Orangtua
tak luput dari kesalahan. Yang diperlukan adalah kesadaran untuk
memperbaikinya.
Kasih
sayang kita kepada buah hati saja tak cukup. Lebih dari itu, kita perlu
menyampaikannya secara wajar, tak berlebihan, dan masuk akal. Sebagai orangtua,
kita sering bersikap keliru. Keliru soal sikap, keliru bicara, bahkan bisa saja
keliru dalam memilih. Sebagai contoh, baju yang kita belikan untuk anak
ternyata tak ia suka. Ini wajar dan jangan sampai membuat kita patah semangat.
Yang penting, setiap kali kita berbuat kesalahan, kita bersedia minta maaf.
Permintaan
maaf bukanlah untuk merendahkan kita sebagai orangtua, tetapi justru menanamkan
anak nilai-nilai keberanian dan tanggung jawab. Nanti, anak akan meniru sikap
ksatria kita itu. Demikian dikemukakan oleh Tanya Remer Altmann, MD., penulis
buku Mommy Calls: Dr. Tanya Answers Parent's Top 101 Question about Babies
and Toddlers sekaligus dokter anak di Los Angeles.
Simak
juga penjelasan Elly Risman Musa, Psi, Ketua Pelaksana Yayasan Kita dan Buah
Hati mengenai enam kekeliruan yang umum dilakukan oleh orangtua. Pelajari dan
segera perbaiki.
1. Kita sering: Memberi
terlalu banyak nasehat.
Dampak
: Anak malah tak peduli dengan apa yang kita katakan. Karena terlalu banyak informasi,
mereka jadi bingung inti pesan yang ingin disampaikan. Ketika anak tidak
melakukan apa yang kita mau karena bingung, mereka kita cap sebagai anak yang
tak punya rasa hormat.
Perbaiki
dengan : Ganti cara penyampaian. Gunakanlah kalimat-kalimat pendek, terutama
kepada anak laki-laki.
2. Kita sering : Turun
tangan di setiap persoalan anak-anak.
Dampak
: Anak jadi tak mendiri, manja, dan tidak punya rasa tanggung jawab. Mereka
merasa tak perlu berusaha dan berjuang mendapatkan apa yang diinginkan karena
semua sudah tersedia.
Perbaiki
dengan : Memberi bantuan sesuai kondisi dan usia. Untuk anak di bawah usia 5
tahun, orangtua bisa meminta anaknya mencoba melakukannya lebih dulu sambil
memberi arahan. Untuk anak berumur di atas 5 tahun, sebaiknya orangtua mengatur
kesepakatan. Misalnya, anak harus mengerjakan PR-nya sendiri. Bila setelah
mencoba ia masih tetap kesulitan, barulah dibantu.
3. Kita sering : Membentak anak
saat ia menangis atau berteriak-teriak di mal.
Dampak
: Anak semakin malu dan takut sehingga berteriak lebih keras lagi. Kita jadi
bingung karena tak tahu apa yang ia rasakan dan inginkan.
Perbaiki
dengan : Melakukan 4 langkah ini:
1.
Jangan panik dan tak perlu malu terhadap orang lain yang menonton.
2.
Peluk dan tenangkan anak. Tanya perlahan, "Ada apa?" Lalu tunggu
jawabannya. Jika ia tidak menjawab, bawa anak ke tempat sepi dan tunggu sampai
ia berhenti menangis.
3.
Jika anak sudah mengatakan maunya, carikan solusi terbaik. Tetapi, tak perlu
harus menuruti semua keinginannya yang tidak masuk akal.
4. Kita sering : Mengajari anak latihan
buang air di toilet terlalu dini.
Dampak
: Anak merasa dipaksa. Karena usianya terlalu muda (batita), otak anak belum
bisa menangkap pentingnya latihan ini.
Perbaiki
dengan : Mengajari anak dengan sabar. Idealnya, latihan toilet dikenalkan sejak
usia 1-1,5 tahun dan harus disertai penjelasan sederhana dan berulangkali bahwa
semua orang harus "pupu" dan pipis di tempatnya. Berikan
pujian untuk setiap kemajuan anak, betapapun kecilnya.
5.
Kita sering : Langsung berkata “tidak”
ketika anak ingin jajan permen.
Dampak
: Anak sembunyi-sembunyi jajan karena tidak memahami mengapa ia tidak boleh
makan permen. Perintah dan larangan yang tidak disertai penjelasan, hanya akan
melahirkan kepatuhan sesaat.
Perbaiki
dengan : Alih-alih hanya menolak, sebaiknya ceritakan juga tentang gula.
Ajaklah ia mencicipi rasa gula. Lalu, tambahkan keterangan hal positif dan
negatif gula. Misalnya, gula perlu dibatasi karena bisa bikin sakit gigi, meski
rasanya enak. Ajak anak menghafal kalimat singkat seperti "Makan permen
boleh, tapi tidak dalam jumlah terlalu banyak."
6.
Kita sering : Menegur anak dengan
kemarahan.
Dampak
: Anak justru melawan karena tak suka ditegur dan dibentak.
Perbaiki
dengan : Ganti teguran dengan pertanyaan. Percakapan ini bisa menjadi gambaran.
Situasi
: Anak berlari-lari tiada henti di dalam rumah.
Ibu
: "Kamu sedang apa?"
Anak : "Lari."
Ibu : "Kita sepakat kalau di dalam rumah harus bagaimana, Nak?"
Anak : (sambil mengingat kesepakatan dengan ibunya) "Jalan."
Ibu : "Bisa kamu lakukan?"
Anak : (sudah sadar akan kesepakatan dengan ibunya) "Bisa."
Ibu : Bagus. Anak mama memang cerdas." (Atau berikan pujian lain).
Anak : "Lari."
Ibu : "Kita sepakat kalau di dalam rumah harus bagaimana, Nak?"
Anak : (sambil mengingat kesepakatan dengan ibunya) "Jalan."
Ibu : "Bisa kamu lakukan?"
Anak : (sudah sadar akan kesepakatan dengan ibunya) "Bisa."
Ibu : Bagus. Anak mama memang cerdas." (Atau berikan pujian lain).
Cara
ini akan jauh lebih baik untuk membentuk iklim sehat di keluarga. Jadi, kita
tak perlu berteriak, "Jangan lari, nanti jatuh!". Mungkin saja anak
akan benar-benar jatuh karena kaget dengan cara kita menegurnya.
Tentu masih banyak lagi kekeliruan yang kita
sebagai orang tua sering lakukan, namun semoga ke enam kekeliruan ini boleh
menjadi masukan kepada kita. Tuhan
memberkati!