihat yang langsung dari Tuhan melalui komunikasi lisan lewat para nabi. Karena itu nubuatan nabi Amos sungguh mengejutkan. "Akan tiba saatnya Aku mendatangkan bencana kelaparan di negeri ini. Orang akan lapar, tapi bukan lapar akan makanan. Orang akan haus, tapi bukan haus akan air. Mereka lapar dan haus akan pesan-Ku. Orang akan mengembara dari utara ke selatan dan dari timur ke barat untuk mendapatkan pesan-Ku, tapi mereka tidak akan menemukannya," katanya mengumumkan (Am. 8:11-12, BIMK).

Sistem pemerintahan Israel purba semula adalah teokrasi di mana bangsa itu diperintah langsung oleh Allah melalui nabi-Nya. Sesudah bermukim di Kanaan rakyat menuntut perubahan dan menghendaki sistem pemerintahan monarki, sebab mereka ingin dipimpin oleh seorang raja seperti bangsa-bangsa kafir di sekitar mereka. Meskipun tuntutan ini menyakiti hati Allah namun Ia memenuhi kehendak mereka (baca 1Sam. 8:6-9). Atas petunjuk Tuhan nabi Samuel lalu pergi mengurapi Saul, anak Kish dari suku Benyamin, menjadi raja pertama bangsa Israel (1Sam. 10:1) dan rakyat menyambutnya penuh suka (ay. 23-24). Mula-mula raja Saul yang masih belia itu memerintah dengan baik dan taat kepada Tuhan, tapi belakangan dia menjadi sombong dan keras hati lalu mengabaikan Tuhan. Allah kemudian menolak dia dan memilih Daud sebagai penggantinya. Saul masih tetap bercokol di istana sekalipun telah kehilangan legitimasi, dan pada saat yang kritis itu tentara Filistin siap untuk menyerbu. Nabi Samuel sudah wafat, dan Allah sengaja belum menunjuk nabi yang lain. Dalam ketakutannya Saul berusaha mencari petunjuk Allah tetapi tidak mendapatkannya sehingga dia pergi kepada seorang perempuan peramal nasib (1Sam. 28:6-7). Kevakuman yang sama kembali mengancam Israel.

Nubuatan nabi Amos tentang "kelaparan rohani" yang akan melanda Israel adalah juga akibat kesombongan dan kekerasan hati bangsa itu sebab pikiran mereka telah dikuasai oleh keduniawian. Tetapi tidak seperti raja Saul yang memang ditolak Allah, dalam kasus bangsa Israel pada zaman nabi Amos mereka sendiri yang menolak Allah. Akibatnya Tuhan menghukum mereka dengan dua bentuk kelaparan berturut-turut, yaitu kelaparan jasmani dan rohani. "Tragedi yang akan lebih menonjol di atas yang lain ialah kelaparan akan Firman Allah karena Allah akan bungkam, dan tidak ada kelaparan yang lebih buruk...Seringkali ketika bangsa Israel mengalami kesulitan yang besar, mereka akan berpaling kepada Tuhan untuk mendapatkan perkataan nubuat dalam pengharapan akan tuntunan. Kali ini jawaban Allah akan tetap membisu. Suatu bagian dari penghakiman Allah atas umat-Nya akan berupa penarikan Tuhan akan Firman-Nya melalui nabi-nabi-Nya" [alinea pertama: kalimat terakhir; dan alinea kedua].
Sebelum terlambat. Pada zaman Yesus, ketika keturunan Israel itu secara politik berada di bawah kekuasaan kekaisaran Romawi, pelayanan rohani menjadi urusan dan tanggungjawab rabi-rabi dan para pemuka agama. Tetapi tampaknya pelayanan itu terabaikan oleh sebab para pemimpin agama sibuk mengurus kepentingan diri sendiri. Yesus melihat penelantaran ini dan Dia pergi mengajar injil dari kampung ke kampung, sambil melakukan pelayanan-pelayanan kemanusiaan seperti menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati, dan mengusir roh-roh jahat dari tubuh korban-korban (Mat. 9:35). "Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala" (ay. 36; huruf miring ditambahkan).
Peradaban moderen juga pernah mengalami situasi seperti dialami orang Israel purba ketika manusia tidak memiliki akses kepada Firman Tuhan sebagai pedoman hidup, yaitu pada masa yang disebut "zaman kegelapan." Zaman yang juga dikenal dengan "Abad Pertengahan" itu berlangsung dari abad ke-5 sampai abad ke-15, yaitu setelah runtuhnya kekaisaran Romawi dan munculnya kekaisaran Byzantium yang berpusat di ibukota Byzantium (belakangan menjadi "Constantinople" atau "kotanya Constantine"). Pada masa itu agama dikendalikan oleh negara, Alkitab cuma tersedia dalam bahasa Latin dan hanya boleh dibaca oleh kaum paderi dan pemuka agama. Masyarakat luas tidak mempunyai akses terhadap Alkitab, dan Gereja dengan leluasa memanipulasi Firman Tuhan itu, sampai tiba era Reformasi Protestan di abad ke-16 dan ke-17 melalui gerakan perlawanan oleh Martin Luther dkk.
Sekarang ini, menurut data United Bible Society, per 31 Desember 2011 Alkitab sudah diterjemahkan ke dalam 2530 bahasa dan dialek di seluruh dunia. Bahkan, data pada Wycliffe Bible Translators menyebutkan angka 2798 bahasa dan dialek termasuk salinan Alkitab yang terbatas atau tidak seluruh bagian secara lengkap, di antaranya sekitar 30 dialek atau bahasa daerah di Indonesia yang diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia seperti yang saya miliki. Namun, sementara Alkitab yang kita percaya berisi Firman Allah itu sekarang dapat dengan mudah kita miliki--termasuk dalam bentuk aplikasi yang dapat diunduh secara gratis di komputer tablet maupun ponsel cerdas, dalam berbagai bahasa dunia--pertanyaan yang penting di sini adalah: Seberapa seringkah anda dan saya membaca dan mendalaminya untuk menjadi pedoman hidup dan sumber kekuatan iman? Mungkin Alkitab tidak akan pernah ditarik lagi dari masyarakat seperti terjadi pada zaman kegelapan dulu, tetapi ancaman yang lebih menakutkan adalah jika Roh Allah ditarik dari dunia ini dan kita kehilangan penuntun bahkan keinginan untuk membaca firman Tuhan.
"Jika umat Allah terus membandel, sang nabi berkata, waktunya akan datang bilamana mereka akan ingin sekali untuk mendengar pekabaran, tetapi sudah terlambat untuk berpaling kepada firman Allah dalam pengharapan untuk luput dari penghakiman...Seperti Saul sebelum pertempurannya yang terakhir (1Sam. 28:6), manusia suatu hari kelak akan menyadari betapa mereka membutuhkan Firman Allah" [alinea ketiga: kalimat pertama dan kalimat terakhir].
Apa yang kita pelajari tentang jenis kelaparan terburuk yang akan melanda manusia?
1. Diutusnya nabi Amos kepada bangsa Israel purba membuktikan bahwa Tuhan masih berkenan berhubungan dengan umat-Nya. Tetapi karena bangsa itu menolak pekabaran-Nya, Tuhan menghukum mereka dengan menutup hubungan komunikasi ilahi itu. 
2. Absennya firman Allah adalah "bencana kelaparan rohani" bagi satu umat yang hidupnya mengandalkan tuntunan firman Allah, karena sekarang mereka dibiarkan hidup dalam kegelapan. Situasi yang sama dapat dialami umat Allah pada zaman akhir jika terus menolak amaran Tuhan.
3. Dalam konteks umat Tuhan zaman ini, kelaparan rohani itu bukan karena Alkitab yang berisi Firman Allah tidak tersedia lagi, melainkan ditariknya Roh Allah sebagai satu-satunya Penerang terpercaya yang dapat memberi pengertian sesungguhnya tentang Firman yang tertulis.
5. PEKABARAN UNTUK SEGALA BANGSA (Reruntuhan Yehuda Dipulihkan)
Hari penampian. Amos pasal 9 diawali dengan penglihatan sang nabi mengenai Bait Suci di mana Allah tampak sedang berdiri di dekat mezbah. Allah berada di tempat kudus itu bukan membawa berkat melainkan mendatangkan kehancuran. Ia memerintahkan supaya tiang-tiang tempat kudus itu diguncang sampai kayu-kayunya runtuh menimpa kepala orang-orang yang berada di situ. Penglihatan Amos yang terakhir ini berbicara perihal penghakiman Allah atas umat-Nya yang terus membangkang. "Hulu tiang" dan "ambang-ambang" (ay. 1) merupakan bagian paling kokoh pada suatu bangunan sehingga apabila bagian-bagian itu runtuh maka dengan sendirinya seluruh bangunan akan roboh. Ini merupakan penghancuran total atas sebuah bangunan lama yang hendak dibangun kembali. Jadi, ini bukan sekadar renovasi tapi pembangunan kembali.
Selanjutnya nabi itu mendengar Tuhan berkata, "Aku akan memberi perintah dan menampi bangsa Israelseperti orang menampi gandum dalam nyiru. Untuk menyingkirkan semua yang tak berguna di antara mereka, Aku akan mengocok mereka di antara bangsa-bangsa" (Am. 9:9, BIMK; huruf miring ditambahkan). Ini sama seperti ucapan Yohanes Pembaptis yang bertutur tentang Yesus Kristus, "Di tangan-Nya ada nyiru untuk menampi semua gandum-Nya sampai bersih. Gandum akan dikumpulkan-Nya di dalam lumbung, tetapi semua sekam akan dibakar-Nya di dalam api yang tidak bisa padam!" (Luk. 3:17, BIMK).
Nabi Amos menyebut peristiwa ini sebagai "hari Tuhan" (Am. 5:18, 20), sebuah hari penghakiman yang pelaksanaannya harus dimulai dari "rumah Allah sendiri" atau pada lingkungan umat-Nya (1Ptr. 4:17). Namun penghakiman Tuhan itu tidak hanya membawa pehukuman atas mereka yang dianggap sebagai sekam, tapi juga menyediakan keselamatan bagi mereka yang tergolong sebagai gandum. "Hari Tuhan, sebelumnya digambarkan sebagai hari penghukuman (Amos 5:18), sekarang adalah hari keselamatan sebab keselamatan, bukan hukuman, adalah perkataan Allah yang terakhir kepada umat-Nya. Meskipun demikian, keselamatan akan datang sesudah penghukuman, bukan sebagai gantinya" [alinea pertama: dua kalimat terakhir].
Hari pemulihan. Jadi, "hari Tuhan" mengandung dua sisi negatif dan positif: sebagai hari pehukuman bagi orang jahat dan sebagai hari keselamatan bagi orang benar. Dalam konteks Israel purba, khususnya terkait dengan pekabaran nabi Amos, dua sisi dari "hari Tuhan" itu adalah saat di mana sebagian besar rakyat dan pemimpin bangsa yang bersalah itu dihukum, sedangkan sebagian lagi yang tetap setia dan benar diselamatkan. Orang-orang yang dianggap tidak berguna ("sekam") akan disingkirkan, tetapi mereka yang tergolong berharga ("gandum") akan dipulihkan.
"Para nabi Alkitab tidak mengajarkan bahwa pehukuman Allah adalah demi pehukuman itu sendiri. Di balik hampir semua amaran adalah seruan penebusan. Meskipun ancaman pembuangan sudah dekat, Tuhan menguatkan umat yang sisa dengan janji pemulihan pada negeri itu. Umat yang sisa akan menikmati pembaruan dari perjanjian itu. Mereka yang mengalami pehukuman akan melihat tindakan Allah untuk menyelamatkan dan memulihkan" [alinea ketiga].
Dalam skala yang lebih luas, janji pemulihan itu berlaku bukan saja bagi bangsa Israel sebagai umat pilihan Tuhan berdasarkan "perjanjian lama" yang diadakan Allah dengan Abraham, tetapi juga meliputi segala bangsa berdasarkan "perjanjian baru" di dalam Yesus Kristus. Seperti kata-kata pembelaan rasul Yakobus yang mengutip nubuatan nabi Amos, bahwa umat yang disebut sebagai "milik Allah" itu bukan hanya bangsa Israel saja tapi juga bangsa-bangsa lain di dunia (Kis. 15:13-20; Am. 9:11-12). Bahkan, Yesus Kristus sendiri sudah menegaskan, "Sesungguhnya akan datang waktunya...Aku akan mengadakan perjanjian baru dengan kaum Israel dan dengan kaum Yehuda, bukan seperti perjanjian yang telah Kuadakan dengan nenek moyang mereka..." (Ibr. 8:8-9; huruf miring ditambahkan). Dengan demikian, pekabaran Amos mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dari sekadar bangsa Israel purba pada zamannya saja, tetapi pekabaran itu juga relevan dan efektif untuk semua umat Tuhan sepanjang masa.
Pena inspirasi menulis: "Tuhan memperhatikan umat-Nya satu persatu; Dia mempunyai rencana-rencana bagi masing-masing. Adalah menjadi tujuan-Nya agar mereka yang mempraktikkan prinsip-prinsip-Nya yang suci haruslah menjadi orang-orang yang terhormat. Kepada umat Allah zaman ini maupun kepada Israel purba berlaku perkataan yang ditulis oleh Musa melalui ilham Roh: 'Sebab engkaulah umat yang kudus bagi TUHAN, Allahmu; engkaulah yang dipilih oleh TUHAN, Allahmu, dari segala bangsa di atas muka bumi untuk menjadi umat kesayangan-Nya.' Ulangan 7:6" (Ellen G. White, Testimonies for the Church, jld. 6, hlm. 12).
Apa yang kita pelajari tentang keruntuhan dan pemulihan Yehuda?
1. Penglihatan Amos yang terakhir adalah pekabaran tentang penghakiman Allah atas Israel dan Yehuda, yang disertai dengan penampian atas umat itu, merupakan pekabaran rangkap dua yang mengandung "pehukuman" dan "pemulihan."
2. Pekabaran nabi Amos yang terakhir itu bukanlah sebuah pekabaran yang sifatnya eksklusif bagi bangsa Israel purba saja, tapi itu juga mencakup semua bangsa pada segala zaman. Sebab umat yang disebut "milik Allah" bukan terbatas orang Yahudi saja tapi juga segala bangsa.
3. Israel purba memiliki keistimewaan oleh karena mereka adalah bangsa yang dipilih Allah berdasarkan perjanjian lama melalui siapa "prinsip-prinsip surgawi yang suci" dan "rencana keselamatan ilahi" seyogianya disebarkan ke seluruh dunia. Dengan kegagalan Israel maka tanggungjawab itu dibebankan kepada kita berdasarkan perjanjian baru di dalam Yesus Kristus.
PENUTUP
Membedakan benar dan salah. Kekristenan itu bersifat progresif, tidak statis. Kehidupan orang Kristen tak dapat tidak harus mengalami pertumbuhan rohani yang ditandai dengan pembaruan dalam perilaku dan gaya hidup. Melalui pertumbuan dan perubahan itu kita dapat menjadi sebagai anak-anak Allah yang semakin bertambah dewasa serta matang dalam pergumulan kita untuk semakin menyerupai Kristus. Rasul Paulus menasihati, "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna" (Rm. 12:2; huruf miring ditambahkan).
"Derajat kita di hadapan Allah bukan bergantung pada banyaknya terang yang telah kita terima, tetapi pada penggunaan dari apa yang kita miliki. Dengan demikian orang kafir sekalipun yang memilih apa yang benar sejauh yang dapat mereka bedakan, berada dalam satu keadaan yang lebih berkenan daripada mereka yang telah memiliki terang yang besar dan mengaku melayani Allah tetapi mengabaikan terang itu dan kehidupan mereka sehari-hari berlawanan dengan pengakuan mereka" [alinea pertama].
Dalam perkataan lain, memiliki "terang kebenaran" seperti yang sering dibanggakan oleh banyak orang, tidak menjamin bahwa kedudukan mereka di hadapan Tuhan adalah lebih baik ketimbang orang-orang lain yang dianggap tidak atau kurang mendapat terang kebenaran. Ini penting untuk diperhatikan, khususnya bagi sebagian orang yang karena "rajin" mengikuti pendalaman Alkitab dan mendengarkan uraian-uraian yang dianggap "baru" lalu merasa diri lebih berpengetahuan dan lebih benar daripada orang-orang lain. Terang kebenaran itu penting untuk dipelajari, sejauh "terang" itu sudah melalui suatu pengkajian dan pengujian (1Tes. 5:21; 1Yoh. 4:1). Namun yang lebih penting lagi ialah kalau kita menggunakan pengetahuan kebenaran itu untuk mencapai "kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus" (Ef. 4:13).
"Carilah TUHAN selama Ia berkenan ditemui; berserulah kepada-Nya selama Ia dekat! Baiklah orang fasik meninggalkan jalannya, dan orang jahat meninggalkan rancangannya; baiklah ia kembali kepada TUHAN, maka Dia akan mengasihaninya, dan kepada Allah kita, sebab Ia memberi pengampunan dengan limpahnya" (Yes. 55:6-7).
SUMBER :

1.   Zdravko Stefanofic, Profesor bidang studi Ibrani dan Perjanjian Lama, Universitas Walla Walla,U.S.A--- Penuntun Guru Pelajaran Sekolah Sabat Dewasa, Trw.II, 2013. Bandung: Indonesia Publishing House.
2.   Loddy Lintong, California U.S.A.