Para ahli mengatakan, salah satu problem
perkawinan yang paling rumit dan penyebab utama perceraian adalah ketidak
mampuan atau keengganan pasangan hidup untuk berkomunikasi secara wajar. Meskipun komunikasi itu suatu proses yang
perlu ditata, tetapi ia bukanlah proses yang rumit.
Jika bibir seseorang tengah berkomat-kamit
maka kita sering menganggap komunikasi tengah berlangsung. Kita mengetahui bahwa ini hanya komunikasi
satu arah. Akan tetapi percakapan dua arah berarti
memberi dan menerima informasi. Komunikasi itu berarti lebih banyak dari
sekadar bercakap-cakap. Komunikasi
juga berarti proses menerima dan
mendengar.
Nah, pada
kedua proses ini kita perlu menambah dimensi yang ketiga –yakni PENGERTIAN.
John Powell,
dalam bukunya Why I Am Afraid to Tell You
Who I am, menjelaskan mengenai 5 level atau tingkatan kita dapat
berkomunikasi dan hal ini adalah penting:
Level 5 : Percakapan dangkal. Pada level ini berlangsung percakapan
biasa seperti, “Apa kabar?”. “Apa saja
pekerjaan Anda?”, “Bagaimana keadaannya?”.
Percakapan yang demikian tidaklah bermakna, namun hal ini terkadang
lebih baik daripada bungkam saja. Bila
komunikasi tetap berada pada level ini, hal ini akan menjemukan dan lama
kelamaan mengarah kepada frustasi dan menimbulkan perasaan mendongkol dalam
hubungan suami istri.
Level 4: Percakapan Faktual: Pada
level ini, informasi dibagi namun tidak disertai singgungan pribadi. Misalnya, Anda menceritakan apa yang telah
terjadi tetapi tidak mengungkapkan perasaan Anda mengenai kejadian itu.
Level 3: Gagasan dan Pendapat : Keintiman
mulai di sini. Pada level inilah
Anda berani mengungkapkan pendapat sendiri, perasaan dan pikiran. Anda merasa bebas mengungkapkan pendapat
pribadi, sehingga mitra Anda mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk
mengenal Anda secara intim.
Level 2: Perasaan dan Emosi : Komunikasi pada level ini menerangkan apa
yang berlangsung didalam diri Anda –bagaimana Anda merasakan tentang mitra Anda
atau situasinya. Anda menerjemahkan
perasaan perasaan frustrasi, marah, dongkol atau bahagia. Kalau secara jujur Anda memberi dan menerima,
menunjukkan perhatian pada perasaannya, dan juga mengungkapkan perasaan Anda
sendiri, maka level ini akan memperkaya dan menyuburkan ikatan suami
istri. Anda akan merasa dihargai,
diperhatikan, dicintai, dihormati dan aman tentram dalam kasih sayang sang
mitra.
Level 1:
Kepahaman yang Dalam: Biasanya
suatu pengalaman yang teramat pribadi berkaitan di dalamnya. Ini merupakan komunikasi
pengalaman-pengalaman. Komunikasi
mengenai pengalaman-pengalaman yang demikian kerapkali membuat kesan yang dalam
pada kedua belah pihak dan justru membuat hubungan perkawinan semakin
utuh. Tujuan akhir dari komunikasi dalam
perkawinan adalah saling mengutarakan gagasan pribadi dan perasaan. Kita menggunakan kurang lebih tujuh puluh persen dari jam-jam tidur kita
untuk berkomunikasi –berbicara atau mendengar, membaca atau menulis. Tigapuluh persen digunakan untuk bercakap-cakap. Dalam hal ini, unsur waktu kita menjadi
sangat penting, karena berbicara membawa orang bersama-sama dalam suatu
keterkaitan.
Tingkat komunikasi yang lebih tinggi:
Rasanya kurang lengkap kalau tidak
disinggung mengenai komunikasi dengan Tuhan.
Suami, istri dan Allah membentuk suatu segitiga yang kudus. Bila jalur komunikasi itu berjalan lancar,
Tuhan dapat memenuhi maksud-Nya bagi suami istri. Komunikasi yang jujur mengurangi tensi
emosional, membuat pikiran menjadi jernih, dan memberikan kelepasan dari
tekanan hidup sehari-hari. Ini dapat
melicinkan jalan kearah hubungan mesra di antara suami, istri dan Allah.
(-Nancy Van Pelt, penulis buku The Compleat Parent, The Compleat Marriage
dan The Compleat Courtship.)